F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-95 Bab Hukum Seputar Shalat Berjamaah Bag. 1

Audio ke-95 Bab Hukum Seputar Shalat Berjamaah Bag. 1
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT| 2 Rabi’ul Awwal 1446 H| 6 September 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-95
https://drive.google.com/file/d/1--82I4ogzMReq_aO2R7xlSYngJ-6mdgd/view?usp=sharing

Bab Hukum Seputar Shalat Berjama’ah (Bag. 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد

Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Kita lanjutkan kajian kita dari kitab Matnul Ghāyah wat Taqrīb (متن الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā.

Masih pada bab shalat, kali ini kita akan mempelajari bersama tentang shalat jama’ah. Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,

فَصْلٌ: وَصَلَاةُ الجَمَاعَةِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ

Pasal, dan shalat jama’ah itu hukumnya sunnah muakkadah.

Dan beliau menyebutkan bahwasanya hukumnya adalah sunnah tapi bukan hanya sunnah, tapi sunnah muakaddah ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i karena sabda Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat jama’ah itu lebih afdhal daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat. Dalam riwayat yang lain sebanyak 25 derajat hadits yang masyhur (Muttafaqun ‘alaih)

Mereka mengatakan dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwasanya shalat jama’ah lebih afdhal berarti shalat sendirian juga boleh tapi shalat jama’ah lebih afdhal, ini adalah dasar pendapat ini.

Dan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i menurut Imam Nawawi rahimahullāhu ta’ālā adalah pendapat bahwasanya shalat jama’ah adalah fardhu kifayah.

Dan ada juga sebagian ulama dalam madzhab Syafi'i seperti Ibnul Mundzir dan Ibnu Khuzaimah rahimatullāh alal jamī' yang berpendapat bahwasanya shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ‘ain. Mereka berdalil dengan sebuah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim

إنَّ أثْقَلَ الصَّلاَةِ عَلَى المُنَافِقِينَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ، وَصَلاَةُ الْفَجْرِ

Sungguh shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh.

وَلَقَدْ هَمَمْتُ

Kelanjutannya dan aku telah bertekad untuk memerintahkan orang- orang agar mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengumandangkan adzan dan aku akan pergi ke rumah orang-orang yang tidak mengerjakan shalat, yang tidak mendatangi shalat jama’ah maka aku akan membakar rumah-rumah mereka dengan api.

Hadits ini menunjukan tekad Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, ancaman beliau kepada orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah, bahwasanya rumah mereka akan dibakar dan tidak mungkin beliau mengancam dengan hal ini kecuali kalau mereka meninggalkan suatu kewajiban. Maka shalat jama’ah hukumnya adalah wajib.

Juga di antara dalil juga yang paling kuat adalah bahwasanya Allāh subhānahu wa ta’ālā memerintahkan kepada umat Islam untuk tetap shalat berjama’ah meskipun dalam kondisi berhadapan dengan musuh, dalam kondisi khauf kita masih diperintahkan untuk shalat secara berjama’ah.

Maka ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi'iyah dan wallāhu ta’ālā a’lam pendapat ini lebih hati-hati. Juga kalau kita mengambil pendapat yang paling ringan yaitu sunnah, kita harus ingat bahwasannya bukan sekedar sunnah tapi sunnah muakaddah, sunnah yang ditegaskan.

Makmum harus niat bermakmum tapi imam tidak harus niat mengimami

Kemudian beliau mengatakan,

وَعَلَى المَأْمُومِ أَنْ يَنْوِيَ الائتِمَامَ دُونَ الإِمَامِ

Di antara hukum shalat jama’ah yang disebutkan di sini seorang makmum hendaknya meniatkan bermakmum, makmum harus niat bermakmum tapi imam tidak harus niat mengimami, ini dibedakan oleh beliau. Kenapa?

Adapun makmum maka mengikuti imam adalah termasuk amalan. Shalatnya akan bergantung pada imam, dia harus mengikuti imam dan mengikuti imam adalah amalan, maka amalan ini butuh niat karena keumuman hadits,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Sesungguhnya amalan-amalan itu hanya sah dengan niatnya.(Muttafaqun ‘alaih)

Kalau ada niat baru sah, maka para ulama mengatakan bermakmum juga amalan maka bermakmum membutuhkan niat.

Adapun imam tidak wajib untuk berniat mengimami, meskipun tentunya lebih baik untuk meniatkan juga kalau memang sudah jelas dia adalah imam, dia adalah petugas yang ditunjuk, dari awal sudah tahu dia akan menjadi imam maka sebaiknya niat mengimami ini dimunculkan dalam hati, kita mengolah hati kita bahwasanya kita akan shalat Zhuhur (misalnya shalat Zhuhur) sebagai seorang imam itu lebih baik.

Tapi para ulama mengatakan tidak wajib untuk diniatkan cukup niat shalat Zhuhur saja karena Allāh subhānahu wa ta’ālā, kenapa?

Karena dalam beberapa hadits disebutkan bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak niat mengimami tapi kemudian ditengah-tengah shalat beliau berubah menjadi seorang imam.

Misalnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhuma bahwasanya beliau menginap di rumah Maimunah kemudian di malam hari beliau melihat Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat qiyamul lail maka beliau berdiri di samping Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam kemudian ikut shalat bersama Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Jadi Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam awalnya shalat sendiri dan ketika akhirnya Ibnu Abbas ikut shalat bersama beliau, beliau menjadi imam untuk Ibnu Abbas. Ini hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Juga hadits riwayat Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallāhu ‘anha bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam qiyamul lail sendiri kemudian ada para sahabat yang melihat beliau, maka kemudian mereka ikut menjadi makmum di belakang Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkari mereka.

Ini kisah shalat tarawih. Ini juga menunjukkan bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak berniat menjadi imam tapi ketika ada yang menjadikan beliau sebagai imam di tengah-tengah shalat beliau meneruskan shalat beliau dan tidak mengingkari para sahabat yang shalat di belakang beliau.

Juga hadits tentang shadaqah untuk orang yang shalat sendiri, suatu ketika Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang datang terlambat ke masjid kemudian shalat sendiri maka Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan, "Tidakkah di antara kalian yang bersedekah kepada orang ini kemudian shalat bersamanya….”.

Dan ini juga menunjukan bahwasanya orang itu niatnya shalat sendiri tidak ada niat untuk menjadi imam, tapi kemudian di tengah-tengah shalat akhirnya dia menjadi imam. Ini menunjukan hukum yang berbeda antara imam dengan makmum.

Makmum harus niat bermakmum sementara imam tidak wajib untuk niat mengimami meskipun tentunya kalau dia dari awal sudah akan menjadi imam maka lebih baik dia meniatkan juga atau memunculkan niat mengimami ini sebelum dia shalat karena sebagian ulama juga berpendapat bahwasanya imam harus meniatkan diri untuk mengimami.

Barangkali sampai disini pertemuan kita kali ini, semoga bermanfaat. Wallāhu ta’ālā a’lam.

وصلى الله على نبيا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+