Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman jiwa), mawaddah (rasa cinta), dan rohmah (kasih sayang). Alloh Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan ridho dari Alloh Ta’ala.
Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhoan Alloh azza wajalla dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram, dan bahagia mendadak dilanda kemelut perselisihan dan percekcokan.
Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan istri adalah lebih dahulu saling introspeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Alloh agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun istri untuk mendamaikan antara keduanya. Mudah-mudahan Alloh memberikan taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.
Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34–35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Syaikh Musthofa al-Adawi berkata: “Apabila masalah antara suami istri semakin memanas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Alloh dari setan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.
Apabila suami marah sementara istri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Alloh, berwudhu, dan sholat dua roka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaklah yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah Alloh semata.”[1]
Di tempat lain beliau berkata: “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terlantar (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.
Alloh berfirman:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. (QS. al-Baqoroh [2]: 102)
Di dalam Shohih Muslim dari sahabat Jabir bin Abdulloh radhiyallahu anhuma, ia berkata:
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemudian ia mengirimkan bala tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka datang dan berkata: ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab: ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan: “Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata: ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya.’” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan: “Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata: ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.’”[2]
Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai setan.
Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami istri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak istri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Alloh (syari’at dan hukum-hukum-Nya) di antara keduanya. Yaitu istri tidak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak istrinya, serta batas-batas Alloh menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Alloh, maka ketika itu urusannya seperti yang Alloh firmankan:
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِّن سَعَتِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
Dan jika keduanya bercerai, maka Alloh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (QS. an-Nisa’ [4]: 130)[3]
Alloh Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum talak (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan.
Meskipun talak (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan talak, ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, istrinya, dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Alloh azza wajalla pada hari kiamat.
Kemudian bagi istri, bagaimanapun kemarahannya kepada suami, hendaklah ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada istri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya. Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si istri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma surga, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
“Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma surga.”[5]
Abu Huroiroh radhiyallahu anhu berkata bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
… وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِيْ إِنَائِهَا ….
“… dan janganlah seorang istri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudari (madu)nya agar memperoleh nafkahnya.’”[6]
Dalam agama Islam dibolehkan poligami (menikahi lebih dari satu istri) dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zholim kepada wanita, melainkan disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Alloh Yang Maha adil, Maha bijaksana, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah, dan rohmah. Oleh karena itu, setiap suami dan istri wajib menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.
Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar’i. Kepada suami istri, hendaklah selalu melaksanakan kewajiban yang Alloh bebankan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan selalu berdo’a kepada Alloh agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang sholih dan sholihah.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. al-Furqon [25]: 74)
Wallohu a’lam.
Oleh: Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami
di http://alghoyami.wordpress.com/2011/04/14/profil-rumah-tangga-ideal/
Notes:
[1] Fiqh Ta’ammul bainaz-Zaujaini (hlm. 37)
[2] Hadits shohih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2813 (67))
[3] Dinukil dari Fiqh Ta’ammul bainaz-Zaujaini (hlm. 87–92) secara ringkas.
[4] Nusyuz yaitu meninggalkan kewajibannya selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.
[5] Hadits shohih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2226), Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), Darimi (2/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 1320), ath-Thobari dalam Tafsir-nya (no. 4843–4844), al-Hakim (2/200), al-Baihaqi (7/316), dari Tsauban radhiyallahu anhu.
[6] Hadits shohih: Diriwayatkan oleh al-Bukhori (no. 2140), Muslim (no. 1515 (12)), dan Nasa‑i (7/258).
Post a Comment