Jilbabku Penutup Auratku
Jilbab merupakan bagian dari syari’at yang penting untuk dilaksanakan oleh seorang muslimah. Ia bukanlah sekedar identitas atau menjadi hiasan semata dan juga bukan penghalang bagi seorang muslimah untuk menjalankan aktivitas kehidupannya. Menggunakan jilbab yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dilakukan oleh setiap muslimah, sama seperti ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa yang diwajibkan bagi setiap muslim. Ia bukanlah kewajiban terpisah dikarenakan kondisi daerah seperti dikatakan sebagian orang (karena Arab itu berdebu, panas dan sebagainya). Ia juga bukan kewajiban untuk kalangan tertentu (yang sudah naik haji atau anak pesantren).
Benar saudariku… memakai jilbab adalah kewajiban kita sebagai seorang muslimah. Dan dalam pemakaiannya kita juga harus memperhatikan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya, terdapat beberapa persyaratan dalam penggunanan jilbab yang sesuai syari’at. Semoga Allah memudahkan penulis memperjelas poin-poin yang ada dalam artikel sebelumnya.
DEFINISI JILBAB
Secara bahasa, dalam kamus al Mu’jam al Wasith 1/128, disebutkan bahwa jilbab memiliki beberapa makna, yaitu:
- Qomish (sejenis jubah).
- Kain yang menutupi seluruh badan.
- Khimar (kerudung).
- Pakaian atasan seperti milhafah (selimut).
- Semisal selimut (baca: kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya.
Adapun secara istilah, berikut ini perkataan para ulama’ tentang hal ini.
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.” Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, “Jilbab adalah semacam selendang yang dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar (kain penutup).” (Syaikh Al Bani dalam Jilbab Muslimah).
Syaikh bin Baz (dari Program Mausu’ah Fatawa Lajnah wal Imamain) berkata, “Jilbab adalah kain yang diletakkan di atas kepala dan badan di atas kain (dalaman). Jadi, jilbab adalah kain yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala, wajah dan seluruh badan. Sedangkan kain untuk menutupi kepala disebut khimar. Jadi perempuan menutupi dengan jilbab, kepala, wajah dan semua badan di atas kain (dalaman).” (bin Baz, 289). Beliau juga mengatakan, “Jilbab adalah rida’ (selendang) yang dipakai di atas khimar (kerudung) seperti abaya (pakaian wanita Saudi).” (bin Baz, 214). Di tempat yang lain beliau mengatakan, “Jilbab adalah kain yang diletakkan seorang perempuan di atas kepala dan badannnya untuk menutupi wajah dan badan, sebagai pakaian tambahan untuk pakaian yang biasa (dipakai di rumah).” (bin Baz, 746). Beliau juga berkata, “Jilbab adalah semua kain yang dipakai seorang perempuan untuk menutupi badan. Kain ini dipakai setelah memakai dar’un (sejenis jubah) dan khimar (kerudung kepala) dengan tujuan menutupi tempat-tempat perhiasan baik asli (baca: aurat) ataupun buatan (misal, kalung, anting-anting, dll).” (bin Baz, 313).
Terdapat pertanyaan apa beda antara jilbab dengan hijab. Syaikh Al Bani rahimahullah mengatakan, “Setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang tampak.” Sehingga memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab. Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi atau meghalangi dirinya, baik berupa tembok, sket ataupun yang lainnya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Ahzab ayat 53, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diberi izin… dan apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepda mereka (para istri Nabi), maka mintalah dari balik hijab…”
SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
Tentang ayat dalam surat An Nuur yang artinya “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sehingga membawa konsekuensi yang berbeda tentang hukum penggunaan cadar bagi seorang muslimah. Untuk penjelasan rinci, silakan melihat pada artikel yang sangat bagus tentang masalah ini pada artikel Hukum Cadar di www.muslim.or.id.
Dari syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah untuk menutup seluruh badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka, sangat menyedihkan ketika seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab, tapi dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari bagian depan ataupun belakang, lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan telinganya terlihat jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya ditutupi.
Catatan penting dalam poin ini adalah penggunaan khimar yang merupakan bagian dari syari’at penggunaan jilbab sebagaimana terdapat dalam ayat selanjutnya dalam surat An Nuur ayat 31,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Khumur merupakan jamak dari kata khimar yang berarti sesuatu yang dipakai untuk menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar ini sering dilalaikan oleh muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai jilbab saja atau hanya khimar saja. Padahal masing-masing wajib dikenakan, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat dalam surat Al Ahzab di atas, ia berkata, “Yakni agar mereka melabuhkan jilbabnya. Sedangkan yang namanya jilbab adalah qina’ (kudung) di atas khimar. Seorang muslimah tidak halal untuk terlihat oleh laki-laki asing kecuali dia harus mengenakan qina’ di atas khimarnya yang dapat menutupi bagian kepala dan lehernya.” Hal ini juga terdapat dalam atsar dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
Namun terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause yang tidak ingin kawin sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan jilbabnya, sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “pakaian” pada ayat di atas adalah “jilbab” dan hal serupa juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Baihaqi). Dapat pula diketahui di sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan sebelum jilbab adalah menutupi dada. Lalu bagaimana bisa seseorang dikatakan memakai jilbab jika hanya sampai sebatas leher? Semoga ini menjadi renungan bagi saudariku sekalian.
Gambar di atas adalah contoh tampilan khimar dan jilbab. Khimar dikenakan menutupi dada. Setelah itu baru dikenakan jilbab di atasnya. (warna, bentuk dan panjang pakaian dalam gambar hanyalah sebagai contoh).
Catatan penting lainnya dari poin ini adalah terdapat anggapan bahwa pakaian wanita yang sesuai syari’at adalah yang berupa jubah terusan (longdress), sehingga ada sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk menyambung-nyambung baju dan rok agar dikatakan memakai pakaian longdress. Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini, yaitu apakah jilbab harus “terusan” atau “potongan” (ada pakaian atasan dan rok bawahan). Maka jawaban Lajnah Daimah, “Hijab (baca: jilbab) baik terusan ataukah potongan, keduanya tidak mengapa (baca: boleh) asalkan bisa menutupi sebagaimana yang diperintahkan dan disyari’atkan.” Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota (Fatawa Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791, Maktabah Syamilah). Dengan demikian, jelaslah tentang tidak benarnya anggapan sebagian muslimah yang mempersyaratkan jubah terusan (longdress) bagi pakaian muslimah. Camkanlah ini wahai saudariku!
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya…” Ketika jilbab dan pakaian wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan mereka tidak nampak, maka tidak tepat ketika menjadikan pakaian atau jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan awal untuk menutupi perhiasan menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul karena poin ini terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja menggunakan jilbab dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga yang cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan berbagai pernak-pernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun, terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang tidak mengenakan jilbab berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan para sahabat wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar dari Ibrahim An Nakhai,
أنه كان يدخل مع علقمة و الأسود على أزواج النبي صلى الله عليه و سلم و يرا هن في اللحف الحمر
Catatan: Masalah warna ini berlaku bagi wanita. Adapun bagi pria, terdapat hadits yang menerangkan pelarangan penggunaan pakaian berwarna merah.
Dengan demikian, tolak ukur “Pakaian perhiasan ataukah bukan adalah berdasarkan ‘urf (kebiasaan).” (keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi). Sehingga suatu warna atau motif menarik perhatian pada suatu masyarakat maka itu terlarang dan hal ini boleh jadi tidak berlaku pada masyarakat lain.
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ambil dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena ancamannya demikian keras sehingga para ulama memasukkannya dalam dosa-dosa besar. Betapa banyak wanita muslimah yang seakan-akan menutupi badannya, namun pada hakekatnya telanjang. Maka dalam pemilihan bahan pakaian yang akan kita kenakan juga harus diperhatikan karena sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr, “Bahan yang tipis dapat menggambarkan bentuk tubuh dan tidak dapat menyembunyikannya.” Syaikh Al Bani juga menegaskan, “Yang tipis (transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal).” Bahkan kita ketahui, bahan yang tipis terkadang lebih mudah dalam mengikuti lekuk tubuh sehingga sekalipun tidak transparan, bentuk tubuh seorang wanita menjadi mudah terlihat.
4. Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah longgar, tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita muslimah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada istrinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
Maka tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan memakai rok, namun ternyata tetap memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya. Maka jika pakaian tersebut telah cukup tebal dan longgar namun tetap memperlihatkan bentuk tubuh, maka dianjurkan bagi seorang muslimah untuk memakai lapisan dalam. Namun janganlah mencukupkan dengan kaos kaki panjang, karena ini tidak cukup untuk menutupi bentuk tubuh (terutama untuk para saudariku yang sering tersingkap roknya ketika menaiki motor sehingga terlihatlah bentuk betisnya). Poin ini juga menjadi jawaban bagi seseorang yang membolehkan penggunaan celana dengan alasan longgar dan pinggulnya ditutupi oleh baju yang panjang. Celana boleh digunakan untuk menjadi lapisan namun bukan inti dari pakaian yang kita kenakan. Karena bentuk tubuh tetap terlihat dan hal itu menyerupai pakaian kaum laki-laki. (lihat poin 6). Jika ada yang beralasan, celana supaya fleksibel. Maka, tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih fleksibel lagi jika memang sesuai persyaratan (jangan dibayangkan rok yang ketat/span). Kalaupun rok tidak fleksibel (walaupun pada asalnya fleksibel) apakah kita menganggap logika kita (yang mengatakan celana lebih fleksibel) lebih benar daripada syari’at yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Renungkanlah wahai saudariku!
5. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Perhatikanlah salah satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan tentang wanita-wanita yang memakai wewangian ketika keluar rumah,
ايّما امرأةٍ استعطرتْ فمَرّتْ على قوم ليَجِدُوا رِيْحِها، فهيا زانِيةٌٍ
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الاخرة
Syaikh Al Bani berkata, “Wewangian itu selain ada yang digunakan pada badan, ada pula yang digunakan pada pakaian.” Syaikh juga mengingatkan tentang penggunaan bakhur (wewangian yang dihasilkan dari pengasapan) yang ini lebih banyak digunakan untuk pakaian bahkan lebih khusus untuk pakaian. Maka hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan segala jenis bahan yang dapat menimbulkan wewangian pada pakaian yang kita kenakan keluar, semisal produk-produk pelicin pakaian yang disemprotkan untuk menghaluskan dan mewangikan pakaian (bahkan pada kenyataannya, bau wangi produk-produk tersebut sangat menyengat dan mudah tercium ketika terbawa angin). Lain halnya dengan produk yang memang secara tidak langsung dan tidak bisa dihindari membuat pakaian menjadi wangi semisal deterjen yang digunakan ketika mencuci.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang wanita menyerupai laki-laki atau sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja). Salah satu hadits yang melarang penyerupaan dalam masalah pakaian adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و المرأة تلبس لبسة الرجل
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam perkara lahir mengakibatkan kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan.” Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan terpengaruh dengan perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan badannya dan menghilangkan rasa malu yang disyari’atkan bagi wanita. Bahkan yang berdampak parah jika sampai membawa kepada maksiat lain, yaitu terbawa sifat kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
Terdapat dua landasan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi kita untuk menghindari penggunaan pakaian yang menyerupai laki-laki.
- Pakaian tersebut membedakan antara pria dan wanita.
- Tertutupnya kaum wanita.
Sehingga dalam penggunaan pakaian yang sesuai syari’at ketika menghadapi yang bukan mahromnya adalah tidak sekedar yang membedakan antara pria dan wanita namun tidak tertutup atau sekedar tertutup tapi tidak membedakan dengan pakaian pria. Keduanya saling berkaitan. Lebih jelas lagi adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Kawakib yang dikutip oleh syaikh Al Bani, yang penulis ringkas menjadi poin-poin sebagai berikut untuk memudahkan pemahaman,
- Prinsipnya bukan semata-mata apa yang dipilih, disukai dan biasa dipakai kaum pria dan kaum wanita.
- Juga bukan pakaian tertentu yang dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang dikenakan oleh kaum pria dan wanita di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Jenis pakaian yang digunakan sebagai penutup juga tidak ditentukan (sehingga jika seseorang memakai celana panjang dan kaos kemudian menutup pakaian dan jilbab di atasnya yang sesuai perintah syari’at sehingga bentuk tubuhnya tidak tampak, maka yang seperti ini tidak mengapa -pen)
Kesimpulannya, yang membedakan antara jenis pakaian pria dan wanita kembali kepada apa yang sesuai dengan apa yang diperintahkan bagi pria dan apa yang diperintahkan bagi kaum wanita. Namun yang perlu diingat, pelarangan ini adalah dalam hal-hal yang tidak sesuai fitrahnya. Syaikh Muhammad bin Abu Jumrah rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al Bani mengatakan, “Yang dilarang adalah masalah pakaian, gerak-gerik dan lainnya, bukan penyerupaan dalam perkara kebaikan.”
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
Banyak dari poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya menjadi terasa berat untuk dilaksanakan oleh seorang wanita karena telah terpengaruh dengan pakaian wanita-wanita kafir. Betapa kita ketahui, mereka (orang kafir) suka menampakkan bentuk dan lekuk tubuh, memakai pakaian yang transparan, tidak peduli dengan penyerupaan pakaian wanita dengan pria. Bahkan terkadang mereka mendesain pakaian untuk wanita maskulin! Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan dan meminta pertolongan untuk dijauhkan dari kecintaan kepada orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57]: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Firman Allah, ‘Janganlah mereka seperti…’ merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka….” (Al Iqtidha, dikutip oleh Syaikh Al Bani)
8. Bukan Pakaian Untuk Mencari Popularitas
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api naar.”
Adapun libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas) adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudan dan dengan tujuan riya. (Jilbab Muslimah)
Namun bukan berarti di sini seseorang tidak boleh memakai pakaian yang baik, atau bernilai mahal. Karena pengharaman di sini sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani adalah berkaitan dengan keinginan meraih popularitas. Jadi, yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan memakainya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suka jika hambanya menampakkan kenikmatan yang telah Allah berikan padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan tentang pengertian jilbab dan penjelasan dari poin-poin tentang persyaratan jilbab muslimah yang sesuai syari’at. Saudariku… janganlah kita terpedaya dengan segala aktifitas dan perkataan orang yang menjadikan seseorang cenderung merasa tidak mungkin untuk menggunakan jilbab yang sesuai syari’at. Ingatlah, bahwa sesungguhnya tidak ada teman di hari akhir yang mau menanggung dosa yang kita lakukan. Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan ketika menjalankan segala ibadah yang telah disyari’atkan. Semoga artikel ini juga dapat menjawab berbagai pertanyaan dan komentar yang masuk pada artikel-artikel sebelumnya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
Majalah Al Furqon, edisi 12 tahun III
Jilbab Muslimah. Syaikh Al Bani. Pustaka At Tibyan
Maktabah Syamilah
***
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id
Jilbab atau Khimar
تحرير القول في معنى الجلباب :
ذكره النووي في شرح مسلم (ثمانية أقوال ) في معنى الجلباب وأخذها منه الحافظ منه في (الفتح ) و زاد بعضهم كما سيأتي إن شاء الله
1-قَالَ النَّضْر بْن شُمَيْلٍ هُوَ ثَوْب أَقْصَر وَأَعْرَض مِنْ الْخِمَار وهو اختيار الزمشخري قال في (كشافه) ثوب واسع أوسع من الخمار ودون الرداء تلويه المرأة على رأسها وتبقى منه ما ترسله على صدرها
2- وَهِيَ الْمِقْنَعَة تُغَطِّي بِهِ الْمَرْأَة رَأْسهَا : وهو اختيار سعيد بن جبير
3-وَقِيلَ : هُوَ ثَوْب وَاسِع دُون الرِّدَاء تُغَطِّي بِهِ صَدْرهَا ، وَظَهْرهَا
وهو اختيار السندي في حاشيته على ابن ماجة : (ثَوْب تُغَطِّي بِهِ الْمَرْأَة رَأْسهَا وَصَدْرهَا وَظَهْرهَا إِذَا خَرَجَتْ ) واختيار العيني في (شرح البخاري ) (جلباب وهو خمار واسع كالملحفة تغطي به المرأة رأسها وصدرها )
4-، وَقِيلَ : هُوَ كَالْمَلَاءَةِ
وهو اختيار ابن رجب قال : (( الجلباب )) : هي الملاءة المغطية للبدن كله ، تلبس فوق الثياب ، وتسميها العامة : الإزار ، ومنه قول الله – عز وجل – : { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } وهو اختيار البغوي في تفسيره والألباني
5- وَالْمِلْحَفَة : وهو اختيار الجوهري نقله ابن كثير عنه
6- وَقِيلَ : هُوَ الْإِزَار ، وهو اختيار ابن الأعرابي كما في حاشية العدوي المالكي
7- وَقِيلَ : الْخِمَار : ذكره النووي وابن حجر وغيرهما
8-وقيل: الرداء فوق الخمار. قاله ابن مسعود، وعبيدة، وقتادة، والحسن البصري، وسعيد بن جبير، وإبراهيم النخعي، وعطاء الخراساني، وغير واحد.. (ابن كثير في تفسيره )
9- وقال أبو حيان في (البحر ) : الجلباب : كل ثوب تلبسه المرأة فوق ثيابها ،
10- وقيل : كل ما تستتر به من كساء أو غيره
ذكره أبو حيان في تفسيره ونقل البقاعي أنه اختيار الخليل بن أحمد قال البقاعي في تفسيره : وقال حمزة الكرماني : قال الخليل : كل ما تستتر به من دثار وشعار وكساء فهو جلباب
11-وقيل القميص : ذكره الملا علي القاري في (شرح المشكاة ) عن الأبهري وذكره البقاعي في تفسيره
وقال البقاعي عن جميع المعاني المتقدمة في تفسيره : (والكل يصح إرادته هنا )
Pendapat kesebelas, jilbab adalah qamis [long dress, pent]. Pendapat ini menurut al Mula ‘Ali al Qari dalam Syarh al Misykah adalah pendapat al Abari. Pendapat ini juga disebutkan oleh al Baqa’i dalam tafsirnya.
ثمرة الخلاف
بين البقاعي ثمرة الخلاف في معاني الجلباب فقال :
( فإن كان المراد القميص فإدناؤه إسباغه حتى يغطي يديها ورجليها ،
وإن كان ما يغطي الرأس فادناؤه ستر وجهها وعنقها
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala maka makna idna’ jilbab adalah menutupi wajah dan leher dengan kain penutup kepala tersebut.
، وإن كان المراد ما يغطي الثياب فادناؤه تطويله وتوسيعه بحيث يستر جميع بدنها وثيابها ،
وإن كان المراد ما دون الملحفة فالمراد ستر الوجه واليدين )
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah kain yang menutupi pakaian rumahan maka makna idna’ jilbab adalah memanjangkan dan melonggarkan kain tersebut sehingga menutupi seluruh badan plus kain rumahan yang telah dikenakan terlebih dahulu.
وكما قال الملا علي القاري أن بعض هذه المعاني متقاربة .
al Mula ‘Ali al Qari mengatakan bahwa sebagian pendapat dalam masalah ini mirip-mirip dengan pendapat yang lain.
وعندي أن الراجح والله أعلم : أن كل ما غطت به المرأة رأسها ونحرها وظهرها هو الجلباب ، لأن آية (إدناء الجلباب ) نزلت لتمييز الحرائر عن الإماء عند المفسرين ، والإماء يكشفن شعورهن ونحورهن .
ولذلك كان عمر يضرب الإماء بالدرة إذا غطت رأسها وقعنته ،
ولأن الله عز وجل قال ({ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جلابيبهن } فمن هنا للتبعيض قاله الزمخشري و أبو حيان
وذكر الزمخشري أن التبعيض يحتمل أمرين :
الأول : أن أن يتجلببن ببعض ما لهنّ من الجلاليب ، والمراد أن لا تكون الحرة متبذلة في درع وخمار ، كالأمة والماهنة [ الخادمه ] ولها جلبابان فصاعداً في بيتها .
والثاني : أن ترخي المرأة بعض جلبابها وفضله على وجهها تتقنع حتى تتميز من الأمة )
Pertama, perempuan berjilbab dengan sebagian jilbab mereka dengan pengertian wanita merdeka tidaklah hanya mengenakan long dress dan kerudung sebagaimana budak perempuan yang melakukan berbagai pekerjaan rumah. Wanita merdeka hendaknya memakai dua jilbab.
Kedua, perempuan menjulurkan sebagian dan sisa kain jilbabnya pada wajah sehingga wajah tertutup kain. Dengan ini wanita merdeka nampak berbeda dengan budak perempuan.
قلت : والراجح هو الاحتمال الأول ، لأن الوجه ليس بعورة على الصحيح والله أعلم .
وأما من قال أن الوجه عورة . فلها أن تظهر أسافل ثيابها .
قال ابن كثير : قال ابن مسعود: كالرداء والثياب. يعني: على ما كان يتعاناه نساء العرب، من المِقْنعة التي تُجَلِّل ثيابها، وما يبدو من أسافل الثياب فلا حرج عليها فيه؛ لأن هذا لا يمكن إخفاؤه.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud dengan ’kecuali yang nampak’ rida’ [baca: kain penutup kepala yang lebar] dan pakaian rumahan. Maksudnya sebagaimana kebiasaan wanita arab masa silam yang memakai kain penutup kepala yang lebar menutupi pakaian rumahan yang telah terlebih dahulu dikenakan. Dalam kondisi demikian, terlihatnya ujung bawah pakaian rumahan tidaklah mengapa karena hal tersebut tidak mungkin disembunyikan.
[ونظيره في زي النساء ما يظهر من إزارها، وما لا يمكن إخفاؤه. ]
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=162278
Haruskah Jilbab Hitam
Warna jilbab yang dikenakan oleh muslimah ketika keluar rumah.
هل هناك لون معين يجب أن ترتديه المرأة عند خروجها، أي لا بد مثلاً أن ترتدي جلباباً أسوداً مع تغطية الوجه، أم ليس هناك لون معين يجب أن تتقيد به؟
ليس هناك لون معين يجب أن تتقيد به، إلا أنه يكون من الألبسة التي لا تلفت النظر ولا تسبب الفتنة، تكون ملابس عادية ليس فيها ما يلفت النظر ويسبب الفتنة بمن يراهن،
Jawaban Ibnu Baz, “Tidak ada warna tertentu yang wajib dipatuhi oleh seorang muslimah. Yang jadi ketentuan adalah hendaknya pakaian seorang muslimah adalah pakaian yang tidak menarik pandangan lawan jenis dan tidak menyebabkan adanya lelaki yang tergoda karenanya. Dengan kata lain, warna pakaian yang dipakai adalah warna yang lazim (baca:umum dipakai) sehingga tidak menarik perhatian lawan jenis dan tidak menyebabkan laki-laki yang memandangnya menjadi tergoda.
لأن الله قال -جل وعلا-: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى[الأحزاب: 33]،
قال العلماء: التبرج: إظهار المحاسن والمفاتن من المرأة،
فاللباس العادي أسود أو غير أسود، أحمر أو أزرق أو أخضر إذا كان لباساً عادياً ليس فيه زينة تلفت النظر، ولا جمال يلفت النظر، فهذا هو الذي ينبغي،
وكذلك الملابس الداخلية تكون مستورة، بهذا الجلباب وبهذا العباءة مع ستر الوجه واليدين والقدمين حتى تكون بعيدة عن الفتنة،
Kriteria lain yang harus dipenuhi oleh pakaian seorang muslimah adalah pakaian dalamannya harus tertutup oleh jilbab panjang atau abaya (pakaian khas wanita saudi pent) di samping itu wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki harus tertutup sehingga wanita tersebut tidak menjadi sumber godaan bagi laki-laki.
ولا مانع من أن يكون الجلباب يحصل مع يكون الخمار يكون معه نظر، لا بد من تمكنها من النظر حتى تعرف طريقها، أو تكون هناك عين واحدة مفتوحة، أو العينان حتى تعرف الطريق، مع ستر البقية.
Tidaklah terlarang jika jilbab panjang tersebut di samping ditambah dengan khimar (kerudung dalaman) juga ditambah dengan kain tipis yang berfungsi untuk melihat jalan. Keberadaan kain tipis tersebut adalah sebuah keharusan sehingga muslimah tersebut bisa melihat sekelilingnya dan tahu jalanan yang dilewati.
Jika tidak diberi kain tipis untuk melihat maka bisa dengan membiarkan satu atau dua mata terbuka sehingga bisa melihat jalan yang dilewati asalkan bagian badan selain mata tetap tertutup rapat dengan baik”.
http://www.ibnbaz.org.sa/mat/18614
Haruskah Muslimah Memakai Hitam-hitam Menyeramkan
Tentang pakaian syuhroh Ibnul Atsir -sebagaimana yang dikutip oleh asy Syaukani dalam Nailul Author juz 2 hal 470- mengatakan,
الشهرة ظهور الشيء ، والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم والتكبر
Dalam kutipan di atas terdapat indikator pakaian syuhroh yaitu banyak orang menatap tajam orang yang memakainya. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu jenis pakaian itu kurang umum atau kurang familiar , alias kurang memasyarakat di suatu daerah namun orang-orang di daerah tersebut menganggapnya wajar sehingga tidak ada sorotan mata yang tajam ditujukan kepada orang tersebut maka pakaian itu bukanlah pakaian syuhroh yang tercela.
Dalam kutipan di atas juga disampaikan dampak buruk dari pakaian syuhroh yaitu menimbulkan perasaan dan sikap sombong orang yang mengenakan terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Perkataan Ibnul Atsir di atas jelas menunjukkan adanya pakaian syuhroh yang tercela gara-gara masalah warna pakaian. Warna pakaian yang nyleneh dengan umumnya warna pakaian di suatu masyarakat dinilai oleh Ibnul Atsir sebagai pakaian syuhroh yang tercela.
Lantas bagaimana dengan warna hitam yang suka dipakai oleh sebagian muslimah di negeri kita, apakah tergolong termasuk pakaian syuhroh yang tercela?
Jawaban masalah ini bisa kita jumpai rubrik tanya jawab Majalah As-Sunnah Solo tepatnya pada edisi 5 tahun XIII Sya’ban 1430 atau Agustus 2009 pada halaman kelima dengan judul “Soal Warna Baju”.
Redaksi Majalah As Sunnah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ana mau menanyakan apa hukum berpakaian bagi seorang muslimah dengan warna pakaian terang. Apakah ada hadits yang menyatakan berpakaian warna gelap disunahkan? Terkait di Indonesia misalnya, yang sudah menjadi hal umum berpakaian berpakaian warna terang. Apakah bisa dijadikan dalil pemborehan yang berbeda dengan muslimah di negara-negara Arab? Mohon penjelasannya. Jazakumullahu khair” Amri, Samarinda +62852483xxxxx
Berikut ini jawaban redaksi majalah As Sunah atas pertanyaan di atas, “Seorang wanita muslimah boleh memakai pakaian berwarna terang selama tidak menimbulkan fitnah (baca: godaan terhadap lawan jenis, ed) berdasarkan beberapa riwayat dari para wanita salaf [riwayat-riwayat ini bisa dilihat di dalam kitab Jilbab Mar’atil Muslimah, hlm 121-124; karya Syaikh al Albani].
Namun sepantasnya meninggalkan pakaian berwarna terang yang menarik perhatian atau berwarna-warni yang menarik hati laki-laki. Karena tujuan perintah berjilbab adalah untuk menutupi perhiasan. Kalau jilbab/pakaian itu sendiri dihiasi dengan renda, bros, aksesori, warna-warni yang menarik pandangan orang maka ini bertentangan dengan firman Allah azza wa jalla,
ولا يبدين زينتهن
Ummu Salamah-radhiyallahu ‘anha- berkata,
لما نزلت: يدنين عليهن من جلابيبهن خرج نساء الأنصار كأن علي رؤوسهن الغربان من الأكسية
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita-wanita anshar tersebut mengenakan jilbab-jilbab berwarna hitam.
Oleh karena itulah jika keluar rumah, hendaklah wanita memakai pakaian yang berwarna gelap, tidak menyala dan berwarna-warni agar tidak menarik pandangan orang. [Dan tidak harus berwarna hitam, apalagi di sebagian daerah yang masyarakatnya memandang warna hitam itu menyeramkan]. Wallahu a’lam”.
Demikian jawaban redaksi majalah As- Sunah namun sebagian kalimat yang ditebalkan(miring) itu berasal dari saya pribadi, bukan dari pihak redaksi.
Jadi di sebagian tempat warna pakaian hitam yang dikenakan oleh seorang muslimah itu bisa jadi menjadi pakaian syuhroh ketika warna hitam di daerah tersebut dinilai adalah warna yang “menyeramkan” sehingga dalam kondisi seperti ini sangat tidak dianjurkan untuk memakai warna hitam.
Jilbab Hitam Menurut Ulama Yaman
Sebagian muslimah yang taat beragama beranggapan bahwa satu-satunya warna pakaian muslimah yang ‘nyunnah’ adalah hitam. Jika ada yang berpakaian dengan warna selain hitam -apapun warnanya- maka dia belum menjadi muslimah sejati. Lebih parah lagi, ada yang beranggapan bahwa warna hitam adalah tolak ukur muslimah yang bermanhaj salaf. Artinya jika warna pakaian seorang muslimah bukan hitam maka dia bukan muslimah salafiyyah (muslimah yang bermanhaj salaf).
Untuk menilai anggapan di atas, marilah kita simak fatwa salah seorang ulama ahli sunnah di Yaman saat ini yaitu Syeikh Abdullah bin Utsman adz Dzimari. Fatwa ini beliau sampaikan dalam sesi tanya jawab setelah ceramah ilmiah yang beliau sampaikan dengan judul ‘Barokah Tamassuk bis Sunnah’ (Keberkahan Berpegang Teguh dengan Sunnah/Ajaran Nabi). Ceramah ini beliau sampaikan pada tanggal 19 Shofar 1427 H di radio ad Durus as Salafiyyah minal Yaman. Fatwa beliau tentang warna pakaian muslimah ini tepatnya ada pada menit 59:47- 1:02:39. Rekaman kajian ini ada pada kami.
Berikut ini transkrip fatwa beliau dan terjemahnya.
القارئ: هذا السائل من ليبيا يقول ما الضابط للون بالنسبة لحجاب المرأة المسلمة الشرعي؟
Moderator mengatakan, “Ada seorang penanya dari Libia yang mengajukan pertanyaan sebagai berikut. Apa warna yang pas untuk pakaian muslimah yang sejalan dengan syariat?”الجواب: اللون هو أحسن الألوان بالنسبة لحجاب المرأة هو لون الأسواد لأن الغالب علي هذا اللون أنه لا يكون ملفتا للرجال.
Jawaban Syeikh Abdullah adz Dzimari, “Warna terbaik untuk pakaian seorang wanita adalah hitam dengan dua alasan. Alasan pertama, warna hitam biasanya tidak menarik dan memikat pandangan laki-laki.الأمر الثاني أن عائشة-رضي الله عنها- عندما ذكرت بعض نساء الصحابة -في رواية:نساء المهاجرين, و في رواية: نساء الأنصار- “رحم الله نساء المهاجرين عندما نزلت آية الحجاب عمدن إلي مروطهن وشققنها وحتي أصبحن كالغربان”.
Alasan kedua, ketika Aisyah menceritakan sebagian istri para shahabat – pada satu riwayat dikatakan ‘istri para shahabat Mujahirin’ namun pada riwayat yang lain disebutkan ‘istri para shahabat Anshor- “Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada para istri shahabat Muhajirin. Ketika ayat tentang jilbab turun, mereka robek kain korden lalu mereka kenakan sebagai jilbab sehingga mereka seperti burung gagak”.عائشة تشابه النساء كالغراب و الغراب يكون كله أسود اللون لا يري عليه أثر البياض. فهذا هو الأقرب و يكون بعيدا من أي لون أو تفصيل أو شكل للزينة.
هذا من ناحية اللون.
Dalam riwayat ini, Aisyah menyerupakan para shahabiyah dengan burung gagak. Sedangan buruk gagak itu seluruh tubuhnya berwarna hitam. Tidak ada warna putih sedikitpun. Inilah warna yang tepat karena dengan memakai warna pakaian seperti ini maka wanita yang bersangkutan terhindar dari warna pakaian, corak dan motif yang menari perhatian lawan jenis.هذا من ناحية اللون.
و أما من ناحية الصفات فبعض أهل العلم ذكرثمان الصفات للحجاب الشرعي. أن يكون الحجاب فضفاضا واسعا, لا ضيقا, و أن يكون سميكا غليظا, لا شفافا و أن يكون هذا الحجاب من ثياب النساء, لا من ثياب الرجال و أن يكون سابغا للجسد كله لا يظهر شيئا من الجسد و أن يكون خاليا من العطور والبخور و غيرها من روائح. لأنها إذا خرجت لا يحل لها أن تخرج متعطرة أو متبخرة. وكذلك أن لا يكون ثوب الزينة. وكذلك أن لا يكون ثوب الشهرة. وكذلك أن لا تكون المرأة متشابة به بالكافرات.
فمثل هذه الأوصاف ينبغي أن تراعي في الحجاب.
Tentang criteria pakaian muslimah yang sesuai syariat, sebagian ulama menyebutkan ada delapan kriteria.فمثل هذه الأوصاف ينبغي أن تراعي في الحجاب.
- Longgar, lapang dan tidak ketat
- Tebal dan tidak transparan
- Model pakaian yang dipakai adalah model pakaian wanita, bukan model atau bentuk pakaian laki-laki
- Menutup badan secara sempurna sehingga tidak ada satupun bagian badan yang nampak
- Tidak diberi wewangian karena ketika keluar rumah seorang wanita dilarang untuk mengenakan wewangian
- Tidak menarik perhatian lawan jenis
- Bukan pakaian tampil beda yang menyebabkan orang yang memakainya menjadi kondang di masyarakat
- Bukan model pakaian yang menjadi ciri khas wanita kafir sehingga dengan memakainya muslimah tersebut menyerupai wanita kafir. Inilah kriteria yang harus dipenuhi ketika seorang muslimah hendak berpakaian dengan sempurna.
و أما اللون فقد سمعتم. و إذا كان هناك لون آخر هادئ و هو مشهور في أوساط البلد اللتي تعيش فيهاهذه المرأة و لا تكون منفردة به فلا مانع إذا كان غير ملفت.
Tentang warna, telah kalian ketahui warna yang terbaik. Namun jika memang ada warna lembut(tidak mencolok) selain hitam yang biasa dipakai oleh para wanita di masyarakat setempat sehingga jika ada seorang muslimah yang mengenakannya maka dia tidak menjadi nyleneh di masyarakatnya maka tidak terlarang selama warna pakaian tersebut tidak menarik perhatian lawan jenis.Sampai di sini penjelasan Syeikh Abdullah adz Dzimari.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa warna pakaian muslimah selain hitam itu diperbolehkan selama tidak menarik perhatian lawan. Tolak ukur penilaian warna yang menarik perhatian dan tidak adalah ‘urf atau nilai yang berlaku di masyarakat.
Oleh karenanya memakai warna pakaian semacam itu tidaklah menurunkan kadar dan kualitas ke-ahlisunnah-an atau ke-salafi-an seorang muslimah.
Oleh sebab itu menilai seorang muslimah itu salafiyyah ataukah bukan dengan melihat warna jilbabnya hitam ataukah bukan adalah suatu hal yang keliru dan sangat tidak berdasar.
Meski tidaklah kita ingkari bahwa memilih warna hitam sebagai pakaian muslimah itu yang lebih afdhol. Akan tetapi yang sangat merisaukan adalah ketika warna hitam ini dijadikan tolak ukur dan parameter apakah seorang wanita itu salafiyyah ataukah bukan tanpa dasar dalil dan ilmu.
Bolehkah Wanita Muslimah Membuka Aurat Selain Dirumah Suaminya
Pertanyaan:
Bismillah.
Ustadz apakah benar ada hadits yang mengatakan bahwa seorang wanita dilarang melepas pakaianya selain di rumah suaminya? Lalu bagaimana dengan di rumah saudara seperti tante dll? Juga bagaimana jika seorang wanita hendak membeli baju di mall /pusat perbelajaan yang harus melepas pakaiannya karena mencoba baju yang akan di beli? Atas jawaban ustadz jazakAllohu khoir…
abu rahil
Jawaban:
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Semua wanita yang melepas pakaiannya tidak di rumah suaminya maka dia telah mencabik-cabik tirai yang Allah berikan untuknya”.
Kami berharap mendapatkan penjelasan tentang hadits tersebut.
Jawaban beliau, “Yang dimaksudkan dengan melepas pakaian sebagaimana dalam hadits di atas adalah telanjang untuk keperluan memasuki al hammam (pemandian umum air hangat yang ada di masa silam). Pemandian ini tentu tidak berada di dalam rumah sendiri namun berada di rumah salah satu tetangga atau kerabat yang bukan mahram. Perempuan semacam inilah yang mendapatkan ancaman sebagaimana dalam hadits di atas.
Sedangkan melepas kerudung di tengah-tengah sesama muslimah tidaklah termasuk dalam larangan yang ada pada hadits di atas.
Melepas pakaian yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah melepas seluruh pakaian dengan kata lain telanjang bulat karena hendak masuk pemandian umum.
Di antara bukti yang menunjukkan benarnya pemaknaan sebagaimana di atas adalah sebab yang melatar belakangi ‘Aisyah menyampaikan hadits di atas. Ketika beliau dikunjungi oleh sejumlah wanita, beliau bertanya tentang asal negeri mereka. Ketika mereka menyampaikan bahwa mereka itu berasal dari Himsh, beliau berkomentar, “Itulah negeri yang para wanitanya suka pergi ke pemandian umum”. Kemudian beliau menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas yang bunyinya,
ما من امرأة تخلع ثيابها فى غير بيتها إلا هتكت ما بينها وبين الله تعالى
Mengomentari fatwa Syaikh al Albani di atas Amr Abdul Mun’im Salim mengatakan, “Hadits di atas hanya berlaku – sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani- untuk wanita yang melepas pakaiannya dan menampakkan auratnya di rumah atau tempat milik lelaki ajnabi (non mahrom), bukan rumahnya bukan pula rumah salah seorang mahramnya. Di tempat tersebut tidaklah menutup kemungkinan aurat si wanita akan terlihat oleh laki-laki atau wanita yang tidak boleh melihat auratnya.
Sedangkan melepaskan pakaian di rumah sendiri atau rumah saudaranya atau rumah orang tuanya hukumnya tidaklah mengapa. Bahkan seorang wanita boleh melepas pakaian di setiap rumah yang aman dari pandangan orang yang tidak boleh memandang meski rumah tersebut bukanlah rumah mahramnya. Dalilnya adalah hadits dari Fathimah binti Qais yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghabiskan masa iddah di rumah Ummu Syarik kemudian beliau larang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah binti Qais,
تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِى اعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ
Sehingga semua tempat yang bisa dipastikan tidak ada seorang pun yang bisa melihat auratnya diperbolehkan bagi seorang wanita untuk melepas pakaiannya di tempat tersebut sebagaimana hadits di atas. Yang terlarang adalah melepas pakaian di tempat pemandian umum karena di tempat semisal ini kemungkinan besar seorang wanita menampakkan auratnya kepada orang yang tidak boleh melihat auratnya” [Jami’ Masa-il an Nisa’ yang dikumpulkan oleh Amr Abdul Mun’im Salim hal68-69, Dar al Dhiya’ Thanta Mesir, cetakan pertama 1427 H].
Potongan Pakaian Muslimah Yang Tidak Syar'i
(afwan, bukan menghalalkan gambar.. silahkan di klik untuk memperbesar..!) |
Sebagian muslimah multazimah (yang komitmen dengan berbagai aturan syariat) beranggapan bahwa pakaian muslimah yang syar’i harus berupa memakai jubah, gamis panjang atau terusan. Akhirnya mereka beranggapan bahwa muslimah yang memakai pakaian potongan (ada atasan dan ada bawahan) bukanlah muslimah yang mengenakan pakaian yang syar’i. Di samping itu muncul anggapan bahwa itu adalah gaya berpakaian ala haroki atau hizbi. Padahal jika kita tahu bahwa model pakaian muslimah semacam itu adalah model pakaian yang masih diperkenankan oleh syariat tentu tidak sepantasnya kita memiliki anggapan-anggapan semisal di atas.
Kita semua memiliki kewajiban untuk berilmu sebelum beramal dan berucap. Berikut ini kami bawakan fatwa ulama ahli sunnah dalam masalah ini. Setelah mentelaahnya, kita akan mengetahui komentar apa yang tepat untuk model pakaian muslimah di atas.
السؤال الخامس من الفتوى رقم ( 7791 )
س5: ما هي شروط الحجاب، أيجب أن يكون الجلباب قطعة واحدة أم يمكن أن يكون قطعتين، وإذا فعل هذا أيكون بدعة أم لا؟ أفيدونا.
Pertanyaan kelima pada fatwa no 7791
Pertanyaan, “Apa saja syarat hijab (pakaian muslimah)? Apakah jilbab (pakaian muslimah) itu wajib terdiri dari satu potong kain ataukah diperbolehkan jika terdiri dari dua potong kain? Jika pakaian muslimah tersebut terdiri dari dua potong kain apakah itu bid’ah ataukah tidak? Beri kami jawaban”.
ج5: الحجاب سواء كان قطعة أو قطعتين فليس في ذلك بأس إذا حصل به الستر المطلوب المشروع. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Jawaban, “Tidaklah mengapa seandainya hijab (pakaian muslimah) itu terdiri dari satu potong kain ataukah dua potong asal pakaian tersebut menutupi aurat dengan baik sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat”.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Fatwa Lajnah Daimah ini terdapat dalam buku Fatawa Lajnah Daimah tepatnya pada jilid 17 halaman 177
sumber artikel: http://ustadzaris.com
Post a Comment