🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 15 Rabi’ul Awwal 1446H | 19 September 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-181
https://drive.google.com/file/d/1G3OaORkS8k3i3bURxeMptWaPNnzB8dbg/view?usp=sharingMuzaroah - Kerjasama Pengelolaan Ladang Bagian Keempat
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Anda untuk berbincang-bincang perihal akad muzaroah, yaitu kerja sama dalam pengelolaan ladang.
Menggarapkan sawah, lahan pertanian kepada orang lain itu hukumnya boleh, tidak mengapa, dan tidak terlarang. Dengan catatan, kedua berdasarkan hadits Rofi' bin Khadij yang telah menganulir itu dan juga yang lainnya.
Kita juga mendapatkan satu kesimpulan bahwa ternyata Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam dan bahkan Islam, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan syari'at itu betul-betul demi kemaslahatan umat manusia.
Ketika terjadi kondisi yang tidak memungkinkan untuk terjadi praktek sewa-menyewa, dan kalau terjadi sewa-menyewa akan terjadi ketimpangan atau praktek-praktek eksploitasi tenaga kerja atau sebaliknya eksploitasi pemilik lahan. Maka Islam mencegah semuanya itu. Preventif.
Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya eksploitasi, tindak kesewenang-wenangan, tapi tatkala kemungkinan terjadinya eksploitasi itu telah sirna atau kecil pintunya, maka Islam memberikan kelapangan. Karena ternyata bentuk kerjasama semacam ini memang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat.
Karena itu ketika Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam berhasil menundukkan penduduk Khaibar orang-orang Yahudi yang tinggal di negeri Khaibar, mereka telah ditundukkan oleh Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam.
Semula Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam berencana ingin mengusir mereka dari negeri Khaibar. Namun mereka berusaha mengiba kepada Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam, tidak ingin keluar dari kampung halamannya.
Maka mereka orang-orang Yahudi Khaibar memberikan usulan memohon kepada Nabi agar mereka tidak diusir dari kota Khaibar, namun mereka diberi kesempatan untuk menggarap lahan pertanian yang telah dikuasai oleh kaum muslimin.
Yang semula milik orang Yahudi tetapi karena kalah perang mereka telah ditundukkan dan seharusnya mereka diusir dari kota Khaibar, mereka mengajukan permohonan kepada Nabi agar mereka diizinkan tetap tinggal di rumahnya dengan konsekuensi mereka menggarap lahan pertanian tersebut.
Dan ketika hasil panen nanti tiba (ketika musim panen tiba) maka mereka berbagi dua, Fifty-Fifty hasil panennya. Separuh untuk Nabi dan kaum muslim dan separuh akan diambil oleh orang-orang Yahudi sebagai pengelolanya.
Dan di antara klausul kesepakatan kala itu, Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam berkata kepada mereka bahwa “Kesepakatan ini tidak bersifat permanen”. Alias Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam berhak mengusir mereka kapanpun Nabi berkehendak. Karena Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam bersyarat kepada mereka,
نُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ
Kami akan menjalankan kerjasama ini, membiarkan/memberikan kesempatan kepada kalian menggarap lahan pertanian Khaibar selama Allah masih menghendakinya. [HR Bukhari: 2568]
Sehingga ketika tiba masa Khilafah Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu Ta'ala Anhu, Beliau mengambil satu keputusan satu sikap yang berbeda. Beliau mengusir Yahudi Khaibar dari negeri Khaibar.
Sehingga akhirnya Yahudi Khaibar itu pergi ke daerah Syam, ke daerah Suriah, Adriat dan yang serupa.
Ini tentu membuktikan bahwa skema muzaroah, bekerja sama dalam dengan skema muzaroah itu adalah suatu hal yang telah diterapkan oleh Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam sendiri dan juga telah dibolehkan kembali setelah semula terlarang.
Sehingga tidak tepat bila memberikan batasan-batasan yang kemudian menjadikan akad muzaroah itu menjadi susah diterapkan, menjadi berat untuk di terapkan.
Karena itu yang lebih tepat, pendapat kedua yaitu muzaroah itu dibolehkan secara mutlak selama pembagian hasil panennya dengan skema prosentase. Bukan pembagian berdasarkan letak lahan pertanian.
Dan kemudian kedua, ketika gagal panen maka pengelola tidak dibebani uang sewa. Kenapa? karena hakikat dari akad muzaroah tidak tepat bila dianggap sebagai turunan akad ijara'ah (akad sewa-menyewa) tetapi lebih tepat bila dianggap sebagai bentuk kerjasama seperti musyarakah (seperti serikat dagang).
Karena apa? Satu hal yang perlu kita pahami bersama bahwa skill itu adalah modal usaha, keahlian bekerja, bercocok tanam itu adalah sebuah modal tersendiri yang memiliki nilai jual.
Sehingga ketika ada kerjasama antara pemilik lahan yang menyerahkan lahannya dengan pengelola yang dia berkomitmen mencurahkan tenaga dan keahliannya untuk menggarap lahan ini. Sehingga nanti akan menghasilkan hasil panen yang dinikmati oleh kedua belah pihak tentu ini lebih identik bila dianggap dikelompokkan ke dalam kelompok akad syarikah (kerjasama permodalan).
Serupa dengan akad mudharabah. Dimana salah satu pihak menyerahkan modal, kemudian pihak kedua dengan skillnya kepada mereka bekerja sama mengikatkan, membuat komitmen untuk mengikatkan diri dan kemudian terjadilah kerjasama yang mutualisme. Berdagang dari hasil panennya. Kemudian dari hasil keuntungannya dinikmati berdua sesuai dengan prosentase yang telah disepakati.
Sehingga apa yang dipraktekkan di masyarakat kita dengan skema muzaroah (kerjasama menggarapkan ladang) itu Alhamdulillah sudah lebih mendekati apa yang telah diajarkan madzhab kelompok ulama kedua.
Yaitu yang membolehkan akad muzaroah secara terbuka luas, dengan catatan selama pembagian hasil panennya dibagi berdasarkan prosentase, bukan berdasarkan letak lahan pertaniannya.
Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf
بالله التوفق والهداية
السلام عليكم ورحمه الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment