Kisah Hizbullah bag. 1
Oleh: Dr. Ragheb As Sirjani
Di antara sepak terjang yang paling mengagumkan bagi mayoritas kaum muslimin, khususnya beberapa tahun belakangan ini adalah sepak terjang Hizbullah dan pemimpinnya: Hasan Nasrallah. Hasan Nasrallah bahkan dijuluki oleh majalah Newsweek Amerika Serikat sebagai tokoh yang paling kharismatik di dunia Islam, plus yang paling berpengaruh bagi mayoritas kaum muslimin.
Pun demikian, ulama dan cendekiawan muslim memiliki pendapat yang bermacam-macam dan bertolak belakang dalam menilai Hizbullah dan Hasan Nasrallah sebagai pemimpinnya. Di antara mereka ada yang membelanya mati-matian hingga menjuluki Nasrallah sebagai Khalifah kaum muslimin. Tapi ada pula yang menyerangnya habis-habisan hingga mengeluarkan Hizbullah dari Islam secara keseluruhan, dan masih puluhan pendapat lagi yang berkisar di antara dua penilaian tadi.
Lantas di manakah kebenaran yang sesungguhnya dalam masalah ini? Bolehkah kita berbangga dengan sepak terjang Hizbullah selama ini? Pantaskah kita menganggapnya sebagai lambang kebanggaan, ataukah kita harus peringatkan orang-orang akan bahayanya? Dan bolehkan kita mengikuti gerakan ‘bungkam mulut’ yang dianjurkan oleh banyak kaum muslimin, dengan mengatakan: “Apa perlunya mengungkit-ungkit masalah ini sekarang?”, ataukah ‘bungkam mulut’ tadi ada artinya, mengingat peristiwa yang terus berlanjut dan masalah-masalah yang makin ruwet… dan Anda tahu bahwa orang yang mengacuhkan kebenaran seperti syaithan yang tuli?!
Sebagaimana yang biasa kami lakukan dalam tulisan-tulisan kami sebelumnya, untuk memahami sesuatu, kita harus menelusuri asal-usulnya. Kita harus menyimak kisah ini dari awalnya, dan harus tahu bagaimana Hizbullah tiba-tiba berdiri? Dalam kondisi apa ia muncul? Dan kita harus tahu kisah pendirinya, akidahnya, cara berfikir mereka, impian mereka, target mereka dan sarana yang mereka pergunakan untuk mewujudkannya. Ketika itulah kita akan tahu banyak hal yang selama ini tersembunyi. Kita akan menggunakan akal untuk mengarahkan perasaan dan sikap kita, sebab bisikan akal akan berbeda sama sekali dengan bisikan perasaan.
Bagaimana Berdirinya Hizbullah?
Hizbullah berdiri di negara Lebanon. Negara ini memiliki karakter spesial yang berbeda dengan seluruh negara di dunia. Ia merupakan negara multi golongan yang aneh bentuknya, sebab dataran Lebanon dihuni oleh sekitar 18 sekte agama yang semuanya diakui. Barangkali faktor geografis Lebanon yang bergunung-gunung itulah yang menjadikannya sarang bagi berbagai aliran yang saling bertentangan. Dari sanalah terdapat kaum Nasrani dengan berbagai sektenya, demikian pula Syiah, Druz, dan lain sebagainya.
Orang-orang Lebanon mengakui bahwa tiga golongan terbesar di Lebanon adalah: Golongan muslimin Ahlussunnah, Golongan Syiah Itsna Asyariah, dan Golongan Nasrani Maronit. Jauh setelah mereka barulah diikuti oleh Sekte Druz yang masih dianggap sebagai muslimin meskipun mereka tidak demikian.
Penjajah Perancis yang menginvasi Lebanon pada tahun 1920, bertekad untuk memantapkan fenomena multi golongan ini. Bahkan mereka sengaja menyerahkan sebagian besar pusat pemerintahan kepada sekutu-sekutu mereka dari kalangan Nasrani Maronit. Akan tetapi pasca kemerdekaan Lebanon tahun 1943, ditetapkanlah Undang-undang Lebanon yang memberikan jabatan presiden kepada Nasrani Maronit, lalu jabatan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada Ahlussunnah, dan jabatan ketua DPR kepada Syi’ah. Undang-undang ini belum bisa diterapkan secara praktis hingga tahun 1959, yaitu setelah semua pusat pemerintahan menerima ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Nasrani Maronit tersebut.
Berangkat dari sensitivitas multi golongan tadi, maka orang-orang Lebanon mengacuhkan sama sekali masalah sensus penduduk yang dapat memberi gambaran lebih rinci akan persentase masing-masing golongan. Pun demikian, penelitian yang paling mendekati kebenaran ialah yang mengatakan bahwa nisbah Ahlussunnah adalah 26%, demikian pula Syia’h 26%, sedangkan Maronit 22% dan Druz 5,6%.
Wajarlah, jika setiap golongan akan berusaha untuk bermarkas di daerah tertentu sebagai basis kekuatan yang mempengaruhi daerah sekitarnya. Syiah misalnya, bermarkas di daerah selatan Lebanon dan lembah Bikaa, sedangkan Ahlussunnah bermarkas di daerah Utara dan Tengah Lebanon, serta kota-kota pesisir seperti Beirut Tripoli, dan Saida. Sedangkan Maronit bermarkas di Gunung Lebanon dan Beirut Timur.
Barangkali, posisi markas Syi’ah yang ada di selatan inilah yang menjadi alasan terjadinya bentrokan dengan pihak Yahudi dalam dekade-dekade terakhir. Jadi, konflik Hizbullah-Israel yang terjadi –sebagaimana yang akan kami ulas nantinya- bukanlah perseteruan karena akidah, bukan pula karena Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan BUKAN demi membebaskan tanah palestina. Konflik ini terjadi karena mereka merasa bahwa daerah-daerah strategis yang mereka kuasai terancam hilang, dan mau tidak mau mereka harus mempertahankannya. Sebab jika tidak, kisah mereka akan segera tamat!! Andai saja agresi militer Yahudi ditujukan kepada daerah-daerah kekuasaan Ahlussunnah, dapat dipastikan Syi’ah tidak akan bergerak sejengkal pun untuk melawan.
Musa Ash Shadr dan kaitannya dengan kronologi kisah ini
Kembali ke awal cerita…
Baik Ahlussunnah maupun Syi’ah, pernah hidup secara sangat terpinggirkan dibandingkan kaum Maronit yang mendukung penjajah Perancis dan masyarakat dunia. Akan tetapi, golongan Ahlussunnah dan Syi’ah mulai berusaha mencari jatidiri dan pengakuan akan eksistensi mereka, terutama di akhir era lima puluhan.
Di saat Ahlussunnah kehilangan pihak yang memperjuangkan nasibnya, lebih-lebih seiring dengan munculnya gerakan nasionalis-komunis yang melanda dunia Arab waktu itu; saat itulah Syi’ah mendapat nafas segar untuk tumbuh dan berkembang. Tepatnya ketika mendarat di tanah Lebanon seorang tokoh Syi’ah berpengaruh yang meninggalkan bekas-bekas nyata di peta Lebanon; dialah Musa Ash Shadr, yang tiba di Lebanon tahun 1959.
Musa Ash Shadr lahir di kota Qumm, Iran, tahun 1928, dan mendalami madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariah di kota tersebut. Ia kemudian menjadi dosen di Univ. Qumm yang mengajarkan mata kuliah fiqih dan mantiq. Ia kemudian pindah ke kota Najaf, Irak, pada tahun 1954 untuk melanjutkan studinya tentang Syi’ah di tangan sejumlah rujukan Syi’ah top, seperti Muhsin Al Hakiem dan Abul Qasim Al Khu’iy. Setelah itu ia pindah ke Lebanon pada tahun 1959 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Musa Ash Shadr tiba di Lebanon mengemban dua misi penting:
Kaum Syi’ah dan perlawanan terhadap pemerintahan Sunni
Azas madzhab syi’ah sebenarnya hanyalah pemberontakan terhadap sistem pemerintahan yang bertujuan untuk menguasai dan mencapai kekuasaan, dengan cara menentang dan memerangi ajaran-ajaran Sunni. Syi’ah telah berhasil menguasai daerah yang cukup luas di dunia Islam dalam kurun sejarah yang berbeda. Anda bisa membaca kembali tulisan tentang “Hegemoni Syi’ah”, yang menampakkan dengan jelas berbagai dampak negatif yang tercela yang mereka timbulkan setelah mereka berhasil memegang tampuk kekuasaan di suatu tempat.
Akan tetapi seiring dengan tumbangnya Daulah Ash Shafawiyyah (Savafid Empire) di pertengahan abad 18 M, Syi’ah kehilangan kendalinya di seluruh dunia, dan mega proyek mereka pun menyurut selama beberapa waktu. Akan tetapi, jiwa suka menguasai tadi mulai muncul di era lima puluhan. Ambisi besar mereka untuk mendirikan sebuah daulah yang menyebarkan ajaran Itsna ‘Asyariyah yang sesat tadi dengan tangan kekuasaan dan senjata. Konon tempat yang dianggap strategis untuk mendirikan daulah tersebut tidak keluar dari tiga tempat: Iran, Irak, dan Lebanon. Sebab di ketiga tempat tadi Syi’ah memiliki massa yang mendukung berdirinya negara yang dimaksud.
Lobi-lobi Syi’ah sejak semula merencanakan pendirian daulah tersebut di salah satu dari ketiga negara tadi, atau di ketiga-tiganya. Kader-kader pun telah disebar di berbagai daerah. Ada yang khusus bekerja untuk menggulingkan pemerintahan di Iran, yang dipimpin oleh Khomeini. Ada juga yang bekerja untuk hal serupa di Irak, dan insya Allah akan kita ulas dalam tulisan mendatang. Dan ada juga yang dikirim untuk beroperasi di Lebanon, yaitu Musa Ash Shadr.
Megaproyek ini merupakan jaringan operasi yang rumit dan bergerak perlahan-lahan. Bagi mereka tidak masalah bila targetnya baru dicapai puluhan tahun mendatang, yang penting target itu bisa tercapai. Cara seperti inilah yang dahulu dipakai untuk mendirikan daulah-daulah Syi’ah tempo dulu, seperti Daulah Buwaihiyyah, dan Daulah Ubeidiyyah yang menamakan dirinya secara dusta sebagai Daulah Fathimiyyah; dan lain-lain. Lihat kembali tulisan kami tentang “Hegemoni Syi’ah di http://muslim.or.id/manhaj/hegemoni-syiah.html "
Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bekerja sama dengan masyarakat papan bawah dan kaum fakir miskin di suatu negara. Kepada merekalah angin pemberontakan dihembuskan agar menggulingkan golongan kaya dan para penghuni istana. Organisasi-organisasi tersebut senantiasa mengungkit-ungkit masalah revolusi yang telah mengakar dalam jiwa kaum syi’ah, lalu dari sanalah terjadinya kudeta dan berdirinya negara Syi’ah.
Peristiwa ini telah kita saksikan dalam sejarah, dan kita saksikan pula di Iran. Mungkin bila tersisa cukup waktu, kita akan menjelaskan kronologi Revolusi Syi’ah di Iran. Akan tetapi sekarang kita sedang menyaksikan langkah-langkah nyata di Lebanon dan Irak yang mengarah ke sana. Jika megaproyek mereka berhasil di kedua negara ini, maka ekspansi mereka berikutnya akan meliputi Suriah, Kuwait, Bahrain, dan wilayah timur Saudi. Oleh karena itu, penjelasan ini wajib ditulis, dan kaum muslimin harus faham akan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Rencana pendirian Negara Syi’ah
Kembali ke kisah Lebanon…
Musa Ash Shadr berhasil di kirim ke Lebanon untuk merencanakan pendirian negara syi’ah. Ialah yang dipilih, sebab ia memiliki asal usul Lebanon, dan dia pandai berbahasa Arab selain menguasai bahasa Parsi. Ia senantiasa melakukan kontak dengan Khomeini, bahkan ada hubungan lain antara keduanya yang lebih kuat dari sekedar relasi politik; sebab putera Khomeini yang bernama Ahmad Al Khomeini, menikahi puteri saudari kandung Musa Ash Shadr. Sedangkan Musa Ash Shadr menikahi cucu Khomeini, di samping itu, Musthafa Al Khomeini juga merupakan salah satu sahabat terdekat Ash Shadr.
Musa Ash Shadr segera menuju Lebanon selatan yang merupakan kantong Syi’ah. Di sana ia memulai misinya atas nama sosial, tanpa menonjolkan masalah agama dengan jelas. Ia mendirian yayasan-yayasan sosial untuk membantu kaum fuqara’, demikian pula sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan. Kemudian ia mulai menampakkan perspektif syi’ah-nya sedikit demi sedikit. Ia lalu mendirikan lembaga-lembaga peradilan Ja’fari, yang mengadili kaum syi’ah berdasarkan madzhab Itsna ‘Asyariah mereka. Karakter multi golongan yang ada di Lebanon memang mendukungnya untuk beroperasi secara luas, lebih-lebih mengingat sangat lemahnya pengaruh pemerintah dan militer Lebanon…
Musa Ash Shadr adalah tipe laki-laki yang menempuh segala cara. Ia siap menggandeng tangan siapa saja demi mewujudkan keinginannya. Sejak semula ia tahu bahwa golongan Nasrani Maronit adalah golongan terkuat di Lebanon kala itu, dan pesaingnya adalah golongan Sunni. Padahal perlu kita ketahui bahwa Ahlussunnah kala itu bukanlah kaum fundamentalis yang berpegang teguh dengan sunnah atau agama Islam. Mereka tak lain adalah orang-orang berfaham Nasionalis-Sosialis-sekuler, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat Allah.
Musa Ash Shadr pun mulai mendekati golongan Nasrani, sebab Syi’ah sebagaimana yang kita ketahui sejak dulu, tak lain adalah pemberontakan atas ajaran Islam Sunni.
Syi’ah hanyalah penentang sejarah Islam sejak Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhuma, lalu demikian seterusnya di setiap negara Islam yang menaungi umat ini. Intinya, pemikiran syi’ah sejak semula ialah konfrontasi dengan Ahlussunnah. Nah sebab itulah Musa Ash Shadr berusaha merangkul Sharel Al Halew, Presiden Lebanon yang Maronit kala itu. Ia tidak merangkul pemimpin-pemimpin Sunni untuk mengumpulkan kekuatan kaum muslimin. Ia justeru menganggap bahwa Sharel Al Halew sebagai sekutu yang pantas untuk menentang penguasa Sunni. Ia mulai mendekatinya dan memprovokasinya. Hingga akhirnya pada tahun 1967 terjadilah kesepakatan untuk mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah yang bertindak sebagai wakil Syi’ah di Lebanon. Sharel Al Halew bahkan sepakat untuk menetapkan undang-undang nomor 72/76 yang memutuskan: bolehnya menjadikan rujukan-rujukan Syi’ah dunia (di Iran, Irak dan lainnya) sebagai rujukan Majelis Syi’ah dalam menetapkan fatwa, hukum dan undang-undangnya. Mereka tidak harus mengikuti hukum yang berlaku di Lebanon!
Majelis ini benar-benar berhasil didirikan tahun 1969 dan ketuanya yang pertama kali tentulah Musa Ash Shadr sendiri. Pemerintah Lebanon mengakui keberadaan majelis tersebut pada tahun 1970, bahkan pemerintah menetapkan dana sebanyak 10 juta Dollar sebagai bantuan untuk wilayah selatan yang Syi’ah.
Musa Ash Shadr juga tak lupa menjual dirinya kepada Amerika. Dalam pertemuannya dengan Dubes AS, Ash Shadr menyebutkan bahwa ia akan menghadapi gerakan Nashiri yang Komunis bersama pemuda-pemuda Syi’ah di Lebanon. Kedekatan hubungannya dengan orang-orang Amerika telah demikian terkenal, hingga ia dituduh oleh orang-orang dekatnya Khomeini. Sebab Khomeini ketika itu menganggap AS sebagai bahaya besar, sebab AS mendukung kuat pemerintahan Shah Iran.
Akan tetapi terjadilah perkembangan di luar keinginan Musa Ash Shadr pada tahun 1970. Yaitu dengan terjadinya pembantaian para pengungsi Palestina di Yordania, yang terkenal dengan pembantaian “September Hitam”. Dari sanalah orang-orang Palestina di bawah komando Fatah diungsikan ke Lebanon. Tanpa diinginkan oleh Syi’ah, pengungsian tersebut menempati wilayah selatan Lebanon yang berbatasan dengan Palestina. Masalahnya orang-orang Palestina tadi adalah Ahlussunnah, dan hal ini berarti akan menghambat megaproyek pendirian negara Syi’ah tadi. Padahal gerakan Fatah ketika itu menganut faham Sosialis-sekuler yang sangat jauh dari ajaran Islam.
Pun demikian, Musa Ash Shadr sempat memanfaatkan gerakan Fatah dalam periode ini. Ia menjalin hubungan solidaritas dengan Fatah, dengan harapan bahwa Fatah kelak akan memberikan training militer terhadap Syi’ah. Ini merupakan persiapan pembentukan milisi-milisi bersenjata yang dapat mempengaruhi masa depan Lebanon. Kebetulan Fatah saat itu juga sedang mencari sekutu untuk menghadapi kaum Komunis, hingga terjadilah simbiosis mutualisme antara Fatah dan Ash Shadr.
Pada tahun 1971, Hafizh Asad menduduki kursi kepresidenan di Suriah. Ia termasuk kelompok Nushairiyyah ‘Alawiyyin, yang berada di luar Islam meskipun secara politik dihitung sebagai ‘muslim’. Mereka –kaum Nushairiyyah ‘Alawiyyin tadi- menuhankan Ali bin Abi Thalib. Namun, segera saja Musa Ash Shadr mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kaum ‘Alawiyyin tersebut adalah Syi’ah, yang konsekuensinya ia menganggap Hafiz Asad sebagai muslim! Ini menyebabkan makin eratnya hubungan Ash Shadr dengan Suriah dan pemerintahan yang berkuasa di sana. Musa Ash Shadr menjadi mata rantai penghubung antara Hafiz Asad dan pemimpin-pemimpin Revolusi Iran, hingga Hafiz Asad pun mendukung penggulingan Shah Iran, bahkan mendukung Iran pasca Revolusi saat berperang melawan Irak, sebab ia sangat memusuhi Saddam Husein.
Demikianlah Musa Ash Shadr menanamkan benih-benih negara Syi’ah-nya yang baru. Ia bekerja sama sangat kuat dengan para tokoh agama di seluruh dunia, khususnya Khomeini, demikian pula dengan kaum Nasrani Lebanon, Amerika Serikat, Suriah, bahkan dengan Fatah yang dianggap bagian dari Ahlussunnah.
Pada tahun 1974, Musa Ash Shadr mendirikan Harakah al Mahrumin yang menyerukan agar kaum fuqara mendapat hak-hak yang lebih banyak. Mulanya, banyak kaum Nasrani di selatan yang bergabung dalam gerakan tersebut. Mereka menyangka bahwa gerakan tersebut bersifat nasionalis yang bertujuan mengentaskan fakir miskin di Lebanon dari krisis ekonomi. Akan tetapi mereka akhirnya keluar setelah mencium aroma Syi’ah yang kuat dari Harakah tersebut.
Tak lama kemudian, Ash Shadr membuat kesepakatan dengan Yasir Arafat sebagai pemimpin Fatah untuk melatih Harakah al Mahrumin secara militer, dan hal itu atas sepengetahuan pemerintah Lebanon yang lemah.
Pada bulan Juli 1975, Ash Shadr mengumumkan pembentukan sayap militer Harakah al Mahrumin yang dinamakan ‘Gelombang Perlawanan Lebanon (Afwaaj Al Muqaawamah Al Lubnaaniyyah’), yang disingkat Harakah AMAL, dan tentulah dia sendiri yang mengepalainya.
Tiba-tiba Musa Ash Shadr berbalik menentang orang-orang Palestina, dan menuntut dengan sangat agar warga Palestina yang berfaham Sunni diusir dari daerah selatan yang notabene syi’ah. Kita akan menyaksikan selanjutnya, bagaimana anggota Harakah AMAL membantai orang-orang Palestina tersebut dalam Serangan atas Kamp pengungsian, yang terkenal sejak tahun 1985 hingga 1988.
Pada tahun 1975, Lebanon mulai memasuki silsilah perang saudara yang membingungkan. Perang ini demikian rumit karena terkait dengan berbagai faktor internal dan eksternal. Kita mungkin membutuhkan berbagai analisa khusus untuk dapat memahaminya dengan jelas.
Musa Ash Shadr dan berbagai permusuhan
Setelah terbentuknya Majelis Perwakilan Tinngi Syi’ah dan Harakah AMAL, Musa Ash Shadr menjadi sebuah kekuatan yang tak bisa disepelekan. Hal ini mulai menggugah kesadaran banyak orang, sebab Musa Ash Shadr tidak lagi menutupi kekuatan tersebut atau menyembunyikannya. Ia bahkan sering kali mengancam terang-terangan dalam berbagai liputan persnya untuk mengerahkan massanya ke rumah-rumah orang kaya di Lebanon jika mereka tidak memenuhi tuntutannya. Bahkan ia berani mengritik sebagian tindakan Khomeini, dan menjalin hubungan dengan pihak-pihak internasional tanpa merujuk ke tokoh-tokoh agama yang semula mengirimnya ke Lebanon. Masalah semakin meruncing saat ia mengunjungi Iran dan bertemu Shah secara langsung. Ia meminta agar Shah memberikan amnesti kepada 12 tokoh agama yang telah divonis mati olehnya, dan hal ini dianggap oleh Khomeini sebagai tindakan keluar dari kesepakatan internasional Syi’ah, dan kerjasama dengan Shah yang notabene adalah musuhnya kaum revolusioner.
Konflik semakin memuncak pada tahun 1978, ketika terjadi krisis hubungan antara Suriah dan Ash Shadr secara tiba-tiba. Hal ini dikarenakan Suriah mengalami banyak tekanan dari Negara-negara sekitar dan AS, setelah Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Zionis Israel tahun 1977. Suriah berharap agar Lebanon menjadi pembela utamanya, sebab Suriah memiliki pasukan di Lebanon saat itu. Suriah juga berharap agar Ash Shadr tidak bersekutu dengan selain Suriah. Akan tetapi Ash Shadr telah merasakan bahwa dirinya kuat dan posisi Suriah lemah, karenanya ia sengaja mempererat hubungannya dengan negara-negara Arab dan sengaja melanggar peringatan Suriah. Ia mulai mengunjungi Kuwait, kemudian Al Jazair, dan terakhir berangkat ke Libya pada bulan Agustus 1978, yang diiringi sebuah kejutan besar… karena Libya mengumumkan bahwa Ash Shadr telah angkat kaki dari wilayahnya pada tanggal 25 Agustus 1978, akan tetapi ia tak pernah muncul lagi di tempat mana pun di muka bumi!!
Ini merupakan kejadian yang sungguh ajaib. Sebab Musa Ash Shadr bukanlah anak kecil yang gampang tersesat di airport, dan bukan pula orang biasa yang disikapi masa bodoh oleh Libya kemana perginya… akan tetapi yang jelas ia telah diculik atau dibunuh.
Saat itu memang banyak musuh yang mengintai Musa Ash Shadr, dan banyak di antara mereka yang dituding berada di balik pembunuhannya. Yang paling utama ialah tokoh-tokoh Revolusi yang setahun kemudian muncul di Iran. Dan tentu mereka tidak menginginkan keberadaan tokoh-tokoh kharismatik yang memiliki multi relasi sebagai saingan Khomeini yang berada di garda depan Negara Syi’ah yang baru.
Apalagi membikin berang pemerintah Suriah saat itu, berarti memberi lampu hijau bagi rencana pembunuhan, sebab pemerintah Suriah memang terkenal berdarah dingin dalam menghadapi para penentangnya. Libya sendiri ketika itu berhubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusi Iran, dan siap mendukung mereka pasca revolusi untuk melawan Irak. Adapun kekuatan internal Lebanon yang mendapat manfaat dari tersingkirnya Musa Ash Shadr juga cukup banyak, sebab perang saudara di Lebanon saat itu memang sedang klimaksnya.
Lenyapnya Musa Ash Shadr memang teka-teki yang membingungkan, yang para politikus berlomba-lomba memecahkannya, akan tetapi tak satu pun dari mereka yang dapat memberikan jawaban pasti. Yang jelas, Musa Ash Shadr telah meninggalkan medan pertempuran yang menyala di belakangnya, dan meninggalkan Harakah AMAL yang melanjutkan cita-citanya, dan meninggalkan jabatan kosong di Majelis Perwakilan Tinggi Syi’ah… lalu tepat setahun kemudian terjadilah revolusi Iran untuk menggulingkan Shah, dan empat tahun berikutnya militer Zionis mencaplok Lebanon selatan, lalu dari ‘rahim’ pergolakan yang rumit tadi lahirlah Hizbullah yang Syi’ah, untuk melanjutkan megaproyek Ash Shadr, akan tetapi yang jelas dengan pengarahan dari Iran.
Bagaimana ini semua terjadi? Bagaimana pula nasib Harakah AMAL? Dan Bagaimana sikap Syi’ah terhadap orang-orang Palestina di Lebanon selatan? Bagaimana pamor Hizbullah tiba-tiba mencuat? Siapakah sebenarnya Hasan Nasrallah, dan bagaimana akidah serta pemikirannya?
Kisah Hizbullah bag. 2
Banyak dari kaum muslimin yang memberi peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka untuk menghukumi berbagai perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak meneliti apa yang ada di balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan tidak menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka dalam berbagai kekeliruan dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru disadari setelah musibah dan bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika itu, penyesalan mungkin tiada berguna lagi.
Benang merah panjang yang mengawali lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam ‘Kisah Hizbullah bag. 1′ di atas. Di sana telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali ini akan kami lanjutkan. Saya (penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri jalan penuh duri. Usaha saya untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum muslimin ini, pasti menghadapkan saya kepada gelombang penolakan dan kritikan dari kaum muslimin yang bersimpati kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses di masa-masa yang sensitif dalam tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut adalah pengikut Syi’ah yang bobrok, yang meyakini kebebasan berpendapat dalam mengritik, mencela, menentang dan bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan menghadapi perlawanan buas dari pihak Syi’ah sendiri, yang mendorong media-media massa Sunni agar menyerukan supaya ‘file ini’ ditutup dan jangan dibicarakan sama sekali, sembari memalingkan mereka kepada Zionis Israel dan Amerika saja. Padahal di saat yang sama Syi’ah terus melanjutkan skenario mereka dengan mantap. Kaum muslimin baru akan bangun dari tidurnya, saat Syi’ah berhasil mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara dengan Daulah Buwaihiyyah tempo dulu, atau lebih besar lagi!!
Perpecahan Harakah AMAL Pasca Ash Shadr
Setibanya Musa Ash Shadr dari Qum (Iran) dan Najaf (Irak), ia berusaha merekrut orang-orang Syi’ah Lebanon menjadi sebuah eksistensi yang saling melengkapi, yang bisa diajak mendirikan sebuah daulah (negara) di masa depan. Ia begitu perhatian dengan sisi religius dan madzhabiyah kelompok ini, hingga pada tahun 1969, ia mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah. Ia juga perhatian dengan sisi militer mereka, hingga mendirikan Harakah AMAL, yang merupakan singkata dari Afwaajul Muqaawamah Al Lubnaaniyyah (Gelombang Perlawanan Lebanon). Ia juga menjalin hubungan erat dengan pihak Nasrani Maronit, demikian pula dengan Amerika Serikat dan Suriah, di samping tentunya dengan pihak-pihak yang mengirimkannya ke Lebanon, yang tokoh dari itu semua adalah Khomeini, yang saat itu masih berada di Irak.
Abdul Amir Qublan
Musa Ash Shadr meninggalkan kekosongan besar, dan kaum Syi’ah berusaha menertibkan kembali administrasi mereka, hingga jabatan Majelis Tinggi Syi’ah akhirnya diambil alih oleh Abdul Amir Qublan, yang tadinya adalah wakil Musa Ash Shadr. Terus menjabat sebagai wakil ketua Majelis, padahal jabatan ketua sampai kini masing vakum! Sedangkan tokoh-tokoh Syi’ah di Lebanon merujuk kepada salah seorang syaikh mereka, yaitu Husein Fazhlullah, dan si saat yang sama kondisi sayap militer Syi’ah yang terkenal sebagai Harakah AMAL makin ricuh, hingga anggota-anggotanya terpecah menjadi dua kelompok:
Al Musawi, Nasrallah, dan Strategi Iran
Di masa-masa yang sulit tadi, ada dua orang yang datang dari Najaf, Irak. Keduanya telah mendalami akidah Syi’ah di sana, dan keduanya yang paling berpengaruh dalam mempertahankan eksistensi khittah madzhabiyyah-nya Musa Ash Shadr. Kedua orang tersebut adalah: Abbas Al Musawi dan Hasan Nasrallah.
Mereka berdua menyusup dengan cepat ke barisan Harakah AMAL, dan dapat menduduki pusat-pusat kepemimpinan di sana, padahal umur Hasan Nasrallah kala itu baru 18 tahun!
Pada tahun 1979, tercetuslah revolusi Iran dan Shah berhasil digulingkan. Khomeini pun kembali dari Paris (setelah diusir dari Irak tahun 1978) dan memegang tampuk kekuasaan di Teheran. Ia mulai ‘menertibkan keadaan’ di sana, dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya. Ia berbalik kepada pihak-pihak yang dahulu mendukungnya dari ormas-ormas Iran lainnya. Khomeini berhasil memantapkan dirinya dengan sempurna dan tidak bergerak ke kota suci Qumm seperti yang diramalkan banyak orang, namun justeru menetap di ibukota Teheran.
Setelah pulihnya berbagai masalahnya di Iran, Khomeini mulai memperhatikan Lebanon dan Irak. Keduanya merupakan kantong-kantong yang memiliki massa Syiah cukup besar, dan di saat yang sama, keduanya merupakan bagian dari skenario Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya di wilayah tersebut.
Kondisi di Irak saat itu masih sangat sulit. Saddam Hussein konon menerapkan tangan besi dalam memerintah. Khomeini sendiri merasakan hal tersebut, sebab ia pernah tinggal selama 14 tahun penuh di Irak, yang berakhir dengan melarikan diri secara terpaksa ke Paris. Dari sini, Khomeini tahu persis bahwa Organisasi Syi’ah di Irak tidak mampu menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Sebab itulah Khomeini memilih solusi militer, dan segera memulai perang total terhadap pemerintah Irak pada tahun 1980, sebelum revolusi genap berumur satu tahun! Ini semua karena ambisinya untuk menjatuhkan pemerintahan Irak dan menyerahkan roda pemerintahan kepada Syi’ah, yang dengan begitu, Irak akan tergabung dalam Negara Syi’ah Raya yang diimpikan Khoemini.
Adapun di Lebanon yang jauh, yang sarat dengan berbagai kelompok dan sekte agama, di sana masih perlu persiapan dan sejumlah tokoh dengan loyalitas penuh kepada Khomeini dan pemerintahannya. Sebab itulah, Khomeini terus mengontak kedua orang tadi, yang notabene bermadzhab Syi’ah Itsna Asyariyah, yang keduanya beriman dengan ajaran Wilayatul Faqieh[1], yang berhasil menghantarkan Khomeini ke kursi pemerintahan. Kedua orang tersebut adalah Abbas Al Musawi dan Hasan Nasrallah, dan dari sinilah Iran mulai memberi dukungan langsung kepada mereka, meski kepemimpinan Harakah AMAL masih di tangan Nabieh Barrie yang berpaham sekuler.
Pada tahun 1981, diadakan muktamar Harakah AMAL yang keempat untuk memberikan solusi atas perselisihan internal mereka, yang masing-masing selama ini berusaha menguasai daerah selatan. Muktamar tersebut berakhir dengan tetap dipilihnya Nabieh Barrie sebagai pemimpin Harakah AMAL, dan Abbas Al Musawi menjadi wakilnya. Ini merupakan langkah penting untuk mengendalikan kondisi di selatan Lebanon.
Invasi Israel dan Sikap Syi’ah
Akan tetapi pada tahun 1982, tepatnya tanggal 6 Juni tahun itu, terjadilah peristiwa yang mengacaukan semua skenario mereka. Mereka semua dikejutkan oleh invasi Zionis Israel atas seluruh Lebanon Selatan, bahkan Israel sempat mengepung Beirut untuk mengusir Yasir Arafat beserta segenap pemimpin Fatah dan milisi-milisi Palestina agar keluar dari selatan Lebanon. Jelaslah bahwa kesepakatan antara militer Israel dan pihak Nasrani Maronit telah terjadi dalam rangka mengusir orang-orang Palestina yang telah menjadi suatu kekuatan penekan dalam masyarakat Lebanon. Terjadilah berbagai pembataian atas warga Palestina, dan yang paling besar di antaranya adalah Pembantaian Shabra dan Shatila, yang menewaskan 3000 orang Palestina, dan Zionis Israel –atas bantuan Nasrani Maronit- pun berhasil mengusir orang-orang Palestina dari selatan Lebanon dan Beirut.
Peristiwa ini mulanya selaras dengan keinginan Syi’ah. Sebab mereka sejak dahulu menuntut agar orang-orang Palestina dikeluarkan dari selatan Lebanon, sebagai langkah awal pendirian negara mereka di sana. Akan tetapi pihak Zionis tidak lantas kembali ke markas mereka setelah mengusir orang-orang Palestina, namun tetap bercokol di Lebanon dan melakukan pendudukan militer atas seluruh wilayah selatan.
Kejadian ini mengkandaskan seluruh impian kaum Syi’ah untuk mendirikan negara mereka. Lebih-lebih mengingat bahwa mereka kala itu masih terpecah menjadi kelompok sekuler dan konservatif (agamis). Maka kelompok konservatif akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dari Harakah AMAL, dan melanjutkan kontak mereka dengan para pemimpin di Iran untuk mendapat dukungan mereka. Mereka lantas membentuk sebuah lajnah yang terdiri dari 9 orang untuk berangkat ke Teheran dan berjumpa dengan Khomeini. Mereka menyatakan keimanan mereka terhadap ajaran wilayatul faqieh, yang konsekuensinya mengimani kekuasaan Khomeini sebagai ‘faqieh’ yang dimaksud, yang akan mengurus masalah kaum Syi’ah di Lebanon. Khomeini menyetujui lajnah tersebut dan mereka kembali lagi ke Lebanon untuk berpisah total dengan Harakah AMAL, dan membentuk harakah baru yang dikenal saat itu dengan nama Harakah AMAL al Islamiyyah, dibawah kepemimpinan Abbas Al Musawi.
Iran memiliki campur tangan kuat dalam berdirinya harakah baru ini. Bahkan Iran sempat mengirim 1500 orang dari tentara revolusinya ke Suriah, lalu dari Suriah ke lembah Bikkaa di Lebanon. Mereka semua dikirim untuk melatih Harakah AMAL al Islamiyyah secara militer,dan memberikan bantuan finansial dan militer yang cukup kepada mereka. Dengan demikian, harakah yang baru ini telah mendapat dukungan dari dua negara besar di kawasan tersebut, yaitu Iran dan Suriah, dan di saat yang sama Suriah tetap mendukung Harakah AMAL yang nasionalis.
Berdirinya Hizbullah dan Penguasaan atas wilayah selatan
Perang saudara masih berkecamuk di Lebanon, dan kekuatan Harakah AMAL al Islamiyyah terus bertambah hingga Abbas Al Musawi mengumumkan berdirinya Hizbullah pada bulan Februari tahun 1985, sebagai ganti dari Harakah AMAL al Islamiyyah. Selang tiga bulan kemudian, tepatnya bulan Mei 1985, Harakah AMAL yang dipimpin oleh Nabieh Barrie melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang menewaskan ratusan orang, dalam rangka membersihkan sisa-sisa orang Palestina yang masih ada di selatan Lebanon dan Bikkaa. Dari situ, mulailah terjadi perselisihan di antara harakah AMAL dan Hizbullah, yang berakhir dengan perang besar di antara mereka, dan Hizbullah berhasil menumpas Harakah AMAL tahun 1988. Hasilnya, 90% anggota Harakah AMAL beralih ke Hizbullah yang dibawah kendali Iran, sesuai dengan aturan wilayatul faqieh dan didukung dengan kekuatan Suriah. Bersamaan dengan itu, Harakah AMAL keluar dari sayap militer, dan hanya menjadi gerakan politik saja.
Meski medan telah dikuasai oleh Hizbullah semata, hanya saja ia mendapati bahwa markaz kekuatan pusatnya –yang berada di selatan Lebanon- masih dikuasai oleh Yahudi. Inilah yang mendorong Hizbullah untuk menguasai sebagian wilayah di Beirut, agar memiliki markaz sebagai titik tolak setiap gerakan. Hizbullah tidak bergerak ke Beirut timur tempat komunitas Nasrani, akan tetapi ke Beirut barat, terutama bagian selatannya. Hizbullah mulai menduduki tempat-tempat tersebut dengan kekuatan senjata, dan seluruh tempat itu adalah kantong-kantong Ahlussunnah.
Hizbullah kadang membangun fasilitas-fasilitasnya di tempat umum, dan kadang di tanah milik Ahlussunnah, akan tetapi Pemerintah Lebanon hanya berpangku tangan melihat itu semua, sampai wilayah selatan Beirut menjadi Syi’ah tulen, dan dikuasai sepenuhnya oleh Hizbullah
Pada tahun 1989, Khomeini wafat, dan menyerahkan jabatan pimpinan revolusi kepada Ali Khamenei. Kondisi Hizbullah sendiri tidak mengalami perubahan, sebab ia masih terikat dengan aturan wilayatul faqieh yang baru, yaitu Ali Khamenei. Pada tahun yang sama, pihak-pihak yang bertikai di Lebanon atas perantara Saudi bertemu di Thaif, untuk membikin kesepakatan dalam rangka menghentikan perang saudara di Lebanon. Di tahun yang sama pula, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Sunni terbesar di Lebanon, yaitu Syaikh Hasan Khalid rahimahullah, selaku mufti Lebanon dari kalangan Sunni sejak tahun 1966. Ini dimaksudkan agar Ahlussunnah kehilangan kepemimpinan mereka, dan di waktu yang sama, Hizbullah muncul sebagai markas Islam di Lebanon.
Perang Melawan Yahudi dan Berubah Sikap Terhadap Ahlussunnah
Hizbullah mulai menyiapkan rencana untuk menggempur Yahudi demi membebaskan wilayah-wilayah mereka yang diduduki, dan direncanakan sebagai tempat berdirinya Negara Syi’ah Raya. Kucuran dana pun mengalir deras dari Iran untuk tujuan tersebut, di samping bantuan dari Suriah. Hal ini mengkhawatirkan Israel hingga mereka melakukan pembunuhan terhadap Abbas Al Musawi yang menjadi Sekjen Hizbullah pada tahun 1992. Jabatan Sekjen akhirnya diambil alih oleh Hasan Nasrallah.
Di tahun yang sama, muncullah tokoh Sunni baru, dan Ahlussunnah Lebanon pun mulai berkumpul di sekitarnya. Dialah Rafiq Al Hariri yang menjabat sebagai PM Lebanon tahun 1992 hingga 1996. Ia mulai membangun kembali Lebanon, dan mendapat dukungan dari banyak warga Lebanon.
Pada tahun 1996, Zionis Israel melakukan agresi brutal atas Lebanon, yang dikenal dengan operasi ‘Grapes of Wrath’ (Anggur Kemarahan). Sejak itu, jiwa patriotisme warga Lebanon mulai berkobar untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel. Hizbullah pun mengumumkan pembentukan pasukan-pasukan Lebanon untuk melawan musuh Zionis. Pasukan tersebut adalah gabungan dari berbagai kelompok Lebanon yang bermacam-macam, akan tetapi mayoritas anggotanya adalah dari Ahlussunnah yang mencapai 38%, sedangkan Syi’ah 25%, lalu Druz 20% dan Nasrani 17%.
Serangan-serangan pasukan Lebanon mengakibatkan ditarik mundurnya pasukan Zionis dari sebagian besar wilayah selatan Lebanon pada tahun 2000, kecuali daerah pertanian Shebaa. Hizbullah akhirnya menduduki seluruh wilayah tersebut, dan menolak keinginan Tentara Nasional Lebanon untuk menyebarkan pasukannya di wilayah tersebut. Bahkan Hizbullah mulai merampas fasilitas-fasilitas milik Ahlussunnah di wilayah selatan dan di pegunungan Lebanon. Tidak sampai di situ, Hizbullah juga berani mengganggu sejumlah masjid, seperti Masjid Nabi Yunus, dan tanah-tanah wakaf milik masjid tersebut yang terdapat di daerah Al Jeyah.
Rafiq Al Hariri dan Gerakan Syi’ah
Di tahun yang sama dengan keluarnya Yahudi dari Lebanon, Rafiq Al Hariri dilantik kembali menjadi PM Lebanon. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menampakkan diri dan keluarganya, dan menjadi simbol Sunni terkenal yang menjadi pesaing kuat sesungguhnya bagi gerakan Syi’ah di Lebanon.
Kekuatan Hizbullah terus bertambah, dan ia masih mencari kesempatan untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya yang didukung oleh Iran dan Suriah. Akan tetapi meningginya pamor Rafiq Al Hariri menjadikan masalahnya sama kuat di mata rakyat Lebanon.
Pada tahun 2004, Al Hariri mengundurkan diri dari jabatan PM akibat perselisihan antara dia dengan orang-orang Suriah yang jumlahnya cukup banyak di tubuh tentara Lebanon. Kemudian terjadilah kejutan berdarah pada 14 Februari 2005 dengan terbunuhnya Rafiq Al Hariri ketika berada dalam kendaraannya di Beirut, di tengah tersebarnya berbagai agen intelijen internasional yang beroperasi di Lebanon, seperti CIA, Perancis, Suriah, Iran dan Lebanon sendiri. Dengan demikian, Ahlussunnah Lebanon kembali kehilangan salah satu tokoh besar mereka.
Lebanon goncang pasca terbunuhnya Rafiq Al Hariri, dan jari-jari tuduhan internasional mengarah kepada Suriah. Lalu dari situ masyarakat internasional menuntut agar Suriah menarik diri dari Lebanon. Maka Hizbullah melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 2005 untuk mempertahankan keberadaan Suriah di Lebanon. Hal ini mendapat respon balik dari gerakan Al Mustaqbal (Future Movement), yang merupakan gerakan keluarga Al Hariri di bawah pimpinan Sa’ad Al Hariri. Ia mendapat dukungan dari Democratic Gathering Bloc pimpinan seorang Druz: Walid Jumblat, dan Hizbul Quwwah Al Lubnaniyyah yang mewakili kaum Maronit pimpinan Sameer Ja’ja’. Ketiganya melakukan demonstrasi besar pada tanggal 14 Maret 2005 dengan tuntutan keluarnya Suriah dari Lebanon. Sebab itulah demonstrasi tersebut disebut demonstrasi 14 Maret, dan berhasil mengeluarkan Suriah dari Lebanon di bulan yang sama.
Dilema Hizbullah dan Perang tahun 2006
Pasca keluarnya Suriah, Hizbullah menghadapi dilema di Lebanon, lebih-lebih dengan makin kuatnya persaingan antar golongan pasca terbunuhnya Al Hariri. Sebab itulah Hizbullah memilih untuk beraliansi secara politik bersama kekuatan-kekuatan lain untuk ikut serta dalam pemilu parlemen Lebanon bulan Mei 2005. Ia bergabung dengan ketiga kelompok lain yaitu: Gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Gerakan Jumblat yang Druz –meski sangat memusuhi kedua gerakan ini-, di samping juga bergabung dengan Gerakan politik Harakah AMAL. Aliansi ini dikenal dengan aliansi kwartet, dan secara keseluruhan mereka berhasil meraih 72 kursi di Parlemen dari total 128 kursi. Dengan demikian, mereka menjadi mayoritas di parlemen, yang akhirnya menjadi bagian dari pemerintah Lebanon yang dipimpin oleh Fuad Seniora.
Hizbullah telah menekan dirinya sendiri, dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski mereka berseberangan. Ini semua demi menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta dalam kepentingan Nasional. Padahal Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir dalam sidang-sidang parlemen maupun muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim utusannya dan bersikap kepada semua pihak sebagai atasan, sebagai persiapan untuk menjadi pemimpin masa depan atas mereka semuanya.
Bukti paling besar atas asumsi ini ialah terlibatnya Hizbullah pada tanggal 12 Juli 2006 dalam melakukan operasi militer melawan Zionis Israel. Hizbullah berhasil menawan dua tentara Israel dan menewaskan delapan lainnya. Semua itu ia lakukan tanpa konsultasi sedikit pun dengan negara yang ia menjadi bagian dalam pemerintahannya; dan juga tidak berkonsultasi dengan faksi-faksi lain yang menjadi sekutunya dalam parlemen. Padahal operasi militer inilah yang menyeret negara seluruhnya –dan bukan hanya Hizbullah- dalam perang melawan Israel.
Akhirnya meledaklah perang besar yang terkenal pada bulan Juli 2006. Israel menggempur Lebanon terus-menerus selama 33 hari penuh, dengan target menghancurkan bungker-bungker Hizbullah sekaligus Lebanon. Hizbullah melakukan serangan balik kepada Israel dengan menembakkan roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari rakyat Lebanon dalam perang ini.
Pihak Israel tidak berhasil menghentikan serangan roket Hizbullah, dan ini dianggap sebagai ‘kemenangan besar’ untuk Hizbullah, sebab Yahudi telah menghentikan serangan udara mereka tanpa berhasil melumpuhkan sistem kekuatan roket Hizbullah, maupun membebaskan dua orang pasukannya yang ditawan Hizbullah.
Perang pun berakhir seiring dengan kehancuran besar yang dialami oleh rakyat Lebanon atas negerinya. Kehancuran tersebut merata di setiap daerah di Lebanon. Di samping itu, rakyat Lebanon merasakan eksistensi Syi’ah yang semakin kuat, yang tercermin melalui Hizbullah yang tetap memegang senjata canggih produk Iran-nya, dan didukung penuh oleh Suriah. Hal ini sengaja diciptakan agar semua orang merasa bahwa negara mereka sedang mengarah ke seorang tokoh Syi’ah tertentu, seiring dengan banyaknya simpati dari umat Islam secara umum atas Hizbullah dalam melawan Israel.
Menurut Anda, apakah yang terjadi di Lebanon setelah itu? Apakah langkah-langkah yang ditempuh oleh Syi’ah dalam skenario mereka? Bagaimana visi Hasan Nasrallah tentang masa depan Lebanon? Mengapa Hizbullah kalah dalam pemilu parlemen bulan Juni 2009 padahal ia semakin kuat? Dan apakah yang seharusnya dilakukan oleh segenap umat Islam dalam menyikapi ini semua?
Kisah Hizbullah bag. 3
Meletusnya perang Lebanon tahun 2006 di mana Zionis Israel gagal menghancurkan kekuatan Hizbullah, dan gagal membidik pemimpinnya. Hal ini mengakibatkan kegembiraan luar biasa di dunia Islam, dan kebanggaan besar bagi pemuda-pemuda Islam. Lebih-lebih mengingat mereka belum pernah menyaksikan kemenangan hakiki melawan Yahudi dalam suatu peperangan sejak tahun 1973, alias sejak lebih dari 30 tahun! Orang-orang pun saling memberikan selamat kepada Hizbullah dan pemimpinnya, Hasan Nasrallah. Bahkan sebagian mengira bahwa Hasan Nasrallah adalah pemimpin gerakan seluruh umat Islam. Mereka seakan lupa akan background-nya yang Syi’ah Itsna Asyariah itu; yang konsekuensinya ialah permusuhan abadi terhadap Ahlussunnah, baik ia nampakkan hal tersebut ataupun ia sembunyikan.
Hizbullah dan Kudeta Pemerintahan
Hizbullah keluar dari perang Lebanon 2006 dengan harapan bisa memanfaatkan momentum besar tersebut. Ia segera memutuskan untuk mengkudeta pemerintah Lebanon yang tidak lain adalah sekutunya. Pada tanggal 30 Desember 2006, Hizbullah menggalang aksi duduk besar-besaran di sekitar istana pemerintahan. Mereka mendirikan lebih dari 600 tenda agar mosi duduk tersebut bertahan lebih lama. Mereka menuntut agar PM Sunni Fuad Seniora mengundurkan diri, padahal menurut undang-undang Lebanon, penggantinya juga harus Sunni; akan tetapi keinginan Hizbullah tadi menandakan bahwa mereka mampu merubah-rubah keadaan semau mereka, dan siapa saja yang akan menggantikan PM harus ‘manut’ kepada seluruh instruksi ‘pemimpin masa depan’ Lebanon, yang dilambangkan oleh Hasan Nasrallah. Akan tetapi pemerintah tidak menggubris ‘instruksi’ Hasan Nasrallah tersebut, hingga aksi berkemah tadi berlangsung hingga 18 bulan berturut-turut!
Kondisi semakin kacau saat Hizbullah melakukan operasi militer anarkis, yaitu dengan mengerahkan pasukan bersenjatanya untuk mengepung Beirut barat secara total, yang merupakan wilayah kediaman Ahlussunnah. Mereka mengancam akan menduduki wilayah tersebut, atau tidak akan melonggarkan kepungan sampai PM yang dimaksud mengundurkan diri. Hal itu terjadi pada 9 Mei 2008.
Rupanya masalah ini tidak lagi sekedar ‘bisikan hati’. Ia telah menjadi percobaan nyata di lapangan dengan bergeraknya milisi-milisi untuk menguasai titik-titik utama di ibukota Beirut. Bahkan ini sangat menarik perhatian, tatkala Waleed Jumblat mengungkap apa yang terjadi enam hari sebelum pengepungan, tepatnya tanggal 3 Mei 2008. Ia mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa dirinya menemukan dokumen surat-menyurat antara menteri pertahanan Lebanon Ilyas Almur dengan pihak intelijen tentara nasional Lebanon. Dokumen tersebut melaporkan adanya sejumlah kamera milik Hizbullah yang dipasang di airport Beirut. Jumblat juga menyebutkan bahwa di saat yang sama ketika persenjataan dilarang masuk ke Lebanon, ternyata arus pengiriman senjata mengalir deras dari Iran kepada Hizbullah. Artinya, tidak lama lagi Hizbullah akan menjadi satu-satunya kelompok bersenjata di lebanon yang persenjataannya jauh melebihi tentara nasional Lebanon.
Kesepakatan Doha dan kesalahan Nasrallah
Pengepungan Beirut barat berlanjut selama 13 hari, hingga ditandatanganinya kesepakatan di Doha (Qatar), untuk mengakhiri perang dan menyudahi aksi duduk massal. Akan tetapi, seiring dengannya bubar pula aliansi kwartet yang terbentuk antara gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Hizbullah dan Harakah AMAL yang Syi’ah, serta Partai Demokratik yang Druz. Mereka semua mendapati bahwa aliansi semacam ini adalah sangat sulit dipertahankan, dan berbagai kepentingan Ahlussunnah dan Syi’ah pasti akan saling bertabrakan. Dari sini, mulai lah kedua belah pihak saling melempar tuduhan dan bersaing ketat. Gerakan Al Mustaqbal atau Aliansi 14 Maret, kini meyakini bahwa Syi’ah sangat mungkin mengambil alih kekuasaan secara total di Lebanon. Hizbullah pun mulai menuduh Gerakan Al Mustaqbal sebagai kaki tangan Amerika dengan maksud menurunkan pamor mereka di mata rakyat Lebanon dan gerakan-gerakan Nasionalis lainnya. Tuduh-menuduh terus berlanjut antara kedua belah pihak, dan semakin menguat dari waktu ke waktu seiring dengan makin dekatnya Pemilihan anggota parlemen baru pada bulan Juni 2009. Akhirnya, Gerakan Al Mustaqbal yang dipimpin oleh Sa’ad Al Hariri ikut serta dalam Pemilu melawan Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nasrallah. Masing-masing pihak mulai memamerkan kapabilitasnya untuk memimpin sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.
Hasan Nasrallah lalu membuat kekeliruan besar yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang politikus ahli sepertinya. Akan tetapi Allah berkehendak untuk menyingkap apa yang ada di balik tabir… Ia mengumumkan dalam pidatonya menjelang Pemilu pada tanggal 29 Mei 2009, – yang teks pidatonya ada dalam situs resmi Hizbullah di internet-, bahwa jika kelompoknya menang dalam Pemilu, maka ia akan memasukkan persenjataan ke Lebanon dari Suriah dan Iran. Ia telah menampakkan bahasa Syi’ahnya yang kental, bahkan mengatakan: “Yang saya tahu ialah bahwa Republik Islam Iran, khususnya Imam pemimpin Revolusi yang mulia: Sayyid Al Khamenei tidak akan pelit untuk memberikan segalanya bagi Lebanon”.[2]
Ia telah berterus terang tanpa tedeng aling-aling kepada rakyat Lebanon, bahwa pendanaan yang akan menjamin stabilitas dan kejayaan mereka akan datang dari pihak Syi’ah, dan ini adalah bujukan sekaligus ancaman, plus suatu hal yang menarik perhatian akan kuantitas Hizbullah dan relasinya.
“Pesan” tersebut sampai ke rakyat Lebanon, namun dalam bentuk yang berlawanan dari yang diharapkan Hasan Nasrallah. Rakyat Lebanon akhirnya sadar akan bahaya Syi’ah. Mereka tahu bahwa naiknya kelompok Hizbullah ke kursi pemerintahan, berarti bertambahnya kekuatan bagi Hizbullah, bukan bagi Lebanon. Di samping itu, kemungkinan berdirinya sebuah negara Syi’ah yang loyal kepada Iran dan Suriah menjadi dekat sekali. Dari sinilah rakyat Lebanon takut terhadap arah Hizbullah, dan ketakutan tersebut nampak di kotak-kotak suara saat Pemilu hingga mereka memberikan suaranya ke Aliansi 14 Maret, padahal Sa’ad Al Hariri tidaklah secakap bapaknya, mendiang Rafiq Al Hariri. Akan tetapi rakyat Lebanon telah menyadari sendiri akan bahaya momen ini, dan tidak ada lagi waktu untuk mengatakan bahwa Pemilu ini akibat tekanan Amerika, sebab ternyata Pemilu ini adalah pemilu yang bersih dan tidak ada satu pihak pun yang mengritik ketransparanannya.
Akhirnya Aliansi 14 Maret menang dalam Pemilu dengan merebut 14 kursi lebih banyak dari Hizbullah. Ini adalah angka yang besar dalam pemilu Lebanon, dan ini berarti bahwa masalah-masalah akan semakin jelas.
Sikap kita terhadap Hizbullah
Setelah memaparkan kisah yang panjang ini, saya mengajak pembaca sekalian untuk merenung dan memberi catatan atas beberapa hal, yang nanti akan menjawab sejumlah pertanyaan membingungkan yang terlintas di benak setiap muslim saat menyaksikan peristiwa-peristiwa tadi. Mungkin ada di antara pembaca yang setuju dengan pandangan saya, namun mungkin juga tidak; akan tetapi saya sampaikan kepada semuanya bahwa saat kita memberikan catatan, hendaknya kita menyingkirkan perasaan kita, dan memutuskan dengan akal kita. Jika kita ingin memberi analisa yang tepat, kita harus menelusuri akar masalah, mempelajari sejarah baik yang dahulu maupun sekarang, mengaitkan hal-hal satu sama lain, membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan meneliti tujuan masing-masing golongan serta latar belakang dan akidah mereka. Ketika itulah berbagai asumsi yang dahulu kita yakini kebenarannya akan berubah, dan boleh jadi kita menyerang apa yang dahulu kita bela, atau membela apa yang dahulu kita serang!!
Pertama: Berdirinya sebuah negara Syi’ah di Lebanon adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahkan mungkin segera terjadi, mengingat fasilitas yang dimiliki Hizbullah bukanlah fasilitas suatu kelompok atau golongan kecil, akan tetapi fasilitas suatu negara. Apalagi dukungan Suriah dan Iran atas berdirinya suatu negara Syi’ah yang loyal kepada keduanya sangatlah besar. Negara ini kelak meliputi Lebanon selatan, lembah Bikkaa yang berada di timur laut Lebanon. Wilayahnya bisa jadi meluas hingga mencakup Lebanon utara yang Sunni, termasuk menguasai Beirut barat dan selatan. Adapun wilayah-wilayah Nasrani, maka masih diperselisihkan, dan tidak menutup kemungkinan jika Hizbullah menerima berdirinya dua negara di bumi Lebanon: Negara Syi’ah dan Negara Nasrani.
Bahkan seribu tahun sebelum itu, Syi’ah Isma’iliyyah pernah menawarkan kepada pasukan salibis saat memasuki Syam, agar mereka membagi-bagi wilayah Ahlussunnah di antara mereka: pasukan salibis menguasai Suriah dan Lebanon, sedangkan Syi’ah menguasai Palestina dan Yordania; akan tetapi pasukan salib menolak, sebab mereka ingin menguasai Syam seluruhnya!
Berdirinya sebuah negara Syi’ah di Lebanon bukanlah masalah sepele bagi Ahlussunnah. Silakan baca kembali kisah Ahlussunnah di Iran dan Irak, dan telaah kembali sikap Harakah AMAL yang lalu berganti menjadi Hizbullah terhadap Ahlussunnah di Lebanon. Baca pula tarikh daulah Buwaihiyyah, Hamdaniyyah, dan Ubeidiyyah –yang menamakan dirinya dengan dusta sebagai Fathimiyyah-, serta Shafawiyyah… pelajarilah sejarah mereka agar Anda tahu bahwa berdirinya sebuah negara Syi’ah yang kuat, berarti penindasan terhadap Ahlussunnah di barisan yang pertama, sebab masalahnya adalah masalah akidah, dan semua fakta yang ada mengarah kesana.
Perang Demi Sejumlah Kepentingan
Kedua, perang Hizbullah melawan Yahudi adalah perang demi sejumlah kepentingan, bukan perang atas dasar akidah. Sebab Yahudi memasuki wilayah Lebanon selatan tahun 1982, yang mulanya hendak dijadikan cikal bakal Negara Syi’ah Raya. Maka, mau tidak mau harus ada perlawanan demi eksistensi, sebagaimana peperangan pada umumnya yang terjadi di dunia. Perang ini bukanlah perang demi meninggikan kalimat Allah, sebab kalimat Allah (baca: agama) yang diyakini kaum Syi’ah adalah kalimat yang batil dan menyimpang. Mereka meyakini bahwa imam-imam mereka ma’shum, dan kedudukannya lebih tinggi dari para rasul, lantas kebaikan apa yang diharapkan dari akidah semacam ini?!!
Cobalah kita bikin perumpamaan bahwa Syi’ah memiliki markas di Lebanon Utara, sedangkan Ahlussunnah di selatannya. Apakah Anda mengira bahwa Syi’ah akan berperang demi menyelamatkan wilayah Lebanon yang ditempati Ahlussunnah? Ini sesuatu yang mustahil bin tidak mungkin… bahkan boleh jadi akan terjadi kesepakatan untuk membagi bumi Lebanon secara damai dengan Yahudi, dan ini bukan sekedar omong kosong tanpa bukti; sebab Syi’ah telah mendiami Lebanon sejak puluhan tahun, namun adakah mereka tergerak untuk memerangi Yahudi di Palestina? Padahal dalam syair-syair mereka katakan bahwa Palestina adalah bumi yang dijajah Zionis Israel.
Al ‘Allamah DR. Musthafa As Siba’I –rahimahullah- yang merupakan muraqib Ikhwanul Muslimin di Suriah pernah berusaha mengadakan pendekatan Sunnah-Syi’ah ketika meletus perang Arab-Israel tahun 1948. Ia berusaha mendorong Syi’ah agar bersekutu dengan Ahlussunnah untuk membebaskan Palestina, akan tetapi mereka menolak dan enggan, hingga DR. Musthafa kecewa berat, lalu menulis dalam kitabnya yang berjudul (السنة ومكانتها في التشريع الإسلامي) “Kedudukan Sunnah dalam Syariat Islam”, bahwa pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah adalah sesuatu yang tidak ada hakikatnya, sebab mereka memahaminya sebagai pengalihan Ahlussunnah menjadi Syi’ah, bukan untuk bertemu di tanah yang dimiliki bersama[3].
Kemudian saat meletusnya perang tahun 1967, Syi’ah yang ada di Palestina Utara tidak bergerak sedikit pun. Bahkan Musa Ash Shadr mengelu-elukan slogannya yang terkenal pada bulan Maret 1973 bahwa: “Senjata adalah perhiasan kaum lelaki”, namun saat meletus perang di bulan Oktober 1973, yakni 6 bulan setelah Musa mengucapkan slogan tersebut, tidak ada seorag Syi’ah pun yang ikut serta dalam memerangi Yahudi di Palestina!
Kita semua menyaksikan bagaimana perang Gaza tahun 2009 yang lalu. Sebenarnya rudal-rudal Hizbullah bisa saja ditembakkan untuk menahan serbuan brutal Yahudi atas Gaza, akan tetapi kita tidak mendengar selain ucapan saja, dan tidak ada satu rudal pun yang ditembakkan untuk menyerang kaum Zionis. Dari sinilah kaum Zionis tahu bahwa bahaya Hizbullah hanya sebatas daerah yang dikuasainya saja, dan untuk periode ini, baik Hizbullah maupun Iran tidak punya kepentingan dengan Palestina. Sebagaimana yang diketahui Amerika bahwa slogan-slogan anti-AS yang diserukan Iran tidak ada hakikatnya, namun sekedar mencari simpati kaum muslimin lewat media massa. Jika tidak percaya, silakan perhatikan bagaimana proyek Syi’ah di Irak yang berjalan mulus dengan dukungan murni Amerika… bahkan Amerika sesungguhnya tidak menentang rencana pendirian Negara Syi’ah Raya yang meliputi Iran, Irak, Lebanon dan Suriah, sebab negara ini akan mewujudkan keseimbangan bagi sejumlah kekuatan yang ada di wilayah Islam, dan otomatis akan menghadang kekuatan Islam Sunni yang berupa kebangkitan Islam di sejumlah negara kawasan itu, terutama Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. Itulah negara-negara yang Amerika selalu berusaha menekan kekuatannya, baik secara politik, militer, maupun ekonomi.
Antara Kemenangan & Kebenaran Manhaj
Ketiga, kemenangan tidak berarti kebenaran suatu manhaj (ajaran), dan pengorbanan besar belum tidak selalu menandakan keikhlasan! Betapa banyak pihak yang menang sedangkan mereka adalah pelaku bid’ah. Bahkan Syi’ah Qaramithah pernah berkuasa di muka bumi selama seabad atau lebih, padahal mereka yang membantai jama’ah haji, mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya, dan berbuat kerusakan di muka bumi. Bangsa Persia dan Romawi juga pernah berkuasa di muka bumi, demikian pula Tartar (Mongol), Inggris, dan Amerika; padahal manhaj mereka semuanya rusak. Termasuk para penguasa muslim yang kejam dan bengis, yang melenceng dari ajaran Islam yang lurus, juga pernah menguasai rakyat mereka selama puluhan tahun.
Setiap kemenangan dan kekuasaan suatu kaum, tidak harus menunjukkan bahwa yang bersangkutan menganut manhaj (ajaran) yang benar. Namun kaum muslimin harus melihat ucapan dan perbuatan yang bersangkutan, apakah itu semua sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, atau tidak seperti itu. Berapa banyak orang yang berkorban dalam peperangan, tabah laksana pahlawan, akan tetapi menjadi penghuni Neraka? Ya, sebab ia tidak melakukan semua itu karena Allah. Bahkan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam para sahabat menyaksikan ada seorang lelaki yang demikian hebat mengobrak-abrik barisan musyrikin, hingga orang-orang mengiranya sebagai orang Islam terhebat, akan tetapi Nabi mengabarkan kepada merek bahwa lelaki itu adalah penghuni Neraka! Lantas saat para sahabat menguntitnya, mereka mendapatinya dalam sakaratul maut dan ia mengatakan: “Sesungguhnya aku berperang demi kaumku”[6]. Jadi, dia tidak berperang demi Allah ‘Azza wa Jalla, alias ia berperang demi kepentingan, dan kemenangan serta ketabahannya di medan perang berangkat dari asas yang batil.
Kita bukannya sok tahu akan niat Hizbullah, sebab hanya Allah yang tahu isi hati mereka. Akan tetapi kita berbicara tentang akidah yang mereka nyatakan, dan bid’ah yang mereka tampakan. Silakan merujuk kembali artikel yang berjudul: “Hegemoni Syi’ah”, niscaya Anda akan dapatkan bagaimana Syi’ah menang dan berkuasa, akan tetapi sama sekali bukan menang dalam ajaran, namun semuanya adalah penyimpangan dari jalan yang lurus.
Sikap Ahlussunnah
Keempat, meski perang yang terjadi antara Hizbullah dan Zionis Israel adalah perang demi kepentingan, tidak berarti bahwa muslimin Ahlussunnah tidak perlu mengambil sikap tertentu dalam masalah ini. Bahkan dalam hal ini saya berbeda pendapat dengan banyak senior saya dalam masalah ilmu dan dakwah, yang memandang agar masalah ini dibiarkan saja tanpa campur tangan, sebab kedua belah pihak adalah kaum yang sesat. Seorang muslim hendaknya berperan positif dan dapat menilai antara maslahat dan mudharat. Perang ini terjadi antara Zionis Israel yang benar-benar menjajah bumi Palestina, dan Hizbullah yang hidup di bumi yang sebagiannya dijajah oleh pihak Zionis. Dari sini, melemahkan kaum Zionis pada dasarnya adalah suatu tujuan, mengingat jelasnya permusuhan kaum Zionis, dan membebaskan bumi Lebanon dari cengkeraman Zionis adalah suatu keharusan.
Nah setelah itu, hendaknya kaum muslimin mengatur masalah mereka dengan strategi yang bisa menjaga hak-hak mereka tanpa terseret kepada Yahudi maupun Hizbullah.
Dahulu saya pernah menganggap luar biasa sikap Ahlussunnah di Lebanon tahun 1997 saat mereka bergabung dalam jumlah besar ke pasukan perlawanan Lebanon yang berusaha mengusir Yahudi dari Lebanon. Padahal komandonya dipegang oleh Hizbullah, dan Hizbullah banyak memanfaatkan perjuangan Ahlussunnah setelah itu dan tidak mau mengakuinya; akan tetapi tetap saja pandangan kaum muslimin jelas dalam hal ini.
Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meladeni seorang lelaki musyrik yang datang kepadanya untuk menuntut haknya yang dirampas Abu Jahal. Nabi saat itu tidak mengatakan: “Lelaki ini kelak akan menggunakan harta yang dirampas tadi untuk bertaqarrub kepada Latta dan ‘Uzza”, namun Nabi membantunya dalam hal ini, kemudian di kesempatan lain beliau mendakwahinya ke jalan Allah.[4]
Kita tidak akan mencampur susu dengan nila, kita tahu bahwa proyek Syi’ah Hizbullah di Lebanon sangat berbahaya, namun di saat yang sama kita juga sadar akan bahaya proyek Zionis di wilayah tersebut.
Kelima, Hasan Nasrallah adalah tokoh kharismatik. Artinya, ia seorang yang punya karakter khusus dapat mempengaruhi orang di sekitarnya, dapat memimpin massa, dan menggelorakan semangat. Dia termasuk politikus nomor wahid, sangat cerdas dan pandai berbicara… Menurut saya (DR. Ragheb As Sirjani), boleh-boleh saja ia dikagumi sebagai politikus dan ahli strategi. Saya tidak takut jika ada orang yang mengagumi cara berpidatonya, atau caranya mempermainkan neraca politik… ini semua tidak mengapa bagiku untuk dirasakan oleh kaum muslimin. Bahkan kalau pun mereka (kaum muslimin) menirunya dalam sebagian hal tersebut, itu juga tidak mengapa.
TAPI, yang tidak bisa diterima ialah bila kita mengaguminya sebagai pemimpin Islam yang mengobarkan jihad sesuai perintah Allah. Sebab untuk menjadi pemimpin model ini syaratnya harus memiliki akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Ia harus mengikuti Sunnah Nabi dan tunduk pada ayat-ayat Allah, dan semua syarat ini tidak dimiliki oleh Hasan Nasrallah!
Di antara Akidah Hasan Nasrallah
Hasan Nasrallah adalah penganut Syi’ah Itsna ‘Asyariah. Artinya, ia mempercayai semua keyakinan madzhab tersebut. Dia percaya bahwa para sahabat semuanya bersekongkol untuk merebut khilafah dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib, dan menyerahkannya kepada Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman –semoga Allah meridhai mereka semua-. Dia juga meyakini bahwa Nabi telah memberi wasiat kepada imam-imam mereka yang dua belas dan menyebut nama-nama mereka secara jelas. Dia meyakini bahwa para imam tadi ma’shum, dan imam yang kedua belas telah masuk gua Sirdab –di Samurra, Irak- dan masih hidup (sejak 12 abad lalu) hingga saat ini, dan akan keluar suatu hari nanti. Dia juga mengimani taqiyyah[5] sebagai sembilan persepuluh (90%) agama Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa Ahlussunnah adalah golongan yang memusuhi Ahlul Bait, padahal Ahlussunnah lah yang lebih menghargai Ahlul Bait dari pada Syi’ah, namun caranya sesuai sunnah Rasul. Dia juga meyakini bahwa imam-imam yang besar berhak mengambil seperlima dari penghasilan pribadi setiap penganut Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa nikah mut’ah adalah halal; artinya, boleh saja baginya bila seorang pemuda mendatangi pacarnya, atau gadis lain lalu menikahinya selama sehari atau satu jam, demi melampiaskan syahwatnya kepada si wanita lalu mencerainya. Dia juga meyakini teori wilayatul faqih, dan berangkat dari sini, haram baginya untuk menyelisihi pemimpin revolusi Iran: Ali Khamenei dalam perintah apa pun, demikian seterusnya…
Semua yang saya sebutkan tadi adalah bagian dari keyakinan (akidah) Hasan Nasrallah yang telah mengakar. Kalau ada yang protes dan mengatakan: “Lho, kita kan tidak pernah mendengar dia mencaci-maki sahabat, atau menuduh isteri-isteri Nabi dengan tuduhan keji?”, maka saya katakan kepada orang-orang lugu tersebut: “Bukan suatu keharusan bagi kita untuk mendengar semua itu darinya agar kita yakin bahwa dia memang mengatakan seperti itu, sebab semua hal tadi merupakan KONSEKUENSI dari ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah”. Anda sendiri mungkin tidak pernah mendengar tetangga anda yang muslim mengatakan: laa ilaaha illallaah muhammadun rasulullah, akan tetapi anda tahu bahwa tetangga anda meyakini ucapan tersebut, karena dia seorang muslim. Demikian pula seorang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, ia mau tidak mau harus mengimani semua yang saya sebutkan tadi, sebab kalau tidak, dia akan berada di luar Syi’ah. Kalau Hasan Nasrallah harus menghargai dan menghormati para sahabat, maka ia tidak mungkin bisa membenarkan pokok-pokok ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, demikian pula dengan jabatan Khalifah yang dipegang oleh Ali, Hasan, Husein, dan imam-imam lainnya.
Jadi, seorang tokoh yang menganut berbagai kesesatan dan bid’ah tadi, sama sekali tidak layak untuk kita kagumi, maupun kita jadikan sebagai pemimpin Islam teladan. Kita hanya boleh mengambil sedikit hal darinya, sebagaimana kita ambil dari orang lain; bukan karena dia itu Islami, tapi karena dia adalah manusia yang memiliki potensi dan keahlian.
Sejarah Islam telah menyaksikan bagaimana kaum Salibis menjajah Palestina dan Syam sebelum ini, dan hal itu terjadi di depan mata daulah Syi’ah yang kuat, yaitu Daulah ‘Ubeidiyyah yang saat itu menguasai Mesir. Pun demikian, kaum muslimin yang sejati di zaman itu tidak menjadikan para pemimpin Daulah Ubeidiyyah sebagai teladan mereka, sebab para pemimpin tadi adalah orang yang rusak akidahnya, meskipun mereka adalah jago-jago politik, dan ahli strategi perang. Kaum muslimin hanya melahirkan teladan-teladan mereka yang sejati, hingga muncullah tokoh-tokoh seperti Imaduddien Zanky, Nuruddien Mahmud, dan Shalahuddien Al Ayyubi.
Inilah yang harus menyibukkan kita sekarang… jika kita telah menyaksikan megaproyek Syi’ah, dan telah matang dan berhasil di Iran, Irak serta Lebanon. Lantas di manakah megaproyek Sunni yang menyamai megaproyek Syi’ah, agar kemudian bisa mengunggulinya?!
Kita mengharap kepada salah satu dari sekian banyak pemimpin negara Islam agar merancang megaproyek Sunni tadi, yang berpijak kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan berjalan di atas manhaj As Salafus Shalih. Inilah proyek yang akan melindungi hak-hak kaum muslimin di muka bumi, dan mendukung Ahlussunnah yang tertindas di Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah; dan yang akan tegar menghadapi proyek-proyek Yahudi dan penjajahan mereka atas negara-negara Islam.
Namun kalau tidak ada seorang pemimpin pun yang mau memikul tanggung jawab ini, maka kita mengajak seluruh rakyat merek untuk merevisi kembali manhaj mereka dan mengintrospeksi diri agar kembali dengan pasrah dan taat kepada Allah. Sebab Allah tidak akan membiarkan umat tanpa seorang pemimpin yang mukhlis, kecuali karena umat itu sendiri yang menerlantarkan dan menyia-nyiakan agama Allah. Jadi, sebagaimana kalian, demikianlah penguasa kalian, dan Allah tidaklah berbuat zhalim sedikit pun… maka bela lah agama Allah, agar Allah membela kalian, dan tolonglah ajaran-Nya agar Dia menolong kalian, serta kembalilah kepadanya, agar Dia menerima kalian, mengampuni dosa kalian, dan membimbing kalian ke jalan yang lurus…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
Penyusun: Ustadz Sufyan Basweidan, MA Hafizhohullahu Ta'ala
Artikel: Diambil dari tiga artikel di www.muslim.or.id:
Note:
[1] Yaitu ajaran yang dicetuskan Khomeini untuk merubah sikap kaum syi’ah yang semula tidak meyakini adanya perang sebelum munculnya Imam Mahdi mereka (yakni Imam ke-12 yang diyakini masih ghaib sejak 12 abad lalu). Dengan wilayatul faqieh, Khomeini mengatakan bahwa posisi Imam Mahdi untuk sementara diambil alih oleh seorang faqieh (ahli agama) -yang dalam hal ini adalah dirinya-, untuk memimpin kaum Syi’ah. Nah, dengan jabatan tersebut Khomeini bertindak layaknya Imam Mahdi dan berhasil merubah kaum Syi’ah menjadi kaum radikal dan revolusioner hingga mau berperang demi ambisi pribadinya.
[2] Silakan lihat teks Arabnya di: http://www.moqawama.org/essaydetails.php?eid=15008&cid=210
[3] Lihat dalam kitab yang dimaksud, hal 24 cet. Darul Warraq-Al Maktabul Islami.
[4] Lihat: Sirah Nabawiyah tulisan Ibnu Hisyam, 1/524-525. Lelaki tersebut bernama Quzman yang merupakan sekutu Bani Dhafar.
[5] Idem, 1/389-390.
[6] Taqiyyah artinya menampakkan ucapan/perbuatan yang berbeda dengan keyakinan demi kemaslahatan pribadi, yang dahulu dikenal dengan istilah nifaq (kemunafikan).
Oleh: Dr. Ragheb As Sirjani
Di antara sepak terjang yang paling mengagumkan bagi mayoritas kaum muslimin, khususnya beberapa tahun belakangan ini adalah sepak terjang Hizbullah dan pemimpinnya: Hasan Nasrallah. Hasan Nasrallah bahkan dijuluki oleh majalah Newsweek Amerika Serikat sebagai tokoh yang paling kharismatik di dunia Islam, plus yang paling berpengaruh bagi mayoritas kaum muslimin.
Pun demikian, ulama dan cendekiawan muslim memiliki pendapat yang bermacam-macam dan bertolak belakang dalam menilai Hizbullah dan Hasan Nasrallah sebagai pemimpinnya. Di antara mereka ada yang membelanya mati-matian hingga menjuluki Nasrallah sebagai Khalifah kaum muslimin. Tapi ada pula yang menyerangnya habis-habisan hingga mengeluarkan Hizbullah dari Islam secara keseluruhan, dan masih puluhan pendapat lagi yang berkisar di antara dua penilaian tadi.
Lantas di manakah kebenaran yang sesungguhnya dalam masalah ini? Bolehkah kita berbangga dengan sepak terjang Hizbullah selama ini? Pantaskah kita menganggapnya sebagai lambang kebanggaan, ataukah kita harus peringatkan orang-orang akan bahayanya? Dan bolehkan kita mengikuti gerakan ‘bungkam mulut’ yang dianjurkan oleh banyak kaum muslimin, dengan mengatakan: “Apa perlunya mengungkit-ungkit masalah ini sekarang?”, ataukah ‘bungkam mulut’ tadi ada artinya, mengingat peristiwa yang terus berlanjut dan masalah-masalah yang makin ruwet… dan Anda tahu bahwa orang yang mengacuhkan kebenaran seperti syaithan yang tuli?!
Sebagaimana yang biasa kami lakukan dalam tulisan-tulisan kami sebelumnya, untuk memahami sesuatu, kita harus menelusuri asal-usulnya. Kita harus menyimak kisah ini dari awalnya, dan harus tahu bagaimana Hizbullah tiba-tiba berdiri? Dalam kondisi apa ia muncul? Dan kita harus tahu kisah pendirinya, akidahnya, cara berfikir mereka, impian mereka, target mereka dan sarana yang mereka pergunakan untuk mewujudkannya. Ketika itulah kita akan tahu banyak hal yang selama ini tersembunyi. Kita akan menggunakan akal untuk mengarahkan perasaan dan sikap kita, sebab bisikan akal akan berbeda sama sekali dengan bisikan perasaan.
Bagaimana Berdirinya Hizbullah?
Hizbullah berdiri di negara Lebanon. Negara ini memiliki karakter spesial yang berbeda dengan seluruh negara di dunia. Ia merupakan negara multi golongan yang aneh bentuknya, sebab dataran Lebanon dihuni oleh sekitar 18 sekte agama yang semuanya diakui. Barangkali faktor geografis Lebanon yang bergunung-gunung itulah yang menjadikannya sarang bagi berbagai aliran yang saling bertentangan. Dari sanalah terdapat kaum Nasrani dengan berbagai sektenya, demikian pula Syiah, Druz, dan lain sebagainya.
Orang-orang Lebanon mengakui bahwa tiga golongan terbesar di Lebanon adalah: Golongan muslimin Ahlussunnah, Golongan Syiah Itsna Asyariah, dan Golongan Nasrani Maronit. Jauh setelah mereka barulah diikuti oleh Sekte Druz yang masih dianggap sebagai muslimin meskipun mereka tidak demikian.
Penjajah Perancis yang menginvasi Lebanon pada tahun 1920, bertekad untuk memantapkan fenomena multi golongan ini. Bahkan mereka sengaja menyerahkan sebagian besar pusat pemerintahan kepada sekutu-sekutu mereka dari kalangan Nasrani Maronit. Akan tetapi pasca kemerdekaan Lebanon tahun 1943, ditetapkanlah Undang-undang Lebanon yang memberikan jabatan presiden kepada Nasrani Maronit, lalu jabatan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada Ahlussunnah, dan jabatan ketua DPR kepada Syi’ah. Undang-undang ini belum bisa diterapkan secara praktis hingga tahun 1959, yaitu setelah semua pusat pemerintahan menerima ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Nasrani Maronit tersebut.
Berangkat dari sensitivitas multi golongan tadi, maka orang-orang Lebanon mengacuhkan sama sekali masalah sensus penduduk yang dapat memberi gambaran lebih rinci akan persentase masing-masing golongan. Pun demikian, penelitian yang paling mendekati kebenaran ialah yang mengatakan bahwa nisbah Ahlussunnah adalah 26%, demikian pula Syia’h 26%, sedangkan Maronit 22% dan Druz 5,6%.
Wajarlah, jika setiap golongan akan berusaha untuk bermarkas di daerah tertentu sebagai basis kekuatan yang mempengaruhi daerah sekitarnya. Syiah misalnya, bermarkas di daerah selatan Lebanon dan lembah Bikaa, sedangkan Ahlussunnah bermarkas di daerah Utara dan Tengah Lebanon, serta kota-kota pesisir seperti Beirut Tripoli, dan Saida. Sedangkan Maronit bermarkas di Gunung Lebanon dan Beirut Timur.
Barangkali, posisi markas Syi’ah yang ada di selatan inilah yang menjadi alasan terjadinya bentrokan dengan pihak Yahudi dalam dekade-dekade terakhir. Jadi, konflik Hizbullah-Israel yang terjadi –sebagaimana yang akan kami ulas nantinya- bukanlah perseteruan karena akidah, bukan pula karena Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan BUKAN demi membebaskan tanah palestina. Konflik ini terjadi karena mereka merasa bahwa daerah-daerah strategis yang mereka kuasai terancam hilang, dan mau tidak mau mereka harus mempertahankannya. Sebab jika tidak, kisah mereka akan segera tamat!! Andai saja agresi militer Yahudi ditujukan kepada daerah-daerah kekuasaan Ahlussunnah, dapat dipastikan Syi’ah tidak akan bergerak sejengkal pun untuk melawan.
Musa Ash Shadr dan kaitannya dengan kronologi kisah ini
Kembali ke awal cerita…
Baik Ahlussunnah maupun Syi’ah, pernah hidup secara sangat terpinggirkan dibandingkan kaum Maronit yang mendukung penjajah Perancis dan masyarakat dunia. Akan tetapi, golongan Ahlussunnah dan Syi’ah mulai berusaha mencari jatidiri dan pengakuan akan eksistensi mereka, terutama di akhir era lima puluhan.
Di saat Ahlussunnah kehilangan pihak yang memperjuangkan nasibnya, lebih-lebih seiring dengan munculnya gerakan nasionalis-komunis yang melanda dunia Arab waktu itu; saat itulah Syi’ah mendapat nafas segar untuk tumbuh dan berkembang. Tepatnya ketika mendarat di tanah Lebanon seorang tokoh Syi’ah berpengaruh yang meninggalkan bekas-bekas nyata di peta Lebanon; dialah Musa Ash Shadr, yang tiba di Lebanon tahun 1959.
Musa Ash Shadr lahir di kota Qumm, Iran, tahun 1928, dan mendalami madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariah di kota tersebut. Ia kemudian menjadi dosen di Univ. Qumm yang mengajarkan mata kuliah fiqih dan mantiq. Ia kemudian pindah ke kota Najaf, Irak, pada tahun 1954 untuk melanjutkan studinya tentang Syi’ah di tangan sejumlah rujukan Syi’ah top, seperti Muhsin Al Hakiem dan Abul Qasim Al Khu’iy. Setelah itu ia pindah ke Lebanon pada tahun 1959 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.
Musa Ash Shadr tiba di Lebanon mengemban dua misi penting:
- Misi pertama ialah misi religius Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah di Lebanon. Ia hendak mendirikan negara tersebut dengan bertolak dari madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dengan segala akidah dan kepercayaannya yang menyimpang, plus seluruh bid’ah-bid’ahnya yang mungkar. Hal ini dapat Anda pelajari secara lebih rinci dalam tulisan-tulisan yang membahas tentang pokok-pokok keyakinan kaum Syi’ah. Perlu diketahui, bahwa Syi’ah di Lebanon kala itu bukanlah syi’ah yang agamis, artinya mereka hanya membawa nama ‘syi’ah’ tanpa mengetahui tabiat dan prinsip dari madzhab mereka.
- Sedangkan misi keduanya ialah dana yang sangat besar jumlahnya untuk memudahkannya dalam mewujudkan megaproyeknya tadi. Bukan suatu rahasia bahwa para rujukan Syi’ah di dunia adalah orang-orang yang sangat kaya, sebab kaum Syi’ah menyumbangkan seperlima (20 %) dari penghasilan mereka kepada para rujukan tadi, dengan anggapan bahwa mereka berasal dari Ahlul Bait. Harta tersebut adalah khusus bagi mereka secara pribadi dan mereka bebas mempergunakan semau mereka. Dengan harta inilah mereka mampu mengendalikan berbagai hal karena mereka telah membentuk kekuatan ekonomi raksasa.
Kaum Syi’ah dan perlawanan terhadap pemerintahan Sunni
Azas madzhab syi’ah sebenarnya hanyalah pemberontakan terhadap sistem pemerintahan yang bertujuan untuk menguasai dan mencapai kekuasaan, dengan cara menentang dan memerangi ajaran-ajaran Sunni. Syi’ah telah berhasil menguasai daerah yang cukup luas di dunia Islam dalam kurun sejarah yang berbeda. Anda bisa membaca kembali tulisan tentang “Hegemoni Syi’ah”, yang menampakkan dengan jelas berbagai dampak negatif yang tercela yang mereka timbulkan setelah mereka berhasil memegang tampuk kekuasaan di suatu tempat.
Akan tetapi seiring dengan tumbangnya Daulah Ash Shafawiyyah (Savafid Empire) di pertengahan abad 18 M, Syi’ah kehilangan kendalinya di seluruh dunia, dan mega proyek mereka pun menyurut selama beberapa waktu. Akan tetapi, jiwa suka menguasai tadi mulai muncul di era lima puluhan. Ambisi besar mereka untuk mendirikan sebuah daulah yang menyebarkan ajaran Itsna ‘Asyariyah yang sesat tadi dengan tangan kekuasaan dan senjata. Konon tempat yang dianggap strategis untuk mendirikan daulah tersebut tidak keluar dari tiga tempat: Iran, Irak, dan Lebanon. Sebab di ketiga tempat tadi Syi’ah memiliki massa yang mendukung berdirinya negara yang dimaksud.
Lobi-lobi Syi’ah sejak semula merencanakan pendirian daulah tersebut di salah satu dari ketiga negara tadi, atau di ketiga-tiganya. Kader-kader pun telah disebar di berbagai daerah. Ada yang khusus bekerja untuk menggulingkan pemerintahan di Iran, yang dipimpin oleh Khomeini. Ada juga yang bekerja untuk hal serupa di Irak, dan insya Allah akan kita ulas dalam tulisan mendatang. Dan ada juga yang dikirim untuk beroperasi di Lebanon, yaitu Musa Ash Shadr.
Megaproyek ini merupakan jaringan operasi yang rumit dan bergerak perlahan-lahan. Bagi mereka tidak masalah bila targetnya baru dicapai puluhan tahun mendatang, yang penting target itu bisa tercapai. Cara seperti inilah yang dahulu dipakai untuk mendirikan daulah-daulah Syi’ah tempo dulu, seperti Daulah Buwaihiyyah, dan Daulah Ubeidiyyah yang menamakan dirinya secara dusta sebagai Daulah Fathimiyyah; dan lain-lain. Lihat kembali tulisan kami tentang “Hegemoni Syi’ah di http://muslim.or.id/manhaj/hegemoni-syiah.html "
Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bekerja sama dengan masyarakat papan bawah dan kaum fakir miskin di suatu negara. Kepada merekalah angin pemberontakan dihembuskan agar menggulingkan golongan kaya dan para penghuni istana. Organisasi-organisasi tersebut senantiasa mengungkit-ungkit masalah revolusi yang telah mengakar dalam jiwa kaum syi’ah, lalu dari sanalah terjadinya kudeta dan berdirinya negara Syi’ah.
Peristiwa ini telah kita saksikan dalam sejarah, dan kita saksikan pula di Iran. Mungkin bila tersisa cukup waktu, kita akan menjelaskan kronologi Revolusi Syi’ah di Iran. Akan tetapi sekarang kita sedang menyaksikan langkah-langkah nyata di Lebanon dan Irak yang mengarah ke sana. Jika megaproyek mereka berhasil di kedua negara ini, maka ekspansi mereka berikutnya akan meliputi Suriah, Kuwait, Bahrain, dan wilayah timur Saudi. Oleh karena itu, penjelasan ini wajib ditulis, dan kaum muslimin harus faham akan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Rencana pendirian Negara Syi’ah
Kembali ke kisah Lebanon…
Musa Ash Shadr berhasil di kirim ke Lebanon untuk merencanakan pendirian negara syi’ah. Ialah yang dipilih, sebab ia memiliki asal usul Lebanon, dan dia pandai berbahasa Arab selain menguasai bahasa Parsi. Ia senantiasa melakukan kontak dengan Khomeini, bahkan ada hubungan lain antara keduanya yang lebih kuat dari sekedar relasi politik; sebab putera Khomeini yang bernama Ahmad Al Khomeini, menikahi puteri saudari kandung Musa Ash Shadr. Sedangkan Musa Ash Shadr menikahi cucu Khomeini, di samping itu, Musthafa Al Khomeini juga merupakan salah satu sahabat terdekat Ash Shadr.
Musa Ash Shadr segera menuju Lebanon selatan yang merupakan kantong Syi’ah. Di sana ia memulai misinya atas nama sosial, tanpa menonjolkan masalah agama dengan jelas. Ia mendirian yayasan-yayasan sosial untuk membantu kaum fuqara’, demikian pula sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan. Kemudian ia mulai menampakkan perspektif syi’ah-nya sedikit demi sedikit. Ia lalu mendirikan lembaga-lembaga peradilan Ja’fari, yang mengadili kaum syi’ah berdasarkan madzhab Itsna ‘Asyariah mereka. Karakter multi golongan yang ada di Lebanon memang mendukungnya untuk beroperasi secara luas, lebih-lebih mengingat sangat lemahnya pengaruh pemerintah dan militer Lebanon…
Musa Ash Shadr adalah tipe laki-laki yang menempuh segala cara. Ia siap menggandeng tangan siapa saja demi mewujudkan keinginannya. Sejak semula ia tahu bahwa golongan Nasrani Maronit adalah golongan terkuat di Lebanon kala itu, dan pesaingnya adalah golongan Sunni. Padahal perlu kita ketahui bahwa Ahlussunnah kala itu bukanlah kaum fundamentalis yang berpegang teguh dengan sunnah atau agama Islam. Mereka tak lain adalah orang-orang berfaham Nasionalis-Sosialis-sekuler, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat Allah.
Musa Ash Shadr pun mulai mendekati golongan Nasrani, sebab Syi’ah sebagaimana yang kita ketahui sejak dulu, tak lain adalah pemberontakan atas ajaran Islam Sunni.
Syi’ah hanyalah penentang sejarah Islam sejak Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhuma, lalu demikian seterusnya di setiap negara Islam yang menaungi umat ini. Intinya, pemikiran syi’ah sejak semula ialah konfrontasi dengan Ahlussunnah. Nah sebab itulah Musa Ash Shadr berusaha merangkul Sharel Al Halew, Presiden Lebanon yang Maronit kala itu. Ia tidak merangkul pemimpin-pemimpin Sunni untuk mengumpulkan kekuatan kaum muslimin. Ia justeru menganggap bahwa Sharel Al Halew sebagai sekutu yang pantas untuk menentang penguasa Sunni. Ia mulai mendekatinya dan memprovokasinya. Hingga akhirnya pada tahun 1967 terjadilah kesepakatan untuk mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah yang bertindak sebagai wakil Syi’ah di Lebanon. Sharel Al Halew bahkan sepakat untuk menetapkan undang-undang nomor 72/76 yang memutuskan: bolehnya menjadikan rujukan-rujukan Syi’ah dunia (di Iran, Irak dan lainnya) sebagai rujukan Majelis Syi’ah dalam menetapkan fatwa, hukum dan undang-undangnya. Mereka tidak harus mengikuti hukum yang berlaku di Lebanon!
Majelis ini benar-benar berhasil didirikan tahun 1969 dan ketuanya yang pertama kali tentulah Musa Ash Shadr sendiri. Pemerintah Lebanon mengakui keberadaan majelis tersebut pada tahun 1970, bahkan pemerintah menetapkan dana sebanyak 10 juta Dollar sebagai bantuan untuk wilayah selatan yang Syi’ah.
Musa Ash Shadr juga tak lupa menjual dirinya kepada Amerika. Dalam pertemuannya dengan Dubes AS, Ash Shadr menyebutkan bahwa ia akan menghadapi gerakan Nashiri yang Komunis bersama pemuda-pemuda Syi’ah di Lebanon. Kedekatan hubungannya dengan orang-orang Amerika telah demikian terkenal, hingga ia dituduh oleh orang-orang dekatnya Khomeini. Sebab Khomeini ketika itu menganggap AS sebagai bahaya besar, sebab AS mendukung kuat pemerintahan Shah Iran.
Akan tetapi terjadilah perkembangan di luar keinginan Musa Ash Shadr pada tahun 1970. Yaitu dengan terjadinya pembantaian para pengungsi Palestina di Yordania, yang terkenal dengan pembantaian “September Hitam”. Dari sanalah orang-orang Palestina di bawah komando Fatah diungsikan ke Lebanon. Tanpa diinginkan oleh Syi’ah, pengungsian tersebut menempati wilayah selatan Lebanon yang berbatasan dengan Palestina. Masalahnya orang-orang Palestina tadi adalah Ahlussunnah, dan hal ini berarti akan menghambat megaproyek pendirian negara Syi’ah tadi. Padahal gerakan Fatah ketika itu menganut faham Sosialis-sekuler yang sangat jauh dari ajaran Islam.
Pun demikian, Musa Ash Shadr sempat memanfaatkan gerakan Fatah dalam periode ini. Ia menjalin hubungan solidaritas dengan Fatah, dengan harapan bahwa Fatah kelak akan memberikan training militer terhadap Syi’ah. Ini merupakan persiapan pembentukan milisi-milisi bersenjata yang dapat mempengaruhi masa depan Lebanon. Kebetulan Fatah saat itu juga sedang mencari sekutu untuk menghadapi kaum Komunis, hingga terjadilah simbiosis mutualisme antara Fatah dan Ash Shadr.
Pada tahun 1971, Hafizh Asad menduduki kursi kepresidenan di Suriah. Ia termasuk kelompok Nushairiyyah ‘Alawiyyin, yang berada di luar Islam meskipun secara politik dihitung sebagai ‘muslim’. Mereka –kaum Nushairiyyah ‘Alawiyyin tadi- menuhankan Ali bin Abi Thalib. Namun, segera saja Musa Ash Shadr mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kaum ‘Alawiyyin tersebut adalah Syi’ah, yang konsekuensinya ia menganggap Hafiz Asad sebagai muslim! Ini menyebabkan makin eratnya hubungan Ash Shadr dengan Suriah dan pemerintahan yang berkuasa di sana. Musa Ash Shadr menjadi mata rantai penghubung antara Hafiz Asad dan pemimpin-pemimpin Revolusi Iran, hingga Hafiz Asad pun mendukung penggulingan Shah Iran, bahkan mendukung Iran pasca Revolusi saat berperang melawan Irak, sebab ia sangat memusuhi Saddam Husein.
Demikianlah Musa Ash Shadr menanamkan benih-benih negara Syi’ah-nya yang baru. Ia bekerja sama sangat kuat dengan para tokoh agama di seluruh dunia, khususnya Khomeini, demikian pula dengan kaum Nasrani Lebanon, Amerika Serikat, Suriah, bahkan dengan Fatah yang dianggap bagian dari Ahlussunnah.
Pada tahun 1974, Musa Ash Shadr mendirikan Harakah al Mahrumin yang menyerukan agar kaum fuqara mendapat hak-hak yang lebih banyak. Mulanya, banyak kaum Nasrani di selatan yang bergabung dalam gerakan tersebut. Mereka menyangka bahwa gerakan tersebut bersifat nasionalis yang bertujuan mengentaskan fakir miskin di Lebanon dari krisis ekonomi. Akan tetapi mereka akhirnya keluar setelah mencium aroma Syi’ah yang kuat dari Harakah tersebut.
Tak lama kemudian, Ash Shadr membuat kesepakatan dengan Yasir Arafat sebagai pemimpin Fatah untuk melatih Harakah al Mahrumin secara militer, dan hal itu atas sepengetahuan pemerintah Lebanon yang lemah.
Pada bulan Juli 1975, Ash Shadr mengumumkan pembentukan sayap militer Harakah al Mahrumin yang dinamakan ‘Gelombang Perlawanan Lebanon (Afwaaj Al Muqaawamah Al Lubnaaniyyah’), yang disingkat Harakah AMAL, dan tentulah dia sendiri yang mengepalainya.
Tiba-tiba Musa Ash Shadr berbalik menentang orang-orang Palestina, dan menuntut dengan sangat agar warga Palestina yang berfaham Sunni diusir dari daerah selatan yang notabene syi’ah. Kita akan menyaksikan selanjutnya, bagaimana anggota Harakah AMAL membantai orang-orang Palestina tersebut dalam Serangan atas Kamp pengungsian, yang terkenal sejak tahun 1985 hingga 1988.
Pada tahun 1975, Lebanon mulai memasuki silsilah perang saudara yang membingungkan. Perang ini demikian rumit karena terkait dengan berbagai faktor internal dan eksternal. Kita mungkin membutuhkan berbagai analisa khusus untuk dapat memahaminya dengan jelas.
Musa Ash Shadr dan berbagai permusuhan
Setelah terbentuknya Majelis Perwakilan Tinngi Syi’ah dan Harakah AMAL, Musa Ash Shadr menjadi sebuah kekuatan yang tak bisa disepelekan. Hal ini mulai menggugah kesadaran banyak orang, sebab Musa Ash Shadr tidak lagi menutupi kekuatan tersebut atau menyembunyikannya. Ia bahkan sering kali mengancam terang-terangan dalam berbagai liputan persnya untuk mengerahkan massanya ke rumah-rumah orang kaya di Lebanon jika mereka tidak memenuhi tuntutannya. Bahkan ia berani mengritik sebagian tindakan Khomeini, dan menjalin hubungan dengan pihak-pihak internasional tanpa merujuk ke tokoh-tokoh agama yang semula mengirimnya ke Lebanon. Masalah semakin meruncing saat ia mengunjungi Iran dan bertemu Shah secara langsung. Ia meminta agar Shah memberikan amnesti kepada 12 tokoh agama yang telah divonis mati olehnya, dan hal ini dianggap oleh Khomeini sebagai tindakan keluar dari kesepakatan internasional Syi’ah, dan kerjasama dengan Shah yang notabene adalah musuhnya kaum revolusioner.
Konflik semakin memuncak pada tahun 1978, ketika terjadi krisis hubungan antara Suriah dan Ash Shadr secara tiba-tiba. Hal ini dikarenakan Suriah mengalami banyak tekanan dari Negara-negara sekitar dan AS, setelah Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Zionis Israel tahun 1977. Suriah berharap agar Lebanon menjadi pembela utamanya, sebab Suriah memiliki pasukan di Lebanon saat itu. Suriah juga berharap agar Ash Shadr tidak bersekutu dengan selain Suriah. Akan tetapi Ash Shadr telah merasakan bahwa dirinya kuat dan posisi Suriah lemah, karenanya ia sengaja mempererat hubungannya dengan negara-negara Arab dan sengaja melanggar peringatan Suriah. Ia mulai mengunjungi Kuwait, kemudian Al Jazair, dan terakhir berangkat ke Libya pada bulan Agustus 1978, yang diiringi sebuah kejutan besar… karena Libya mengumumkan bahwa Ash Shadr telah angkat kaki dari wilayahnya pada tanggal 25 Agustus 1978, akan tetapi ia tak pernah muncul lagi di tempat mana pun di muka bumi!!
Ini merupakan kejadian yang sungguh ajaib. Sebab Musa Ash Shadr bukanlah anak kecil yang gampang tersesat di airport, dan bukan pula orang biasa yang disikapi masa bodoh oleh Libya kemana perginya… akan tetapi yang jelas ia telah diculik atau dibunuh.
Saat itu memang banyak musuh yang mengintai Musa Ash Shadr, dan banyak di antara mereka yang dituding berada di balik pembunuhannya. Yang paling utama ialah tokoh-tokoh Revolusi yang setahun kemudian muncul di Iran. Dan tentu mereka tidak menginginkan keberadaan tokoh-tokoh kharismatik yang memiliki multi relasi sebagai saingan Khomeini yang berada di garda depan Negara Syi’ah yang baru.
Apalagi membikin berang pemerintah Suriah saat itu, berarti memberi lampu hijau bagi rencana pembunuhan, sebab pemerintah Suriah memang terkenal berdarah dingin dalam menghadapi para penentangnya. Libya sendiri ketika itu berhubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusi Iran, dan siap mendukung mereka pasca revolusi untuk melawan Irak. Adapun kekuatan internal Lebanon yang mendapat manfaat dari tersingkirnya Musa Ash Shadr juga cukup banyak, sebab perang saudara di Lebanon saat itu memang sedang klimaksnya.
Lenyapnya Musa Ash Shadr memang teka-teki yang membingungkan, yang para politikus berlomba-lomba memecahkannya, akan tetapi tak satu pun dari mereka yang dapat memberikan jawaban pasti. Yang jelas, Musa Ash Shadr telah meninggalkan medan pertempuran yang menyala di belakangnya, dan meninggalkan Harakah AMAL yang melanjutkan cita-citanya, dan meninggalkan jabatan kosong di Majelis Perwakilan Tinggi Syi’ah… lalu tepat setahun kemudian terjadilah revolusi Iran untuk menggulingkan Shah, dan empat tahun berikutnya militer Zionis mencaplok Lebanon selatan, lalu dari ‘rahim’ pergolakan yang rumit tadi lahirlah Hizbullah yang Syi’ah, untuk melanjutkan megaproyek Ash Shadr, akan tetapi yang jelas dengan pengarahan dari Iran.
Bagaimana ini semua terjadi? Bagaimana pula nasib Harakah AMAL? Dan Bagaimana sikap Syi’ah terhadap orang-orang Palestina di Lebanon selatan? Bagaimana pamor Hizbullah tiba-tiba mencuat? Siapakah sebenarnya Hasan Nasrallah, dan bagaimana akidah serta pemikirannya?
Kisah Hizbullah bag. 2
Banyak dari kaum muslimin yang memberi peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka untuk menghukumi berbagai perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak meneliti apa yang ada di balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan tidak menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka dalam berbagai kekeliruan dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru disadari setelah musibah dan bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika itu, penyesalan mungkin tiada berguna lagi.
Benang merah panjang yang mengawali lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam ‘Kisah Hizbullah bag. 1′ di atas. Di sana telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali ini akan kami lanjutkan. Saya (penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri jalan penuh duri. Usaha saya untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum muslimin ini, pasti menghadapkan saya kepada gelombang penolakan dan kritikan dari kaum muslimin yang bersimpati kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses di masa-masa yang sensitif dalam tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut adalah pengikut Syi’ah yang bobrok, yang meyakini kebebasan berpendapat dalam mengritik, mencela, menentang dan bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan menghadapi perlawanan buas dari pihak Syi’ah sendiri, yang mendorong media-media massa Sunni agar menyerukan supaya ‘file ini’ ditutup dan jangan dibicarakan sama sekali, sembari memalingkan mereka kepada Zionis Israel dan Amerika saja. Padahal di saat yang sama Syi’ah terus melanjutkan skenario mereka dengan mantap. Kaum muslimin baru akan bangun dari tidurnya, saat Syi’ah berhasil mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara dengan Daulah Buwaihiyyah tempo dulu, atau lebih besar lagi!!
Perpecahan Harakah AMAL Pasca Ash Shadr
Setibanya Musa Ash Shadr dari Qum (Iran) dan Najaf (Irak), ia berusaha merekrut orang-orang Syi’ah Lebanon menjadi sebuah eksistensi yang saling melengkapi, yang bisa diajak mendirikan sebuah daulah (negara) di masa depan. Ia begitu perhatian dengan sisi religius dan madzhabiyah kelompok ini, hingga pada tahun 1969, ia mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah. Ia juga perhatian dengan sisi militer mereka, hingga mendirikan Harakah AMAL, yang merupakan singkata dari Afwaajul Muqaawamah Al Lubnaaniyyah (Gelombang Perlawanan Lebanon). Ia juga menjalin hubungan erat dengan pihak Nasrani Maronit, demikian pula dengan Amerika Serikat dan Suriah, di samping tentunya dengan pihak-pihak yang mengirimkannya ke Lebanon, yang tokoh dari itu semua adalah Khomeini, yang saat itu masih berada di Irak.
Abdul Amir Qublan
Musa Ash Shadr meninggalkan kekosongan besar, dan kaum Syi’ah berusaha menertibkan kembali administrasi mereka, hingga jabatan Majelis Tinggi Syi’ah akhirnya diambil alih oleh Abdul Amir Qublan, yang tadinya adalah wakil Musa Ash Shadr. Terus menjabat sebagai wakil ketua Majelis, padahal jabatan ketua sampai kini masing vakum! Sedangkan tokoh-tokoh Syi’ah di Lebanon merujuk kepada salah seorang syaikh mereka, yaitu Husein Fazhlullah, dan si saat yang sama kondisi sayap militer Syi’ah yang terkenal sebagai Harakah AMAL makin ricuh, hingga anggota-anggotanya terpecah menjadi dua kelompok:
- Kelompok pertama, ialah Syi’ah Sekuler yang ingin mengatur jalannya permainan tanpa merujuk ke kaidah-kaidah madzhab Itsna Asyariyah. Mereka tidak ingin terikat dengan tokoh-tokoh rujukan agama di luar Lebanon, alias ingin menempuh jalur nasionalisme. Kelompok ini dipimpin oleh Nabieh Barrie, salah satu pemimpin Lebanon terkenal.
- Sedangkan kelompok kedua, ialah mereka yang ingin melanjutkan khittah Musa Ash Shadr, alias ingin mendirikan Negara bermadzhab Syi’ah yang menetapkan seluruh keyakinan dan kesesatan kaum Syi’ah dengan kekuatan senjata, sekaligus melebarkan kekuasaan mereka sekuat kemampuan. Kelompok ini bekerja sama dengan tokoh-tokoh revolusi Iran yang merencanakan kudeta di Iran, akan tetapi kelompok ini masih membutuhkan seorang pemimpin yang mengarahkan mereka.
Al Musawi, Nasrallah, dan Strategi Iran
Di masa-masa yang sulit tadi, ada dua orang yang datang dari Najaf, Irak. Keduanya telah mendalami akidah Syi’ah di sana, dan keduanya yang paling berpengaruh dalam mempertahankan eksistensi khittah madzhabiyyah-nya Musa Ash Shadr. Kedua orang tersebut adalah: Abbas Al Musawi dan Hasan Nasrallah.
Mereka berdua menyusup dengan cepat ke barisan Harakah AMAL, dan dapat menduduki pusat-pusat kepemimpinan di sana, padahal umur Hasan Nasrallah kala itu baru 18 tahun!
Pada tahun 1979, tercetuslah revolusi Iran dan Shah berhasil digulingkan. Khomeini pun kembali dari Paris (setelah diusir dari Irak tahun 1978) dan memegang tampuk kekuasaan di Teheran. Ia mulai ‘menertibkan keadaan’ di sana, dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya. Ia berbalik kepada pihak-pihak yang dahulu mendukungnya dari ormas-ormas Iran lainnya. Khomeini berhasil memantapkan dirinya dengan sempurna dan tidak bergerak ke kota suci Qumm seperti yang diramalkan banyak orang, namun justeru menetap di ibukota Teheran.
Setelah pulihnya berbagai masalahnya di Iran, Khomeini mulai memperhatikan Lebanon dan Irak. Keduanya merupakan kantong-kantong yang memiliki massa Syiah cukup besar, dan di saat yang sama, keduanya merupakan bagian dari skenario Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya di wilayah tersebut.
Kondisi di Irak saat itu masih sangat sulit. Saddam Hussein konon menerapkan tangan besi dalam memerintah. Khomeini sendiri merasakan hal tersebut, sebab ia pernah tinggal selama 14 tahun penuh di Irak, yang berakhir dengan melarikan diri secara terpaksa ke Paris. Dari sini, Khomeini tahu persis bahwa Organisasi Syi’ah di Irak tidak mampu menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Sebab itulah Khomeini memilih solusi militer, dan segera memulai perang total terhadap pemerintah Irak pada tahun 1980, sebelum revolusi genap berumur satu tahun! Ini semua karena ambisinya untuk menjatuhkan pemerintahan Irak dan menyerahkan roda pemerintahan kepada Syi’ah, yang dengan begitu, Irak akan tergabung dalam Negara Syi’ah Raya yang diimpikan Khoemini.
Adapun di Lebanon yang jauh, yang sarat dengan berbagai kelompok dan sekte agama, di sana masih perlu persiapan dan sejumlah tokoh dengan loyalitas penuh kepada Khomeini dan pemerintahannya. Sebab itulah, Khomeini terus mengontak kedua orang tadi, yang notabene bermadzhab Syi’ah Itsna Asyariyah, yang keduanya beriman dengan ajaran Wilayatul Faqieh[1], yang berhasil menghantarkan Khomeini ke kursi pemerintahan. Kedua orang tersebut adalah Abbas Al Musawi dan Hasan Nasrallah, dan dari sinilah Iran mulai memberi dukungan langsung kepada mereka, meski kepemimpinan Harakah AMAL masih di tangan Nabieh Barrie yang berpaham sekuler.
Pada tahun 1981, diadakan muktamar Harakah AMAL yang keempat untuk memberikan solusi atas perselisihan internal mereka, yang masing-masing selama ini berusaha menguasai daerah selatan. Muktamar tersebut berakhir dengan tetap dipilihnya Nabieh Barrie sebagai pemimpin Harakah AMAL, dan Abbas Al Musawi menjadi wakilnya. Ini merupakan langkah penting untuk mengendalikan kondisi di selatan Lebanon.
Invasi Israel dan Sikap Syi’ah
Akan tetapi pada tahun 1982, tepatnya tanggal 6 Juni tahun itu, terjadilah peristiwa yang mengacaukan semua skenario mereka. Mereka semua dikejutkan oleh invasi Zionis Israel atas seluruh Lebanon Selatan, bahkan Israel sempat mengepung Beirut untuk mengusir Yasir Arafat beserta segenap pemimpin Fatah dan milisi-milisi Palestina agar keluar dari selatan Lebanon. Jelaslah bahwa kesepakatan antara militer Israel dan pihak Nasrani Maronit telah terjadi dalam rangka mengusir orang-orang Palestina yang telah menjadi suatu kekuatan penekan dalam masyarakat Lebanon. Terjadilah berbagai pembataian atas warga Palestina, dan yang paling besar di antaranya adalah Pembantaian Shabra dan Shatila, yang menewaskan 3000 orang Palestina, dan Zionis Israel –atas bantuan Nasrani Maronit- pun berhasil mengusir orang-orang Palestina dari selatan Lebanon dan Beirut.
Peristiwa ini mulanya selaras dengan keinginan Syi’ah. Sebab mereka sejak dahulu menuntut agar orang-orang Palestina dikeluarkan dari selatan Lebanon, sebagai langkah awal pendirian negara mereka di sana. Akan tetapi pihak Zionis tidak lantas kembali ke markas mereka setelah mengusir orang-orang Palestina, namun tetap bercokol di Lebanon dan melakukan pendudukan militer atas seluruh wilayah selatan.
Kejadian ini mengkandaskan seluruh impian kaum Syi’ah untuk mendirikan negara mereka. Lebih-lebih mengingat bahwa mereka kala itu masih terpecah menjadi kelompok sekuler dan konservatif (agamis). Maka kelompok konservatif akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dari Harakah AMAL, dan melanjutkan kontak mereka dengan para pemimpin di Iran untuk mendapat dukungan mereka. Mereka lantas membentuk sebuah lajnah yang terdiri dari 9 orang untuk berangkat ke Teheran dan berjumpa dengan Khomeini. Mereka menyatakan keimanan mereka terhadap ajaran wilayatul faqieh, yang konsekuensinya mengimani kekuasaan Khomeini sebagai ‘faqieh’ yang dimaksud, yang akan mengurus masalah kaum Syi’ah di Lebanon. Khomeini menyetujui lajnah tersebut dan mereka kembali lagi ke Lebanon untuk berpisah total dengan Harakah AMAL, dan membentuk harakah baru yang dikenal saat itu dengan nama Harakah AMAL al Islamiyyah, dibawah kepemimpinan Abbas Al Musawi.
Iran memiliki campur tangan kuat dalam berdirinya harakah baru ini. Bahkan Iran sempat mengirim 1500 orang dari tentara revolusinya ke Suriah, lalu dari Suriah ke lembah Bikkaa di Lebanon. Mereka semua dikirim untuk melatih Harakah AMAL al Islamiyyah secara militer,dan memberikan bantuan finansial dan militer yang cukup kepada mereka. Dengan demikian, harakah yang baru ini telah mendapat dukungan dari dua negara besar di kawasan tersebut, yaitu Iran dan Suriah, dan di saat yang sama Suriah tetap mendukung Harakah AMAL yang nasionalis.
Berdirinya Hizbullah dan Penguasaan atas wilayah selatan
Perang saudara masih berkecamuk di Lebanon, dan kekuatan Harakah AMAL al Islamiyyah terus bertambah hingga Abbas Al Musawi mengumumkan berdirinya Hizbullah pada bulan Februari tahun 1985, sebagai ganti dari Harakah AMAL al Islamiyyah. Selang tiga bulan kemudian, tepatnya bulan Mei 1985, Harakah AMAL yang dipimpin oleh Nabieh Barrie melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang menewaskan ratusan orang, dalam rangka membersihkan sisa-sisa orang Palestina yang masih ada di selatan Lebanon dan Bikkaa. Dari situ, mulailah terjadi perselisihan di antara harakah AMAL dan Hizbullah, yang berakhir dengan perang besar di antara mereka, dan Hizbullah berhasil menumpas Harakah AMAL tahun 1988. Hasilnya, 90% anggota Harakah AMAL beralih ke Hizbullah yang dibawah kendali Iran, sesuai dengan aturan wilayatul faqieh dan didukung dengan kekuatan Suriah. Bersamaan dengan itu, Harakah AMAL keluar dari sayap militer, dan hanya menjadi gerakan politik saja.
Meski medan telah dikuasai oleh Hizbullah semata, hanya saja ia mendapati bahwa markaz kekuatan pusatnya –yang berada di selatan Lebanon- masih dikuasai oleh Yahudi. Inilah yang mendorong Hizbullah untuk menguasai sebagian wilayah di Beirut, agar memiliki markaz sebagai titik tolak setiap gerakan. Hizbullah tidak bergerak ke Beirut timur tempat komunitas Nasrani, akan tetapi ke Beirut barat, terutama bagian selatannya. Hizbullah mulai menduduki tempat-tempat tersebut dengan kekuatan senjata, dan seluruh tempat itu adalah kantong-kantong Ahlussunnah.
Hizbullah kadang membangun fasilitas-fasilitasnya di tempat umum, dan kadang di tanah milik Ahlussunnah, akan tetapi Pemerintah Lebanon hanya berpangku tangan melihat itu semua, sampai wilayah selatan Beirut menjadi Syi’ah tulen, dan dikuasai sepenuhnya oleh Hizbullah
Pada tahun 1989, Khomeini wafat, dan menyerahkan jabatan pimpinan revolusi kepada Ali Khamenei. Kondisi Hizbullah sendiri tidak mengalami perubahan, sebab ia masih terikat dengan aturan wilayatul faqieh yang baru, yaitu Ali Khamenei. Pada tahun yang sama, pihak-pihak yang bertikai di Lebanon atas perantara Saudi bertemu di Thaif, untuk membikin kesepakatan dalam rangka menghentikan perang saudara di Lebanon. Di tahun yang sama pula, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Sunni terbesar di Lebanon, yaitu Syaikh Hasan Khalid rahimahullah, selaku mufti Lebanon dari kalangan Sunni sejak tahun 1966. Ini dimaksudkan agar Ahlussunnah kehilangan kepemimpinan mereka, dan di waktu yang sama, Hizbullah muncul sebagai markas Islam di Lebanon.
Perang Melawan Yahudi dan Berubah Sikap Terhadap Ahlussunnah
Hizbullah mulai menyiapkan rencana untuk menggempur Yahudi demi membebaskan wilayah-wilayah mereka yang diduduki, dan direncanakan sebagai tempat berdirinya Negara Syi’ah Raya. Kucuran dana pun mengalir deras dari Iran untuk tujuan tersebut, di samping bantuan dari Suriah. Hal ini mengkhawatirkan Israel hingga mereka melakukan pembunuhan terhadap Abbas Al Musawi yang menjadi Sekjen Hizbullah pada tahun 1992. Jabatan Sekjen akhirnya diambil alih oleh Hasan Nasrallah.
Di tahun yang sama, muncullah tokoh Sunni baru, dan Ahlussunnah Lebanon pun mulai berkumpul di sekitarnya. Dialah Rafiq Al Hariri yang menjabat sebagai PM Lebanon tahun 1992 hingga 1996. Ia mulai membangun kembali Lebanon, dan mendapat dukungan dari banyak warga Lebanon.
Pada tahun 1996, Zionis Israel melakukan agresi brutal atas Lebanon, yang dikenal dengan operasi ‘Grapes of Wrath’ (Anggur Kemarahan). Sejak itu, jiwa patriotisme warga Lebanon mulai berkobar untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel. Hizbullah pun mengumumkan pembentukan pasukan-pasukan Lebanon untuk melawan musuh Zionis. Pasukan tersebut adalah gabungan dari berbagai kelompok Lebanon yang bermacam-macam, akan tetapi mayoritas anggotanya adalah dari Ahlussunnah yang mencapai 38%, sedangkan Syi’ah 25%, lalu Druz 20% dan Nasrani 17%.
Serangan-serangan pasukan Lebanon mengakibatkan ditarik mundurnya pasukan Zionis dari sebagian besar wilayah selatan Lebanon pada tahun 2000, kecuali daerah pertanian Shebaa. Hizbullah akhirnya menduduki seluruh wilayah tersebut, dan menolak keinginan Tentara Nasional Lebanon untuk menyebarkan pasukannya di wilayah tersebut. Bahkan Hizbullah mulai merampas fasilitas-fasilitas milik Ahlussunnah di wilayah selatan dan di pegunungan Lebanon. Tidak sampai di situ, Hizbullah juga berani mengganggu sejumlah masjid, seperti Masjid Nabi Yunus, dan tanah-tanah wakaf milik masjid tersebut yang terdapat di daerah Al Jeyah.
Rafiq Al Hariri dan Gerakan Syi’ah
Di tahun yang sama dengan keluarnya Yahudi dari Lebanon, Rafiq Al Hariri dilantik kembali menjadi PM Lebanon. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menampakkan diri dan keluarganya, dan menjadi simbol Sunni terkenal yang menjadi pesaing kuat sesungguhnya bagi gerakan Syi’ah di Lebanon.
Kekuatan Hizbullah terus bertambah, dan ia masih mencari kesempatan untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya yang didukung oleh Iran dan Suriah. Akan tetapi meningginya pamor Rafiq Al Hariri menjadikan masalahnya sama kuat di mata rakyat Lebanon.
Pada tahun 2004, Al Hariri mengundurkan diri dari jabatan PM akibat perselisihan antara dia dengan orang-orang Suriah yang jumlahnya cukup banyak di tubuh tentara Lebanon. Kemudian terjadilah kejutan berdarah pada 14 Februari 2005 dengan terbunuhnya Rafiq Al Hariri ketika berada dalam kendaraannya di Beirut, di tengah tersebarnya berbagai agen intelijen internasional yang beroperasi di Lebanon, seperti CIA, Perancis, Suriah, Iran dan Lebanon sendiri. Dengan demikian, Ahlussunnah Lebanon kembali kehilangan salah satu tokoh besar mereka.
Lebanon goncang pasca terbunuhnya Rafiq Al Hariri, dan jari-jari tuduhan internasional mengarah kepada Suriah. Lalu dari situ masyarakat internasional menuntut agar Suriah menarik diri dari Lebanon. Maka Hizbullah melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 2005 untuk mempertahankan keberadaan Suriah di Lebanon. Hal ini mendapat respon balik dari gerakan Al Mustaqbal (Future Movement), yang merupakan gerakan keluarga Al Hariri di bawah pimpinan Sa’ad Al Hariri. Ia mendapat dukungan dari Democratic Gathering Bloc pimpinan seorang Druz: Walid Jumblat, dan Hizbul Quwwah Al Lubnaniyyah yang mewakili kaum Maronit pimpinan Sameer Ja’ja’. Ketiganya melakukan demonstrasi besar pada tanggal 14 Maret 2005 dengan tuntutan keluarnya Suriah dari Lebanon. Sebab itulah demonstrasi tersebut disebut demonstrasi 14 Maret, dan berhasil mengeluarkan Suriah dari Lebanon di bulan yang sama.
Dilema Hizbullah dan Perang tahun 2006
Pasca keluarnya Suriah, Hizbullah menghadapi dilema di Lebanon, lebih-lebih dengan makin kuatnya persaingan antar golongan pasca terbunuhnya Al Hariri. Sebab itulah Hizbullah memilih untuk beraliansi secara politik bersama kekuatan-kekuatan lain untuk ikut serta dalam pemilu parlemen Lebanon bulan Mei 2005. Ia bergabung dengan ketiga kelompok lain yaitu: Gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Gerakan Jumblat yang Druz –meski sangat memusuhi kedua gerakan ini-, di samping juga bergabung dengan Gerakan politik Harakah AMAL. Aliansi ini dikenal dengan aliansi kwartet, dan secara keseluruhan mereka berhasil meraih 72 kursi di Parlemen dari total 128 kursi. Dengan demikian, mereka menjadi mayoritas di parlemen, yang akhirnya menjadi bagian dari pemerintah Lebanon yang dipimpin oleh Fuad Seniora.
Hizbullah telah menekan dirinya sendiri, dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski mereka berseberangan. Ini semua demi menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta dalam kepentingan Nasional. Padahal Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir dalam sidang-sidang parlemen maupun muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim utusannya dan bersikap kepada semua pihak sebagai atasan, sebagai persiapan untuk menjadi pemimpin masa depan atas mereka semuanya.
Bukti paling besar atas asumsi ini ialah terlibatnya Hizbullah pada tanggal 12 Juli 2006 dalam melakukan operasi militer melawan Zionis Israel. Hizbullah berhasil menawan dua tentara Israel dan menewaskan delapan lainnya. Semua itu ia lakukan tanpa konsultasi sedikit pun dengan negara yang ia menjadi bagian dalam pemerintahannya; dan juga tidak berkonsultasi dengan faksi-faksi lain yang menjadi sekutunya dalam parlemen. Padahal operasi militer inilah yang menyeret negara seluruhnya –dan bukan hanya Hizbullah- dalam perang melawan Israel.
Akhirnya meledaklah perang besar yang terkenal pada bulan Juli 2006. Israel menggempur Lebanon terus-menerus selama 33 hari penuh, dengan target menghancurkan bungker-bungker Hizbullah sekaligus Lebanon. Hizbullah melakukan serangan balik kepada Israel dengan menembakkan roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari rakyat Lebanon dalam perang ini.
Pihak Israel tidak berhasil menghentikan serangan roket Hizbullah, dan ini dianggap sebagai ‘kemenangan besar’ untuk Hizbullah, sebab Yahudi telah menghentikan serangan udara mereka tanpa berhasil melumpuhkan sistem kekuatan roket Hizbullah, maupun membebaskan dua orang pasukannya yang ditawan Hizbullah.
Perang pun berakhir seiring dengan kehancuran besar yang dialami oleh rakyat Lebanon atas negerinya. Kehancuran tersebut merata di setiap daerah di Lebanon. Di samping itu, rakyat Lebanon merasakan eksistensi Syi’ah yang semakin kuat, yang tercermin melalui Hizbullah yang tetap memegang senjata canggih produk Iran-nya, dan didukung penuh oleh Suriah. Hal ini sengaja diciptakan agar semua orang merasa bahwa negara mereka sedang mengarah ke seorang tokoh Syi’ah tertentu, seiring dengan banyaknya simpati dari umat Islam secara umum atas Hizbullah dalam melawan Israel.
Menurut Anda, apakah yang terjadi di Lebanon setelah itu? Apakah langkah-langkah yang ditempuh oleh Syi’ah dalam skenario mereka? Bagaimana visi Hasan Nasrallah tentang masa depan Lebanon? Mengapa Hizbullah kalah dalam pemilu parlemen bulan Juni 2009 padahal ia semakin kuat? Dan apakah yang seharusnya dilakukan oleh segenap umat Islam dalam menyikapi ini semua?
Kisah Hizbullah bag. 3
Meletusnya perang Lebanon tahun 2006 di mana Zionis Israel gagal menghancurkan kekuatan Hizbullah, dan gagal membidik pemimpinnya. Hal ini mengakibatkan kegembiraan luar biasa di dunia Islam, dan kebanggaan besar bagi pemuda-pemuda Islam. Lebih-lebih mengingat mereka belum pernah menyaksikan kemenangan hakiki melawan Yahudi dalam suatu peperangan sejak tahun 1973, alias sejak lebih dari 30 tahun! Orang-orang pun saling memberikan selamat kepada Hizbullah dan pemimpinnya, Hasan Nasrallah. Bahkan sebagian mengira bahwa Hasan Nasrallah adalah pemimpin gerakan seluruh umat Islam. Mereka seakan lupa akan background-nya yang Syi’ah Itsna Asyariah itu; yang konsekuensinya ialah permusuhan abadi terhadap Ahlussunnah, baik ia nampakkan hal tersebut ataupun ia sembunyikan.
Hizbullah dan Kudeta Pemerintahan
Hizbullah keluar dari perang Lebanon 2006 dengan harapan bisa memanfaatkan momentum besar tersebut. Ia segera memutuskan untuk mengkudeta pemerintah Lebanon yang tidak lain adalah sekutunya. Pada tanggal 30 Desember 2006, Hizbullah menggalang aksi duduk besar-besaran di sekitar istana pemerintahan. Mereka mendirikan lebih dari 600 tenda agar mosi duduk tersebut bertahan lebih lama. Mereka menuntut agar PM Sunni Fuad Seniora mengundurkan diri, padahal menurut undang-undang Lebanon, penggantinya juga harus Sunni; akan tetapi keinginan Hizbullah tadi menandakan bahwa mereka mampu merubah-rubah keadaan semau mereka, dan siapa saja yang akan menggantikan PM harus ‘manut’ kepada seluruh instruksi ‘pemimpin masa depan’ Lebanon, yang dilambangkan oleh Hasan Nasrallah. Akan tetapi pemerintah tidak menggubris ‘instruksi’ Hasan Nasrallah tersebut, hingga aksi berkemah tadi berlangsung hingga 18 bulan berturut-turut!
Kondisi semakin kacau saat Hizbullah melakukan operasi militer anarkis, yaitu dengan mengerahkan pasukan bersenjatanya untuk mengepung Beirut barat secara total, yang merupakan wilayah kediaman Ahlussunnah. Mereka mengancam akan menduduki wilayah tersebut, atau tidak akan melonggarkan kepungan sampai PM yang dimaksud mengundurkan diri. Hal itu terjadi pada 9 Mei 2008.
Rupanya masalah ini tidak lagi sekedar ‘bisikan hati’. Ia telah menjadi percobaan nyata di lapangan dengan bergeraknya milisi-milisi untuk menguasai titik-titik utama di ibukota Beirut. Bahkan ini sangat menarik perhatian, tatkala Waleed Jumblat mengungkap apa yang terjadi enam hari sebelum pengepungan, tepatnya tanggal 3 Mei 2008. Ia mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa dirinya menemukan dokumen surat-menyurat antara menteri pertahanan Lebanon Ilyas Almur dengan pihak intelijen tentara nasional Lebanon. Dokumen tersebut melaporkan adanya sejumlah kamera milik Hizbullah yang dipasang di airport Beirut. Jumblat juga menyebutkan bahwa di saat yang sama ketika persenjataan dilarang masuk ke Lebanon, ternyata arus pengiriman senjata mengalir deras dari Iran kepada Hizbullah. Artinya, tidak lama lagi Hizbullah akan menjadi satu-satunya kelompok bersenjata di lebanon yang persenjataannya jauh melebihi tentara nasional Lebanon.
Kesepakatan Doha dan kesalahan Nasrallah
Pengepungan Beirut barat berlanjut selama 13 hari, hingga ditandatanganinya kesepakatan di Doha (Qatar), untuk mengakhiri perang dan menyudahi aksi duduk massal. Akan tetapi, seiring dengannya bubar pula aliansi kwartet yang terbentuk antara gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Hizbullah dan Harakah AMAL yang Syi’ah, serta Partai Demokratik yang Druz. Mereka semua mendapati bahwa aliansi semacam ini adalah sangat sulit dipertahankan, dan berbagai kepentingan Ahlussunnah dan Syi’ah pasti akan saling bertabrakan. Dari sini, mulai lah kedua belah pihak saling melempar tuduhan dan bersaing ketat. Gerakan Al Mustaqbal atau Aliansi 14 Maret, kini meyakini bahwa Syi’ah sangat mungkin mengambil alih kekuasaan secara total di Lebanon. Hizbullah pun mulai menuduh Gerakan Al Mustaqbal sebagai kaki tangan Amerika dengan maksud menurunkan pamor mereka di mata rakyat Lebanon dan gerakan-gerakan Nasionalis lainnya. Tuduh-menuduh terus berlanjut antara kedua belah pihak, dan semakin menguat dari waktu ke waktu seiring dengan makin dekatnya Pemilihan anggota parlemen baru pada bulan Juni 2009. Akhirnya, Gerakan Al Mustaqbal yang dipimpin oleh Sa’ad Al Hariri ikut serta dalam Pemilu melawan Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nasrallah. Masing-masing pihak mulai memamerkan kapabilitasnya untuk memimpin sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.
Hasan Nasrallah lalu membuat kekeliruan besar yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang politikus ahli sepertinya. Akan tetapi Allah berkehendak untuk menyingkap apa yang ada di balik tabir… Ia mengumumkan dalam pidatonya menjelang Pemilu pada tanggal 29 Mei 2009, – yang teks pidatonya ada dalam situs resmi Hizbullah di internet-, bahwa jika kelompoknya menang dalam Pemilu, maka ia akan memasukkan persenjataan ke Lebanon dari Suriah dan Iran. Ia telah menampakkan bahasa Syi’ahnya yang kental, bahkan mengatakan: “Yang saya tahu ialah bahwa Republik Islam Iran, khususnya Imam pemimpin Revolusi yang mulia: Sayyid Al Khamenei tidak akan pelit untuk memberikan segalanya bagi Lebanon”.[2]
Ia telah berterus terang tanpa tedeng aling-aling kepada rakyat Lebanon, bahwa pendanaan yang akan menjamin stabilitas dan kejayaan mereka akan datang dari pihak Syi’ah, dan ini adalah bujukan sekaligus ancaman, plus suatu hal yang menarik perhatian akan kuantitas Hizbullah dan relasinya.
“Pesan” tersebut sampai ke rakyat Lebanon, namun dalam bentuk yang berlawanan dari yang diharapkan Hasan Nasrallah. Rakyat Lebanon akhirnya sadar akan bahaya Syi’ah. Mereka tahu bahwa naiknya kelompok Hizbullah ke kursi pemerintahan, berarti bertambahnya kekuatan bagi Hizbullah, bukan bagi Lebanon. Di samping itu, kemungkinan berdirinya sebuah negara Syi’ah yang loyal kepada Iran dan Suriah menjadi dekat sekali. Dari sinilah rakyat Lebanon takut terhadap arah Hizbullah, dan ketakutan tersebut nampak di kotak-kotak suara saat Pemilu hingga mereka memberikan suaranya ke Aliansi 14 Maret, padahal Sa’ad Al Hariri tidaklah secakap bapaknya, mendiang Rafiq Al Hariri. Akan tetapi rakyat Lebanon telah menyadari sendiri akan bahaya momen ini, dan tidak ada lagi waktu untuk mengatakan bahwa Pemilu ini akibat tekanan Amerika, sebab ternyata Pemilu ini adalah pemilu yang bersih dan tidak ada satu pihak pun yang mengritik ketransparanannya.
Akhirnya Aliansi 14 Maret menang dalam Pemilu dengan merebut 14 kursi lebih banyak dari Hizbullah. Ini adalah angka yang besar dalam pemilu Lebanon, dan ini berarti bahwa masalah-masalah akan semakin jelas.
Sikap kita terhadap Hizbullah
Setelah memaparkan kisah yang panjang ini, saya mengajak pembaca sekalian untuk merenung dan memberi catatan atas beberapa hal, yang nanti akan menjawab sejumlah pertanyaan membingungkan yang terlintas di benak setiap muslim saat menyaksikan peristiwa-peristiwa tadi. Mungkin ada di antara pembaca yang setuju dengan pandangan saya, namun mungkin juga tidak; akan tetapi saya sampaikan kepada semuanya bahwa saat kita memberikan catatan, hendaknya kita menyingkirkan perasaan kita, dan memutuskan dengan akal kita. Jika kita ingin memberi analisa yang tepat, kita harus menelusuri akar masalah, mempelajari sejarah baik yang dahulu maupun sekarang, mengaitkan hal-hal satu sama lain, membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan meneliti tujuan masing-masing golongan serta latar belakang dan akidah mereka. Ketika itulah berbagai asumsi yang dahulu kita yakini kebenarannya akan berubah, dan boleh jadi kita menyerang apa yang dahulu kita bela, atau membela apa yang dahulu kita serang!!
Pertama: Berdirinya sebuah negara Syi’ah di Lebanon adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahkan mungkin segera terjadi, mengingat fasilitas yang dimiliki Hizbullah bukanlah fasilitas suatu kelompok atau golongan kecil, akan tetapi fasilitas suatu negara. Apalagi dukungan Suriah dan Iran atas berdirinya suatu negara Syi’ah yang loyal kepada keduanya sangatlah besar. Negara ini kelak meliputi Lebanon selatan, lembah Bikkaa yang berada di timur laut Lebanon. Wilayahnya bisa jadi meluas hingga mencakup Lebanon utara yang Sunni, termasuk menguasai Beirut barat dan selatan. Adapun wilayah-wilayah Nasrani, maka masih diperselisihkan, dan tidak menutup kemungkinan jika Hizbullah menerima berdirinya dua negara di bumi Lebanon: Negara Syi’ah dan Negara Nasrani.
Bahkan seribu tahun sebelum itu, Syi’ah Isma’iliyyah pernah menawarkan kepada pasukan salibis saat memasuki Syam, agar mereka membagi-bagi wilayah Ahlussunnah di antara mereka: pasukan salibis menguasai Suriah dan Lebanon, sedangkan Syi’ah menguasai Palestina dan Yordania; akan tetapi pasukan salib menolak, sebab mereka ingin menguasai Syam seluruhnya!
Berdirinya sebuah negara Syi’ah di Lebanon bukanlah masalah sepele bagi Ahlussunnah. Silakan baca kembali kisah Ahlussunnah di Iran dan Irak, dan telaah kembali sikap Harakah AMAL yang lalu berganti menjadi Hizbullah terhadap Ahlussunnah di Lebanon. Baca pula tarikh daulah Buwaihiyyah, Hamdaniyyah, dan Ubeidiyyah –yang menamakan dirinya dengan dusta sebagai Fathimiyyah-, serta Shafawiyyah… pelajarilah sejarah mereka agar Anda tahu bahwa berdirinya sebuah negara Syi’ah yang kuat, berarti penindasan terhadap Ahlussunnah di barisan yang pertama, sebab masalahnya adalah masalah akidah, dan semua fakta yang ada mengarah kesana.
Perang Demi Sejumlah Kepentingan
Kedua, perang Hizbullah melawan Yahudi adalah perang demi sejumlah kepentingan, bukan perang atas dasar akidah. Sebab Yahudi memasuki wilayah Lebanon selatan tahun 1982, yang mulanya hendak dijadikan cikal bakal Negara Syi’ah Raya. Maka, mau tidak mau harus ada perlawanan demi eksistensi, sebagaimana peperangan pada umumnya yang terjadi di dunia. Perang ini bukanlah perang demi meninggikan kalimat Allah, sebab kalimat Allah (baca: agama) yang diyakini kaum Syi’ah adalah kalimat yang batil dan menyimpang. Mereka meyakini bahwa imam-imam mereka ma’shum, dan kedudukannya lebih tinggi dari para rasul, lantas kebaikan apa yang diharapkan dari akidah semacam ini?!!
Cobalah kita bikin perumpamaan bahwa Syi’ah memiliki markas di Lebanon Utara, sedangkan Ahlussunnah di selatannya. Apakah Anda mengira bahwa Syi’ah akan berperang demi menyelamatkan wilayah Lebanon yang ditempati Ahlussunnah? Ini sesuatu yang mustahil bin tidak mungkin… bahkan boleh jadi akan terjadi kesepakatan untuk membagi bumi Lebanon secara damai dengan Yahudi, dan ini bukan sekedar omong kosong tanpa bukti; sebab Syi’ah telah mendiami Lebanon sejak puluhan tahun, namun adakah mereka tergerak untuk memerangi Yahudi di Palestina? Padahal dalam syair-syair mereka katakan bahwa Palestina adalah bumi yang dijajah Zionis Israel.
Al ‘Allamah DR. Musthafa As Siba’I –rahimahullah- yang merupakan muraqib Ikhwanul Muslimin di Suriah pernah berusaha mengadakan pendekatan Sunnah-Syi’ah ketika meletus perang Arab-Israel tahun 1948. Ia berusaha mendorong Syi’ah agar bersekutu dengan Ahlussunnah untuk membebaskan Palestina, akan tetapi mereka menolak dan enggan, hingga DR. Musthafa kecewa berat, lalu menulis dalam kitabnya yang berjudul (السنة ومكانتها في التشريع الإسلامي) “Kedudukan Sunnah dalam Syariat Islam”, bahwa pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah adalah sesuatu yang tidak ada hakikatnya, sebab mereka memahaminya sebagai pengalihan Ahlussunnah menjadi Syi’ah, bukan untuk bertemu di tanah yang dimiliki bersama[3].
Kemudian saat meletusnya perang tahun 1967, Syi’ah yang ada di Palestina Utara tidak bergerak sedikit pun. Bahkan Musa Ash Shadr mengelu-elukan slogannya yang terkenal pada bulan Maret 1973 bahwa: “Senjata adalah perhiasan kaum lelaki”, namun saat meletus perang di bulan Oktober 1973, yakni 6 bulan setelah Musa mengucapkan slogan tersebut, tidak ada seorag Syi’ah pun yang ikut serta dalam memerangi Yahudi di Palestina!
Kita semua menyaksikan bagaimana perang Gaza tahun 2009 yang lalu. Sebenarnya rudal-rudal Hizbullah bisa saja ditembakkan untuk menahan serbuan brutal Yahudi atas Gaza, akan tetapi kita tidak mendengar selain ucapan saja, dan tidak ada satu rudal pun yang ditembakkan untuk menyerang kaum Zionis. Dari sinilah kaum Zionis tahu bahwa bahaya Hizbullah hanya sebatas daerah yang dikuasainya saja, dan untuk periode ini, baik Hizbullah maupun Iran tidak punya kepentingan dengan Palestina. Sebagaimana yang diketahui Amerika bahwa slogan-slogan anti-AS yang diserukan Iran tidak ada hakikatnya, namun sekedar mencari simpati kaum muslimin lewat media massa. Jika tidak percaya, silakan perhatikan bagaimana proyek Syi’ah di Irak yang berjalan mulus dengan dukungan murni Amerika… bahkan Amerika sesungguhnya tidak menentang rencana pendirian Negara Syi’ah Raya yang meliputi Iran, Irak, Lebanon dan Suriah, sebab negara ini akan mewujudkan keseimbangan bagi sejumlah kekuatan yang ada di wilayah Islam, dan otomatis akan menghadang kekuatan Islam Sunni yang berupa kebangkitan Islam di sejumlah negara kawasan itu, terutama Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. Itulah negara-negara yang Amerika selalu berusaha menekan kekuatannya, baik secara politik, militer, maupun ekonomi.
Antara Kemenangan & Kebenaran Manhaj
Ketiga, kemenangan tidak berarti kebenaran suatu manhaj (ajaran), dan pengorbanan besar belum tidak selalu menandakan keikhlasan! Betapa banyak pihak yang menang sedangkan mereka adalah pelaku bid’ah. Bahkan Syi’ah Qaramithah pernah berkuasa di muka bumi selama seabad atau lebih, padahal mereka yang membantai jama’ah haji, mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya, dan berbuat kerusakan di muka bumi. Bangsa Persia dan Romawi juga pernah berkuasa di muka bumi, demikian pula Tartar (Mongol), Inggris, dan Amerika; padahal manhaj mereka semuanya rusak. Termasuk para penguasa muslim yang kejam dan bengis, yang melenceng dari ajaran Islam yang lurus, juga pernah menguasai rakyat mereka selama puluhan tahun.
Setiap kemenangan dan kekuasaan suatu kaum, tidak harus menunjukkan bahwa yang bersangkutan menganut manhaj (ajaran) yang benar. Namun kaum muslimin harus melihat ucapan dan perbuatan yang bersangkutan, apakah itu semua sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, atau tidak seperti itu. Berapa banyak orang yang berkorban dalam peperangan, tabah laksana pahlawan, akan tetapi menjadi penghuni Neraka? Ya, sebab ia tidak melakukan semua itu karena Allah. Bahkan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam para sahabat menyaksikan ada seorang lelaki yang demikian hebat mengobrak-abrik barisan musyrikin, hingga orang-orang mengiranya sebagai orang Islam terhebat, akan tetapi Nabi mengabarkan kepada merek bahwa lelaki itu adalah penghuni Neraka! Lantas saat para sahabat menguntitnya, mereka mendapatinya dalam sakaratul maut dan ia mengatakan: “Sesungguhnya aku berperang demi kaumku”[6]. Jadi, dia tidak berperang demi Allah ‘Azza wa Jalla, alias ia berperang demi kepentingan, dan kemenangan serta ketabahannya di medan perang berangkat dari asas yang batil.
Kita bukannya sok tahu akan niat Hizbullah, sebab hanya Allah yang tahu isi hati mereka. Akan tetapi kita berbicara tentang akidah yang mereka nyatakan, dan bid’ah yang mereka tampakan. Silakan merujuk kembali artikel yang berjudul: “Hegemoni Syi’ah”, niscaya Anda akan dapatkan bagaimana Syi’ah menang dan berkuasa, akan tetapi sama sekali bukan menang dalam ajaran, namun semuanya adalah penyimpangan dari jalan yang lurus.
Sikap Ahlussunnah
Keempat, meski perang yang terjadi antara Hizbullah dan Zionis Israel adalah perang demi kepentingan, tidak berarti bahwa muslimin Ahlussunnah tidak perlu mengambil sikap tertentu dalam masalah ini. Bahkan dalam hal ini saya berbeda pendapat dengan banyak senior saya dalam masalah ilmu dan dakwah, yang memandang agar masalah ini dibiarkan saja tanpa campur tangan, sebab kedua belah pihak adalah kaum yang sesat. Seorang muslim hendaknya berperan positif dan dapat menilai antara maslahat dan mudharat. Perang ini terjadi antara Zionis Israel yang benar-benar menjajah bumi Palestina, dan Hizbullah yang hidup di bumi yang sebagiannya dijajah oleh pihak Zionis. Dari sini, melemahkan kaum Zionis pada dasarnya adalah suatu tujuan, mengingat jelasnya permusuhan kaum Zionis, dan membebaskan bumi Lebanon dari cengkeraman Zionis adalah suatu keharusan.
Nah setelah itu, hendaknya kaum muslimin mengatur masalah mereka dengan strategi yang bisa menjaga hak-hak mereka tanpa terseret kepada Yahudi maupun Hizbullah.
Dahulu saya pernah menganggap luar biasa sikap Ahlussunnah di Lebanon tahun 1997 saat mereka bergabung dalam jumlah besar ke pasukan perlawanan Lebanon yang berusaha mengusir Yahudi dari Lebanon. Padahal komandonya dipegang oleh Hizbullah, dan Hizbullah banyak memanfaatkan perjuangan Ahlussunnah setelah itu dan tidak mau mengakuinya; akan tetapi tetap saja pandangan kaum muslimin jelas dalam hal ini.
Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meladeni seorang lelaki musyrik yang datang kepadanya untuk menuntut haknya yang dirampas Abu Jahal. Nabi saat itu tidak mengatakan: “Lelaki ini kelak akan menggunakan harta yang dirampas tadi untuk bertaqarrub kepada Latta dan ‘Uzza”, namun Nabi membantunya dalam hal ini, kemudian di kesempatan lain beliau mendakwahinya ke jalan Allah.[4]
Kita tidak akan mencampur susu dengan nila, kita tahu bahwa proyek Syi’ah Hizbullah di Lebanon sangat berbahaya, namun di saat yang sama kita juga sadar akan bahaya proyek Zionis di wilayah tersebut.
Kelima, Hasan Nasrallah adalah tokoh kharismatik. Artinya, ia seorang yang punya karakter khusus dapat mempengaruhi orang di sekitarnya, dapat memimpin massa, dan menggelorakan semangat. Dia termasuk politikus nomor wahid, sangat cerdas dan pandai berbicara… Menurut saya (DR. Ragheb As Sirjani), boleh-boleh saja ia dikagumi sebagai politikus dan ahli strategi. Saya tidak takut jika ada orang yang mengagumi cara berpidatonya, atau caranya mempermainkan neraca politik… ini semua tidak mengapa bagiku untuk dirasakan oleh kaum muslimin. Bahkan kalau pun mereka (kaum muslimin) menirunya dalam sebagian hal tersebut, itu juga tidak mengapa.
TAPI, yang tidak bisa diterima ialah bila kita mengaguminya sebagai pemimpin Islam yang mengobarkan jihad sesuai perintah Allah. Sebab untuk menjadi pemimpin model ini syaratnya harus memiliki akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Ia harus mengikuti Sunnah Nabi dan tunduk pada ayat-ayat Allah, dan semua syarat ini tidak dimiliki oleh Hasan Nasrallah!
Di antara Akidah Hasan Nasrallah
Hasan Nasrallah adalah penganut Syi’ah Itsna ‘Asyariah. Artinya, ia mempercayai semua keyakinan madzhab tersebut. Dia percaya bahwa para sahabat semuanya bersekongkol untuk merebut khilafah dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib, dan menyerahkannya kepada Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman –semoga Allah meridhai mereka semua-. Dia juga meyakini bahwa Nabi telah memberi wasiat kepada imam-imam mereka yang dua belas dan menyebut nama-nama mereka secara jelas. Dia meyakini bahwa para imam tadi ma’shum, dan imam yang kedua belas telah masuk gua Sirdab –di Samurra, Irak- dan masih hidup (sejak 12 abad lalu) hingga saat ini, dan akan keluar suatu hari nanti. Dia juga mengimani taqiyyah[5] sebagai sembilan persepuluh (90%) agama Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa Ahlussunnah adalah golongan yang memusuhi Ahlul Bait, padahal Ahlussunnah lah yang lebih menghargai Ahlul Bait dari pada Syi’ah, namun caranya sesuai sunnah Rasul. Dia juga meyakini bahwa imam-imam yang besar berhak mengambil seperlima dari penghasilan pribadi setiap penganut Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa nikah mut’ah adalah halal; artinya, boleh saja baginya bila seorang pemuda mendatangi pacarnya, atau gadis lain lalu menikahinya selama sehari atau satu jam, demi melampiaskan syahwatnya kepada si wanita lalu mencerainya. Dia juga meyakini teori wilayatul faqih, dan berangkat dari sini, haram baginya untuk menyelisihi pemimpin revolusi Iran: Ali Khamenei dalam perintah apa pun, demikian seterusnya…
Semua yang saya sebutkan tadi adalah bagian dari keyakinan (akidah) Hasan Nasrallah yang telah mengakar. Kalau ada yang protes dan mengatakan: “Lho, kita kan tidak pernah mendengar dia mencaci-maki sahabat, atau menuduh isteri-isteri Nabi dengan tuduhan keji?”, maka saya katakan kepada orang-orang lugu tersebut: “Bukan suatu keharusan bagi kita untuk mendengar semua itu darinya agar kita yakin bahwa dia memang mengatakan seperti itu, sebab semua hal tadi merupakan KONSEKUENSI dari ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah”. Anda sendiri mungkin tidak pernah mendengar tetangga anda yang muslim mengatakan: laa ilaaha illallaah muhammadun rasulullah, akan tetapi anda tahu bahwa tetangga anda meyakini ucapan tersebut, karena dia seorang muslim. Demikian pula seorang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, ia mau tidak mau harus mengimani semua yang saya sebutkan tadi, sebab kalau tidak, dia akan berada di luar Syi’ah. Kalau Hasan Nasrallah harus menghargai dan menghormati para sahabat, maka ia tidak mungkin bisa membenarkan pokok-pokok ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, demikian pula dengan jabatan Khalifah yang dipegang oleh Ali, Hasan, Husein, dan imam-imam lainnya.
Jadi, seorang tokoh yang menganut berbagai kesesatan dan bid’ah tadi, sama sekali tidak layak untuk kita kagumi, maupun kita jadikan sebagai pemimpin Islam teladan. Kita hanya boleh mengambil sedikit hal darinya, sebagaimana kita ambil dari orang lain; bukan karena dia itu Islami, tapi karena dia adalah manusia yang memiliki potensi dan keahlian.
Sejarah Islam telah menyaksikan bagaimana kaum Salibis menjajah Palestina dan Syam sebelum ini, dan hal itu terjadi di depan mata daulah Syi’ah yang kuat, yaitu Daulah ‘Ubeidiyyah yang saat itu menguasai Mesir. Pun demikian, kaum muslimin yang sejati di zaman itu tidak menjadikan para pemimpin Daulah Ubeidiyyah sebagai teladan mereka, sebab para pemimpin tadi adalah orang yang rusak akidahnya, meskipun mereka adalah jago-jago politik, dan ahli strategi perang. Kaum muslimin hanya melahirkan teladan-teladan mereka yang sejati, hingga muncullah tokoh-tokoh seperti Imaduddien Zanky, Nuruddien Mahmud, dan Shalahuddien Al Ayyubi.
Inilah yang harus menyibukkan kita sekarang… jika kita telah menyaksikan megaproyek Syi’ah, dan telah matang dan berhasil di Iran, Irak serta Lebanon. Lantas di manakah megaproyek Sunni yang menyamai megaproyek Syi’ah, agar kemudian bisa mengunggulinya?!
Kita mengharap kepada salah satu dari sekian banyak pemimpin negara Islam agar merancang megaproyek Sunni tadi, yang berpijak kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan berjalan di atas manhaj As Salafus Shalih. Inilah proyek yang akan melindungi hak-hak kaum muslimin di muka bumi, dan mendukung Ahlussunnah yang tertindas di Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah; dan yang akan tegar menghadapi proyek-proyek Yahudi dan penjajahan mereka atas negara-negara Islam.
Namun kalau tidak ada seorang pemimpin pun yang mau memikul tanggung jawab ini, maka kita mengajak seluruh rakyat merek untuk merevisi kembali manhaj mereka dan mengintrospeksi diri agar kembali dengan pasrah dan taat kepada Allah. Sebab Allah tidak akan membiarkan umat tanpa seorang pemimpin yang mukhlis, kecuali karena umat itu sendiri yang menerlantarkan dan menyia-nyiakan agama Allah. Jadi, sebagaimana kalian, demikianlah penguasa kalian, dan Allah tidaklah berbuat zhalim sedikit pun… maka bela lah agama Allah, agar Allah membela kalian, dan tolonglah ajaran-Nya agar Dia menolong kalian, serta kembalilah kepadanya, agar Dia menerima kalian, mengampuni dosa kalian, dan membimbing kalian ke jalan yang lurus…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
Penyusun: Ustadz Sufyan Basweidan, MA Hafizhohullahu Ta'ala
Artikel: Diambil dari tiga artikel di www.muslim.or.id:
- http://muslim.or.id/manhaj/hakekat-hizbullah-1.html
- http://muslim.or.id/manhaj/hakekat-hizbullah-2.html
- http://muslim.or.id/manhaj/hakekat-hizbullah-3.html
Note:
[1] Yaitu ajaran yang dicetuskan Khomeini untuk merubah sikap kaum syi’ah yang semula tidak meyakini adanya perang sebelum munculnya Imam Mahdi mereka (yakni Imam ke-12 yang diyakini masih ghaib sejak 12 abad lalu). Dengan wilayatul faqieh, Khomeini mengatakan bahwa posisi Imam Mahdi untuk sementara diambil alih oleh seorang faqieh (ahli agama) -yang dalam hal ini adalah dirinya-, untuk memimpin kaum Syi’ah. Nah, dengan jabatan tersebut Khomeini bertindak layaknya Imam Mahdi dan berhasil merubah kaum Syi’ah menjadi kaum radikal dan revolusioner hingga mau berperang demi ambisi pribadinya.
[2] Silakan lihat teks Arabnya di: http://www.moqawama.org/essaydetails.php?eid=15008&cid=210
[3] Lihat dalam kitab yang dimaksud, hal 24 cet. Darul Warraq-Al Maktabul Islami.
[4] Lihat: Sirah Nabawiyah tulisan Ibnu Hisyam, 1/524-525. Lelaki tersebut bernama Quzman yang merupakan sekutu Bani Dhafar.
[5] Idem, 1/389-390.
[6] Taqiyyah artinya menampakkan ucapan/perbuatan yang berbeda dengan keyakinan demi kemaslahatan pribadi, yang dahulu dikenal dengan istilah nifaq (kemunafikan).
Post a Comment