🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 14 Rabi’ul Awwal 1446H | 18 September 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-180
https://drive.google.com/file/d/1FzB01BU_H1lacrniYKo3xw0RBtNz1Fp4/view?usp=sharingMuzaroah - Kerjasama Pengelolaan Ladang Bagian Ketiga
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Anda untuk berbincang-bincang perihal akad muzaroah, yaitu kerja sama dalam pengelolaan ladang.
Para fuqoha Syafi'i melarang akad muzaroah (penggarapan sawah) dengan alasan yaitu adanya unsur gharar. Namun para fuqaha lain misalnya Al Imam Malik, Al Imam Ahmad bin Hambal, kemudian yang lainnya, mereka berusaha mengkaji lagi masalah ini dengan cara menggabungkan berbagai dalil yang ada.
Ternyata didapatkan setelah dikaji larangan menggarapkan sawah kepada orang lain (lahan pertanian kepada orang lain) itu ternyata telah dianulir oleh Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam, telah dihapuskan oleh Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam, yang semula betul itu terlarang.
Yaitu pada awal hijrah para sahabat Muhajirin ke Madinah karena kala itu terjadi ledakan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian. Sehingga Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam tidak ingin terjadi pengangguran di kota Madinah atau terjadi eksploitasi karyawan (tenaga kerja). Sehingga disewa dengan harga murah.
Karena jumlah pengangguran banyak, sedangkan lahan pertaniannya sedikit. Nabi tidak ingin terjadi eksploitasi, Nabi tidak ingin terjadi krisis ekonomi di Madinah yaitu karena Muhajirin kalau menyewa, disewakan dengan harga yang mahal. Atau kalaupun bekerja dengan skema muzaroah atau sewa-menyewa, maka mungkin nilai sewanya sangat tinggi.
Namun setelah Allah Subhanahu Ta'ala memberikan kelapangan kepada para sahabat, sehingga lahan pertanian di kota Madinah milik kaum muslimin melimpah. Karena setelah terjadi perang dengan Bani nadzir, Bani Qainuqa', Bani Quraidhah, orang-orang Yahudi, semuanya terusir dari kota Madinah.
Sehingga dalam waktu yang singkat jumlah lahan pertanian di kota Madinah yang dimiliki oleh kaum muslimin berlimpah ruah, sedangkan pertumbuhan tenaga kerja masih terlambat. Maka Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam kemudian memberikan kelapangan dalam bentuk kerjasama ataupun sewa-menyewa lahan pertanian.
Karena itu dahulu Rafi' bin Khadij yang semula meriwayatkan larangan tentang sewa-menyewa lahan atau kerjasama lahan tersebut, kemudian meriwayatkan pula hadits yang menganulir larangan tersebut.
Hadzolah Ibnu Qois Al Anshori bertanya kepada Rofi' bin Khadij perihal hukum menyewakan tanah pertanian dengan uang sewa berupa dinar ataupun dirham. Betul-betul sewa-menyewa tanah pertanian.
فَلاَ بَأْسَ بِهِ
Tidak mengapa itu, itu boleh.
إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Yang dilarang oleh Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam adalah apa yang terjadi pada waktu dahulu, mereka menyewakan lahan pertanian, tetapi cara menyewakannya dengan cara yang betul-betul mencerminkan eksploitasi.
Yaitu pemilik lahan pertanian bersyarat kepada penggarap, bahwa lahan pertanian yang lebih dekat kepada air (sumber air) hasil panennya dimiliki oleh pemilik lahan. Sedangkan hasil panen dari lahan yang jauh dari sumber air itulah bagian dari siapa? Dari pengelola.
وَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا
Sehingga akibatnya seringkali tanaman yang dekat dengan sumber air bisa panen dengan bagus. Sedangkan tanaman yang jauh dari sumber air akhirnya kadang gagal panen, rusak. Kalaupun panen, panennya minim, hasilnya sedikit.
Atau sebaliknya yang jauh dari air justru malah bagus, yang dekat-dekat air justru malah rusak.
فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلَّا هَذَا
Inilah yang dahulu sempat terjadi di awal Islam (di awal hijrah).
فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ
Oleh karena itu Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam melarang mereka. Karena ini terjadi praktek eksploitasi kesewenang-wenangan dalam pembagian hasil panen.
فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ
Adapun sewa-menyewa lahan pertanian dengan nilai sewa yang pasti jelas, atau dengan skema muzaroah (pembagian hasil) dengan yang profesional yang adil. Yaitu dengan nisbah (dengan prosentase) maka.
فَلَا بَأْسَ بِهِ
Itu tidak mengapa, itu boleh. Itu tidak terlarang. [HR Sunan an-Nasa'i: 3839]
Ini bukti nyata bahwa larangan semula itu betul-betul telah dianulir oleh Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam. Sehingga yang lebih tepat dan Alhamdulillah itu yang dipraktekkan di negeri kita.
Bahwa menggarapkan sawah (lahan pertanian) kepada orang lain itu hukumnya boleh tidak mengapa dan tidak terlarang. Dengan catatan pembagian hasilnya tidak dibagi berdasarkan letak lahan pertanian tetapi berdasarkan prosentase hasil panen.
Sehingga semuanya dipanen terlebih dahulu dan kemudian dibagi berdua antara pemilik lahan dengan penggarap, dan kemudian masing-masing akan mendapatkan bagian sesuai dengan nisbah atau prosentase yang telah disepakati, baik itu fifty-fifty (lima puluh lima puluh), atau dua pertiga berbanding sepertiga, tiga perempat berbanding seperempat, ataupun nisbah yang lain yang disepakati.
Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf
بالله التوفق والهداية
السلام عليكم ورحمه الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment