Islam adalah dien rahmat bagi semesta alam. Dien yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan (kebaikan) bagi manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujjahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satupun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan didalamnya. Termasuk dari keindahan dan kesempurnaan agama Islam adalah adanya aturan-aturan dan adab ketika makan dan minum. Bagaimanakah agama Islam nan sempurna ini mengaturnya? Pada kali ini kami sajikan pembahasannya secara ringkas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)
Hadits di atas mengandung adab-adab makan:
Di antara sunnah Nabi adalah mengucapkan bismillah sebelum makan dan minum dan mengakhirinya dengan memuji Allah. Imam Ahmad mengatakan, “Jika dalam satu makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut adalah makanan yang sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama Allah saat mulai makan, memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang yang turut makan dan berasal dari sumber yang halal.
Menyebut nama Allah sebelum makan berfungsi mencegah setan dari ikut berpartisipasi menikmati makanan tersebut. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apabila kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak memulainya sehingga Nabi memulai makan. Suatu hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut terdorong untuk meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan. Dengan segera Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu datanglah seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan di dorong oleh sesuatu. Nabi lantas memegang tangannya. Sesudah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syaitan turut menikmati makanan yang tidak disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis tersebut dengan maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada karena gadis tersebut belum menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh karena itu aku memegang tangan anak tersebut. Syaitan pun lantas datang bersama anak Badui tersebut supaya bisa turut menikmati makanan. Oleh karena itu, ku pegang tangan Arab Badui itu. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya tangan syaitan itu berada di tanganku bersama tangan anak gadis tersebut.” (HR Muslim no. 2017)
Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibnu Hajar al-Astqalani mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillahirramanirrahim ketika hendak makan itu lebih afdhal.” (Fathul Baari, 9/431)
Apabila kita baru teringat kalau belum mengucapkan bismillah sesudah kita memulai makan, maka hendaknya kita mengucapkan bacaan yang Nabi ajarkan sebagaimana dalam hadits berikut ini, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu kalian hendak makan, maka hendaklah menyebut nama Allah. Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal makan, maka hendaklah mengucapkan bismillahi awalahu wa akhirahu.” (HR Abu Dawud no. 3767 dan dishahihkan oleh al-Albani)
Apabila kita selesai makan dan minum lalu kita memuji nama Allah maka ternyata amal yang nampaknya sepele ini menjadi sebab kita mendapatkan ridha Allah. Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang menikmati makanan lalu memuji Allah sesudahnya atau meneguk minuman lalu memuji Allah sesudahnya.” (HR Muslim no. 2734)
Bentuk bacaan tahmid sesudah makan sangatlah banyak. Diantaranya adalah dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai makan mengucapkan:
“segala puji milik Allah Dzat yang mencukupi kita dan menghilangkan dahaga kita, pujian yang tidak terbatas dan tanpa diingkari.”
Terkadang beliau juga mengucapkan:
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan penuh berkah meski bukanlah pujian yang mencukupi dan memadai, dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari).
Dari Abdurrahman bin Jubair dia mendapat cerita dari seorang yang melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama delapan tahun. Orang tersebut mengatakan, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan bismillah apabila makanan disuguhkan kepada beliau. Apabila selesai makan Nabi berdoa: Allahumma Ath’amta wa Asqaita wa Aqnaita wa Ahyaita falillahil hamdu ala ma A’thaita yang artinya, “Ya Allah engkaulah yang memberi makan memberi minum, memberi berbagai barang kebutuhan, memberi petunjuk dan menghidupkan. Maka hanya untukmu segala puji atas segala yang kau beri.” (HR Ahmad 4/62, 5/375 al-Albani mengatakan sanad hadits ini shahih. Lihat silsilah shahihah, 1/111)
Hadits ini menunjukkan bahwa ketika kita hendak makan cukup mengucap bismillah saja tanpa arrahman dan arrahim dan demikianlah yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana tertera tegas dalam hadits di atas. Di samping bacaan-bacaan tahmid di atas, sebenarnya masih terdapat bacaan-bacaan yang lain. Dan yang paling baik dalam hal ini adalah berganti-ganti, terkadang dengan bentuk bacaan tahmid yang ini dan terkadang dalam bentuk bacaan tahmid yang lain. Dengan demikian kita bisa menghafal semua bacaan doa yang Nabi ajarkan serta mendapatkan keberkahan dari semua bacaan-bacaan tersebut. Di samping itu kita bisa meresapi makna-makna yang terkandung dalam masing-masing bacaan tahmid karena kita sering berganti-ganti bacaan. Jika kita membiasakan melakukan perkara tertentu seperti membaca bacaan zikir tertentu, maka jika ini berlangsung terus menerus kita kesulitan untuk meresapi makna-makna yang kita baca, karena seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang refleks dan otomatis
Dari Jabir bin Aabdillah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena syaitan itu juga makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim no. 2019) dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan kirinya.” (HR Muslim no. 2020) Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “karena tangan kiri digunakan untuk cebok dan memegang hal-hal yang najis dan tangan kanan untuk makan maka tidak sepantasnya salah satu tangan tersebut digunakan untuk melakukan pekerjaan tangan yang lain.” (Kasyful Musykil, hal 2/594)
Meskipun hadits-hadits tentang hal ini sangatlah terkenal dan bisa kita katakan orang awam pun mengetahuinya, akan tetapi sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang bersih kukuh untuk tetap makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Apabila ada yang mengingatkan, maka dengan ringannya menjawab karena sudah terlanjur jadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Tidak disangsikan lagi bahwa prinsip seperti ini merupakan tipuan syaitan agar manusia jauh dari mengikuti aturan Allah yang Maha Penyayang. Lebih parah lagi jika makan dan minum dengan tangan kiri ini disebabkan faktor kesombongan.
Dari Salamah bin Akwa radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita bahwa ada seorang yang makan dengan menggunakan tangan kiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat hal tersebut Nabi bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” “Aku tidak bisa makan dengan tangan kanan,” sahut orang tersebut. Nabi lantas bersabda, “Engkau memang tidak biasa menggunakan tangan kananmu.” Tidak ada yang menghalangi orang tersebut untuk menuruti perintah Nabi kecuali kesombongan. Oleh karena itu orang tersebut tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulutnya.” (HR Muslim no. 2021)
Dalam riwayat Ahmad no. 16064 dinyatakan, “Maka tangan kanan orang tersebut tidak lagi bisa sampai ke mulutnya sejak saat itu.” Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang yang tidak melaksanakan aturan syariat tanpa aturan yang bisa dibenarkan. Hadits di atas juga menunjukkan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dalam segala keadaan. Sampai-sampai meskipun sedang makan. Di samping itu hadits di atas juga menunjukkan adanya anjuran mengajari adab makan terhadap orang yang tidak melaksanakannya (Syarah shahih Muslim, 14/161)
Meskipun demikian jika memang terdapat alasan yang bisa dibenarkan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menikmati makanan dengan tangan kanannya karena suatu penyakit atau sebab lain, maka diperbolehkan makan dengan menggunakan tangan kiri. Dalilnya firman Allah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi bersabda, “Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)
Hikmah dari larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang lain, adalah perbuatan kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa jijik dengan perbuatan itu.
Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikmati makanan yang ia buat. Aku ikut pergi menemani Nabi. Orang tersebut menyuguhkan roti yang terbuat dari gandum kasar dan kuah yang mengandung labu dan dendeng. Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil labu yang berada di pinggir nampan.” (HR. Bukhari, no. 5436, dan Muslim no. 2041)
Kalau lihat hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang berada di dekat beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk kompromi dua hadits tersebut, Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhiid Jilid I halaman 277, mengatakan, “Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau beberapa macam lauk, atau jenis makanan yang lain, maka diperbolehkan untuk mengambil makanan yang tidak berada di dekat kita. Apabila hal tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang dikehendaki. Sedangkan maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu” adalah karena makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan para ulama”
Diriwayatkan dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda, “Jika kalian makan, maka janganlah makan dari bagian tengah piring, akan tetapi hendaknya makan dari pinggir piring. Karena keberkahan makanan itu turun dibagian tengah makanan.” (HR Abu Dawud no. 3772, Ahmad, 2435, Ibnu Majah, 3277 dan Tirmidzi, 1805. Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”)
Hikmah larangan makan dari bagian tengah piring adalah, agar kita mendapatkan keberkahan yang berada di tengah-tengah makanan. Jika sedang makan bersama (baca: kembulan -Jawa, sepiring berdua atau lebih) terdapat hikmah yang lain, yaitu orang yang mengambil makanan berada di tengah, di nilai orang yang tidak sopan dan memilih yang enak-enak saja untuk dirinya sendiri.
Dalam hal ini, tidak ditemukan satu pun hadits shahih yang membicarakan tentang cuci tangan sebelum makan, namun hanya berstatus hasan. Imam Baihaqi mengatakan, “Hadits tentang cuci tangan sesudah makan adalah hadits yang berstatus hasan, tidak terdapat hadits yang shahih tentang cuci tangan sebelum makan.” (Adabus Syar’iyyah, 3/212)
Walau demikian, cuci tangan sebelum makan tetap dianjurkan, untuk menghilangkan kotoran atau hal-hal yang berbahaya bagi tubuh yang melekat di tangan kita.
Tentang cuci tangan sebelum makan, Imam Ahmad memiliki dua pendapat: pertama menyatakan makruh. Sedangkan yang kedua menyatakan dianjurkan.
Imam Malik lebih merinci hal ini, beliau berpendapat, dianjurkan cuci tangan sebelum makan jika terdapat kotoran di tangan.
Ibnu Muflih mengisyaratkan, bahwa cuci tangan sebelum makan itu tetap dianjurkan, dan ini merupakan pendapat beberapa ulama. Dalam hal ini ada kelapangan. Artinya jika dirasa perlu cuci tangan, jika dirasa tidak perlu tidak mengapa.
Mengenai cuci tangan sesudah makan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging kambing dan belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud, 3852 dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Abban bin Utsman bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti yang bercampur dengan daging, setelah selesai makan beliau berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan beliau. Lalu dua tangan tersebut beliau usapkan ke wajahnya. Setelah itu beliau melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Malik, no. 53)
Jika kita dalam kondisi junub dan hendak makan, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub lalu hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu, seperti berwudhu untuk shalat.” (HR Bukhari, no. 286 dan Muslim, no. 305)
Nafi’ mengatakan, bahwa Ibnu Umar jika ingin tidur atau ingin makan dalam kondisi junub maka beliau membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku dan mengusap kepala. (baca: berwudhu) sesudah itu beliau baru makan atau tidur.” (HR Malik, no. 111)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun ulama yang menganjurkan berwudhu sebelum makan kecuali dalam keadaan junub.” (Adab Syar’iyyah 3/214)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, bahwa Rasulullah bila hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu terlebih dahulu, dan apabila beliau hendak makan maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” (HR Nasa’i no. 256, Ahmad, 24353, dan lain-lain)
Dalam Silsilah ash-Shahihah, 1/674, syaikh al-Albani berdalil dengan hadits di atas untuk menganjurkan mencuci tangan sebelum makan secara mutlak baik dalam kondisi junub ataupun tidak. Tetapi pendapat beliau itu kurang tepat, mengingat beberapa alasan: pertama, hadits di atas berisi penjelasan tentang makan minum dan tidur Nabi pada saat beliau dalam keadaan junub. Kedua, dalam sebagian riwayat digunakan kata-kata ‘berwudhu’ sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan mencuci dua tangan sebagaimana dalam hadits di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua perbuatan di atas boleh dilakukan.
As-Sindi mengatakan, “Terkadang Nabi cuma membasuh kedua tangannya untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut dan terkadang Nabi berwudhu agar lebih sempurna.” (Sunan Nasa’i dengan hasyiyah as-Sindi, 1/138 –139)
Ketiga, para Ulama ahli hadits, seperti Imam Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyyah, Nasai dan lain-lain menyampaikan hadits ini, akan tetapi mereka tidak menganjurkan cuci tangan sebelum makan secara mutlak, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh al-Albani. Hal ini menunjukkan, bahwa menurut para ulama-ulama di atas hadits tadi hanya berlaku pada saat dalam kondisi junub.
Intinya, anjuran berwudhu dan cuci tangan sebelum makan yang terdapat dalam hadits di atas hanya dianjurkan saat dalam kondisi junub.
Abu Juhaifah mengatakan, bahwa dia berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berkata kepada seseorang yang berada di dekat beliau, “Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR Bukhari)
Yang dimaksud duduk sambil bersandar dalam hadits tersebut adalah segala bentuk duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, dan tidak terbatas dengan duduk tertentu. Makan sambil bersandar dimakruhkan dikarenakan hal tersebut merupakan duduknya orang yang hendak makan dengan lahap.
Ibnu Hajar mengatakan, “Jika sudah disadari bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari, 9/452)
Tentang duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hasan bin al-Muqri dalam kitab Syama’il. Dalam riwayat itu dinyatakan, bahwa duduk Nabi menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan. Tetapi sanad hadits ini didha’ifkan oleh al-’Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin, 2/6.
Di antara bentuk duduk bersandar adalah duduk bersandar dengan tangan kiri yang diletakkan di lantai. Ibnu ‘Addi meriwayatkan sebuah hadits yang mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersandar dengan tangan kiri pada saat makan. Namun sanad hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452. Meskipun demikian cara duduk seperti itu tetap dimakruhkan, sebagaimana perkataan Imam Malik. Beliau mengatakan, bahwa duduk semacam itu termasuk duduk bersandar.
Termasuk gaya makan yang terlarang adalah makan sambil tengkurap. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil tengkurap.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.
Dalam Zaadul Maad, 4/221, Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki. Dan diriwayatkan pula, bahwa Nabi makan sambil berlutut dan bagian dalam telapak kaki kiri diletakkan di atas punggung telapak kaki kanan. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk tawadhu’ kepada Allah ta’ala.
Cara duduk pertama yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan kurma sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki.” (HR Muslim)
Dan cara duduk kedua, diriwayatkan dari Abdullah bin Busrin, “Aku memberi hadiah daging kambing kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memakannya sambil duduk berlutut. Ada seorang Arab Badui mengatakan, “Mengapa engkau duduk dengan gaya seperti itu? Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang sombong dan suka menentang.” (HR Ibnu Majah, sanad hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makan malam sudah disajikan dan Iqamah shalat dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Janganlah tergesa-gesa sehingga selesai makan,” merupakan dalil bahwa orang tersebut diperbolehkan menikmati makanan hingga selesai. Ini merupakan pendapat yang benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan hendaknya orang tersebut mengambil sesuap makanan untuk mengurangi rasa lapar yang melilit adalah pendapat tidak benar. Karena sabda Nabi di atas tegas menunjukkan tidak benarnya pendapat tersebut.” (Syarah shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 5/38)
Mengingat hadits di atas, maka Ibnu Umar jika makan malam sudah disajikan dan shalat sudah mulai dilaksanakan, beliau tidak meninggalkan makanan tersebut hingga selesai.
Diriwayatkan dari Nafi’, beliau mengatakan terkadang Ibnu Umar mengutusnya untuk satu keperluan, padahal beliau sedang berpuasa. Kemudian makan malam disajikan kepada Ibnu Umar, sedangkan shalat Magrib sudah dikumandangkan. Bahkan beliau mendengar suara bacaan imam (shalat) yang sudah mulai shalat, tetapi beliau tidak meninggalkan makan malamnya, tidak pula tergesa-gesa, sehingga menyelesaikan makan malamnya. Setelah itu beliau baru keluar dan melaksanakan shalat. Ibnu Umar menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian tergesa-gesa menyelesaikan makan malam kalian jika sudah disajikan.” (HR. Ahmad)
Hikmah dari larangan dalam hadits di atas adalah supaya kita tidak melaksanakan shalat dalam keadaan sangat ingin makan, sehingga hal tersebut mengganggu shalat kita dan menghilangkan kekhusyukannya.
Suatu ketika Abu Hurairah dan Ibnu Abbas sedang makan lalu muazin hendak mengumandangkan iqamat. Ibnu Abbas lalu mengatakan kepada muazin tersebut, “Janganlah engkau tergesa-gesa supaya kita tidak melaksanakan shalat dalam keadaan membayangkan makanan.” (HR. Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah. Sanad riwayat ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 2/189)
Ketentuan dalam hadits di atas tidak hanya berlaku untuk makan malam, namun juga berlaku untuk semua makanan yang sangat kita inginkan, mengingat hadits dari Aisyah dia mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat saat makanan sudah disajikan dan pada saat menahan buang air besar dn buang air kecil.” (HR. Muslim)
Perbuatan Ibnu Umar sebagaimana dalam riwayat Ahmad di atas menunjukkan, bahwa makan itu lebih diutamakan dari pada shalat secara mutlak. Tetapi ada ulama yang menyatakan, bahwa makan itu lebih diutamakan dalam shalat pada saat kita sangat ingin untuk makan. Oleh karena itu jika kita sedang sangat ingin makan, maka yang paling utama adalah menyantap makanan terlebih dahulu, sehingga kita bisa shalat dalam keadaan khusyuk.
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Di antara tanda kepahaman agama yang dimiliki seseorang adalah menyelesaikan kebutuhannya terlebih dahulu sehingga bisa melaksanakan shalat dalam keadaan konsentrasi.” (HR. Bukhari tanpa sanad. Lihat Fathul Baari, 2/187)
Al-Hasan bin Ali mengatakan, “makan malam sebelum melaksanakan shalat itu bisa menghilangkan jiwa yang sering tidak bisa konsentrasi.” (Lihat Fathul Baari, 2/189)
Ringkasnya, pendapat yang benar adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa sebab diperintahkannya makan terlebih dahulu daripada shalat adalah mencegah keinginan untuk makan (ketika sedang shalat). Oleh karena itu, seyogyanya ketentuan ini dijalankan, jika sebab perintah ada. Dan tidak dijalankan jika sebab perintah itu tidak ada.” (Fathul Baari, 2/189-190).
Tetapi, jika makanan sudah disajikan namun kita tidak dalam kondisi terlalu lapar, maka hendaknya kita lebih mengutamakan shalat dari pada makan.
Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jari-jari tersebut sesudah selesai makan.
Dari Ka’ab bin Malik dari bapaknya beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jari-jari tersebut sebelum dibersihkan.” (HR Muslim no. 20232 dan lainnya)
Berkenaan dengan hadits ini Ibnu Utsaimin mengatakan, “Dianjurkan untuk makan dengan tiga jari, yaitu jari tengah, jari telunjuk, dan jempol, karena hal tersebut menunjukkan tidak rakus dan ketawadhu’an. Akan tetapi hal ini berlaku untuk makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari. Adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga jari, misalnya nasi. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarah Riyadhus shalihin Juz VII hal 243)
11. Menjilati jari dan sisa makanan
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu di antara kalian makan, maka janganlah dia bersihkan tangannya sehingga dia jilati atau dia minta orang lain untuk menjilatinya.” (HR. Bukhari no. 5456 dan Muslim no. 2031)
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud dinyatakan, “Maka janganlah dia bersihkan tangannya dengan sapu tangan sehingga dia jilati atau dia minta orang lain untuk menjilatinya.”
Alasan mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal di atas dijelaskan dalam hadits yang lain dari Jabir bin Abdillah, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilati jari dan piring yang digunakan untuk makan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di manakah letak berkah makanan tersebut.” Maksudnya, makanan yang kita nikmati itu mengandung berkah. Namun kita tidak mengetahui letak keberkahan tersebut. Apakah dalam makanan yang sudah kita santap, ataukah yang tersisa dan melekat di jari, ataukah yang tersisa di piring, ataukah berada dalam suapan yang jatuh ke lantai. Oleh karena itu hendaknya kita memperhatikan itu semua agar mendapatkan keberkahan. Yang dimaksud berkah adalah tambahan kebaikan, yaitu kebaikan yang bersifat permanen dan bisa menikmati kebaikan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan keberkahan makanan adalah bisa mengenyangkan, tidak menimbulkan gangguan pada tubuh, menjadi sumber energi untuk berbuat ketaatan dan lain-lain.
Ibnu Ustaimin mengatakan, “Seyogyanya jika sudah selesai makan, jari-jari yang dipakai untuk makan dijilat terlebih dahulu sebelum dibersihkan dengan sapu tangan sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Beliau memerintahkan untuk menjilati jari atau meminta orang lain untuk menjilati jari kita. Mengenai menjilati jari sendiri maka ini adalah satu perkara yang jelas. Sedangkan meminta orang lain untuk menjilati jari kita adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi. Jika rasa cinta suami istri itu sangatlah kuat, maka sangatlah mungkin seorang istri menjilati tangan suaminya, atau seorang suami menjilati tangan istrinya. Jadi hal ini adalah suatu hal yang mungkin terjadi.
Ada orang yang berkomentar bahwa Nabi tidak mungkin menyampaikan perkataan di atas. Bagaimanakah kita minta orang lain untuk menjilati jari kita? Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan kebenaran dan beliau mustahil menyampaikan sesuatu yang tidak mungkin. Jadi, melaksanakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah satu hal yang mungkin sekali.
Misalnya ada seorang atau ada orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya yang masih kecil, lalu orang tua tersebut menjilati jari-jari anaknya, sesudah anak-anak tersebut selesai makan. Ini adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Sehingga yang sesuai dengan sunnah adalah menjilati tangan sendiri atau meminta orang lain untuk menjilatinya. Akan tetapi dalam hal ini ada kelapangan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Maka hendaklah dia minta orang lain untuk menjilati jarinya.” Seandainya Nabi mengatakan demikian, tentu kita harus memaksa orang lain untuk sesuatu yang sulit dia kerjakan.”
Beliau juga mengatakan, “Ada orang yang menyampaikan informasi kepadaku yang bersumberkan dari keterangan salah seorang dokter, bahwa ruas-ruas jari tangan ketika digunakan untuk makan itu mengeluarkan sejenis cairan yang membantu proses pencernaan makan dalam lambung. Seandainya informasi ini benar maka ini adalah di antara manfaat mengamalkan sunnah di atas. Jika manfaat secara medis tersebut memang ada, maka patut disyukuri. Akan tetapi jika tidak terjadi, maka hal tersebut tidaklah menyusahkan kita karena yang penting bagi kita adalah melaksanakan perintah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 243-245)
Mengenai menjilati piring yang digunakan untuk makan, Ibnu Utsaimin mengatakan, “Selayaknya piring atau wadah yang dipakai untuk meletakkan makanan dijilati. Artinya jika kita sudah selesai makan, maka hendaknya kita jilati bagian pinggir dari piring tersebut sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita tidak mengetahui letak keberkahan makanan. Satu hal yang ironi, banyak orang yang selesai makan namun tidak melaksanakan sunnah Nabi ini sehingga kita dapatkan piring-piring makanan tersebut sebagaimana semula. Sebab terjadinya hal ini adalah ketidakpahaman akan sunnah Nabi. Seandainya orang-orang alim mau menasihati orang-orang awam untuk melaksanakan sunnah Nabi berkenaan dengan makan dan minum ketika mereka makan bersama orang-orang awam, tentu berbagai sunnah Nabi ini akan tersebar luas. Semoga Allah memaafkan kita karena betapa seringnya kita meremehkan dan tidak melaksanakan sunnah-sunnah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 245)
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya di makan dan jangan dibiarkan untuk setan” Dalam riwayat yang lain dinyatakan, “sesungguhnya setan bersama kalian dalam segala keadaan, sampai-sampai setan bersama kalian pada saat makan. Oleh karena itu jika makanan kalian jatuh ke lantai maka kotorannya hendaknya dibersihkan kemudian di makan dan jangan dibiarkan untuk setan. Jika sudah selesai makan maka hendaknya jari jemari dijilati karena tidak diketahui di bagian manakah makanan tersebut terdapat berkah.” (HR Muslim no. 2033 dan Ahmad 14218)
Terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits di atas di antaranya setan itu selalu mengintai manusia dan menyertainya serta berusaha untuk mendapatkan bagian dari apa yang dilakukan oleh manusia. Setan menyertai manusia sampai-sampai pada saat makan dan minum. Dalam hadits di atas Nabi memerintahkan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada makanan yang jatuh ke lantai baik berupa tanah atau yang lainnya. Kemudian memakannya dan tidak membiarkan makanan tersebut untuk dinikmati oleh setan karena setan adalah musuh manusia, seorang musuh sepantasnya menghalangi musuhnya untuk mendapatkan kesenangan. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa keberkahan makanan itu terletak dalam makanan yang jatuh ke lantai, oleh karena itu kita tidak boleh menyepelekannya. Ada satu catatan penting berkenaan dengan hadits di atas karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setan itu selalu menyertai manusia oleh karena itu manusia tidak boleh mengingkari hal ini sebagaimana tindakan sebagian orang.
Syaikh Muhammad Ibnu Shaleh al-Utsaimin mengatakan, “Jika ada makanan yang jatuh maka jangan dibiarkan akan tetapi diambil, jika pada makanan tersebut ada kotoran maka dibersihkan dan kotorannya tidak perlu dimakan karena kita tidaklah dipaksa untuk memakan sesuatu yang tidak kita sukai. Oleh karena itu kotoran yang melekat pada makanan tersebut kita bersihkan baik kotorannya berupa serpihan kayu, debu atau semacamnya. setelah kotoran tersebut dibersihkan hendaklah kita makan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan janganlah makanan tersebut dibiarkan untuk setan” karena setan selalu bersama manusia. jika ada orang hendak makan maka setan menyertainya, jika ada orang yang hendak minum maka setan juga menyertainya bahkan jika ada orang yang hendak menyetubuhi istrinya maka setan pun datang dan menyertainya. Jadi setan itu menyertai orang-orang yang lalai dari Allah.
Namun jika kita mengucapkan bismillah sebelum makan maka bacaan tersebut menghalangi setan untuk bisa turut makan. Setan sama sekali tidak mampu makan bersama kita jika kita sudah menyebut nama Allah sebelum makan, akan tetapi jika kita tidak mengucapkan bismillah maka setan makan bersama kita. Bila kita sudah mengucapkan bismillah sebelum makan, maka setan masih menunggu-nunggu adanya makanan yang jatuh ke lantai. Jika makanan yang jatuh tersebut kita ambil maka makanan tersebut menjadi hak kita, namun jika kita biarkan maka setanlah yang memakannya. Jadi, setan tidak menyertai kita ketika kita makan maka dia menyertai kita dalam makanan yang jatuh ke lantai. Oleh karena itu hendaknya kita persempit ruang gerak setan berkenaan dengan makanan yang jatuh. Oleh karena itu, jika ada suapan nasi, kurma atau semacamnya yang jatuh ke lantai maka hendaknya kita ambil. Jika pada makanan yang jatuh tersebut terdapat kotoran berupa debu atau yang lainnya, maka kotoran tersebut hendaknya kita singkirkan dan makanan tersebut kita makan dan tidak kita biarkan untuk setan.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Juz VII hal 245-246)
Larangan ini berlaku pada saat makan bersama tidak pada saat sendirian, dari Syu’bah dari Jabalah beliau bercerita: “Kami berada di Madinah bersama beberapa penduduk Irak, ketika itu kami mengalami musim paceklik. Ibnu Zubair memberikan bantuan kepada kami berupa kurma. Pada saat itu, Ibnu Umar melewati kami sambil mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil makanan lebih dari satu kecuali sesudah minta izin kepada saudaranya.” (HR Bukhari no. 2455 dan Muslim no 2045) Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits ini berlaku pada saat makan bersama-sama. Pada saat makan bersama biasanya orang hanya mengambil satu kurma saja. Maka jika ada orang yang mengambil lebih dari satu, maka berarti dia lebih banyak daripada yang lain. Sehingga harus minta izin terlebih dahulu dari orang lain.” (Kaysful Musykil, 2/565)
Tentang hukum larangan dalam hadits di atas, maka ada ulama mengatakan hukumnya haram dan ada pula mengatakan hukumnya makruh. Sedangkan Imam Nawawi berpendapat, perlu rincian dalam hal ini. Beliau mengatakan, “Yang benar perlu ada rincian dalam hal ini.” Jika makanan tersebut adalah milik bersama di antara orang-orang yang memakannya, maka mengambil lebih dari satu hukumnya haram kecuali dengan kerelaan yang lain. Kerelaan tersebut bisa diketahui dengan ucapan yang tegas atau semisalnya, baik berupa indikasi keadaan ataupun isyarat sehingga orang yang hendak mengambil lebih dari satu itu mengetahui dengan yakin atau sangkaan kuat bahwa yang lain itu rela jika dia mengambil lebih dari satu. Akan tetapi jika kerelaan orang lain masih diragukan, maka hukum mengambil makanan lebih dari satu masih tetap haram.
Jika makanan tersebut adalah bukan milik salah satu di antara mereka atau milik salah satu di antara orang yang makan bersama, maka hanya disyaratkan adanya kerelaan dari yang memiliki makanan. Jika ada yang mengambil makanan lebih dari satu tanpa kerelaan dari pemilik makanan, maka hukumnya haram. orang yang hendak mengambil lebih dari satu. Dalam hal ini dianjurkan untuk meminta izin kepada orang-orang yang menemaninya makan. Meskipun hal ini tidak diwajibkan.
Jika makanan tersebut adalah milik kita sendiri dan sudah disuguhkan kepada orang lain, maka pemilik makanan tidaklah diharamkan jika mengambil lebih dari satu. Namun jika jumlah makanan tersebut sedikit, maka hendaknya pemilik makanan tidak mengambil lebih dari satu supaya sama rata dengan yang lain. Akan tetapi jika jumlah makanan tersebut berlimpah dan masih bersisa, dan semua sudah mendapat bagian, maka pemilik makanan diperbolehkan mengambil lebih dari satu. Meskipun demikian, secara umum dianjurkan untuk bersikap sopan pada saat makan dan tidak menunjukkan sikap rakus kecuali jika pemilik makanan tersebut sedang tergesa-gesa atau dia dikejar waktu untuk melakukan aktivitas lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 13/190)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Mencela makanan adalah ketika seseorang menikmati hidangan yang disajikan lalu ia mengomentari makanan tersebut dengan mengucapkan terlalu asin, kurang asin, lembek, terlalu keras, tidak matang dan lain sebagainya.
Hikmah dari larangan ini adalah: karena makanan adalah ciptaan Allah sehingga tidak boleh dicela. Di samping itu, mencela makanan menyebabkan orang yang membuat dan menyajikannya menjadi tersinggung (sakit hati). Ia sudah berusaha menyiapkan hidangan dengan sebaik mungkin, namun ternyata hanya mendapatkan celaan. Oleh karena itu syariat melarang mencela makanan agar tidak menimbulkan kesedihan dalam hati seorang muslim.
Syekh Muhammad Sholeh al-Utsaimin mengatakan, “Tha’am (yang sering diartikan dengan makanan) adalah segala sesuatu yang dinikmati rasanya, baik berupa makanan ataupun minuman. Sepantasnya jika kita diberi suguhan berupa makanan, hendaknya kita menyadari betapa besar nikmat yang telah Allah berikan dengan mempermudah kita untuk mendapatkannya, bersyukur kepada Allah karena mendapatkan nikmat tersebut dan tidak mencelanya. Jika makanan tersebut enak dan terasa menggiurkan, maka hendaklah kita makan. Namun jika tidak demikian, maka tidak perlu kita makan dan kita tidak perlu mencelanya. Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah. Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya dan tidak mencela makanan tersebut. Misalnya ada orang yang diberi kurma dan kurma yang disuguhkan adalah kurma yang jelek, orang tersebut tidak boleh mengatakan kurma ini jelek. Bahkan kita katakan pada orang tersebut jika engkau suka silakan dimakan dan jika tidak suka, maka janganlah dimakan. Adapun mencela makanan yang merupakan nikmat Allah kepada kita dan hal yang Allah mudahkan untuk kita dapatkan, maka hal ini adalah hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga jika ada orang yang membuat satu jenis makanan kemudian disuguhkan kepada kita. Namun ternyata makanan tersebut tidak kita sukai, maka kita tidak boleh mencelanya. Jika masakan ini kau sukai silakan dimakan, dan jika tidak, maka biarkan saja.” (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 209-210)
Hadits dari Abu Hurairah di atas memuat beberapa kandungan pelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut:
Setiap makanan yang mubah itu tidak pernah Nabi cela. Sedangkan makanan yang haram tentu Nabi mencela dan melarang untuk menyantapnya.
Hadits di atas menunjukkan betapa luhurnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang yang memperhatikan perasaan orang yang memasak makanan. Oleh karena itu, Nabi tidaklah mencela pekerjaan yang sudah mereka lakukan, tidak menyakiti perasaan dan tidak melakukan hal-hal yang menyedihkan mereka.
Hadits di atas juga menunjukkan sopan santun. Boleh jadi suatu makanan tidak disukai oleh seseorang akan tetapi disukai oleh orang lain.
Segala sesuatu yang diizinkan oleh syariat tidaklah mengandung cacat. Oleh karena itu tidak boleh dicela.
Hadits di atas merupakan pelajaran yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi makanan yang tidak disukai, yaitu dengan meninggalkan tanpa mencelanya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 55)
Mencela makanan tidak diperbolehkan, bahkan kita dianjurkan untuk memuji makanan. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengatakan, “Bab tidak boleh mencela makanan dan anjuran untuk memujinya.”
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta lauk kepada salah seorang istrinya, lalu sang istri mengatakan, “Kami tidaklah punya lauk kecuali cuka.” Nabi lantas minta diambilkan cuka tersebut. Nabi mengatakan sambil memulai menyantap dengan lauk cuka, “Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR Muslim no 2052)
Syekh Muhammad al-Utsaimin mengatakan, “Khol (cuka) adalah sejenis cairan. Jika kurma dimasukkan ke dalamnya, cairan tersebut akan terasa manis sehingga bisa diminum. Perkataan Nabi dalam hadits di atas merupakan sanjungan terhadap makanan, meskipun sebenarnya cuka adalah minuman. Akan tetapi minuman boleh disebut tha’am (makanan) mengingat firman Allah dalam surat al-Baqarah: 249.
Minuman disebut Tha’am karena dia mengandung rasa yang dalam bahasa Arab disebut tha’mun. Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita menyukai suatu makanan, hendaklah kita memujinya. Misalnya memuji roti dengan mengatakan, “Roti yang paling enak adalah buatan Fulan.” Atau ucapan pujian semacam itu. Hal ini adalah di antara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarah Riyadhus shalihin Jilid VII hal 210-211)
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah:
Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, jika beliau membuat roti Tsarid maka beliau tutupi roti tersebut dengan sesuatu sampai panasnya hilang. Kemudian beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hal tersebut lebih besar berkahnya.” (HR. Darimi no. 2047 dan Ahmad no. 26418, Syaikh al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah Shahihah no. 392)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Makanan itu tidak boleh disantap kecuali jika asap makanan yang panas sudah hilang.” (Dalam Irwa’ul Ghalil no. 1978 Syaikh al-Albani mengatakan shahih diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, 7/2580)
Dalam Zaadul Ma’ad 4/223 Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyantap makanan dalam keadaan masih panas.” Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan dan lain-lain. demikian yang dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, 13/172)
Di kota-kota besar undangan pesta sering kali dilakukan dengan fasilitas dan hiburan yang serba mewah. Ketersediaan fasilitas dan hidangan VIP memang mengundang selera, namun kadang ada yang lupa, ketersediaan tempat duduk walaupun lesehan acap kali ditinggalkan.
Berkaitan dengan makan dan minum sambil berdiri, kita temukan beberapa hadits yang seolah-olah kontradiktif.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sambil minum berdiri. (HR. Muslim no. 2024, Ahmad no. 11775 dll)
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim no. 2025, dll)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)
Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)
Dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar-Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615)
Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Apa yang kalian lihat jika aku minum sambil berdiri. Sungguh aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Jika aku minum sambil duduk maka sungguh aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk.” (HR Ahmad no 797)
Dari Ibnu Umar beliau mengatakan, “Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.” (HR. Ahmad no 4587 dan Ibnu Majah no. 3301 serta dishahihkan oleh al-Albany)
Di samping itu Aisyah dan Said bin Abi Waqqash juga memperbolehkan minum sambil berdiri, diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Zubaer bahwa beliau berdua minum sambil berdiri. (lihat al-Muwatha, 1720 – 1722)
Mengenai hadits-hadits di atas ada Ulama yang berkesimpulan bahwa minum sambil berdiri itu diperbolehkan meskipun yang lebih baik adalah minum sambil duduk. Di antara mereka adalah Imam Nawawi, dalam Riyadhus Shalihin beliau mengatakan, “Bab penjelasan tentang bolehnya minum sambil berdiri dan penjelasan tentang yang lebih sempurna dan lebih utama adalah minum sambil duduk.” Pendapat Imam Nawawi ini diamini oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin, beliau mengatakan, “Yang lebih utama saat makan dan minum adalah sambil duduk karena hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak makan sambil berdiri demikian juga tidak minum sambil berdiri. Mengenai minum sambil berdiri terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan tersebut. Anas bin Malik ditanya tentang bagaimana kalau makan sambil berdiri, maka beliau mengatakan, “Itu lebih jelek dan lebih kotor.” Maksudnya jika Nabi melarang minum sambil berdiri maka lebih-lebih lagi makan sambil berdiri.
Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Umar mengatakan, “Di masa Nabi kami makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri. Hadits ini menunjukkan bahwa larangan minum sambil berdiri itu tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama. Dengan kata lain yang lebih baik dan lebih sempurna adalah makan dan minum sambil duduk. Namun boleh makan dan minum sambil berdiri. Dalil tentang bolehnya minum sambil berdiri adalah dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Nabi lalu beliau meminumnya sambil berdiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid VII hal 267)
Dalam kitab yang sama di halaman 271-272, beliau mengatakan, “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang berkah. Nabi mengatakan, “Air zam-zam adalah makanan yang mengenyangkan dan penyembuh penyakit.” (HR Muslim no 2473) Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan, “Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dalam Targhib wa Tarhib 2/168 al-Hafidz al-Mundziri mengatakan tentang hadits ini, diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih.)
Oleh karenanya, jika air zam-zam di minum untuk menghilangkan dahaga maka dahaga pasti lenyap dan jika diminum karena lapar maka peminumnya pasti kenyang. Berdasarkan makna umum yang terkandung dalam hadits kedua tersebut -”Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.”- sebagian ulama menyatakan orang sakit yang meminum air zam-zam untuk berobat maka pasti sembuh, orang pelupa yang minum zam-zam untuk memperbaiki hafalannya tentu akan menjadi orang yang memiliki ingatan yang baik. Jadi, untuk tujuan apapun air zam-zam diminum pasti bermanfaat. Ringkasnya air zam-zam adalah air yang berkah.
Namun, komentar yang paling bagus mengenai hadits-hadits diatas yang secara sekilas nampak bertentangan adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan, “Cara mengompromikan hadits-hadits di atas adalah dengan memahami hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri apabila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk minum sambil duduk. Hadits-hadits yang melarang minum sambil duduk di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi minum sambil berdiri.” (HR Muslim 2024)
Juga terdapat hadits dari Qotadah dari Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. Qotadah lantas bertanya kepada Anas, “Bagaimana dengan makan sambil berdiri?” “Itu lebih jelek dan lebih kotor” kata Anas. (HR. Muslim no. 2024)
Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri adalah semisal hadits dari Ali dan Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari dari Ali, sesungguhnya beliau minum sambil berdiri di depan pintu gerbang Kuffah. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang aku lakukan.” Hadits dari Ali ini diriwayatkan dalam atsar yang lain bahwa yang beliau minum adalah air zam-zam sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas. Jadi, Nabi minum air zam-zam sambil berdiri adalah pada saat berhaji. Pada saat itu banyak orang yang thawaf dan minum air zam-zam di samping banyak juga yang minta diambilkan air zam-zam, ditambah lagi di tempat tersebut tidak ada tempat duduk. Jika demikian, maka kejadian ini adalah beberapa saat sebelum wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hadits ini dan hadits semacamnya merupakan pengecualian dari larangan di atas. Hal ini adalah bagian dari penerapan kaidah syariat yang menyatakan bahwa hal yang terlarang, itu menjadi dibolehkan pada saat dibutuhkan. Bahkan ada larangan yang lebih keras daripada larangan ini namun diperbolehkan saat dibutuhkan, lebih dari itu hal-hal yang diharamkan untuk dimakan dan diminum seperti bangkai dan darah menjadi diperbolehkan dalam kondisi terpaksa” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah Jilid 32/209-210)
Etika makan dan minum tidak luput dari kajian para ulama yang semuanya bersumberkan dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak bernafas dan meniup air ke dalam gelas atau wadah air. Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits:
Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah mengambil nafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengambil nafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu. Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.” Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028)
Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.
Meskipun demikian, diperbolehkan minum satu teguk sekaligus. Dalilnya dari Abu Said al-Khudry, ketika beliau menemui Khalifah Marwan bin Hakam, khalifah bertanya, “Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup air minum?” Abu Said mengatakan, “Benar” lalu ada seorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali teguk.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Jauhkan gelas dari mulutmu kemudian bernafaslah”, Orang tersebut kembali berkata, “Ternyata kulihat ada kotoran di dalamnya?” Nabi bersabda, “Jika demikian, buanglah air minum tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 1887 dll)
Imam Malik mengatakan, “Menurutku dalam hadits di atas terdapat dalil yang menunjukkan adanya keringanan untuk minum dengan sekali nafas, meski sebanyak apapun yang diminum. Menurut pendapatku tidaklah mengapa minum dengan sekali nafas dan menurutku hal ini diperbolehkan karena dalam hadits dinyatakan, “Sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali nafas -satu teguk-” (At-Tamhid Karya Ibnu Abdil Barr I/392
Dalam Majmu’ Fatawa XXXII / 309 Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil bahwa jika seorang yang minum itu sudah merasa segar karena minum dengan sekali nafas dan dia tidak membutuhkan untuk mengambil nafas berikutnya maka diperbolehkan. Aku tidak mengetahui ada seorang ulama yang mewajibkan untuk mengambil nafas berikutnya dan mengharamkan minum dengan sekali nafas.”
Dimakruhkan minum dari mulut ceret, teko dan lain-lain. Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut ghirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya) (HR Bukhari no. 5627)
Redaksi yang senada dengan hadits di atas juga terdapat dalam riwayat Bukhari no. 5629 dari Ibnu Abbas
Dua hadits di atas dengan tegas melarang minum dari mulut wadah air semacam teko dan ceret. Yang sesuai dengan adab Islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru di minum. Menurut sebagian ulama, larangan ini hukumnya adalah haram sedangkan mayoritas para ulama menyatakan bahwa larangan ini hukumnya adalah makruh. Bahkan ada juga ulama yang memahami bahwa hadits yang melarang minum dari mulut wadah air itu menghapus hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya. Menurut para ulama larangan di atas memiliki beberapa hikmah di antaranya:
Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut ghirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju ghirbah tersebut dan memutus tali gantungannya.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani.) Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94)
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya orang yang menyuguhkan minuman kepada sekelompok orang adalah orang yang minum terakhir kali.” (HR Muslim no. 281)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksud hadits orang yang menyuguhkan minuman baik berupa air, susu, kopi atau teh seyogyanya merupakan orang yang terakhir kali minum untuk mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri dan supaya jika minuman tersebut ternyata kurang maka yang kurang adalah orang yang menyuguh tadi. Tidak diragukan lagi bahwa sikap seperti ini merupakan sikap yang terbaik karena melaksanakan perintah dan adab yang diajarkan oleh Nabi. Akan tetapi jika penyuguh tersebut tidak berkeinginan untuk minum maka dia tidaklah berkewajiban untuk minum sesudah yang lain minum. Dalam hal ini penyuguh boleh minum boleh juga tidak meminum. (Syarah Riyadhus Shalihin VII/273)
Selama ini, di sebagian daerah bila ada orang makan sambil bicara dianggap tabu. Sudah saatnya anggapan demikian kita hapus dari benak kita, sunnah Nabi menganjurkan makan sambil bicara. Hal ini bertujuan menyelisihi orang-orang kafir yang memiliki kebiasaan tidak mau berbicara sambil makan. Kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan ciri khusus mereka.
Ibnul Muflih mengatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bercerita, “Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.” Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Adab Syariyyah, 3/163)
Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar hal 602, edisi terjemah cet. Sinar baru Algen Sindo)
Di antara etika makan yang diajarkan oleh Nabi adalah anjuran makan bersama-sama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan pada makanan tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah orang yang makan maka keberkahan juga akan semakin bertambah. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan satu orang itu cukup untuk dua orang. Makanan dua orang itu cukup untuk empat orang. Makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim no 2059)
Dalam Fathul Baari 9/446 Ibnu Hajar mengatakan, “Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat keterangan tentang illat (sebab) terjadinya hal di atas. Pada awal hadits tersebut dinyatakan, ‘Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang’. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan satu orang itu mencukupi untuk dua orang dan seterusnya adalah disebabkan keberkahan yang ada dalam makan bersama. Semakin banyak jumlah orang yang turut makan maka keberkahan semakin bertambah.”
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” (HR Abu Dawud no. 3764 dan dinilai shahih oleh al-Albani.)
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid VII hal 231 Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa makan namun tidak kenyang itu memiliki beberapa sebab:
Makan dalam porsi terlalu besar merupakan penyebab tubuh menjadi sakit dan merasa malas sehingga sangat berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Di samping itu hal tersebut akan menyebabkan hati menjadi beku. Sebaliknya makan dalam porsi yang terlalu sedikit, juga akan menyebabkan badan menjadi lemah dan loyo sehingga tidak kuat melakukan berbagai amal taat. Solusi tepat untuk masalah ini adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita mempraktekkannya dalam keseharian kita tentu kita tidak terlalu sering pergi ke dokter. Dari Miqdam bin Ma’di Karib beliau menegaskan bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR. Ibnu Majah no. 3349 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Majah no. 2720)
Ibnu Muflih mengatakan, dalam al-Adab as-Syar’iyyah 3/183-185 bahwasanya Ibnu Abdil Barr dan ulama yang lain menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab pada suatu hari pernah berkhutbah, dalam khutbahnya beliau mengatakan, “Jauhilah kekenyangan karena sesungguhnya kekenyangan itu menyebabkan malas untuk shalat dan bahkan badan malah menjadi sakit. Hendaknya kalian bersikap proporsional dalam makan karena hal tersebut menjauhkan dari sifat sombong, lebih sehat bagi badan dan lebih kuat untuk beribadah. Sesungguhnya seseorang itu tidak akan binasa kecuali ketika dia mengatakan keinginannya daripada agamanya.”
Al Fudhail bin Iyyadh mengatakan, “Ada dua hal yang menyebabkan hati menjadi beku dan keras yaitu banyak berbicara dan banyak makan.”
Al Khalal dalam Jami’nya meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau pernah mendapat pertanyaan, “Ada orang-orang yang makan terlalu sedikit dan mereka memang bersengaja untuk melakukan hal seperti itu?” Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak suka hal seperti itu, karena aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, “Ada sekelompok orang yang berbuat seperti itu, namun akhirnya mereka malah tidak kuat untuk mengerjakan berbagai amal yang hukumnya wajib.”
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu melarang dua jenis makanan, pertama, menghadiri jamuan yang mengedarkan khamar, kedua, makan sambil telungkup.” (HR. Abu Dawud no. 3774 dan dinilai shahih oleh al-Albani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menghadiri perjamuan yang mengedarkan khamr.” (HR. Ahmad no. 14241)
Hadits tersebut secara tegas melarang menghadiri jamuan makan yang menyediakan khamr. Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya adalah haram. Karena duduk di suatu tempat yang mengandung kemungkaran merupakan pertanda ridha dan rela dengan kemungkaran tersebut.
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61)
Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Laits bin Bakr yang merupakan keturunan Bani Kinanah. Ada salah seorang dari mereka yang tidak mau makan sendirian. Beberapa waktu lamanya dia menahan lapar, sampai ada orang yang mau diajak makan bersama.”
Dalam al-Muharra al-Wajiz 11/328 Ibnu Athiyyah mengatakan, “Makan dengan bersama-sama merupakan tradisi Arab yang turun-temurun dari Nabi Ibrahim. Beliau tidak mau makan sendirian. Begitu pula sebagian orang-orang Arab ketika kedatangan tamu, mereka tidak mau makan kecuali bersama tamunya. Lalu turunlah ayat di atas yang menjelaskan adab makan yang benar dan membatalkan segala perilaku orang Arab yang menyelisihi ayat ini. Ayat ini secara tegas membolehkan makan sendirian, suatu hal yang diharamkan oleh bangsa Arab sebelumnya. Tentang ayat di atas Ibn Katsir menyatakan, “Ini merupakan keringanan dari Allah. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri atau bersama beberapa orang dalam satu wadah makanan meski makan dengan cara yang kedua itu lebih berkah dan lebih utama.”
Syekh Yahya bin Ali al-Hajuri mengatakan, “Inilah pendapat kami. Makan dengan berjamaah itu lebih utama di samping hal tersebut termasuk perangai dan akhlak orang Arab yang luhur. Terlebih lagi jika dipraktekkan ketika ada acara pertemuan. Kami tidak berpendapat bahwa makan dengan cara sendiri-sendiri adalah haram, karena tidak ada seorang pun ulama yang berpendapat demikian sepengetahuan kami kecuali jika dikaitkan dengan perilaku menyerupai orang-orang kafir. Menyerupai mereka adalah merupakan suatu hal yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang tegas.
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan pentingnya makan berjamaah, karena hal tersebut telah disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Hampir saja banyak orang mengerumuni kalian seperti orang-orang yang hendak makan mengerumuni sebuah piring besar.” (HR Abu Dawud, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab adalah beberapa orang makan dari satu piring. Ini merupakan cara makan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping merupakan adab kebiasaan orang Arab.
Dari Nafi’ beliau mengatakan, “Ibnu Umar memiliki kebiasaan tidak memakan kecuali bersama orang miskin. Suatu ketika aku mengajak seseorang untuk menemani beliau makan. Ternyata orang tersebut makan dalam porsi yang besar. Sesudah itu Ibnu Umar mengatakan, “Wahai Nafi’ janganlah kau ajak orang ini untuk menemani aku makan, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang beriman itu makan dengan menggunakan satu lambung sedangkan orang yang kafir makan dengan menggunakan tujuh lambung.” (HR. Bukhari no. 5393, dan Muslim no. 2060)
Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang teguh menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Sedangkan hadits di atas menunjukkan bahwa beliau hanya mau makan bila ditemani seorang yang miskin.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah (sejenis masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak untuk beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi, “Ayo makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan, “Engkau harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu.” Mendengar hal tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan tersebut dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya.” Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat, sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)
Pesan yang terkandung dalam hadits ini:
Dari Abdullah bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menemani makan istri yang haidh maka beliau bersabda, “Temanilah makan istri yang sedang haidh.” (HR. Turmudzi, Abu dawud dan Ibn Majah, hasan). Penulis kitab Aunul Ma’bud, syarah Abu Dawud dan penulis Tuhfah al Ahfadzi, Syarah sunan Turmudzi sepakat bahwa yang dimaksud menemani makan adalah makan bersama.
Hadits ini menunjukkan bahwa badan dan keringat wanita yang sedang haidh itu suci demikian pula menunjukkan pula bahwa di antara kiat menjaga keharmonisan hubungan suami istri adalah makan bersama dari satu wadah. Inilah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Abi Aufa beliau mengatakan, “Kami ikut perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh atau enam kali dan kami makan belalang bersama beliau.” (HR. Muslim no. 1952) al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Yang dimaksud kami makan belakang bersama beliau, ada dua kemungkinan, pertama, bersama dalam perang tidak dalam masalah makan. Kedua, bersama dalam makan. Kemungkinan yang kedua ini dikuatkan oleh riwayat Abu Nuaim dalam kitab at-Tib dengan redaksi, “Dan beliau makan bersama kami.”
Singkatnya kemungkinan makna yang benar adalah kemungkinan yang kedua. Sehingga hadits di atas menunjukkan betapa akrabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat. Untuk menjalin keakraban sesama mereka Nabi tidak segan untuk duduk makan bersama mereka.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah makan siang dan makan malam dengan menggunakan roti dan daging kecuali dalam hidangan sesama banyak orang.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibn Hibban dengan sanad shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada seorang sahabat Anshar yang tinggal di Quba mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami lalu berangkat bersama beliau ketika beliau telah selesai makan dan mencuci kedua tangannya, beliau berdoa…” hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5458 dari Abu Umamah dengan redaksi, “Apabila maidah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disingkirkan beliau berdoa…”
Al-Maidah adalah meja makan untuk satu atau dua orang. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Wahai Rabb kami, turunkanlah maidah dari langit untuk kami”, Ibn Katsir menyebutkan pendapat mayoritas salaf tentang makna maidah. Mereka mengatakan maidah adalah hidangan yang dinikmati oleh banyak orang. Makna seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Mamduh dalam karyanya, Lisanul Arab. Sedangkan hadits sebelumnya juga berkaitan dengan makan bersama karena dalam hadits tersebut dinyatakan, “Kami lalu berangkat bersama beliau.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit menuju kamar Shafiyah aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri acara walimah nikah beliau dengan Shafiyah. Rasulullah memerintahkan untuk membentangkan alas dari kulit. Di atasnya dituangkan kurma, keju dan lemak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini jelas menunjukkan acara makan bersama di atas alat kulit dan bolehnya membentangkan alas dan kulit untuk makan.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau bercerita ada seorang perempuan Yahudi dari penduduk Khaibar meracuni daging kambing bakar. Daging kambing tersebut lalu dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah lalu memilih kaki kambing, beliau makan dari kambing yang dihadiahkan tersebut bersama sahabat yang lain.” (HR Darimi, dengan sanad yang mursal namun memiliki beberapa hadits penguat)
Hadits di atas di samping menunjukkan bahwa di antara kebiasaan Nabi adalah makan bersama para sahabat juga menunjukkan bahwa Nabi itu tidak mengetahui hal yang gaib. Pada awal mulanya, Nabi tidak tahu kalau daging kambing yang disuguhkan itu beracun. (Disarikan dari buku Makan Berjamaah -edisi terjemah- karya Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, Penerbit Pustaka An-Najiyah)
-Walhamdulillah-
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)
Hadits di atas mengandung adab-adab makan:
1. membaca basmallah
Di antara sunnah Nabi adalah mengucapkan bismillah sebelum makan dan minum dan mengakhirinya dengan memuji Allah. Imam Ahmad mengatakan, “Jika dalam satu makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut adalah makanan yang sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama Allah saat mulai makan, memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang yang turut makan dan berasal dari sumber yang halal.
Menyebut nama Allah sebelum makan berfungsi mencegah setan dari ikut berpartisipasi menikmati makanan tersebut. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apabila kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak memulainya sehingga Nabi memulai makan. Suatu hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut terdorong untuk meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan. Dengan segera Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu datanglah seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan di dorong oleh sesuatu. Nabi lantas memegang tangannya. Sesudah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syaitan turut menikmati makanan yang tidak disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis tersebut dengan maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada karena gadis tersebut belum menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh karena itu aku memegang tangan anak tersebut. Syaitan pun lantas datang bersama anak Badui tersebut supaya bisa turut menikmati makanan. Oleh karena itu, ku pegang tangan Arab Badui itu. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya tangan syaitan itu berada di tanganku bersama tangan anak gadis tersebut.” (HR Muslim no. 2017)
Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibnu Hajar al-Astqalani mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillahirramanirrahim ketika hendak makan itu lebih afdhal.” (Fathul Baari, 9/431)
Apabila kita baru teringat kalau belum mengucapkan bismillah sesudah kita memulai makan, maka hendaknya kita mengucapkan bacaan yang Nabi ajarkan sebagaimana dalam hadits berikut ini, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu kalian hendak makan, maka hendaklah menyebut nama Allah. Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal makan, maka hendaklah mengucapkan bismillahi awalahu wa akhirahu.” (HR Abu Dawud no. 3767 dan dishahihkan oleh al-Albani)
Apabila kita selesai makan dan minum lalu kita memuji nama Allah maka ternyata amal yang nampaknya sepele ini menjadi sebab kita mendapatkan ridha Allah. Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang menikmati makanan lalu memuji Allah sesudahnya atau meneguk minuman lalu memuji Allah sesudahnya.” (HR Muslim no. 2734)
Bentuk bacaan tahmid sesudah makan sangatlah banyak. Diantaranya adalah dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai makan mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ
“segala puji milik Allah Dzat yang mencukupi kita dan menghilangkan dahaga kita, pujian yang tidak terbatas dan tanpa diingkari.”
Terkadang beliau juga mengucapkan:
الـحَمْدُ للـهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ، غَيْرَ [مَكْفِيٍّ ولا] مُوَدَّعٍ، ولا مُسْتَغْنَىً عَنْهُ رَبَّنَا
Dari Abdurrahman bin Jubair dia mendapat cerita dari seorang yang melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama delapan tahun. Orang tersebut mengatakan, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan bismillah apabila makanan disuguhkan kepada beliau. Apabila selesai makan Nabi berdoa: Allahumma Ath’amta wa Asqaita wa Aqnaita wa Ahyaita falillahil hamdu ala ma A’thaita yang artinya, “Ya Allah engkaulah yang memberi makan memberi minum, memberi berbagai barang kebutuhan, memberi petunjuk dan menghidupkan. Maka hanya untukmu segala puji atas segala yang kau beri.” (HR Ahmad 4/62, 5/375 al-Albani mengatakan sanad hadits ini shahih. Lihat silsilah shahihah, 1/111)
Hadits ini menunjukkan bahwa ketika kita hendak makan cukup mengucap bismillah saja tanpa arrahman dan arrahim dan demikianlah yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana tertera tegas dalam hadits di atas. Di samping bacaan-bacaan tahmid di atas, sebenarnya masih terdapat bacaan-bacaan yang lain. Dan yang paling baik dalam hal ini adalah berganti-ganti, terkadang dengan bentuk bacaan tahmid yang ini dan terkadang dalam bentuk bacaan tahmid yang lain. Dengan demikian kita bisa menghafal semua bacaan doa yang Nabi ajarkan serta mendapatkan keberkahan dari semua bacaan-bacaan tersebut. Di samping itu kita bisa meresapi makna-makna yang terkandung dalam masing-masing bacaan tahmid karena kita sering berganti-ganti bacaan. Jika kita membiasakan melakukan perkara tertentu seperti membaca bacaan zikir tertentu, maka jika ini berlangsung terus menerus kita kesulitan untuk meresapi makna-makna yang kita baca, karena seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang refleks dan otomatis
2. makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri
Dari Jabir bin Aabdillah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena syaitan itu juga makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim no. 2019) dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan kirinya.” (HR Muslim no. 2020) Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “karena tangan kiri digunakan untuk cebok dan memegang hal-hal yang najis dan tangan kanan untuk makan maka tidak sepantasnya salah satu tangan tersebut digunakan untuk melakukan pekerjaan tangan yang lain.” (Kasyful Musykil, hal 2/594)
Meskipun hadits-hadits tentang hal ini sangatlah terkenal dan bisa kita katakan orang awam pun mengetahuinya, akan tetapi sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang bersih kukuh untuk tetap makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Apabila ada yang mengingatkan, maka dengan ringannya menjawab karena sudah terlanjur jadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Tidak disangsikan lagi bahwa prinsip seperti ini merupakan tipuan syaitan agar manusia jauh dari mengikuti aturan Allah yang Maha Penyayang. Lebih parah lagi jika makan dan minum dengan tangan kiri ini disebabkan faktor kesombongan.
Dari Salamah bin Akwa radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita bahwa ada seorang yang makan dengan menggunakan tangan kiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat hal tersebut Nabi bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” “Aku tidak bisa makan dengan tangan kanan,” sahut orang tersebut. Nabi lantas bersabda, “Engkau memang tidak biasa menggunakan tangan kananmu.” Tidak ada yang menghalangi orang tersebut untuk menuruti perintah Nabi kecuali kesombongan. Oleh karena itu orang tersebut tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulutnya.” (HR Muslim no. 2021)
Dalam riwayat Ahmad no. 16064 dinyatakan, “Maka tangan kanan orang tersebut tidak lagi bisa sampai ke mulutnya sejak saat itu.” Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang yang tidak melaksanakan aturan syariat tanpa aturan yang bisa dibenarkan. Hadits di atas juga menunjukkan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dalam segala keadaan. Sampai-sampai meskipun sedang makan. Di samping itu hadits di atas juga menunjukkan adanya anjuran mengajari adab makan terhadap orang yang tidak melaksanakannya (Syarah shahih Muslim, 14/161)
Meskipun demikian jika memang terdapat alasan yang bisa dibenarkan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menikmati makanan dengan tangan kanannya karena suatu penyakit atau sebab lain, maka diperbolehkan makan dengan menggunakan tangan kiri. Dalilnya firman Allah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
3. memakan makanan yang berada di dekat kita
Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi bersabda, “Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)
Hikmah dari larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang lain, adalah perbuatan kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa jijik dengan perbuatan itu.
Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikmati makanan yang ia buat. Aku ikut pergi menemani Nabi. Orang tersebut menyuguhkan roti yang terbuat dari gandum kasar dan kuah yang mengandung labu dan dendeng. Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil labu yang berada di pinggir nampan.” (HR. Bukhari, no. 5436, dan Muslim no. 2041)
Kalau lihat hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang berada di dekat beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk kompromi dua hadits tersebut, Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhiid Jilid I halaman 277, mengatakan, “Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau beberapa macam lauk, atau jenis makanan yang lain, maka diperbolehkan untuk mengambil makanan yang tidak berada di dekat kita. Apabila hal tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang dikehendaki. Sedangkan maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu” adalah karena makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan para ulama”
4. Anjuran makan dari pinggir piring
Diriwayatkan dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda, “Jika kalian makan, maka janganlah makan dari bagian tengah piring, akan tetapi hendaknya makan dari pinggir piring. Karena keberkahan makanan itu turun dibagian tengah makanan.” (HR Abu Dawud no. 3772, Ahmad, 2435, Ibnu Majah, 3277 dan Tirmidzi, 1805. Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”)
Hikmah larangan makan dari bagian tengah piring adalah, agar kita mendapatkan keberkahan yang berada di tengah-tengah makanan. Jika sedang makan bersama (baca: kembulan -Jawa, sepiring berdua atau lebih) terdapat hikmah yang lain, yaitu orang yang mengambil makanan berada di tengah, di nilai orang yang tidak sopan dan memilih yang enak-enak saja untuk dirinya sendiri.
5. Cuci tangan sebelum makan dan sesudah makan
Dalam hal ini, tidak ditemukan satu pun hadits shahih yang membicarakan tentang cuci tangan sebelum makan, namun hanya berstatus hasan. Imam Baihaqi mengatakan, “Hadits tentang cuci tangan sesudah makan adalah hadits yang berstatus hasan, tidak terdapat hadits yang shahih tentang cuci tangan sebelum makan.” (Adabus Syar’iyyah, 3/212)
Walau demikian, cuci tangan sebelum makan tetap dianjurkan, untuk menghilangkan kotoran atau hal-hal yang berbahaya bagi tubuh yang melekat di tangan kita.
Tentang cuci tangan sebelum makan, Imam Ahmad memiliki dua pendapat: pertama menyatakan makruh. Sedangkan yang kedua menyatakan dianjurkan.
Imam Malik lebih merinci hal ini, beliau berpendapat, dianjurkan cuci tangan sebelum makan jika terdapat kotoran di tangan.
Ibnu Muflih mengisyaratkan, bahwa cuci tangan sebelum makan itu tetap dianjurkan, dan ini merupakan pendapat beberapa ulama. Dalam hal ini ada kelapangan. Artinya jika dirasa perlu cuci tangan, jika dirasa tidak perlu tidak mengapa.
Mengenai cuci tangan sesudah makan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging kambing dan belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud, 3852 dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Abban bin Utsman bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti yang bercampur dengan daging, setelah selesai makan beliau berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan beliau. Lalu dua tangan tersebut beliau usapkan ke wajahnya. Setelah itu beliau melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Malik, no. 53)
6. Keadaan junub hendak makan
Jika kita dalam kondisi junub dan hendak makan, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub lalu hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu, seperti berwudhu untuk shalat.” (HR Bukhari, no. 286 dan Muslim, no. 305)
Nafi’ mengatakan, bahwa Ibnu Umar jika ingin tidur atau ingin makan dalam kondisi junub maka beliau membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku dan mengusap kepala. (baca: berwudhu) sesudah itu beliau baru makan atau tidur.” (HR Malik, no. 111)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun ulama yang menganjurkan berwudhu sebelum makan kecuali dalam keadaan junub.” (Adab Syar’iyyah 3/214)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, bahwa Rasulullah bila hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu terlebih dahulu, dan apabila beliau hendak makan maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” (HR Nasa’i no. 256, Ahmad, 24353, dan lain-lain)
Dalam Silsilah ash-Shahihah, 1/674, syaikh al-Albani berdalil dengan hadits di atas untuk menganjurkan mencuci tangan sebelum makan secara mutlak baik dalam kondisi junub ataupun tidak. Tetapi pendapat beliau itu kurang tepat, mengingat beberapa alasan: pertama, hadits di atas berisi penjelasan tentang makan minum dan tidur Nabi pada saat beliau dalam keadaan junub. Kedua, dalam sebagian riwayat digunakan kata-kata ‘berwudhu’ sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan mencuci dua tangan sebagaimana dalam hadits di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua perbuatan di atas boleh dilakukan.
As-Sindi mengatakan, “Terkadang Nabi cuma membasuh kedua tangannya untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut dan terkadang Nabi berwudhu agar lebih sempurna.” (Sunan Nasa’i dengan hasyiyah as-Sindi, 1/138 –139)
Ketiga, para Ulama ahli hadits, seperti Imam Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyyah, Nasai dan lain-lain menyampaikan hadits ini, akan tetapi mereka tidak menganjurkan cuci tangan sebelum makan secara mutlak, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh al-Albani. Hal ini menunjukkan, bahwa menurut para ulama-ulama di atas hadits tadi hanya berlaku pada saat dalam kondisi junub.
Intinya, anjuran berwudhu dan cuci tangan sebelum makan yang terdapat dalam hadits di atas hanya dianjurkan saat dalam kondisi junub.
7. Tidak duduk sambil bersandar
Abu Juhaifah mengatakan, bahwa dia berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berkata kepada seseorang yang berada di dekat beliau, “Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR Bukhari)
Yang dimaksud duduk sambil bersandar dalam hadits tersebut adalah segala bentuk duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, dan tidak terbatas dengan duduk tertentu. Makan sambil bersandar dimakruhkan dikarenakan hal tersebut merupakan duduknya orang yang hendak makan dengan lahap.
Ibnu Hajar mengatakan, “Jika sudah disadari bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari, 9/452)
Tentang duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hasan bin al-Muqri dalam kitab Syama’il. Dalam riwayat itu dinyatakan, bahwa duduk Nabi menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan. Tetapi sanad hadits ini didha’ifkan oleh al-’Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin, 2/6.
Di antara bentuk duduk bersandar adalah duduk bersandar dengan tangan kiri yang diletakkan di lantai. Ibnu ‘Addi meriwayatkan sebuah hadits yang mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersandar dengan tangan kiri pada saat makan. Namun sanad hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452. Meskipun demikian cara duduk seperti itu tetap dimakruhkan, sebagaimana perkataan Imam Malik. Beliau mengatakan, bahwa duduk semacam itu termasuk duduk bersandar.
8. Tidak tengkurap
Termasuk gaya makan yang terlarang adalah makan sambil tengkurap. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil tengkurap.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.
Dalam Zaadul Maad, 4/221, Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki. Dan diriwayatkan pula, bahwa Nabi makan sambil berlutut dan bagian dalam telapak kaki kiri diletakkan di atas punggung telapak kaki kanan. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk tawadhu’ kepada Allah ta’ala.
Cara duduk pertama yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan kurma sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki.” (HR Muslim)
Dan cara duduk kedua, diriwayatkan dari Abdullah bin Busrin, “Aku memberi hadiah daging kambing kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memakannya sambil duduk berlutut. Ada seorang Arab Badui mengatakan, “Mengapa engkau duduk dengan gaya seperti itu? Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang sombong dan suka menentang.” (HR Ibnu Majah, sanad hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452).
9. Segera makan ketika makanan sudah siap
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makan malam sudah disajikan dan Iqamah shalat dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Janganlah tergesa-gesa sehingga selesai makan,” merupakan dalil bahwa orang tersebut diperbolehkan menikmati makanan hingga selesai. Ini merupakan pendapat yang benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan hendaknya orang tersebut mengambil sesuap makanan untuk mengurangi rasa lapar yang melilit adalah pendapat tidak benar. Karena sabda Nabi di atas tegas menunjukkan tidak benarnya pendapat tersebut.” (Syarah shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 5/38)
Mengingat hadits di atas, maka Ibnu Umar jika makan malam sudah disajikan dan shalat sudah mulai dilaksanakan, beliau tidak meninggalkan makanan tersebut hingga selesai.
Diriwayatkan dari Nafi’, beliau mengatakan terkadang Ibnu Umar mengutusnya untuk satu keperluan, padahal beliau sedang berpuasa. Kemudian makan malam disajikan kepada Ibnu Umar, sedangkan shalat Magrib sudah dikumandangkan. Bahkan beliau mendengar suara bacaan imam (shalat) yang sudah mulai shalat, tetapi beliau tidak meninggalkan makan malamnya, tidak pula tergesa-gesa, sehingga menyelesaikan makan malamnya. Setelah itu beliau baru keluar dan melaksanakan shalat. Ibnu Umar menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian tergesa-gesa menyelesaikan makan malam kalian jika sudah disajikan.” (HR. Ahmad)
Hikmah dari larangan dalam hadits di atas adalah supaya kita tidak melaksanakan shalat dalam keadaan sangat ingin makan, sehingga hal tersebut mengganggu shalat kita dan menghilangkan kekhusyukannya.
Suatu ketika Abu Hurairah dan Ibnu Abbas sedang makan lalu muazin hendak mengumandangkan iqamat. Ibnu Abbas lalu mengatakan kepada muazin tersebut, “Janganlah engkau tergesa-gesa supaya kita tidak melaksanakan shalat dalam keadaan membayangkan makanan.” (HR. Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah. Sanad riwayat ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 2/189)
Ketentuan dalam hadits di atas tidak hanya berlaku untuk makan malam, namun juga berlaku untuk semua makanan yang sangat kita inginkan, mengingat hadits dari Aisyah dia mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat saat makanan sudah disajikan dan pada saat menahan buang air besar dn buang air kecil.” (HR. Muslim)
Perbuatan Ibnu Umar sebagaimana dalam riwayat Ahmad di atas menunjukkan, bahwa makan itu lebih diutamakan dari pada shalat secara mutlak. Tetapi ada ulama yang menyatakan, bahwa makan itu lebih diutamakan dalam shalat pada saat kita sangat ingin untuk makan. Oleh karena itu jika kita sedang sangat ingin makan, maka yang paling utama adalah menyantap makanan terlebih dahulu, sehingga kita bisa shalat dalam keadaan khusyuk.
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Di antara tanda kepahaman agama yang dimiliki seseorang adalah menyelesaikan kebutuhannya terlebih dahulu sehingga bisa melaksanakan shalat dalam keadaan konsentrasi.” (HR. Bukhari tanpa sanad. Lihat Fathul Baari, 2/187)
Al-Hasan bin Ali mengatakan, “makan malam sebelum melaksanakan shalat itu bisa menghilangkan jiwa yang sering tidak bisa konsentrasi.” (Lihat Fathul Baari, 2/189)
Ringkasnya, pendapat yang benar adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa sebab diperintahkannya makan terlebih dahulu daripada shalat adalah mencegah keinginan untuk makan (ketika sedang shalat). Oleh karena itu, seyogyanya ketentuan ini dijalankan, jika sebab perintah ada. Dan tidak dijalankan jika sebab perintah itu tidak ada.” (Fathul Baari, 2/189-190).
Tetapi, jika makanan sudah disajikan namun kita tidak dalam kondisi terlalu lapar, maka hendaknya kita lebih mengutamakan shalat dari pada makan.
10. Makan dengan tiga jari
Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jari-jari tersebut sesudah selesai makan.
Dari Ka’ab bin Malik dari bapaknya beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jari-jari tersebut sebelum dibersihkan.” (HR Muslim no. 20232 dan lainnya)
Berkenaan dengan hadits ini Ibnu Utsaimin mengatakan, “Dianjurkan untuk makan dengan tiga jari, yaitu jari tengah, jari telunjuk, dan jempol, karena hal tersebut menunjukkan tidak rakus dan ketawadhu’an. Akan tetapi hal ini berlaku untuk makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari. Adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga jari, misalnya nasi. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarah Riyadhus shalihin Juz VII hal 243)
11. Menjilati jari dan sisa makanan
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu di antara kalian makan, maka janganlah dia bersihkan tangannya sehingga dia jilati atau dia minta orang lain untuk menjilatinya.” (HR. Bukhari no. 5456 dan Muslim no. 2031)
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud dinyatakan, “Maka janganlah dia bersihkan tangannya dengan sapu tangan sehingga dia jilati atau dia minta orang lain untuk menjilatinya.”
Alasan mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal di atas dijelaskan dalam hadits yang lain dari Jabir bin Abdillah, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilati jari dan piring yang digunakan untuk makan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di manakah letak berkah makanan tersebut.” Maksudnya, makanan yang kita nikmati itu mengandung berkah. Namun kita tidak mengetahui letak keberkahan tersebut. Apakah dalam makanan yang sudah kita santap, ataukah yang tersisa dan melekat di jari, ataukah yang tersisa di piring, ataukah berada dalam suapan yang jatuh ke lantai. Oleh karena itu hendaknya kita memperhatikan itu semua agar mendapatkan keberkahan. Yang dimaksud berkah adalah tambahan kebaikan, yaitu kebaikan yang bersifat permanen dan bisa menikmati kebaikan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan keberkahan makanan adalah bisa mengenyangkan, tidak menimbulkan gangguan pada tubuh, menjadi sumber energi untuk berbuat ketaatan dan lain-lain.
Ibnu Ustaimin mengatakan, “Seyogyanya jika sudah selesai makan, jari-jari yang dipakai untuk makan dijilat terlebih dahulu sebelum dibersihkan dengan sapu tangan sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Beliau memerintahkan untuk menjilati jari atau meminta orang lain untuk menjilati jari kita. Mengenai menjilati jari sendiri maka ini adalah satu perkara yang jelas. Sedangkan meminta orang lain untuk menjilati jari kita adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi. Jika rasa cinta suami istri itu sangatlah kuat, maka sangatlah mungkin seorang istri menjilati tangan suaminya, atau seorang suami menjilati tangan istrinya. Jadi hal ini adalah suatu hal yang mungkin terjadi.
Ada orang yang berkomentar bahwa Nabi tidak mungkin menyampaikan perkataan di atas. Bagaimanakah kita minta orang lain untuk menjilati jari kita? Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan kebenaran dan beliau mustahil menyampaikan sesuatu yang tidak mungkin. Jadi, melaksanakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah satu hal yang mungkin sekali.
Misalnya ada seorang atau ada orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya yang masih kecil, lalu orang tua tersebut menjilati jari-jari anaknya, sesudah anak-anak tersebut selesai makan. Ini adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Sehingga yang sesuai dengan sunnah adalah menjilati tangan sendiri atau meminta orang lain untuk menjilatinya. Akan tetapi dalam hal ini ada kelapangan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Maka hendaklah dia minta orang lain untuk menjilati jarinya.” Seandainya Nabi mengatakan demikian, tentu kita harus memaksa orang lain untuk sesuatu yang sulit dia kerjakan.”
Beliau juga mengatakan, “Ada orang yang menyampaikan informasi kepadaku yang bersumberkan dari keterangan salah seorang dokter, bahwa ruas-ruas jari tangan ketika digunakan untuk makan itu mengeluarkan sejenis cairan yang membantu proses pencernaan makan dalam lambung. Seandainya informasi ini benar maka ini adalah di antara manfaat mengamalkan sunnah di atas. Jika manfaat secara medis tersebut memang ada, maka patut disyukuri. Akan tetapi jika tidak terjadi, maka hal tersebut tidaklah menyusahkan kita karena yang penting bagi kita adalah melaksanakan perintah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 243-245)
Mengenai menjilati piring yang digunakan untuk makan, Ibnu Utsaimin mengatakan, “Selayaknya piring atau wadah yang dipakai untuk meletakkan makanan dijilati. Artinya jika kita sudah selesai makan, maka hendaknya kita jilati bagian pinggir dari piring tersebut sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita tidak mengetahui letak keberkahan makanan. Satu hal yang ironi, banyak orang yang selesai makan namun tidak melaksanakan sunnah Nabi ini sehingga kita dapatkan piring-piring makanan tersebut sebagaimana semula. Sebab terjadinya hal ini adalah ketidakpahaman akan sunnah Nabi. Seandainya orang-orang alim mau menasihati orang-orang awam untuk melaksanakan sunnah Nabi berkenaan dengan makan dan minum ketika mereka makan bersama orang-orang awam, tentu berbagai sunnah Nabi ini akan tersebar luas. Semoga Allah memaafkan kita karena betapa seringnya kita meremehkan dan tidak melaksanakan sunnah-sunnah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 245)
12. Mengambil makanan yang jatuh
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya di makan dan jangan dibiarkan untuk setan” Dalam riwayat yang lain dinyatakan, “sesungguhnya setan bersama kalian dalam segala keadaan, sampai-sampai setan bersama kalian pada saat makan. Oleh karena itu jika makanan kalian jatuh ke lantai maka kotorannya hendaknya dibersihkan kemudian di makan dan jangan dibiarkan untuk setan. Jika sudah selesai makan maka hendaknya jari jemari dijilati karena tidak diketahui di bagian manakah makanan tersebut terdapat berkah.” (HR Muslim no. 2033 dan Ahmad 14218)
Terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits di atas di antaranya setan itu selalu mengintai manusia dan menyertainya serta berusaha untuk mendapatkan bagian dari apa yang dilakukan oleh manusia. Setan menyertai manusia sampai-sampai pada saat makan dan minum. Dalam hadits di atas Nabi memerintahkan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada makanan yang jatuh ke lantai baik berupa tanah atau yang lainnya. Kemudian memakannya dan tidak membiarkan makanan tersebut untuk dinikmati oleh setan karena setan adalah musuh manusia, seorang musuh sepantasnya menghalangi musuhnya untuk mendapatkan kesenangan. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa keberkahan makanan itu terletak dalam makanan yang jatuh ke lantai, oleh karena itu kita tidak boleh menyepelekannya. Ada satu catatan penting berkenaan dengan hadits di atas karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setan itu selalu menyertai manusia oleh karena itu manusia tidak boleh mengingkari hal ini sebagaimana tindakan sebagian orang.
Syaikh Muhammad Ibnu Shaleh al-Utsaimin mengatakan, “Jika ada makanan yang jatuh maka jangan dibiarkan akan tetapi diambil, jika pada makanan tersebut ada kotoran maka dibersihkan dan kotorannya tidak perlu dimakan karena kita tidaklah dipaksa untuk memakan sesuatu yang tidak kita sukai. Oleh karena itu kotoran yang melekat pada makanan tersebut kita bersihkan baik kotorannya berupa serpihan kayu, debu atau semacamnya. setelah kotoran tersebut dibersihkan hendaklah kita makan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan janganlah makanan tersebut dibiarkan untuk setan” karena setan selalu bersama manusia. jika ada orang hendak makan maka setan menyertainya, jika ada orang yang hendak minum maka setan juga menyertainya bahkan jika ada orang yang hendak menyetubuhi istrinya maka setan pun datang dan menyertainya. Jadi setan itu menyertai orang-orang yang lalai dari Allah.
Namun jika kita mengucapkan bismillah sebelum makan maka bacaan tersebut menghalangi setan untuk bisa turut makan. Setan sama sekali tidak mampu makan bersama kita jika kita sudah menyebut nama Allah sebelum makan, akan tetapi jika kita tidak mengucapkan bismillah maka setan makan bersama kita. Bila kita sudah mengucapkan bismillah sebelum makan, maka setan masih menunggu-nunggu adanya makanan yang jatuh ke lantai. Jika makanan yang jatuh tersebut kita ambil maka makanan tersebut menjadi hak kita, namun jika kita biarkan maka setanlah yang memakannya. Jadi, setan tidak menyertai kita ketika kita makan maka dia menyertai kita dalam makanan yang jatuh ke lantai. Oleh karena itu hendaknya kita persempit ruang gerak setan berkenaan dengan makanan yang jatuh. Oleh karena itu, jika ada suapan nasi, kurma atau semacamnya yang jatuh ke lantai maka hendaknya kita ambil. Jika pada makanan yang jatuh tersebut terdapat kotoran berupa debu atau yang lainnya, maka kotoran tersebut hendaknya kita singkirkan dan makanan tersebut kita makan dan tidak kita biarkan untuk setan.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Juz VII hal 245-246)
13. Tidak mengambil makanan lebih dari satu
Larangan ini berlaku pada saat makan bersama tidak pada saat sendirian, dari Syu’bah dari Jabalah beliau bercerita: “Kami berada di Madinah bersama beberapa penduduk Irak, ketika itu kami mengalami musim paceklik. Ibnu Zubair memberikan bantuan kepada kami berupa kurma. Pada saat itu, Ibnu Umar melewati kami sambil mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengambil makanan lebih dari satu kecuali sesudah minta izin kepada saudaranya.” (HR Bukhari no. 2455 dan Muslim no 2045) Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits ini berlaku pada saat makan bersama-sama. Pada saat makan bersama biasanya orang hanya mengambil satu kurma saja. Maka jika ada orang yang mengambil lebih dari satu, maka berarti dia lebih banyak daripada yang lain. Sehingga harus minta izin terlebih dahulu dari orang lain.” (Kaysful Musykil, 2/565)
Tentang hukum larangan dalam hadits di atas, maka ada ulama mengatakan hukumnya haram dan ada pula mengatakan hukumnya makruh. Sedangkan Imam Nawawi berpendapat, perlu rincian dalam hal ini. Beliau mengatakan, “Yang benar perlu ada rincian dalam hal ini.” Jika makanan tersebut adalah milik bersama di antara orang-orang yang memakannya, maka mengambil lebih dari satu hukumnya haram kecuali dengan kerelaan yang lain. Kerelaan tersebut bisa diketahui dengan ucapan yang tegas atau semisalnya, baik berupa indikasi keadaan ataupun isyarat sehingga orang yang hendak mengambil lebih dari satu itu mengetahui dengan yakin atau sangkaan kuat bahwa yang lain itu rela jika dia mengambil lebih dari satu. Akan tetapi jika kerelaan orang lain masih diragukan, maka hukum mengambil makanan lebih dari satu masih tetap haram.
Jika makanan tersebut adalah bukan milik salah satu di antara mereka atau milik salah satu di antara orang yang makan bersama, maka hanya disyaratkan adanya kerelaan dari yang memiliki makanan. Jika ada yang mengambil makanan lebih dari satu tanpa kerelaan dari pemilik makanan, maka hukumnya haram. orang yang hendak mengambil lebih dari satu. Dalam hal ini dianjurkan untuk meminta izin kepada orang-orang yang menemaninya makan. Meskipun hal ini tidak diwajibkan.
Jika makanan tersebut adalah milik kita sendiri dan sudah disuguhkan kepada orang lain, maka pemilik makanan tidaklah diharamkan jika mengambil lebih dari satu. Namun jika jumlah makanan tersebut sedikit, maka hendaknya pemilik makanan tidak mengambil lebih dari satu supaya sama rata dengan yang lain. Akan tetapi jika jumlah makanan tersebut berlimpah dan masih bersisa, dan semua sudah mendapat bagian, maka pemilik makanan diperbolehkan mengambil lebih dari satu. Meskipun demikian, secara umum dianjurkan untuk bersikap sopan pada saat makan dan tidak menunjukkan sikap rakus kecuali jika pemilik makanan tersebut sedang tergesa-gesa atau dia dikejar waktu untuk melakukan aktivitas lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 13/190)
14. Tidak mencela makanan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Mencela makanan adalah ketika seseorang menikmati hidangan yang disajikan lalu ia mengomentari makanan tersebut dengan mengucapkan terlalu asin, kurang asin, lembek, terlalu keras, tidak matang dan lain sebagainya.
Hikmah dari larangan ini adalah: karena makanan adalah ciptaan Allah sehingga tidak boleh dicela. Di samping itu, mencela makanan menyebabkan orang yang membuat dan menyajikannya menjadi tersinggung (sakit hati). Ia sudah berusaha menyiapkan hidangan dengan sebaik mungkin, namun ternyata hanya mendapatkan celaan. Oleh karena itu syariat melarang mencela makanan agar tidak menimbulkan kesedihan dalam hati seorang muslim.
Syekh Muhammad Sholeh al-Utsaimin mengatakan, “Tha’am (yang sering diartikan dengan makanan) adalah segala sesuatu yang dinikmati rasanya, baik berupa makanan ataupun minuman. Sepantasnya jika kita diberi suguhan berupa makanan, hendaknya kita menyadari betapa besar nikmat yang telah Allah berikan dengan mempermudah kita untuk mendapatkannya, bersyukur kepada Allah karena mendapatkan nikmat tersebut dan tidak mencelanya. Jika makanan tersebut enak dan terasa menggiurkan, maka hendaklah kita makan. Namun jika tidak demikian, maka tidak perlu kita makan dan kita tidak perlu mencelanya. Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah. Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya dan tidak mencela makanan tersebut. Misalnya ada orang yang diberi kurma dan kurma yang disuguhkan adalah kurma yang jelek, orang tersebut tidak boleh mengatakan kurma ini jelek. Bahkan kita katakan pada orang tersebut jika engkau suka silakan dimakan dan jika tidak suka, maka janganlah dimakan. Adapun mencela makanan yang merupakan nikmat Allah kepada kita dan hal yang Allah mudahkan untuk kita dapatkan, maka hal ini adalah hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga jika ada orang yang membuat satu jenis makanan kemudian disuguhkan kepada kita. Namun ternyata makanan tersebut tidak kita sukai, maka kita tidak boleh mencelanya. Jika masakan ini kau sukai silakan dimakan, dan jika tidak, maka biarkan saja.” (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 209-210)
Hadits dari Abu Hurairah di atas memuat beberapa kandungan pelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut:
Setiap makanan yang mubah itu tidak pernah Nabi cela. Sedangkan makanan yang haram tentu Nabi mencela dan melarang untuk menyantapnya.
Hadits di atas menunjukkan betapa luhurnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang yang memperhatikan perasaan orang yang memasak makanan. Oleh karena itu, Nabi tidaklah mencela pekerjaan yang sudah mereka lakukan, tidak menyakiti perasaan dan tidak melakukan hal-hal yang menyedihkan mereka.
Hadits di atas juga menunjukkan sopan santun. Boleh jadi suatu makanan tidak disukai oleh seseorang akan tetapi disukai oleh orang lain.
Segala sesuatu yang diizinkan oleh syariat tidaklah mengandung cacat. Oleh karena itu tidak boleh dicela.
Hadits di atas merupakan pelajaran yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi makanan yang tidak disukai, yaitu dengan meninggalkan tanpa mencelanya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 55)
Mencela makanan tidak diperbolehkan, bahkan kita dianjurkan untuk memuji makanan. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengatakan, “Bab tidak boleh mencela makanan dan anjuran untuk memujinya.”
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta lauk kepada salah seorang istrinya, lalu sang istri mengatakan, “Kami tidaklah punya lauk kecuali cuka.” Nabi lantas minta diambilkan cuka tersebut. Nabi mengatakan sambil memulai menyantap dengan lauk cuka, “Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR Muslim no 2052)
Syekh Muhammad al-Utsaimin mengatakan, “Khol (cuka) adalah sejenis cairan. Jika kurma dimasukkan ke dalamnya, cairan tersebut akan terasa manis sehingga bisa diminum. Perkataan Nabi dalam hadits di atas merupakan sanjungan terhadap makanan, meskipun sebenarnya cuka adalah minuman. Akan tetapi minuman boleh disebut tha’am (makanan) mengingat firman Allah dalam surat al-Baqarah: 249.
Minuman disebut Tha’am karena dia mengandung rasa yang dalam bahasa Arab disebut tha’mun. Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita menyukai suatu makanan, hendaklah kita memujinya. Misalnya memuji roti dengan mengatakan, “Roti yang paling enak adalah buatan Fulan.” Atau ucapan pujian semacam itu. Hal ini adalah di antara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarah Riyadhus shalihin Jilid VII hal 210-211)
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah:
- Terpujinya sikap sederhana berkenaan dengan makan karena sikap tersebut adalah di antara kunci agar bisa hidup menyenangkan.
- Hendaknya keinginan untuk memakan segala sesuatu yang disukai itu dikontrol. Karena tidak semua yang disukai oleh seseorang harus dibeli dan di makan.
- Anjuran untuk memuji cuka boleh jadi karena cukanya atau untuk menyenangkan orang yang memberikannya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 56)
15. Menyantap sesudah makanan dingin
Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, jika beliau membuat roti Tsarid maka beliau tutupi roti tersebut dengan sesuatu sampai panasnya hilang. Kemudian beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hal tersebut lebih besar berkahnya.” (HR. Darimi no. 2047 dan Ahmad no. 26418, Syaikh al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah Shahihah no. 392)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Makanan itu tidak boleh disantap kecuali jika asap makanan yang panas sudah hilang.” (Dalam Irwa’ul Ghalil no. 1978 Syaikh al-Albani mengatakan shahih diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, 7/2580)
Dalam Zaadul Ma’ad 4/223 Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyantap makanan dalam keadaan masih panas.” Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan dan lain-lain. demikian yang dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, 13/172)
16. Makan dan minum sambil berdiri
Di kota-kota besar undangan pesta sering kali dilakukan dengan fasilitas dan hiburan yang serba mewah. Ketersediaan fasilitas dan hidangan VIP memang mengundang selera, namun kadang ada yang lupa, ketersediaan tempat duduk walaupun lesehan acap kali ditinggalkan.
Berkaitan dengan makan dan minum sambil berdiri, kita temukan beberapa hadits yang seolah-olah kontradiktif.
Hadits-Hadits yang melarang minum sambil berdiri
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sambil minum berdiri. (HR. Muslim no. 2024, Ahmad no. 11775 dll)
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim no. 2025, dll)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)
Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri
Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)
Dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar-Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615)
Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Apa yang kalian lihat jika aku minum sambil berdiri. Sungguh aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Jika aku minum sambil duduk maka sungguh aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk.” (HR Ahmad no 797)
Dari Ibnu Umar beliau mengatakan, “Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.” (HR. Ahmad no 4587 dan Ibnu Majah no. 3301 serta dishahihkan oleh al-Albany)
Di samping itu Aisyah dan Said bin Abi Waqqash juga memperbolehkan minum sambil berdiri, diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Zubaer bahwa beliau berdua minum sambil berdiri. (lihat al-Muwatha, 1720 – 1722)
Mengenai hadits-hadits di atas ada Ulama yang berkesimpulan bahwa minum sambil berdiri itu diperbolehkan meskipun yang lebih baik adalah minum sambil duduk. Di antara mereka adalah Imam Nawawi, dalam Riyadhus Shalihin beliau mengatakan, “Bab penjelasan tentang bolehnya minum sambil berdiri dan penjelasan tentang yang lebih sempurna dan lebih utama adalah minum sambil duduk.” Pendapat Imam Nawawi ini diamini oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin, beliau mengatakan, “Yang lebih utama saat makan dan minum adalah sambil duduk karena hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak makan sambil berdiri demikian juga tidak minum sambil berdiri. Mengenai minum sambil berdiri terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan tersebut. Anas bin Malik ditanya tentang bagaimana kalau makan sambil berdiri, maka beliau mengatakan, “Itu lebih jelek dan lebih kotor.” Maksudnya jika Nabi melarang minum sambil berdiri maka lebih-lebih lagi makan sambil berdiri.
Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Umar mengatakan, “Di masa Nabi kami makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri. Hadits ini menunjukkan bahwa larangan minum sambil berdiri itu tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama. Dengan kata lain yang lebih baik dan lebih sempurna adalah makan dan minum sambil duduk. Namun boleh makan dan minum sambil berdiri. Dalil tentang bolehnya minum sambil berdiri adalah dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Nabi lalu beliau meminumnya sambil berdiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid VII hal 267)
Dalam kitab yang sama di halaman 271-272, beliau mengatakan, “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang berkah. Nabi mengatakan, “Air zam-zam adalah makanan yang mengenyangkan dan penyembuh penyakit.” (HR Muslim no 2473) Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan, “Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dalam Targhib wa Tarhib 2/168 al-Hafidz al-Mundziri mengatakan tentang hadits ini, diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih.)
Oleh karenanya, jika air zam-zam di minum untuk menghilangkan dahaga maka dahaga pasti lenyap dan jika diminum karena lapar maka peminumnya pasti kenyang. Berdasarkan makna umum yang terkandung dalam hadits kedua tersebut -”Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.”- sebagian ulama menyatakan orang sakit yang meminum air zam-zam untuk berobat maka pasti sembuh, orang pelupa yang minum zam-zam untuk memperbaiki hafalannya tentu akan menjadi orang yang memiliki ingatan yang baik. Jadi, untuk tujuan apapun air zam-zam diminum pasti bermanfaat. Ringkasnya air zam-zam adalah air yang berkah.
Namun, komentar yang paling bagus mengenai hadits-hadits diatas yang secara sekilas nampak bertentangan adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan, “Cara mengompromikan hadits-hadits di atas adalah dengan memahami hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri apabila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk minum sambil duduk. Hadits-hadits yang melarang minum sambil duduk di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi minum sambil berdiri.” (HR Muslim 2024)
Juga terdapat hadits dari Qotadah dari Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. Qotadah lantas bertanya kepada Anas, “Bagaimana dengan makan sambil berdiri?” “Itu lebih jelek dan lebih kotor” kata Anas. (HR. Muslim no. 2024)
Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri adalah semisal hadits dari Ali dan Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari dari Ali, sesungguhnya beliau minum sambil berdiri di depan pintu gerbang Kuffah. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang aku lakukan.” Hadits dari Ali ini diriwayatkan dalam atsar yang lain bahwa yang beliau minum adalah air zam-zam sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas. Jadi, Nabi minum air zam-zam sambil berdiri adalah pada saat berhaji. Pada saat itu banyak orang yang thawaf dan minum air zam-zam di samping banyak juga yang minta diambilkan air zam-zam, ditambah lagi di tempat tersebut tidak ada tempat duduk. Jika demikian, maka kejadian ini adalah beberapa saat sebelum wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hadits ini dan hadits semacamnya merupakan pengecualian dari larangan di atas. Hal ini adalah bagian dari penerapan kaidah syariat yang menyatakan bahwa hal yang terlarang, itu menjadi dibolehkan pada saat dibutuhkan. Bahkan ada larangan yang lebih keras daripada larangan ini namun diperbolehkan saat dibutuhkan, lebih dari itu hal-hal yang diharamkan untuk dimakan dan diminum seperti bangkai dan darah menjadi diperbolehkan dalam kondisi terpaksa” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah Jilid 32/209-210)
17. Larangan bernafas dan meniup air minum
Etika makan dan minum tidak luput dari kajian para ulama yang semuanya bersumberkan dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak bernafas dan meniup air ke dalam gelas atau wadah air. Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits:
Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah mengambil nafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengambil nafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu. Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.
18. Anjuran bernafas sebanyak tiga kali
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.” Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028)
Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.
Meskipun demikian, diperbolehkan minum satu teguk sekaligus. Dalilnya dari Abu Said al-Khudry, ketika beliau menemui Khalifah Marwan bin Hakam, khalifah bertanya, “Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup air minum?” Abu Said mengatakan, “Benar” lalu ada seorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali teguk.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Jauhkan gelas dari mulutmu kemudian bernafaslah”, Orang tersebut kembali berkata, “Ternyata kulihat ada kotoran di dalamnya?” Nabi bersabda, “Jika demikian, buanglah air minum tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 1887 dll)
Imam Malik mengatakan, “Menurutku dalam hadits di atas terdapat dalil yang menunjukkan adanya keringanan untuk minum dengan sekali nafas, meski sebanyak apapun yang diminum. Menurut pendapatku tidaklah mengapa minum dengan sekali nafas dan menurutku hal ini diperbolehkan karena dalam hadits dinyatakan, “Sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali nafas -satu teguk-” (At-Tamhid Karya Ibnu Abdil Barr I/392
Dalam Majmu’ Fatawa XXXII / 309 Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil bahwa jika seorang yang minum itu sudah merasa segar karena minum dengan sekali nafas dan dia tidak membutuhkan untuk mengambil nafas berikutnya maka diperbolehkan. Aku tidak mengetahui ada seorang ulama yang mewajibkan untuk mengambil nafas berikutnya dan mengharamkan minum dengan sekali nafas.”
Dimakruhkan minum dari mulut ceret, teko dan lain-lain. Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut ghirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya) (HR Bukhari no. 5627)
Redaksi yang senada dengan hadits di atas juga terdapat dalam riwayat Bukhari no. 5629 dari Ibnu Abbas
Dua hadits di atas dengan tegas melarang minum dari mulut wadah air semacam teko dan ceret. Yang sesuai dengan adab Islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru di minum. Menurut sebagian ulama, larangan ini hukumnya adalah haram sedangkan mayoritas para ulama menyatakan bahwa larangan ini hukumnya adalah makruh. Bahkan ada juga ulama yang memahami bahwa hadits yang melarang minum dari mulut wadah air itu menghapus hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya. Menurut para ulama larangan di atas memiliki beberapa hikmah di antaranya:
- Nafas orang yang meminum dimungkinkan berulangkali masuk ke dalam wadah yang bisa menimbulkan bau tidak sedap.
- Boleh jadi, dalam wadah air tersebut terdapat binatang atau kotoran yang dimungkinkan ke dalam perut orang yang meminum tanpa disadari.
- Tidak menutup kemungkinan air minum tersebut bercampur dengan ludah orang yang meminumnya sehingga orang lain akhirnya merasa jijik untuk minum dari wadah tersebut.
- Air liur dan nafas orang yang meminum itu boleh jadi menyebabkan orang lain sakit. Hal ini terjadi bila orang yang meniup tersebut sedang mengidap penyakit menular.
Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut ghirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju ghirbah tersebut dan memutus tali gantungannya.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani.) Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94)
19. Penyuguh itu terakhir minum
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya orang yang menyuguhkan minuman kepada sekelompok orang adalah orang yang minum terakhir kali.” (HR Muslim no. 281)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksud hadits orang yang menyuguhkan minuman baik berupa air, susu, kopi atau teh seyogyanya merupakan orang yang terakhir kali minum untuk mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri dan supaya jika minuman tersebut ternyata kurang maka yang kurang adalah orang yang menyuguh tadi. Tidak diragukan lagi bahwa sikap seperti ini merupakan sikap yang terbaik karena melaksanakan perintah dan adab yang diajarkan oleh Nabi. Akan tetapi jika penyuguh tersebut tidak berkeinginan untuk minum maka dia tidaklah berkewajiban untuk minum sesudah yang lain minum. Dalam hal ini penyuguh boleh minum boleh juga tidak meminum. (Syarah Riyadhus Shalihin VII/273)
20. Anjuran makan sambil bicara
Selama ini, di sebagian daerah bila ada orang makan sambil bicara dianggap tabu. Sudah saatnya anggapan demikian kita hapus dari benak kita, sunnah Nabi menganjurkan makan sambil bicara. Hal ini bertujuan menyelisihi orang-orang kafir yang memiliki kebiasaan tidak mau berbicara sambil makan. Kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan ciri khusus mereka.
Ibnul Muflih mengatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bercerita, “Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.” Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Adab Syariyyah, 3/163)
Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar hal 602, edisi terjemah cet. Sinar baru Algen Sindo)
21. Anjuran makan bersama pada satu piring
Di antara etika makan yang diajarkan oleh Nabi adalah anjuran makan bersama-sama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan pada makanan tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah orang yang makan maka keberkahan juga akan semakin bertambah. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan satu orang itu cukup untuk dua orang. Makanan dua orang itu cukup untuk empat orang. Makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim no 2059)
Dalam Fathul Baari 9/446 Ibnu Hajar mengatakan, “Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat keterangan tentang illat (sebab) terjadinya hal di atas. Pada awal hadits tersebut dinyatakan, ‘Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang’. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan satu orang itu mencukupi untuk dua orang dan seterusnya adalah disebabkan keberkahan yang ada dalam makan bersama. Semakin banyak jumlah orang yang turut makan maka keberkahan semakin bertambah.”
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” (HR Abu Dawud no. 3764 dan dinilai shahih oleh al-Albani.)
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid VII hal 231 Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa makan namun tidak kenyang itu memiliki beberapa sebab:
- Tidak menyebut nama Allah sebelum makan. Jika nama Allah tidak disebut sebelum makan maka setan akan turut menikmatinya dan berkah makanan tersebut menjadi hilang.
- Memulai makan dari sisi atas piring. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mulai makan dari sisi atas piring karena pada sisi atas piring tersebut terdapat barakah sehingga yang tepat adalah makan dari sisi pinggir piring.
- Makan sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri berarti setiap orang memegang piring sendiri sehingga setiap makanan yang ada harus dibagi lalu berkah makanan dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa sepatutnya makanan untuk sekelompok orang itu diletakkan dalam satu nampan baik berjumlah sepuluh ataupun lima orang hendaknya jatah makan untuk mereka diletakkan di satu piring yang cukup untuk mereka. Karena hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan makanan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa makan sendiri-sendiri merupakan sebab hilangnya keberkahan makanan.
22. Makruhnya makan dalam porsi terlalu banyak atau sedikit
Makan dalam porsi terlalu besar merupakan penyebab tubuh menjadi sakit dan merasa malas sehingga sangat berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Di samping itu hal tersebut akan menyebabkan hati menjadi beku. Sebaliknya makan dalam porsi yang terlalu sedikit, juga akan menyebabkan badan menjadi lemah dan loyo sehingga tidak kuat melakukan berbagai amal taat. Solusi tepat untuk masalah ini adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita mempraktekkannya dalam keseharian kita tentu kita tidak terlalu sering pergi ke dokter. Dari Miqdam bin Ma’di Karib beliau menegaskan bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR. Ibnu Majah no. 3349 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Majah no. 2720)
Ibnu Muflih mengatakan, dalam al-Adab as-Syar’iyyah 3/183-185 bahwasanya Ibnu Abdil Barr dan ulama yang lain menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab pada suatu hari pernah berkhutbah, dalam khutbahnya beliau mengatakan, “Jauhilah kekenyangan karena sesungguhnya kekenyangan itu menyebabkan malas untuk shalat dan bahkan badan malah menjadi sakit. Hendaknya kalian bersikap proporsional dalam makan karena hal tersebut menjauhkan dari sifat sombong, lebih sehat bagi badan dan lebih kuat untuk beribadah. Sesungguhnya seseorang itu tidak akan binasa kecuali ketika dia mengatakan keinginannya daripada agamanya.”
Al Fudhail bin Iyyadh mengatakan, “Ada dua hal yang menyebabkan hati menjadi beku dan keras yaitu banyak berbicara dan banyak makan.”
Al Khalal dalam Jami’nya meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau pernah mendapat pertanyaan, “Ada orang-orang yang makan terlalu sedikit dan mereka memang bersengaja untuk melakukan hal seperti itu?” Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak suka hal seperti itu, karena aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, “Ada sekelompok orang yang berbuat seperti itu, namun akhirnya mereka malah tidak kuat untuk mengerjakan berbagai amal yang hukumnya wajib.”
23. Larangan menghadiri jamuan yang menyediakan khamr
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu melarang dua jenis makanan, pertama, menghadiri jamuan yang mengedarkan khamar, kedua, makan sambil telungkup.” (HR. Abu Dawud no. 3774 dan dinilai shahih oleh al-Albani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menghadiri perjamuan yang mengedarkan khamr.” (HR. Ahmad no. 14241)
Hadits tersebut secara tegas melarang menghadiri jamuan makan yang menyediakan khamr. Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya adalah haram. Karena duduk di suatu tempat yang mengandung kemungkaran merupakan pertanda ridha dan rela dengan kemungkaran tersebut.
24. Anjuran makan berjamaah
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61)
Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Laits bin Bakr yang merupakan keturunan Bani Kinanah. Ada salah seorang dari mereka yang tidak mau makan sendirian. Beberapa waktu lamanya dia menahan lapar, sampai ada orang yang mau diajak makan bersama.”
Dalam al-Muharra al-Wajiz 11/328 Ibnu Athiyyah mengatakan, “Makan dengan bersama-sama merupakan tradisi Arab yang turun-temurun dari Nabi Ibrahim. Beliau tidak mau makan sendirian. Begitu pula sebagian orang-orang Arab ketika kedatangan tamu, mereka tidak mau makan kecuali bersama tamunya. Lalu turunlah ayat di atas yang menjelaskan adab makan yang benar dan membatalkan segala perilaku orang Arab yang menyelisihi ayat ini. Ayat ini secara tegas membolehkan makan sendirian, suatu hal yang diharamkan oleh bangsa Arab sebelumnya. Tentang ayat di atas Ibn Katsir menyatakan, “Ini merupakan keringanan dari Allah. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri atau bersama beberapa orang dalam satu wadah makanan meski makan dengan cara yang kedua itu lebih berkah dan lebih utama.”
Syekh Yahya bin Ali al-Hajuri mengatakan, “Inilah pendapat kami. Makan dengan berjamaah itu lebih utama di samping hal tersebut termasuk perangai dan akhlak orang Arab yang luhur. Terlebih lagi jika dipraktekkan ketika ada acara pertemuan. Kami tidak berpendapat bahwa makan dengan cara sendiri-sendiri adalah haram, karena tidak ada seorang pun ulama yang berpendapat demikian sepengetahuan kami kecuali jika dikaitkan dengan perilaku menyerupai orang-orang kafir. Menyerupai mereka adalah merupakan suatu hal yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang tegas.
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan pentingnya makan berjamaah, karena hal tersebut telah disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Hampir saja banyak orang mengerumuni kalian seperti orang-orang yang hendak makan mengerumuni sebuah piring besar.” (HR Abu Dawud, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab adalah beberapa orang makan dari satu piring. Ini merupakan cara makan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping merupakan adab kebiasaan orang Arab.
Dari Nafi’ beliau mengatakan, “Ibnu Umar memiliki kebiasaan tidak memakan kecuali bersama orang miskin. Suatu ketika aku mengajak seseorang untuk menemani beliau makan. Ternyata orang tersebut makan dalam porsi yang besar. Sesudah itu Ibnu Umar mengatakan, “Wahai Nafi’ janganlah kau ajak orang ini untuk menemani aku makan, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang beriman itu makan dengan menggunakan satu lambung sedangkan orang yang kafir makan dengan menggunakan tujuh lambung.” (HR. Bukhari no. 5393, dan Muslim no. 2060)
Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang teguh menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Sedangkan hadits di atas menunjukkan bahwa beliau hanya mau makan bila ditemani seorang yang miskin.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah (sejenis masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak untuk beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi, “Ayo makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan, “Engkau harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu.” Mendengar hal tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan tersebut dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya.” Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat, sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)
Pesan yang terkandung dalam hadits ini:
- Suami makan bersama istri-istrinya dari satu piring.
- Bersenda-gurau dengan istri, kedua hal ini dianjurkan dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga.
- Berlaku adil di antara istri dan bersikap adil terhadap pihak yang teraniaya meskipun dengan nada bergurau.
Hadits-Hadits tentang makan berjamaah
Dari Abdullah bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menemani makan istri yang haidh maka beliau bersabda, “Temanilah makan istri yang sedang haidh.” (HR. Turmudzi, Abu dawud dan Ibn Majah, hasan). Penulis kitab Aunul Ma’bud, syarah Abu Dawud dan penulis Tuhfah al Ahfadzi, Syarah sunan Turmudzi sepakat bahwa yang dimaksud menemani makan adalah makan bersama.
Hadits ini menunjukkan bahwa badan dan keringat wanita yang sedang haidh itu suci demikian pula menunjukkan pula bahwa di antara kiat menjaga keharmonisan hubungan suami istri adalah makan bersama dari satu wadah. Inilah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Abi Aufa beliau mengatakan, “Kami ikut perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh atau enam kali dan kami makan belalang bersama beliau.” (HR. Muslim no. 1952) al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Yang dimaksud kami makan belakang bersama beliau, ada dua kemungkinan, pertama, bersama dalam perang tidak dalam masalah makan. Kedua, bersama dalam makan. Kemungkinan yang kedua ini dikuatkan oleh riwayat Abu Nuaim dalam kitab at-Tib dengan redaksi, “Dan beliau makan bersama kami.”
Singkatnya kemungkinan makna yang benar adalah kemungkinan yang kedua. Sehingga hadits di atas menunjukkan betapa akrabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat. Untuk menjalin keakraban sesama mereka Nabi tidak segan untuk duduk makan bersama mereka.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah makan siang dan makan malam dengan menggunakan roti dan daging kecuali dalam hidangan sesama banyak orang.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibn Hibban dengan sanad shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada seorang sahabat Anshar yang tinggal di Quba mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami lalu berangkat bersama beliau ketika beliau telah selesai makan dan mencuci kedua tangannya, beliau berdoa…” hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5458 dari Abu Umamah dengan redaksi, “Apabila maidah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disingkirkan beliau berdoa…”
Al-Maidah adalah meja makan untuk satu atau dua orang. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Wahai Rabb kami, turunkanlah maidah dari langit untuk kami”, Ibn Katsir menyebutkan pendapat mayoritas salaf tentang makna maidah. Mereka mengatakan maidah adalah hidangan yang dinikmati oleh banyak orang. Makna seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Mamduh dalam karyanya, Lisanul Arab. Sedangkan hadits sebelumnya juga berkaitan dengan makan bersama karena dalam hadits tersebut dinyatakan, “Kami lalu berangkat bersama beliau.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit menuju kamar Shafiyah aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri acara walimah nikah beliau dengan Shafiyah. Rasulullah memerintahkan untuk membentangkan alas dari kulit. Di atasnya dituangkan kurma, keju dan lemak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini jelas menunjukkan acara makan bersama di atas alat kulit dan bolehnya membentangkan alas dan kulit untuk makan.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau bercerita ada seorang perempuan Yahudi dari penduduk Khaibar meracuni daging kambing bakar. Daging kambing tersebut lalu dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah lalu memilih kaki kambing, beliau makan dari kambing yang dihadiahkan tersebut bersama sahabat yang lain.” (HR Darimi, dengan sanad yang mursal namun memiliki beberapa hadits penguat)
Hadits di atas di samping menunjukkan bahwa di antara kebiasaan Nabi adalah makan bersama para sahabat juga menunjukkan bahwa Nabi itu tidak mengetahui hal yang gaib. Pada awal mulanya, Nabi tidak tahu kalau daging kambing yang disuguhkan itu beracun. (Disarikan dari buku Makan Berjamaah -edisi terjemah- karya Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, Penerbit Pustaka An-Najiyah)
-Walhamdulillah-
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Post a Comment