F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-182 Muzaroah - Kerjasama Pengelolaan Ladang Bag. 05

Audio ke-182 Muzaroah - Kerjasama Pengelolaan Ladang Bag. 05
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 16 Rabi’ul Awwal 1446H | 20 September 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-182
https://drive.google.com/file/d/1G92uqjrR1sk-APg3jXbQ0DMsHv_LOZgw/view?usp=sharing

Muzaroah - Kerjasama Pengelolaan Ladang Bagian Kelima


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama pembahasan tentang al-muzaroah (kerjasama dalam penggarapan lahan pertanian).

Telah disampaikan bahwa secara tinjauan dalil pendapat yang membolehkan kerjasama muzaroah (kerjasama dalam pengelolaan cocok tanam, pengelolaan lahan pertanian) itu lebih kuat dibanding pendapat yang mengatakan bahwa kerjasama dalam menggarap lahan pertanian dengan menanam pertanian kemudian nanti dipanen hasilnya itu dibolehkan dalam ruang yang sempit, yaitu bila itu sebagai akad turunan atau akad sekunder. Yaitu ketika diawali dengan akad musaqah (kerjasama pengelolaan kebun), ketika ada sebagian lahan yang kosong boleh dikerjasamakan dengan skema muzaroah.

Dan pendapat yang menganggap bahwa muzaroah, demikian pula musaqah itu adalah satu akad yang berdiri sendiri dan bukan akad turunan dari akad ijarah.

Tetapi kalaupun itu boleh dianalogikan, boleh dikelompokkan dalam akad yang lebih besar, maka mengelompokkan akad muzaroah kerjasama penggarapan lahan pertanian atau kerjasama dalam pengelolaan ladang atau perkebunan dikelompokkan dengan akad syarikat dagang atau dikelompokkan dengan akad mudharabah itu lebih tepat, dibanding mengelompokkannya dengan akad ijarah.

Karena itu telah disampaikan sebelumnya bahwa muzaroah itu boleh secara mutlak. Karena bukan disyari'atkan dalam konteks rukshah (keringanan), tetapi memang dibolehkan secara terbuka.

Kemudian Al Mualif Rahimahullahu Ta'ala mengatakan,

وإن أكراه إياها بذهب أو فضة أو شرط له طعاما معلوما في ذمته جاز

Dalam literasi Madzhab Syafi'i pun katanya kalau yang terjadi itu adalah sewa-menyewa lahan pertanian, bukan kerjasama penggarapan lahan pertanian, sehingga disewakan dengan uang. Baik itu uang emas atau uang perak atau uang giral yang ada zaman sekarang. Seperti rupiah, real, ringgit, atau dolar, atau yang lainnya.

Atau disewakan dengan nilai sewa berupa bahan makanan yang telah ditentukan kadarnya maka itu boleh. Kenapa? Karena akad sewa menyewa itu nominal sewanya atau upahnya itu fixed (jelas), transparan jumlahnya (masa sewanya jelas).

Sehingga dengan akad sewa itu terjadi akad jual-beli hak guna, hak penggarapan lahan yang kemudian atas penjualbelian hak penggarapan lahan tersebut pemilik lahan mendapatkan imbalan dalam nominal tertentu. Dan ini boleh berdasarkan keumuman akad ijarah, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkan adanya akad sewa-menyewa.

Namun demikian, Al Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta'ala memberikan satu analisa yang unik. Beliau melihat, membandingkan, berusaha mengkomparasikan, membandingkan antara akad musaqah, antara akad muzaroah dengan akad ijarah (kerjasama penggarapan lahan) dengan ketentuan nanti ketika panen dibagi sesuai dengan prosentase tertentu. Dan kalau gagal maka kedua belah pihak tidak mendapatkan imbalan, tidak mendapatkan hasil.

Menurut beliau, “Menjalin kerjasama dengan skema muzaroah lebih dekat pada keadilan, bahkan bisa dikatakan itulah keadilan yang lebih sempurna dibanding kita menjalin kerjasama dengan skema sewa menyewa.

Kenapa? Beliau berusaha menyelami lebih dalam. Kedua belah pihak dalam menjalankan akad sewa-menyewa atau pun akad muzaroah tentu tujuannya dengan tujuan komersial, yaitu untuk mencari keuntungan. Pemilik ladang mengharapkan dengan kerjasama ini mendapatkan hasil.

Sebagaimana pengelola pun ketika dia menjalin kerjasama ini mengharapkan dia mendapatkan hasil dari kerja keras dia.

Namun ketika gagal panen, maka kedua belah pihak sama-sama menanggung kerugian. Pemilik lahan tidak mendapatkan keuntungan, tidak mendapatkan hasil. Sebagaimana penggarappun juga tidak mendapatkan apa-apa.

Pemilik lahan kehilangan manfaat lahan pertaniannya yang dibiarkan selama setahun, 2 tahun bisa jadi. Tapi tidak mendapatkan apa-apa karena memang gagal panen terus. Pengelolapun demikian, dia telah kehilangan tenaganya, waktunya, pikirannya, bahkan benih dan pupuk misalnya, dan ternyata akhirnya dia tidak mendapatkan apa-apa. Sama-sama rugi.

Sehingga dalam kerjasama muzaroah ini, terpenuhi semangat duduk sama rendah berdiri sama tinggi, adil. Tetapi dalam skema ijarah sewa-menyewa salah satu pihak akan senantiasa mendapatkan keuntungan yaitu pemilik lahan.

Dia akan mendapatkan uang sewa tanpa peduli, apakah penyewa berhasil mendapatkan panen atau gagal? Ketika dapat panen dia dapat uang sewa, kalau ternyata pengelola atau penyewa lahan gagal panen dia tetap mendapatkan uang sewa.

Makanya, Al Imam Ibnu Taimiyah, konsekuensi dari membolehkan akad sewa-menyewa lahan pertanian menuntut kita untuk membolehkan pula akad muzaroah. Karena akad muzaroah lebih dekat pada keadilan, lebih nyata nilai keadilannya dibanding akad sewa-menyewa.

Bila dalam Madzhab Syafi'i difatwakan boleh menyewakan lahan pertanian tentu konsekuensinya harusnya, logikanya, Madzhab Syafi'i lebih membolehkan adanya akad muzaroah.

Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفق والهداية
السلام عليكم ورحمه الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+