F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-161 Al-Musaqoh (Kerjasama Penggarapan Ladang) Bag. 04 - MODEL PERTAMA

Audio ke-161 Al-Musaqoh (Kerjasama Penggarapan Ladang) Bag. 04 - MODEL PERTAMA
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 17 Shafar 1446H | 22 Agustus 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-161
https://drive.google.com/file/d/1mJdzdZc4RkmxBaKuaHzDMgJ8nEfPR9U5/view?usp=sharing

Al-Musaqoh (Kerjasama Penggarapan Ladang) Bagian Keempat - MODEL PERTAMA

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Masih bersama tema al-Musaqoh (المساقاة) yaitu kerjasama dalam pengelolaan ladang.

Para ulama telah bersepakat bahwa akad Musaqoh (kerjasama dalam pengelolaan dan perawatan ladang) dengan ketentuan hasilnya nanti dibagi dua antara pemilik ladang dengan pengelola sesuai dengan prosentase yang telah disepakati. Ini adalah suatu yang telah disepakati di kalangan para ulama.

Dan bahkan Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam telah menerapkannya, ketika beliau menyerahkan ladang milik beliau, milik umat Islam yaitu Negeri Khaibar (ladang yang ada di negeri Khaibar) untuk dikelola dan digarap oleh orang-orang Yahudi, dan kemudian,

بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Al-Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan,

عَامَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

"Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam menjalin kerjasama dengan orang-orang Yahudi agar mereka mengelola ladang milik Nabi dengan kesepakatan, mereka akan mendapatkan separuh dari hasil panen yang didapat.”

Ini adalah suatu kesepakatan dan ini mencerminkan akan indahnya syariat Islam, karena bisa jadi seseorang memiliki ladang yang sangat luas atau memiliki ladang yang dia tidak lagi mampu untuk mengelolanya.

Maka pilihannya antara dia biarkan ladang tersebut rusak, tidak terkelola dengan baik, tidak terkelola dengan maksimal, atau dia percayakan kepada orang lain untuk dikelola (digarap), dan kemudian hasilnya nanti dibagi dua sesuai dengan prosentase yang telah disepakati.

Ini mencerminkan Islam yang begitu indah dan skema kerjasama semacam ini kemudian oleh para ulama dijadikan sebagai acuan, sebagai pilot project (sebagai percontohan) adanya kerjasama antara kedua belah pihak, antara dua belah pihak, satu pemilik aset, yang kedua adalah pengelola.

Seperti yang telah disampaikan bahwa bisa jadi, anda memiliki gedung, memiliki properti, memiliki kendaraan atau mesin yang anda tidak lagi mampu atau tidak lagi bisa maksimal untuk mengelolanya dan memanfaatkannya.

Dan kemudian anda percayakan kepada pihak lain, yang kemudian mereka akan mengelolanya (menjalankannya), sehingga nanti pada saatnya ketika telah didapat hasil dari pengelolaan aset tersebut kemudian ada pembagian keuntungan atau profit sharing sesuai dengan prosentase yang disepakati.

Dan ini menurut pendapat yang lebih kuat, sebagaimana digambarkan (difatwakan) oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal bahwa ini dibenarkan sebagai aplikasi pengembangan dari skema kerja sama dalam akad Musaqoh.

Dan praktek masyarakat, sampaipun di tengah masyarakat yang bermadzhab Syafi'i menerapkan skema kerjasama semacam ini.

Betapa banyak kita temui misalnya pemilik gedung hotel yang ternyata dia tidak mengelola sendiri. Kita lihat dengan jelas-jelas dioperasikan oleh perusahaan A. Padahal gedung milik si B, sehingga dari hasil kerjasama ini akan ada profit sharing (pembagian keuntungan).

Dan ini secara hukum, baik secara hukum positif atau secara hukum syariat adalah suatu hal yang dibolehkan karena inilah interaksi mutualisme (saling menguntungkan) kedua belah pihak. Dan hukum asal setiap akad itu adalah halal.

Kemudian Al Muallif Rahimahullah ta'ala, Al Imam Abu Syuja' lebih jauh menjelaskan tentang hukum-hukum dalam skema kerja sama Musaqoh.

Beliau mengatakan,

وَلَهَا شَرْطَانِ (وَجْهَانِ) أَحَدُهُمَا أَنْ يُقَدِّرَهَا بِمُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ

Skema kerjasama Musaqoh (penggarapan ladang) ini ada dua model:


1) Kedua belah pihak membatasi kerjasamanya dalam waktu tertentu.

Misalnya, “Akan saya serahkan atau ladang ini saya percayakan kepada Anda untuk dikelola selama 5 tahun dan hasilnya dibagi fifty-fifty, separuh untuk pemilik ladang, separuh untuk pengelola”.

Namun demikian pada kesepakatan ini ada batasan waktu, berapa lama mereka bekerja sama. Sehingga dari konsekuensi tekstual akad tersebut setelah 5 tahun, berarti kerjasama di antara mereka telah berakhir. Ini model pertama.

Para ulama dalam madzhab Syafi'i mengatakan, bahwa yang kerjasama semacam ini yang ada batasannya ini dijelaskan oleh para ulama, ini dibolehkan bahkan mereka memberikan ketentuan lebih lanjut, bahwa batas waktu tersebut tidak boleh terlalu panjang. Sebagian ulama mengatakan maksimal 10 tahun, maksimal ada yang mengatakan 9 tahun, ada lebih ada kurang.

Intinya ada satu penjelasan dari para penganut madzhab Syafi'i bawah skema musaqoh itu tidak boleh dijalankan secara open alias kita kerjasama pengelolaan sampai Masya Allah, tanpa batas waktu. Ini tidak boleh, kenapa? Karena ini berpotensi menimbulkan gharar (ketidakpastian) hukum.

Kenapa demikian? karena akad Musaqoh skema musaqah (penggarapan ladang) ini bersifat tidak mengikat.

Dengan demikian ketika tidak ada batasan waktu, apalagi batasan waktunya itu sangat panjang. Misalnya, 50 tahun, 40 tahun, 30 tahun, minimal misalnya, ini akan menjadikan seakan-akan penggarap itu sebagai pemilik, menimbulkan kesan bahwa dia adalah pemilik.

Dan ini suatu hal yang tidak sesuai dengan fakta. Ada image memungkinkan adanya kesan yang itu palsu, kesan yang tidak benar. Namun ketika kita kaji lebih lanjut, adakah dalil yang membatasi bahwa akad Musaqoh itu tidak boleh dalam waktu yang lama, maksimal hanya 10 tahun.

Maka jawabannya yang didapat hanya sebuah fakta, bahwa kerjasama antara Nabi (kaum muslimin) dengan Yahudi dalam pengelolaan ladang Khaibar ternyata tidak lebih dari 10 tahun.

Karena setelah 10 tahun, ketika telah berumur sepuluh tahun ternyata Khalifah Umar Bin Khattab membuat satu keputusan, untuk mengakhiri kerjasama tersebut dan kemudian meminta/memerintahkan kepada Yahudi, orang-orang Yahudi untuk keluar dari wilayah Jazirah Arab.

Inilah batas maksimal. Inilah fakta terlama dari kerjasama yang pernah terjadi di zaman Nabi dan juga di zaman para sahabat.

Kemudian itu dijadikan sebagai acuan sehingga tidak boleh mereka berfatwa, tidak boleh membuat kerjasama Musaqoh lebih dari 10 tahun. Dalil ini kurang begitu kuat karena suatu batasan itu hanya boleh ditetapkan berdasarkan dalil yang bersifat tekstual.

Adapun praktek Nabi yang secara de facto hanya berjalan sekitar 10 tahun maka itu hanya faktor kebetulan saja, bukan batasan maksimal. Bahkan dalam perjanjian kerjasama antara Nabi dengan Yahudi Khaibar, ada satu petunjuk yang bisa dijadikan sebagai dalil bahwa tidak ada batasan dalam hal akad Musaqoh, boleh lebih dari 10 tahun.

Karena pada hadits tersebut, Nabi bersyarat, salah satu klausul kesepakatan antara Nabi dengan Yahudi (orang-orang Yahudi kala itu) adalah;

نُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ

Katanya, "kerjasama ini akan terus berlangsung sampai batas waktu yang Allah kehendaki". [HR Bukhari: 2568]

Pada hadits ini tidak ada batasan waktu 10 tahun bahkan secara tekstual Nabi mengatakan bahwa,

نُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ

Kita akan terus bekerjasama semacam ini sehingga kalian tetap tinggal di negeri Khaibar menggarap ladang Khaibar sampai batas waktu yang Allah kehendaki.

Ini tidak ada batasan waktu, apalagi kalau didukung dengan kaidah asal bahwa hukum asal dalam akad muamalah secara umum atau akad Musaqoh secara khusus itu hukum aslinya adalah halal sehingga kita sepatutnya berpegang dengan kaidah umum ini.

Karena itu Wallahu ta'ala a'lam, pendapat yang lebih kuat, tidak ada dalil yang cukup kuat untuk menetapkan bahwa batas maksimal kerjasama dalam Musaqoh itu hanya sepuluh tahun

Dengan demikian kalau ternyata secara de facto ada kerjasama Musaqoh pengelolaan ladang lebih dari 10 tahun maka hukum asalnya kita tidak punya kuasa, tidak punya wewenang atau tidak punya dalil yang melarangnya.

Sehingga idealnya sepatutnya kita restui kita katakan itu satu kesepakatan yang halal selama itu tidak bertentangan dengan dalil yang nyata dan dalam masalah ini tidak ada dalil yang betul-betul valid, betul-betul kuat yang kemudian membatasi tempo kerjasama akad Musaqoh.

Dengan demikian kita dapat pahami bahwa model kerjasama akad Musaqoh itu, karena sekali lagi akad Musaqoh itu bersifat akad yang tidak mengikat alias kedua belah pihak boleh secara sepihak mengakhiri kerjasama, mengakhiri kesepakatan, selama pemutusan kerjasama ini tidak menimbulkan, tidak berkonsekuensi terjadinya kerugian atau madharat atau mencelakakan pihak kedua.

Ketika terjadi hal-hal yang menyebabkan atau berpotensi merugikan pihak kedua maka tentu ini yang perlu dianulir atau perlu direvisi, agar pembatalan ini tidak berdampak pada apa? Timbulnya kerugian pada pihak kedua.

Ini yang bisa kami sampaikan kurang dan lebihnya mohon maaf

السلام عليكم ورحمه الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+