F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-98 Bab Qashar Shalat Bag. 1

Audio ke-98 Bab Qashar Shalat Bag. 1
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 7 Rabi’ul Awwal 1446 H | 11 September 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-98
https://drive.google.com/file/d/15rMkiM_y6zE5pPSmmi752iDWagmMUXJ-/view?usp=sharing

Bab Qashar Shalat (Bag. 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد
Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Kita lanjutkan kajian kita dari kitab Matnul Ghāyah wat Taqrīb (متن الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā.

Masih pada bab shalat, Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,

فَصْلٌ: وَيَجُوزُ لِلْمُسَافِرِ قَصْرِ الصَّلَاةِ الرُّبَاعِيَّةِ بِخَمْسِ شَرَائِطَ

Pasal tentang shalat qashar dan boleh bagi seorang musafir untuk mengqashar shalat yang memiliki empat raka’at dengan lima syarat.

Seorang musafir yaitu orang yang sedang melakukan perjalanan jauh yang dibolehkan untuk mengqashar shalat yang memiliki empat raka’at yaitu shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’. Ini adalah shalat yang boleh diqashar menurut kesepakatan para ulama.

Dan ada pendapat sebagian ulama di antaranya Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhu bahwasanya dalam kondisi perang dalam kondisi khauf (takut) maka shalat Subuh bisa diqashar menjadi satu raka’at tapi yang masyhur adalah bahwasanya kita hanya boleh mengqashar shalat yang memiliki empat raka’at saja.

Dan dasarnya adalah firman Allāh subhānahu wa ta’ālā,

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ

Dan jika kalian bepergian maka tidak ada dosa atas kalian jika kalian mengqashar atau memperpendek shalat kalian. [QS An-Nisa :10]

Dan dalam sebuah hadits Al-Bukhari Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu beliau mengatakan,

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا، وَالْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dahulu saya shalat Zhuhur bersama Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah sebanyak 4 raka’at dan saya shalat bersama beliau shalat Ashar di Dzul-Hulaifa 2 raka’at saja. (HR Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukan bahwasanya ketika Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam sudah memulai safar beliau maka beliau melaksanakan shalat dua raka’at saja dan ini adalah sesuatu yang terus menerus dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq juga Umar bin Khattab diriwayatkan tidaklah mereka safar kecuali mereka mengqashar shalat mereka.

Karenanya para ulama menyebutkan bahwasanya qashar adalah sunnah. Qashar dalam keadaan musafir itu lebih baik daripada menyempurnakan shalat karena itulah yang senantiasa yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin.

Dan hadits Anas bin Malik ini juga menunjukan bahwasanya seseorang baru dibolehkan untuk mengqashar shalatnya setelah meninggalkan desa atau kota tempat tinggalnya.

Dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam disebutkan baru memulai qashar beliau ketika beliau tiba di Dzul-Hulaifa. Sedangkan ketika beliau masih di Madinah beliau masih shalat 4 raka’at jadi kita baru boleh untuk memulai qashar kita ketika kita sudah berada di luar desa atau kota tempat tinggal kita.

Tapi bolehnya mengqashar shalat yang memiliki empat raka’at bagi musafir ini memiliki lima syarat :

1. Bukan perjalanan maksiat

أَنْ يَكُونَ سَفَرُهُ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةٍ

Hendaknya safarnya dilakukan untuk tujuan selain maksiat bukan dalam suatu safar yang diharamkan oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Seperti safar yang dilakukan untuk berbuat syirik untuk menghadiri peringatan-peringatan bid'ah atau juga dilakukan untuk berzina atau berjudi, ini adalah maksiat kepada Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Dan seorang musafir boleh untuk mengqashar shalatnya dalam safar yang wajib seperti perjalanan haji pertama atau perjalanan untuk membayar utang, juga safar yang sifatnya mustahab atau sunnah yaitu safar untuk haji yang kedua dan seterusnya misalnya, atau safar untuk birrul walidain untuk silaturahim.

Juga safar yang sifatnya mubah seperti berdagang dan berwisata atau bahkan safar yang sifatnya makruh seperti bepergian sendirian, melakukan berjalan jauh secara menyendiri hukumnya makruh. Maka dalam safar yang wajib, sunnah, mubah, dan makruh ini kita dibolehkan untuk mengqashar shalat kita.

Adapun kalau kita melaksanakan suatu safar yang haram yang berisi maksiat kepada Allāh subhānahu wa ta’ālā maka kita tidak boleh mengqashar shalat kita dalam kondisi seperti itu karena kata para ulama

الرُّخْصَةُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي

Rukhshah itu tidak boleh digantungkan dengan maksiat-maksiat.

Tidak boleh kita mengambil rukhshah untuk keringanan sementara kita bermaksiat kepada Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwasanya rukhshah ini bisa diambil oleh semua orang yang musafir karena keumuman ayat dan juga bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara safar yang haram maupun safar yang dibolehkan dalam agama kita.

2. Jarak yang ditempuh mencapai 16 farsakh

وَأَنْ يَكُونَ مَسَافَتُهُ سِتَّةُ عَشَرَ فَرْسَخًا

Hendaklah jaraknya paling tidak 16 farsakh

Atau disebut juga sebagai 4 barid atau perjalanan 2 hari dengan kecepatan sedang atau perjalanan sehari semalam penuh dan kalau dikonversi menjadi ukuran di zaman kita maka ini jaraknya adalah kurang lebih 80 Km

* P bukan PP. Jadi pergi saja adapun pulangnya tidak dihitung.

Nah kalau kita safar dengan jarak minimal 80 Km maka kita boleh untuk mengqashar shalat menurut jumhur ulama. Dan hadits-hadits serta atsar yang diriwayatkan dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau menunjukan bahwasanya ada jarak yang lebih pendek. Memang Ibnu Abbas juga Ibnu Umar radhiyallāhu ‘anhuma dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari secara mu'allaq disebutkan bahwasannya beliau

كَانَ يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِك

Keduanya mengqashar shalat dan tidak berpuasa dalam safar yang jaraknya 4 barid atau lebih dari itu.

Ini adalah salah satu dasar atau dalil yang dipakai oleh jumhur ulama (sebagian besar ulama).

Tapi ada cukup banyak hadits dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan atsar dari para sahabat Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang menunjukan bahwasanya mereka mengqashar shalat di jarak yang lebih pendek, ada yang menyebutkan 50 km (kurang lebih kalau kita konversi menjadi 50 km), ada 30 km, ada yang 15 km bahkan ada yang hanya 5 km saja, yang karenanya sebagian ulama berpendapat bahwasanya yang menjadi patokan adalah ‘urf yaitu adat yang berkembang pada suatu masyarakat.

Kalau mereka menyebut ini adalah safar, maka itu adalah safar yang membolehkan qashar meskipun jaraknya pendek. Dan kalau suatu masyarakat menyebutkan bahwasanya jarak ini bukan jarak safar, perjalanan ini bukanlah safar maka berarti itu bukan safar.

Demikian wallāhu ta’ālā a’lam

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+