🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 16 Shafar 1446H | 21 Agustus 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-160
https://drive.google.com/file/d/1mIddHx9iI0aKG4soQqzTuw9LXSBl3k9G/view?usp=sharingAl-Musaqoh (Kerjasama Penggarapan Ladang) Bagian Ketiga
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Masih bersama Matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja rahimahullahu ta’ala. Dan pada kesempatan ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Musaqoh (المساقاة) yaitu kerja sama dalam penggarapan ladang.
Kalau kita lihat secara fakta di lapangan, betapa banyak orang-orang yang memiliki ladang (perkebunan) yang dia kurang mampu mengelola, karena kesibukan, keterbatasan SDM, keterbatasan pengalaman, dan lain sebagainya, keterbatasan tenaga yang akhirnya menjadikan ladang pertanian tersebut hasilnya kurang maksimal.
Di sisi lain ada pihak-pihak yang dia memiliki skill, tenaga, waktu, memiliki keahlian, memiliki komitmen, keinginan yang kuat untuk bekerja, namun sayang dia tidak memiliki ladang. Adanya kebutuhan dari kedua belah pihak, pemilik ladang, pengelola ini, ketika disinergikan menjadi satu akad Musaqoh tentu ini menyelesaikan dua masalah sekaligus.
Masalah pemilik ladang dan masalah pengelola yang kemudian karena hubungan kedua belah pihak ini bersifat mutualisme saling menguntungkan, maka biasanya kerja sama di antara mereka itu lebih permanen, lebih efektif dibanding bila keduanya mengikatkan diri dengan skema akad sewa menyewa. Sebagai karyawan sebagai kuli.
Karena bagi dia tidak peduli, dia mengikuti apa keinginan penyewa atau keinginan pemilik pekerjaan. Urusan berhasil atau tidak berhasil bukan tanggung jawab dia. Sehingga dalam akad Musaqoh ini terdapat banyak maslahat, banyak kelebihan yang tidak ditemukan pada skema kerja sama dengan akad Ijarah (akad sewa menyewa).
Karenanya sekali lagi! Adanya Musaqoh ini lebih berkah, lebih halal dan lebih fair, lebih adil dan ini bisa dijadikan sebagai satu percontohan, satu pola kerja sama, bukan hanya dalam pengelolaan ladang, bisa jadi dengan pengelolaan gedung (bangunan), bisa jadi pengelolaan lahan kosong untuk disewakan atau digunakan untuk lahan parkir misalnya, atau rumah untuk dijadikan kos-kosan, atau kendaraan untuk dijadikan alat transportasi dan lain-lainnya.
Kemudian dari hasil pengelolaan tersebut, hasilnya dibagi antara pihak pemilik barang dengan pengelola sesuai dengan prosentase yang disepakati.
Al-Muallif rahimahullahu ta'ala mengawali pembahasan ini dengan mengatakan:
والمساقاة جائزة على النخل والكرم
"Skema kerja sama musaqoh itu dibolehkan pada dua jenis tanaman yang pertama النخل (kebun kurma), dan yang kedua adalah الكرم (kebun anggur).”
Apa yang menjadikan dua tanaman ini menjadi spesial sehingga menjadi objek akad Musaqoh? Karena kedua tanaman ini buah-buahannya tampak dengan jelas (bergelayutan), sehingga akan terjadi transparasi ketika nanti musim panen tiba.
Adapun tanaman-tanaman lain seperti mangga, jeruk dan yang serupa, maka buah-buahannya itu sering kali tertutup dengan daun-daunan (terhalang oleh daun-daunan) sehingga sangat sulit untuk terjadi transparasi dalam penentuan hasil panen, dan kemudian nanti pembagian hasil panen akan memunculkan celah terjadinya su'udzhan.
Pengelola merasa dia sudah maksimal, pemilik ladang mungkin mengatakan, "Loh bukankah buahnya banyak? koq hasilnya cuma sekian?".
Kenapa? Karena masih banyak buah-buahan yang tidak tampak, atau sebaliknya. Namun sekali lagi ketika ditanya lebih lanjut, adakah dalil yang membatasi musaqoh pada dua jenis tanaman ini?
Maka jawabannya tidak ada ayat atau pun hadìts ataupun ijma yang dengan tegas melarang penerapan kerja sama musaqoh ini pada tanaman selain kurma dan angur. Dan praktik di masyarakat menguatkan apa yang dinyatakan dalam madzhab lain bahwa musaqoh itu bisa dikelola bukan hanya pada kurma dan anggur atau yang sejenis, tetapi pada tanaman-tanaman yang lain.
Masyarakat ada kerja sama pada pengelolaan ladang kopi, ada karet, ada sawit, ada jeruk, ada mangga, dan yang lainnya. Masyarakat kita terbiasa dengan pola kerja sama semacam ini. Sebagaimana terbiasa pola kerja sama menyerahkan kendaraan untuk operasional, untuk angkutan, dan lain sebagainya, dan kemudian hasilnya dibagi berdua.
Ini membuktikan bahwa secara aplikasi masyarakat, sampaipun yang berafiliasi kepada madzhab Imam Asy-Syafi'i ternyata mereka juga tidak seratus persen menerapkan tuntunan atau referensi madzhab Imam Syafi'i, namun hubungan masyarakat yang terbuka.
Interaksi lintas madzhab menjadikan ada terjadi praktik take and give walaupun afiliasi madzhab Syafi'i namun ternyata mereka membuka diri untuk menerima pendapat yang diajarkan dalam madzhab Al-Maliki, karena lebih relevan, lebih sesuai dengan kebutuhan, dan menyelesaikan banyak masalah yang terjadi di masyarakat.
Ini yang bisa Kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment