F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang dan Syariat Istisqa'

Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang ( Al-Istisqa' bil Anwa')[1]

Secara bahasa (etomologi), istisqa’ (اَلإِسْتِسْقَاءُ) berarti memohon siraman hujan, dan anwa’ (اْلأَنْوَاءُ) adalah bentuk jamak dari naw-u (نَوْءٌ) yang berarti posisi bintang. Selanjutnya, kata ini dipakai untuk arti bintang saja (tanpa kata posisi). Ini adalah kebiasaan orang Arab menggunakan kata posisi atau tempat tersebut. Ini merupakan bentuk majaz mursal sehingga menurut istilah (terminologi) berarti memohon siraman hujan kepada bintang.

Maksudnya, menisbatkan perbuatan itu kepada bintang, baik perbuatan menurunkan hujan atau perbuatan lainnya.

Hal itu jelas perbuatan haram. Karena semua sebab harus dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ

Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang di-sucikan. Diturunkan dari Rabb Semesta Alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Qur-an ini, kamu (mengganti) rizqi (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah).” [Al-Waaqi’ah: 75-82]

Juga firman-Nya:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’. Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” [Al-Anka-buut: 63]

Orang yang menisbatkan hujan kepada bintang, pelakunya dianggap kafir sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Rabb-nya, bahwa Dia berfirman:

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ.

Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan: ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir ter-hadap bintang-bintang. Sedang orang yang mengatakan: ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” [HR. Al-Bukhari (no. 846, 1038, 4147) dan Muslim (no. 71), dari Sahabat Zaid bin Khalid al-Juhainy Radhiyallahu anhu]

Jika ia percaya bahwa bintang adalah pelaku atau faktor yang mempengaruhi turunnya hujan, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik besar. Dan jika ia percaya bahwa bintang menyertai turunnya hujan sehingga dapat dijadikan isyarat -walaupun dengan meyakini bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza wa Jalla- maka perbuatan itu tetap haram dan pelakunya dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.

Menisbatkan sesuatu kepada selain Allah sebagai pencipta, baik sebagai pelaku, faktor yang mempengaruhi atau faktor penyerta adalah perbuatan syirik yang kini telah banyak tersebar di kalangan masyarakat. Inilah syirik yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu sabda beliau:

ثَلاَثٌ أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي: اْلاِسْتِسْقَاءُ بِاْلأَنْوَاءِ، وَحَيْفُ السُّلْطَانِ، وَتَكْذِيْبٌ بِالْقَدْرِ.

Tiga hal yang sangat aku khawatirkan akan menimpa kalian: (1) menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, (2) penguasa yang zhalim, dan (3) pendustaan terhadap taqdir.”[HR. Ahmad (V/89-90), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 324). Dari Sahabat Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu. Hadits ini hasan, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir (no. 3022) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1127).]

Perbuatan itu merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sikap tawakkal dan bergantung kepada selain Allah Azza wa Jalla. Selain itu, ia juga membuka peluang bagi munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak yang pada gilirannya akan menghantarkan kepada kepercayaan penyembahan patung dan bintang. Ini adalah syirik di dalam Rububiyyah, sebab di dalamnya terkandung penafian (peniadaan) ciptaan dari penciptanya dan sebaliknya serta pemberian hak Rububiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ بِاْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ، وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ.

Empat perkara dari perkara-perkara Jahiliyyah yang ter-dapat pada ummatku, dan tidak ditinggalkan oleh mereka: (1) membanggakan nenek moyang, (2) mencela keturunan, (3) menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan (4) meratapi mayat.” [HR. Muslim (no. 934) dari Sahabat Abu Malik al-Asy’ari Radhiyiallahu anhu] (2)

Hujan Dalam Syariat Islam

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini radhiallahu 'anhu dia berkata:

صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin kami shalat subuh di Hudaibiah di atas bekas-bekas hujan yang turun pada malam harinya. Setelah selesai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak lalu bersabda, “Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb kalian?” mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “(Allah berfirman), “Subuh hari ini ada hamba-hambaKu yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang berkata, “Hujan turun kepada kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya,” maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata, “(Hujan turun disebabkan) bintang ini atau itu,” maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Al-Bukhari no. 1038)

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat hujan, maka beliau berdoa, “ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI’AN (Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang deras lagi bermanfaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1032)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللَّهُ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ الْمَطَرُ

Ada lima kunci ghaib yang tidak diketahui seorangpun kecuali Allah: Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang terdapat dalam rahim, tidak ada satu jiwapun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok, tidak ada satu jiwapun yang tahu di bumi mana dia akan mati, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan.” (HR. Al-Bukhari no. 1039)

Penjelasan ringkas:

Hujan adalah nikmat dan anugerah dari Allah yang dengannya Dia memberikan keutamaan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya. Allah Ta’ala berfirman:

وأنزل من السماء ماءً فأخرج به من الثمرات رزقاً لكم

Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untuk kalian.” (QS. Al-Baqarah: 22)

Dan juga pada firman-Nya:

وهو الذي ينزل الغيث من بعد ما قنطوا وينشر رحمته

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan Dia menyebarkan rahmat-Nya.” (QS. Asy-Syuraa: 28)

Di antara manfaat turunnya hujan adalah:
1. Sebab adanya rezki.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam surah Al-Baqarah di atas.
2. Hidupnya bumi.
Allah Ta’ala berfirman:

وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها

Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya.” (QS. Al-Baqarah: 164)
3. Sebagai penyuci dalam thaharah.
Allah Ta’ala berfirman:

وينزل عليكم من السماء ماء ليطهركم به

Dan Dia menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu.” (QS. Al-Anfal: 11)
4. Untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup di bumi.
Allah Ta’ala berfirman:

هو الذي أنزل من السماء ماءً لكم منه شرابٌ ومنه شجرٌ فيه تُسيمون

Dialah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kalian, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kalian mengembalakan ternak kalian.” (QS. An-Nahl: 10)

Karenanya, menyandarkan sebab turunnya hujan kepada selain Allah – baik itu kepada bintang tertentu atau kepada masuknya bulan tertentu atau kepada selain-Nya – merupakan perbuatan mengkafiri nikmat dan merupakan perbuatan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Karenanya, sudah sepantasnya manusia menyandarkan turunnya hujan itu hanya kepada Allah, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan kecuali Allah semata. Adapun bintang-bintang atau masuknya bulan tertentu maka itu hanyalah sekedar waktu dimana Allah Ta’ala menurunkan nikmat-nikmatNya kepada para hamba pada waktu tersebut, mereka bukanlah sebagai sebab apalagi jika dikatakan mereka yang menurunkan hujan.
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm mengomentari hadits Zaid bin Khalid di atas, “Barangsiapa yang mengatakan ‘hujan diturunkan kepada kita karena bintang ini dan itu’ -sebagaimana kebiasaan pelaku syirik- dimana mereka memaksudkan menyandarkan sebab turunnya hujan kepada bintang tertentu, maka itu adalah kekafiran sebagaimana yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sabdakan. Karena munculnya bintang (atau bulan, pent.) adalah waktu, sementara waktu adalah makhluk yang tidak memiliki apa-apa untuk dirinya dan selainnya. Dan siapa yang mengatakan ‘hujan diturunkan kepada kita karena bintang ini’ dalam artian ‘hujan diturunkan kepada kita ketika munculnya bintang ini’, maka ucapan ini bukanlah kekafiran, akan tetapi ucapan selainnya lebih saya senangi.”

Tatkala turunnya hujan terkadang bisa membawa manfaat dan terkadang bisa mendatangkan mudharat, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam mengajari umatnya agar meminta kepada Allah hujan yang mendatangkan manfaat setiap kali hujan turun. Di antara keterangan yang menunjukkan bahwa hujan terkadang membawa bencana dan siksaan adalah firman Allah Ta’ala:

فكلاً أخذنا بذنبه فمنهم من أرسلنا عليه حاصباً ومنهم من أخذته الصيحة ومنهم من خسفنا به الأرض ومنهم من أغرقنا

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan.” (QS. Al-Ankabut: 40)

Juga pada firman-Nya:

فأعرضوا فأرسلنا عليهم سيل العرم

Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar.” (QS. Saba`: 16)

Waktu turunnya hujan termasuk perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah semata. Karenanya, barangsiapa yang mengklaim mengetahui waktu turunnya hujan atau mengklaim bisa menurunkan hujan atau mengklaim bisa menahan turunnya hujan (pawang hujan) maka dia telah terjatuh ke dalam kekafiran dan kesyirikan berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak yang menjelaskan kafirnya makhluk yang mengklaim mengetahui perkara ghaib.

Sebab-sebab umum turunnya hujan:
1. Ketakwaan kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:

ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)
2. Istighfar dan taubat dari dosa-dosa.
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh bahwa beliau berkata:

فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفاراً. يرسل السماء عليكم مدراراً

Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat.” (QS. Nuh: 10-11)
3. Istiqamah di atas syariat Allah.
Allah Ta’ala mengabarkan:

وألّوِ استقاموا على الطريقة لأسقيناهم ماءًً غدقاً

Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar.” (QS. Al-Jin: 16)
4. Istisqa`,
baik sekedar berdoa maupun diiringi dengan shalat sebagaimana yang akan dijelaskan pada artikel shalat istisqa` di bawah (3)

Metode Mendatangkan Hujan

Beberapa cara telah ditunjukkan dalam syariat Islam untuk mudah mendatangkan hujan. Hal-hal yang bisa dilakukan adalah berikut ini:

1. Memperbanyak istighfar (memohon ampun pada Allah)

Allah Ta’ala berfirman,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat , dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

Ada juga beberapa atsar yang menerangkan bahwa istighfar (banyak memohon ampun pada Allah) adalah salah satu sebab diturunkannya hujan.

Dari Asy Sya’bi, ia berkata, “’Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu suatu saat meminta diturunkannya hujan, namun beliau tidak menambah istighfar hingga beliau kembali, lalu ada yang mengatakan padanya, ”Kami tidak melihatmu meminta hujan.” ‘Umar pun mengatakan, “Aku sebenarnya sudah meminta diturunkannya hujan dari langit”. Kemudian ‘Umar membaca ayat,

اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا, يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat

Umar pun lantas mengatakan,

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

Wahai kaumku, mintalah ampun kepada Rabb kalian. Kemudian bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan pada kalian hujan lebat dari langit .” (HR. Al Baihaqi (3/352))

Terdapat sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah sebagai berikut.

أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة

Sesungguhnya seseorang pernah mengadukan kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu Al Hasan menasehatkan, “ Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan menasehatkan, “ Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya). Lalu Al Hasan menasehatkan, “ Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “ Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di atas. (Riwayat ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 11/98)

Ketika menjelaskan surat Nuh di atas, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika kalian meminta ampun (beristigfar) kepada Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan mendapatkan banyak rizki, akan diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian akan diberi keberkahan dari tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman, dilimpahkannya air susu, dilapangkannyaharta, serta dikaruniakan anak dan keturunan. Di samping itu, Allah juga akan memberikan pada kalian kebun-kebun dengan berbagai buah yang di tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.” [Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/140]

2. Dengan istiqomah menjalankan syari'at Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)

Di antara tafsiran ulama mengenai surat Jin ayat 16 yaitu: Seandainya mereka berpegang teguh dengan ajaran Islam dan terus istiqomah menjalaninya, maka mereka akan diberi minum air yang segar, yaitu dilapangkan rizki. [Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/152-153]

Makna ayat di atas serupa dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya .” (QS. Al A’rof: 96)

3. Dengan Shalat Istisqa'

Istisqo’ berarti meminta pada Allah Ta’ala agar diturunkannya hujan ketika kekeringan. Para ulama sepakat bahwa shalat istisqo’ termasuk ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan menurut mayoritas ulama shalat istisqo’ disunnahkan ketika terjadi kekeringan.

Di antara dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid. Beliau berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ. قَالَ إِسْحَاقُ فِى حَدِيثِهِ وَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya [Rida’ adalah pakaian yang menutupi badan bagian atas. Sedangkan ada pula yang disebut izar yang menutup separuh badan ke bawah](yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”. ”[HR. Ahmad (4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.]

Panduan ringkas shalat istisqo’ sebagai berikut.

Pertama : Hendaklah jama’ah bersama imam keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul mengharap pertolongan Allah dan meninggalkan berpenampilan istimewa (meninggalkan berhias diri).

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى - زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا - وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah lapang –Utsman menambahkan bahwa kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap pertolongan dari Allah dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied .”[HR. Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665.]

Kedua : Imam berkhutbah di mimbar yang disediakan untuknya sebelum atau sesudah shalat istisqo’. Ketika itu tidak ada adzan dan iqomah.

Dalil yang menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas, “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”. ”[HR. Ahmad (4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.]

Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh dilaksanakan sebelum shalat istisqo’ (2 raka’at) adalah hadits ‘Abbad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata,

خَرَجَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَسْتَسْقِى فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan istisqo’ (meminta hujan). Kemudian beliau menghadap kiblat dan merubah posisi rida’nya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya). Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan bacaannya .”[HR. Bukhari no. 1024.]

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Berdasarkan hadits-hadits di atas, perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau sesudah shalat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama yang ada) dan dipilih oleh madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan lainnya.”[Shahih Fiqh Sunnah, 1/441]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Tidak disunnahkan adzan dan iqomah pada shalat istisqo’. Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan pendapat).”[Al Mughni, 2/285]

Ketiga : Hendaknya imam memperbanyak do’a sambil berdiri menghadap kiblat, bersungguh-sungguh mengangkat tangan ketika berdo’a (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jama’ah ketika itu juga dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu merubah posisi rida’nya (yang kanan di jadikan ke kiri dan sebaliknya)[Di sini jama’ah tidak perlu mengubah posisi rida’nya, cuma khusus imam. Sebagaimana hal ini diterangkan oleh Syaikh Umar Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’.]

Sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Ditambah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan istisqo lalu ia mengangkat punggung tangannya dan diarahkan ke langit.” [HR. Muslim no. 896]

Dalil yang menunjukkan bahwa para jama’ah juga ikut mengangkat tangan adalah hadits dari Anas bin Malik,

فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a. Kemudian para jama’ah ketika itu turut serta mengangkat tangan mereka bersama beliau untuk berdo’a .”[HR. Bukhari no. 1029.]

Anas bin Malik juga mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua tangannya dalam setiap do’a beliau kecuali dalam do’a istisqo’. Ketika itu beliau mengangkat tangan sampai-sampai terlihat ketiaknya yang putih. "[HR. Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 895.]

Keempat : Membaca do’a istisqo’.

Di antara do’a istisqo’ yang dibaca adalah:

اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ

Ya Allah, turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu, berikanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.” [HR. Abu Daud no. 1176, hasan]

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.” [HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897.]

Kelima : Mengerjakan shalat istisqo’ sebanyak dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied. Sehingga pengerjaan shalat istisqo’, pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali dan pada rakaat kedua ada takbir rambahan (zawaid) sebanyak lima kali. Bacaan ketika shalat tersebut dijahrkan (dikeraskan).

Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan,

ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ

Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.” [HR. Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665.]

Dari ‘Abdullah bin Zaid, beliau mengatakan,

ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaannya.” [HR. Bukhari no. 1024]

Catatan :

Istisqo’ (meminta hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo’ bisa dilakukan ketika khutbah Jum’at dan berdo’a ketika itu. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut.

Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari Jum’at melalui arah darul qodho’. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.

Anas mengatakan, “Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul Qodho’ dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan

Setelah itu, hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengataka bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak tahu.” [HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897.]

Dari riwayat di atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah memberikan faedah berharga, “Hadits ini menunjukkan bolehnya do’a istisqo’ dibaca ketika khutbah Jum’at. Do’a ini dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar posisi rida’ dan tanpa perlu menghadap kiblat. Hadits ini juga menunjukkan boleh mencukupkan shalat jum’at untuk menggantikan shalat istisqo’.”[Fathul Baari , 2/506-507]

Hal ini menunjukkan bahwa istisqo’ (meminta hujan) tidak mesti dengan mengerjakan shalat khusus. (4)

- Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat-

_______
Footnote
(1). Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (hal. 367-379), Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (II/18-43), dan al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islamiyyah (hal. 147-148).
(2) Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M. Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2401/slash/0]
(3)  "Hujan Dalam Syariat Islam" oleh Ust Abu Muawiyah di http://al-atsariyyah.com/hujan-dalam-syariat-islam.html
(4) "Metode Mendatangkan Hujan" oleh Ust Muhammad Abduh Tuasikal di http://rumaysho.com
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+