🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 18 Shafar 1446H | 23 Agustus 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-162
https://drive.google.com/file/d/1nN-n2UtUq0sHWPZJEdfNj8shJ8u_VvA_/view?usp=sharingAl-Musaqoh (Kerjasama Penggarapan Ladang) Bagian Kelima - MODEL KEDUA
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama tema al-Musaqoh (المساقاة) yaitu kerjasama dalam pengelolaan ladang.
Al Muallif rahimahullahu ta'ala mengatakan,
2) menetapkan berapa persen dari keuntungan atau hasil yang akan diberikan kepada pengelola
وَ الثَّانِيْ أَنْ يُعَيِّنَ (ويشترط) لِلْعَامل جزءاً معلوماً من الثمرة.
Dan di antara ketentuan yang harus ditetapkan dalam akad Musaqoh (dalam perjanjian akad Musaqoh) adalah menetapkan berapa persen dari keuntungan atau hasil yang akan diberikan kepada pengelola.
Alias ketika terjadi kerjasama ini harus ada penegasan secara jelas berapa persenkah hak pengelola dari hasil panen yang akan didapat. Sekali lagi hak pengelola harus ditegaskan berapa persenkah dari hasil panen yang diperoleh.
Kenapa demikian? Karena memang ini adalah tema inti maksud utama dari adanya kerjasama Musaqoh yaitu adanya pembagian hasil panen dari ladang yang akan diberikan kepada siapa? Diberikan kepada pengelola.
Adapun hak pemilik ladang maka akan bersifat otomatis, kalau telah disepakati antara kedua belah pihak bahwa pengelola akan mendapatkan sepertiga maka sisanya itu akan bersifat otomatis menjadi milik siapa? Menjadi milik, pemilik ladang atau hak pemilik ladang.
Adapun pengelola maka hak dia hanya ditentukan oleh klausul kesepakatan, sedangkan pemilik ladang maka dia memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari hasil panen bukan karena adanya kesepakatan tetapi karena dia berstatus sebagai pemilik ladang
Dan dalam kaidah dikatakan,
من مالك أصل مالك ما تفرع منه
Siapapun yang memiliki aset (suatu asset) maka dia juga memiliki hak atau berstatus sebagai pemilik pula atas pertambahan nilai, pertambahan yang terjadi pada aset tersebut.
Seorang yang memiliki pohon maka dialah pemilik buah, seorang yang memiliki ladang maka dialah yang berhak mendapatkan dan memiliki apa? Apapun yang dihasilkan ladang tersebut. Sehingga dalam perjanjian akad Musaqoh harus ada kesepakatan berapakah hak yang akan didapat oleh pengelola.
Adapun berapakah bagian share dari keuntungan atau dari hasil panen yang akan didapat oleh pemilik ladang, maka tidak perlu ditentukan. Tidak harus ditentukan karena itu akan bersifat otomatis, sisa dari yang akan diberikan kepada pengelola itu secara otomatis akan menjadi milik pemilik ladang.
Tetapi ketika dalam perjanjiannya ada kesepakatan bahwa pemilik ladang akan mendapatkan separuh dari hasil panen sedangkan pengelola tidak disebutkan berapa hak dia, maka di sini perjanjian yang semacam ini tidak sah.
Kenapa? Karena pemilik ladang sejatinya tidak perlu disebutkan berapa hak dia karena dia berhak mendapatkan hasil panen bukan karena adanya persyaratan (kesepakatan) tetapi karena dia berstatus sebagai pemilik ladang.
Sehingga dia berhak memiliki, menikmati dan mendapatkan keuntungan ataupun hasil dari ladang tersebut. Sedangkan pengelola dia menjadi berhak untuk ikut mendapatkan bagian dari hasil panen karena adanya persyaratan.
Dengan demikian ketika tidak ada persyaratan, maka ini menimbulkan masalah, yaitu pengelola tidak dijelaskan apa yang akan dia peroleh, karena bisa jadi pemilik ladang disepakati berhak mendapatkan separuh hasil panen dan kemudian bisa jadi sepertiganya akan dihibahkan kepada pihak ketiga, tidak serta merta bahwa sisanya itu akan menjadi milik pengelola.
Karenanya pengelola, hak atau bagian dari panennya itu harus dituangkan dalam klausul kesepakatan yang jelas, tidak boleh diabaikan. Adapun hak atau bagian pemilik ladang itu disebutkan itu bagus, tidak disebutkan juga tidak masalah karena dia akan bersifat otomatis.
Hal ini sejalan dengan praktek Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam ketika beliau menjalin kerja sama dengan orang-orang Yahudi dalam pengelolaan ladang negeri Khaibar. Nabi memberikan persyaratan atau memberikan komitmen kepada mereka؛
عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ولهم شَطْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا.
Nabi membuat kesepakatan bahwa Yahudi Khaibar akan mengelola ladang yang ada di negeri Khaibar yang telah dikuasai oleh kaum muslimin dengan biaya mereka sendiri, kalau memang butuh pupuk, kalau memang butuh peralatan maka itu akan dibeli atau diadakan dengan dana orang Yahudi.
Mereka tidak punya hak untuk meminta agar Nabi menyediakan alat-alat untuk penggarapan ladang.
Ketika butuh cangkul maka mereka garap dengan cangkul mereka sendiri, kalau mereka butuh sabit maka mereka gunakan sabit mereka sendiri
عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ،
Memang kesepakatannya demikian, yaitu dengan ketentuan orang-orang Yahudi menggarap ladang milik Nabi dengan biaya dari mereka sendiri.
Mereka yang menanggung biaya operasionalnya, biaya perawatannya, karena secara de facto kalau ladang itu sudah tumbuh, sudah besar apalagi sudah mulai produktif maka biasanya modal untuk operasional pengelolaan ladang itu tidak begitu banyak, tidak perlu banyak modal.
Karena paling yang dibutuhkan cangkul, sabit untuk menyiangi, membuang gulma, memotong dahan yang kering (misalnya) dan untuk mengalirkan (merawat) parit.
Sedangkan pupuk maka zaman dahulu mereka menggunakan pupuk kandang, dan para petani biasanya memiliki hewan ternak yang kemudian dari pupuknya tersebut akan digunakan untuk memupuk ladang, dan itu tidak ada nilainya, tidak dinilai, tidak diperdagangkan pada zaman dahulu.
Sehingga ketika Nabi bersyarat,
عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ،
Orang Yahudi mengelola ladang Nabi dengan mereka menanggung biaya operasional.
ولهم شَطْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
Dan sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan separuh dari hasil panen.
Ini yang bisa kami sampaikan kurang lebihnya mohon maaf.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment