🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 23 Shafar 1446H | 28 Agustus 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-165
https://drive.google.com/file/d/1qEvhdo0ZlC-fkVhAe852t4LmSEMAFOkl/view?usp=sharingIjaroh (Sewa Menyewa) Bagian Kedua
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, kita sampai pada pembahasan tentang Ijaroh atau yang dikenal dengan sewa menyewa.
Ketika muallif mengatakan صحتْ alias sah, sah disewakan. Ketika suatu akad dikatakan sah secara hukum, maka ketahuilah bahwa kata-kata sah secara hukum itu memiliki arti yang sangat dalam.
Dalam literasi ilmu fiqih, suatu amalan suatu akad dikatakan sah, maka itu artinya adalah amalan tersebut akan menghasilkan konsekuensinya.
Kalau itu ibadah maka kata sah artinya adalah menggugurkan kewajiban sehingga Anda yang menjalankan ibadah itu tidak lagi dituntut untuk mengulangnya atau melakukannya lagi, dan Anda juga tidak lagi disiksa, tidak lagi diadzab, tidak lagi dicela karena Anda telah menunaikan kewajiban. Itu yang disebut dengan kata sah.
Kalau itu dalam satu akad muamalah, maka juga arti kata sah artinya adalah konsekuensi hukumnya menjadi nyata kalau itu jual-beli, maka akan menghasilkan perpindahan barang dari penjual kepada pembeli. Memindahkan kepemilikan uang dari pembeli kepada penjual.
Kalau itu akad sewa-menyewa maka arti dari kata sah, artinya adalah penyewa setelah akad sewa berhak untuk memanfaatkan, mengambil hak guna barang yang dia sewa dengan cara yang telah disepakati dan dalam tempo waktu yang telah disepakati.
Dan atas pemanfaatan itu, penyewa berkewajiban untuk membayarkan uang sewa sejak akad itu dinyatakan sah. Maka penyewa berkewajiban segera menyerahkan uang sewa kepada pemilik barang.
Ini arti kata sah, sebagaimana perlu dipahami pula, dan ini sudah sering kita sampaikan bahwa hukum sah atau yang di dalam bahasa dikatakan shahih (benar), itu adalah satu dari sekian bentuk hukum wadh'i atau yang sering dikenal di masyarakat dengan hukum sebab akibat.
Artinya karena ada satu tindakan, satu kesepakatan sewa-menyewa, maka akibatnya penyewa berkewajiban membayar uang sewa dan dia berhak menggunakan barang yang dia sewa.
Sebagaimana pemilik barang berkewajiban menyerahkan barang yang dia sewakan untuk dimanfaatkan oleh penyewa, dan sebagai imbalannya dia berhak untuk mendapatkan uang sewa. Ini yang disebut dengan hukum wadh'i.
Ketika Anda melakukan satu dari sekian opsi membeli atau menyewa atau meminjam, Anda harus tunduk dengan ketentuan hukum sebab akibat, atau yang disebut dengan hukum wadh'i yaitu Anda harus memenuhi kriteria, keabsahan suatu akad.
Karena ketika Anda menjalankan akad dengan cara-cara yang menyimpang, dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syari'at maka Anda bisa jadi terjerumus ke dalam pelanggaran yang itu nanti akan menghasilkan satu kesimpulan hukum baru yaitu hukum halal dan haram.
Seperti halnya dalam akad sewa-menyewa, ketika Anda menyewakan barang yang tidak bisa dimanfaatkan secara syari'at bahkan tidak boleh dimanfaatkan.
Karena apa? Karena barang tersebut haram atau manfaatnya haram. Anda akan berdosa. Kenapa? Karena Anda menyewakan sesuatu yang terlarang, sehingga bukan sekedar tidak sah Anda berdosa.
Tetapi ketika Anda menjalankan akad ini sesuai dengan ketentuan syari'at, maka Anda tidak berhak mendapatkan pahala dan juga tidak mendapat dosa. Yang terjadi hanya sebatas sah (halal), yang terjadi hanya halal.
Tetapi ketika Anda menjalankan akad ini dengan cara-cara yang menyimpang, melanggar aturan maka tidak cukup Anda, "Ya, sudah", begitu saja tidak! Anda berdosa.
Sehingga di sini tidak akan dipahami bahwa terjadi hubungan yang erat antara hukum taklifi (hukum halal haram) dengan hukum sebab akibat.
Kenapa demikian?
Karena walaupun berbagai aktifitas yang itu hukum asalnya adalah boleh. Berbagai tindakan yang bertujuan untuk menuruti hasrat serta keinginan manusia, tetapi bukan berarti manusia boleh mengeksplorasi nafsu, selera dan keinginannya sesuka hati.
Dia ketika ingin menjalankan, ingin memenuhi keinginan hasrat dan kemauannya, dia tetap harus menjalankannya, memenuhinya dengan cara-cara yang benar, tidak boleh melanggar aturan syari'at.
Sehingga sesuatu yang tidak boleh disewakan, tidak boleh disewakan. Seperti Anda misalnya menyewakan masjid kepada orang yang ingin shalat, maka ini haram hukumnya. Harta yang Anda dapatkan haram.
Sebagaimana seorang wanita ketika melakukan pekerjaan yang itu tidak boleh dilakukan. Wanita menjual jasa berupa misalnya, melakukan suatu tindakan yang haram, karena berinteraksi dengan lawan jenis.
Misalnya seorang wanita menjalankan terapi akupuntur pasiennya laki-laki, sehingga dia akan bersinggungan dengan lawan jenis, maka ini hukumnya haram karena ini telah melanggar aturan syari'at.
Atau wanita menyewakan kecantikannya untuk dijadikan sebagai foto model, ini haram karena manfaat kecantikan bukan untuk dieksplorasi, dimanfaatkan, disewakan, namun untuk disuguhkan, diberikan kepada suami.
Bukan karena tidak ada nilainya. Karena nilainya terlalu mahal tidak mungkin bisa dibayar dengan dunia beserta isinya. Sehingga hanya suamilah yang bisa dan boleh dan yang mampu memberikan imbalannya.
Seperti yang disabdakan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
"Kalau seorang wanita itu telah menunaikan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya, 'Silakan engkau masuk ke dalam surga dari pintu manapun yang engkau suka." [HR Ahmad: 1573]
Subhanallah, itulah alasan kenapa wanita tidak boleh menjual manfaat kecantikannya kepada orang lain, dia hanya boleh memberikannya kepada suaminya.
Ini yang bisa Kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment