🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 15 Shafar 1446H | 20 Agustus 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-159
https://drive.google.com/file/d/1koWxBdLC-NU159RO_tMEPvwVjaa47Cpi/view?usp=sharingAl-Musaqoh (Kerjasama Penggarapan Ladang) Bagian Kedua
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Masih bersama Matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja rahimahullahu ta’ala. Dan pada kesempatan ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Musaqoh (المساقاة) yaitu kerja sama dalam penggarapan ladang.
Dalam kasus ini pemilik ladang, pemilik perkebunan, menyerahkan kebunnya untuk dikelola, dirawat, dibudidayakan, ataupun diupayakan agar bisa menghasilkan hasil panen yang lebih banyak yang kemudian pada akhirnya ketika musim panen tiba, mereka berbagi hasil. Ini yang disebut dengan Musaqoh. Dan ini menjadi satu model kerja sama.
Sebagian ulama terutama yang berafiliasi kepada madzhab Maliki, madzhab Hambali, mereka berpendapat bahwa akad Musaqoh ini bisa dikembangkan kembali. Dijadikan satu percontohan kerja sama antara kedua belah pihak yang salah satu pihak sebagai pemilik barang (pemilik harta), yang kedua adalah pengelola, baik itu ladang perkebunan yang mengelola tanaman yang produktif ataupun menyerahkan barang.
Misalnya; hotel untuk dikelola, rumah untuk disewakan, kendaraan untuk digunakan sebagai alat transportasi atau angkutan, yang kemudian ketika mendatangkan hasil, hasilnya itu dibagi antara pemilik barang dengan pengelola sesuai dengan prosentase yang disepakati.
Itu semua menurut madzhab Maliki, madzhab Hambali, itu bisa dianalogikan dengan akad Musaqoh.
Walaupun perlu dicatat dan digarisbawahi di sini! Bahwa dalam literasi madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i kerjasama-kerjasama semacam ini hukum asalnya terlarang. Dibolehkan hanya dalam ruang yang sempit. Musaqoh boleh, namun itu dibolehkan karena adanya tuntutan, tuntutan kebutuhan sehingga Musaqoh ini tidak bisa dijadikan sebagai pijakan untuk kemudian membolehkan akad-akad lain yang serupa. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai;
أصل يقيس عليه
Sebagai satu model kerja sama yang kemudian diperluas aplikasinya.
Sehingga dalam literasi madzhab Imam Asy-Syafi'i seperti yang akan kita baca pada keterangan Imam Abu Syuja, kita akan dapatkan penerapan dari akad Musaqoh ini sangat sempit sehingga tidak bisa diperluas.
Kenapa? Karena ada satu alasan yang sangat mendasar.
Dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i dan juga madzhab al-Imam Abu Hanifah mereka mengasumsikan bahwa akad Musaqoh, kerja sama pengelolaan ladang atau perkebunan ini, itu aslinya atau asal usulnya adalah akad sewa menyewa.
Di mana pemilik ladang menyewa jasa pengelola untuk mengelola ladangnya, kebunnya dan kemudian diberi upah, namun upahnya dalam bentuk prosentase dari hasil panen.
Hukum asalnya pola sewa menyewa semacam ini tidak boleh. Kenapa? Karena pengelola bisa jadi berhasil bisa jadi gagal, sehingga ini ada unsur gharar. Namun ternyata pengasumsian atau menganggap Musaqoh sebagai salah satu model akad ijarah (sewa-menyewa) ini tentu kurang tepat.
Sebagai salah satu indikasi bahwa penganalogian akad Musaqoh, pengelolaan ladang perkebunan ini tidak tepat kalau dianggap sebagai skema sewa menyewa, adalah apa yang dilakukan oleh Al-Muallif di sini yaitu Imam Abu Syuja.
Di mana beliau dalam sistematika pengurutan masalahnya (pengurutan bab/penyusunan bab) dalam kitab ini beliau meletakkan pembahasan tentang Musaqoh setelah pembahasan tentang Mudharabah, yang itu menggambarkan bahwa antara Mudharabah dengan Musaqoh itu ada kesamaan.
Dua akad ini adalah dua akad yang satu rumpun, bukan sebagai sewa menyewa tetapi itu sebagai salah satu model dari syarikat dagang. Karenanya wallahu ta'ala a'lam secara tinjauan dalil dan aplikasi apa yang dinyatakan dalam madzhab Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal itu lebih relevan, lebih cocok dengan praktik masyarakat.
Dan juga lebih relevan dengan dalil-dalil yang ada, karena hukum asal perniagaan, hukum asal perjanjian kerja sama itu adalah halal sampai ada dalil yang melarang. Dan mengasumsikan bahwa akad Musaqoh itu adalah turunan dari akad sewa menyewa ini tidak tepat.
Kenapa? Karena kedua belah pihak pengelola dalam akad Musaqoh dia tidak sedang menjual jasanya sebagaimana pemilik ladang dia juga tidak sedang membeli jasa tetapi kedua belah pihak memiliki kesamaan yaitu ingin mendapatkan hasil, bukan jual jasa, bukan membeli jasa.
Berbeda dengan sewa menyewa, sewa menyewa itu jual-beli jasa. Urusan berhasil tidak berhasil, pemilik jasa atau penjual jasa tidak peduli. Sebagaimana pembeli jasa dalam akad jual-beli jasa juga tidak mengharuskan adanya hasil.
Kenapa? Karena yang menjadi objek akad sewa menyewa atau jual-beli jasa adalah jasanya, urusan panennya melimpah atau tidak melimpah, gagal panen atau tidak gagal panen, penjual jasa tidak peduli. Berbeda dengan akad Musaqoh.
Akad Musaqoh kedua belah pihak bertujuan untuk mendapatkan bagian dari hasil panen, bukan jual jasa atau membeli jasa. Dan secara semangat pengelola dalam akad Musaqoh tentu akan lebih berdedikasi untuk bekerja, berimprovisasi, berusaha melakukan hal yang terbaik agar ladangnya menghasilkan panen yang lebih banyak (ada rasa memiliki).
Di sisi lain pula, bahwa pemilik ladang juga tidak terbebani dengan upah, tidak berpikir dia akan memberi upah, yang dia pikir adalah hasil panennya akan dibagi dua.
Dan selanjutnya yang akan menjadi alasan bahwa menganalogikan akad Musaqoh pengelolaan ladang dengan akad Ijarah (jual beli jasa) ini tidak tepat adalah karena dalam akad Musaqoh, jasa atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengelola itu tidak bisa dideskripsikan dalam poin-poin yang baku.
Karena apa? Karena memang pemilik ladang memberikan kelapangan, selapang-lapangnya kepada pengelola untuk melakukan yang terbaik agar ladangnya bisa menghasilkan hasil panen yang lebih maksimal. Dan kemudian pemilik ladang juga tidak berkeinginan bahkan juga tidak mampu untuk memberikan batasan hasil yang akan dia berikan kepada pengelola.
Ini semuanya membuktikan bahwa menganalogikan akad Musaqoh dengan akad Ijarah ini kurang tepat.
Yang lebih tepat adalah akad Musaqoh ini satu model akad yang berdiri sendiri, tidak bisa dijadikan atau dianggap sebagai akad turunan dari akad Ijarah. Tapi itu adalah akad yang mustaqil, dan kalau pun ingin diklasifikasikan, maka mengklasifikasikan akad Musaqoh sebagai bagian dari akad Musyarakah. Kerja sama permodalan, kerja sama perdagangan. Itu lebih tepat.
Karenanya sebagian ulama menyatakan bahwa akad Musaqoh, akad Muzara'ah, akad Mudharabah bagi hasil, itu lebih adil, lebih fair, lebih baik, lebih berkah, dibanding akad Ijarah. Karena dalam akad Ijarah sering kali kedua belah pihak tidak memiliki dedikasi yang cukup.
Penjual jasa dia tidak peduli panen tidak panen, berhasil tidak berhasil, yang penting dia menjalankan apa yang diinginkan oleh penyewa. Sebagaimana penyewa juga tidak peduli, tidak memiliki semangat untuk memberikan yang terbaik.
Karena apa? Karena dia telah berkomitmen memberikan upah yang tetap sehingga hasil yang melimpah atau tidak melimpah dia juga tidak peduli yang penting dia memberi upah sesuai yang disepakati.
Tentu ini satu kondisi yang jauh berbeda dibanding akad Musaqoh. Karena itu sekali lagi, sebagian ulama mengatakan akad Musaqoh itu lebih adil dan lebih fair, lebih halal, lebih berkah dibanding akad sewa menyewa.
Ini yang bisa Kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment