Artikel berikut lanjutan dari Syarah Kitab Minhajus Salikin-1, silahkan dibaca..!
**************************************************
Syarah Syaikh Sulaiman hafidzohulloh :
(فهذا كتاب مختصر في الفقه) ‘Ini merupakan kitab yang ringkas dalam disiplin ilmu fiqih”. Makna ‘Mukhtashor’ adalah paerkataan yang sedikit lafadznya namun banyak maknanya.
(والفقه) ‘Fiqih’. Fiqih secara bahasa ‘al Fahmu’/pemahaman. Diantara pendukungnya firman Alloh Ta’ala :
“Supaya mereka mengerti perkataanku”. (QS. Thaha : 28). Akan datang pengertiannya.
(جَمَعْتُ فِيهِ بَيْنَ اَلْمَسَائِلِ وَالدَّلَائِلِ) ‘di dalamnya aku kumpulakan antara masalah dan dalil’. Al-Masail merupakan bentuk jamak dari masalah, ia adalah sesuatu yang memerlukan penjelasan/dalil. Ad-Dalail jamak dari dalil, dalil ini disisi para ulama mencakup dalil naqli dan ‘aqli.
(وَاقْتَصَرْتُ فِيهِ عَلَى أَهُمِّ اَلْأُمُورِ, وَأَعْظَمِهَا نَفْعًا, لِشِدَّةِ اَلضَّرُورَةِ إِلَى هَذَا اَلْمَوْضُوعِ) ‘Di dalamnya aku cukupkan dengan menyebutkan masalah-masalah yang paling penting dan paling besar manfa’atnya; dikarenakan sangat mendesaknya pembahasan ini.’ Yakni : Beliau tidak membahas seluruh masalah dan hukum, beliau hanya membatasi pada permasalahan yang paling penting; Beliau hanya memilih masalah-masalah yang paling besar manfa’atnya, karena sangat diperlukan. Karena kitab ini beliau tulis untuk para pemula di dalam ilmu.
(وَكَثِيرًا مَا أَقْتَصِرُ عَلَى اَلنَّصِّ إِذَا كَانَ اَلْحُكْمُ فِيهِ وَاضِحًا; لِسُهُولَةِ حِفْظِهِ وَفَهْمِهِ عَلَى اَلْمُبْتَدِئِين) ‘Pada kebanyakannya aku cukupkan dengan menyebutkan nas, jika hukum dalam permasalahan tersebut telah jelas; Untuk mudah dihafal dan difahami oleh para pemula’, Ini merupakan metode yang sangat indah lagi bermanfa’at, yaitu menyebutkan nas, yang ia merupakan hukum dan masalah, ia memberikan dua faidah :
(لأن العلم معرفة الحق بدليلة) ‘Karena ilmu itu mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya’, Mengetahui dalil sangat penting bagi pencari ilmu.
Faidah mengetahui hukum dengan dalil-dalinya bagi pencari ilmu :
(معرفة) ‘Mengetahui’, Ia meliputi ilmu dan dzon, karena mengetahui hukum syar’iyah terkadang ilmiy dan sebagian yang lainnya adalah dzoniy.
Mengetahui (wajibnya) sholat yang lima waktu ilmu, sedangkan mengetahui sunah nya shalat witir menurut pendapat kebanyakan para ulama ‘jumhur’ dzoniy.
(الأحكام الشرعية) ‘Hukum-hukum syar’iyah’, Maksudnya hukum yang di ambil dari syara. Maka tidak termasuk hukum aqli; seperti mengetahui bahwa keseluruhan lebih besar daripada sebagian, mengetahui bahwa satu merupakan setengah dari dua. Juga tidak termasuk hukum hissi; seperti pengetahuan bahwa api panas. Demikian pula tidak termasuk hukum ‘adiy; seperti pengetahuan hujan turun setelah guntur dan kilat.
(الفرعية) ‘cabang’, seperti sholat, haji, perniagaan/jual beli … dan seterusnya. Maka tidak termasuk masalah-masalah ‘ilmiyah seperti tauhid.
(بأدلتها التفصيلية) ‘’, Ia sebagai pembeda dari ilmu ushul fiqih. Karena pembahasan ushul fiqih berkisar pada dalil-dalil fiqih yang global ‘ijamaliyah’. Contoh adilah ta tafshiliyah :
Maka maksud kata fiqih yang dikehendaki penulis adalah fiqih secara istilah.
(وأقتصر على الأدلة المشهورة خوفاً من التطويل) ‘’. Yakni : Beliau akan membatasi pada dalil-dalil yang dikenal lagi terkenal, tidak akan menyebutkan dalil-dalil yang tidak dikenal; yakni dalil yang hanya diketahui oleh penuntut ilmu. Karena kitab ini merupakan mukhtashor.
(وإذا كانت المسألة خلافية، اقتصرت على القول الذي ترجح عندي، تبعاً للأدلة الشرعية) ‘Jika masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah/yang diperselisihkan, maka aku cukupkan dengan menyebutkan pendapat yang paling kuat disisiku; demikian itu karena mengikuti dalil-dalil syar’iyah’. Yakni : Jika permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang diperselisihkan pada beberapa pendapat, maka beliau akan menyebutkan satu pendapat saja, dan pendapat tersebut merupakan pendapat yang kuat di sisinya; yang beliau menguatkannya dengan dalil. Beliau bukan seseorang yang taqlid pada madzhab atau ‘alim tertentu, beliau hanya mengikuti dalil.
******************************************
Syarah Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid hafidzohulloh Ta’ala :
(الأحكام الخمسة) ‘Hukum yang lima”, Yakni : Jenis hukum taklifiyah.
Kemudian beliau rohimahulloh menyebutkannya :
Wajib : Ia adalah perbuatan yang pelakunya diberikan pahala dan yang meninggalkanya di siksa : Ini merupakan pengertian dengan hukum bukan dengan had. Karena ia bukanlah wajib : “: Ia adalah perbuatan yang pelakunya … ” , tapi hukum bagi sesuatu yang memiliki hukum wajib. Adapun pengertiannya secara had adalah : (ما أمر به الشارع على وجه الإلزام) Sesuatu yang diperintahkan pembuat syari’at secara ilzam (mesti).
Dalam ucapan : (ما أمر به الشارع) ‘Sesuatu yang diperintahkan pembuat syari’at’ maka dikecualikan sesuatu yang haram, makruh dan mubah, karena ketiga jenis tersebut tidak diperintahkan.
Pembuat syari’at : Alloh atau RosulNya sholallohu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman :
“Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh … ” (QS. Asy Syuroo : 13), dan Rosul Sholallohu ‘alaihi wa sallam merupakan penyampai dari Alloh subhanahu.
Dalam ucapan kita : (على وجه الإلزام) ‘secara ilzam (mesti)’, dikecualikan al-mandzub; karena, ia diperintahkan namun tidak secara ilzam.
Hukum wajib : Ia sebagimana di katakan oleh penulis : Pelakunya diberi pahala, jika sesuai perintah. Dan yang meninggalkannya berhak mendapatkan siksa.
Maka suatu keharusan untuk menyatakan (امتثالاً) ‘Sesuai perintah’, karena pahala tidak di capai kecuali jika mengerjakannya sesuai dengan perintah Alloh Ta’ala.
Haram : Kebalikannya; Di beri pahala yang meninggalkannya, dan di siksa yang mengerjakannya : Ini merupakan pengertian dengan hukum, tidak dengan had. Adapun pengertian haram secara had adalah : (ما نهى عنه الشارع على وجه الإلزام بالترك) ‘Sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari’at, dengan larangan yang ilzam (mesti) untuk ditinggalkan”. Seperti : Durhaka kepada kedua orang tua dan minum khomr/minuman keras. Dalam perkataan seperti : Gibah, namimah dan dusta.
Dari perkataan : (ما نهى عنه الشارع) ‘Sesuatu yang dilarang pembuat syari’at’ dikecualikan wajib dan mandzub.
Dalam perkataan (على وجه الإلزام بالترك) ‘Secara mesti untuk ditingglkan”, maka dikecualikan sesuatu yang dimakruhkan.
Adapun hukumnya seperti yang disebutkan penulis : (يثاب تاركه امتثالاً ويستحق العقاب فاعله) “Yang meninggalkannya di beri pahala, jika meninggalkannya sesuai perintah. Dan berhak mendapat siksa orang yang mengerjakannya”.
Maka harus mencantumkan (امتثالاً) ‘Sesuai perintah’. Contohnya : Seseorang berazam untuk melakukan sesuatu yang haram, kemudian teringat Kemaha Besaran Alloh dan siksanya, maka ia pun meninggalkannya. Maka jika seperti ini di beri pahala.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau meriwayatkannya dari Robb nya Tabaroka Wa Ta’ala, dia berkata :
إن الله كتب الحسنات والسيئات ، ثم بيّن ذلك ، فمن همّ بحسنة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة ، وإن هم بها فعملها كتبها عنده عشر حسنات إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة وإن هم بسيئة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة وإن هم بها فعملها كتبها الله سيئة واحدة رواه البخاري ومسلم
“Alloh menulis kebaikan dan kejelekan, kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berikeinginan untuk mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, maka Alloh menuliskannya di sisi Nya satu kebaikan secara sempurna. Jika berkeinginan dengan kebaikan tersebut dan mengamalkannya, maka Akkoh menuliskan di sisi Nya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipat, sampai kelipatan yang sangat banyak. Dan jika berkeinginan untuk mengerjakan kejelekan namun tidak mengerjakannya, maka Alloh menuliskan satu kebaikan yang sempurna di sisi Nya. Dan jika berkeinginan untuk mengerjakan kejelekan, kemudian mengerjakannya, maka Alloh menuliskan satu kejelekan (baginya). (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim :
إنما ترك ذلك من جرائي
“Dia meninggalkannya semata mata karena jaro’iy (rasa takut kepadaku dan mengharapkan sesuatu yang ada di sisiku)”. Yakni : karena Aku.
Seperti kisah yang berkeinginan jelek pada anak perempuan pamannya, maka dia membatalkannya karena Alloh. Maka Alloh pun mengabulkan do’a nya dan menghilangkan kegelisahannya; maka bergeserlah batu tersebut”.
Akan tetapi, jika seseorang bercita-cita mengerjakan yang haram, dan tidak menempuh sebabnya, maka dia di sanksi seukuran niatnya.
Dalilnya hadits Abu Kabsyah Al Anmariy, dia berkata : Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ورجل آتاه الله مالاً ولم يؤته علماً ، فهو يخبط في ماله ينفقه في غير حقه ، ورجل لم يؤته الله مالاً ولا علماً وهو يقول : لو كان لي مثل هذا عملتُ فيه مثل الذي يعمل قال رسول الله : فهما في الوزر سواء رواه ابن ماجه
“…. seseorang, Alloh mengkaruniakan harta namun tidak memberikan ilmu kepadanya, maka dia berbuat kerusakan dengan membelanjakan hartanya tidak pada kemestiannya. Dan seseorang yang tidak diberikan harta dan ilmu, maka dia berkata : ‘Andaikan aku memiliki seperti yang dia miliki, maka aku akan berbuat seperti yang dia kerjakan’. Rosulolloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Maka dosa keduanya sama’. (HR. Ibnu Majah [Syaikh Al Albani mensahihkannya dalam Sahih dan dlho’if Ibnu Majah, juga dalam Sahih Targhib wa Tarhib]).
Ketiga : Seseorang yang berkeinginan mengerjakan suatu yang haram, kemudian menempuh sebab-sebabnya, akan tetapi tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, maka dia di siksa seperti siksaan yang mengerjakan.
Dalilnya hadits Abi Bakroh, bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار ، قلت : يا رسول الله، هذا القاتل فما بال المقتول في النار ؟ قال : إنه حريصاً على قتل صاحبه متفق عليه
“Jika dua orang muslim saling berhadapan dengan pedangnya, maka yang membunuh dan yang di bunuh berada di Neraka. Maka aku berkata : wahai Raosulolloh, kalau yang membunuh pantas baginya, tapi yang di bunuh ?, Rosululloh menjawab : Karena dia pun sangat berkeinginan untuk membunuh saudaranya (Mutafaq ‘alaih).
Yang disunnahkan : Pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak di siksa : Ini pengertian dengan hukum, adapun pengertian dengan had adalah : (ما أمر به الشارع لا على وجه الإلزام) ‘Sesuatu yang diperintahkan pembuat syari’at dengan tidak mesti, seperti sunnah rowatib. Pengertian secara hukmunya sebagimana disebutkan oleh penulis : Pelakunya mendapat pahala jika mengerjakannya sesuai dengan perintah, dan tidak di siksa yang meninggalkannya. Maka andaikan mengerjakannya tidak sesuai dengan perintah, maka tidak mendapat pahala.
Contohnya : Seseorang mandi pada hari Jum’at untuk bersih-bersih semata, tidak bertujuan melaksanakan perintah Alloh, maka mandinya tidak mendapat pahala.
Dan yang meninggalkannya tidak di siksa, baik di dunia maupun di akhirat. Adapun di akhirat maka telah jelas, Alloh tidak akan menyiksa karena perkara yang di dalamnya ada rukhsoh. Adapun di dunia maka tidak di berikan sanksi; penguasa tidak menta’zirnya, karena bukan sesuatu yang wajib.
Dalam masalah yang di sunnahkan ada beberapa faidah, ia sebagai penutup celah-celah/kekurangan dalam perkara yang wajib. Sebagimana dalam hadits :
أول ما يحاسب عليه العبد من أعماله صـلاته ، فإن صلحت ، كتبت تامة ، وإن نقصت ، قال الله : انظروا لعبدي هل له من تطوع ؟ … الحديث
“Amal pertama seorang hamba yang di hisab sholatnya, jika baik maka dituliskan kesempurnaan baginya. Jika kurang maka Alloh berfirman : Lihatlah !, apakah dia memiliki shalat sunnah ?. (Al Hadits).
Ia sebagai sebab yang mendatangkan kecintaan Alloh, berdasarkan hadits :
ولا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه رواه البخاري
“Seorang hamba senantiasa mendekatkan diri dengan amal-amal yang sunnah, sehingga aku mencintainya”. (HR. Bukhori).
Makruh : Kebalikannya. Meninggalkanya di beri pahala, dan mengerjakannya tidak di siksa. Adapun pengertian secara had adalah : (ما طلب الشارع تركه لا على وجه الجزم والإلزام) ‘Sesuatu yang pembuat syari’at menuntut untuk meninggalkannya, namun tidak secara pasti dan mesti”.
Perkataannya : (لا على وجه الإلزام) ‘Tidak secara pasti dan mesti”, dikecualikan haram. Karena ia sesuatu yang di tuntut untuk di tinggalkan secara mesti.
Adapun hukumnya sebagimana disebutkan oleh penulis : (يثاب تاركه امتثالاً ولا يعاقب فاعله) “Di beri pahala yang meninggalkannya, jika sesuai dengan perintah, dan yang meninggalkannya tidak di siksa”.
Al Mubah : (الذي فِعلهُ وتركُهُ على حدٍ سواء) Sesuatu yang mengerjakan dan meninggalkannya ada pada kedudukan yang sama. Sesuatu yang secara dzat nya tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, seperti mandi untuk mendinginkan badan, dan hubungan suami istri pada malam bulan Ramadlhan.
artikel: http://sunande.wordpress.com/
Matan :
م / فَهَذَا كِتَابٌ مُخْتَصَرٌ فِي اَلْفِقْهِ, جَمَعْتُ فِيهِ بَيْنَ اَلْمَسَائِلِ وَالدَّلَائِلِ; وَاقْتَصَرْتُ فِيهِ عَلَى أَهُمِّ اَلْأُمُورِ, وَأَعْظَمِهَا نَفْعًا, لِشِدَّةِ اَلضَّرُورَةِ إِلَى هَذَا اَلْمَوْضُوعِ, وَكَثِيرًا مَا أَقْتَصِرُ عَلَى اَلنَّصِّ إِذَا كَانَ اَلْحُكْمُ فِيهِ وَاضِحًا; لِسُهُولَةِ حِفْظِهِ وَفَهْمِهِ عَلَى اَلْمُبْتَدِئِين لِأَنَّ اَلْعِلْمَ: مَعْرِفَةُ اَلْحَقِّ بِدَلِيلِهِ
وَالْفِقْهَ: مَعْرِفَةُ اَلْأَحْكَامِ اَلشَّرْعِيَّةِ اَلْفَرْعِيَّةِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ اَلْكِتَابِ, وَالسُّنَّةِ, وَالْإِجْمَاعِ, وَالْقِيَاسِ اَلصَّحِيحِ. وَأَقْتَصِرُ عَلَى اَلْأَدِلَّةِ اَلْمَشْهُورَةِ; خَوْفًا مِنْ اَلتَّطْوِيلِ, وَإِذَا كَانَتِ اَلْمَسْأَلَةُ خِلَافِيَّةً, اِقْتَصَرْتُ عَلَى اَلْقَوْلِ اَلَّذِي تَرْجَّحَ عِنْدِي, تَبَعًا لِلْأَدِلَّةِ اَلشَّرْعِيَّة
Ini merupakan kitab yang ringkas dalam disiplin ilmu fiqih, di dalamnya aku kumpulakan antara masalah dan dalil. Di dalamnya aku cukupkan dengan menyebutkan masalah-masalah yang paling penting dan paling besar manfa’atnya; dikarenakan sangat mendesaknya pembahasan ini. Pada kebanyakannya aku cukupkan dengan menyebutkan nas, jika hukum dalam permasalahan tersebut telah jelas; Untuk mudah dihafal dan difahami oleh para pemula, karena ilmu itu mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya.
Fiqih adalah mengetahui hukum syari’ah far’iyah ‘cabang’ dengan dalil-dalilnya; dari al Kitab, as Sunnah, Ijma dan qias yang sahih. Aku cukupkan pula dengan menyebutkan dalil-dalil yang terkenal; karena merasa takut menjadi meluas. Jika masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah/yang diperselisihkan, maka aku cukupkan dengan menyebutkan pendapat yang paling kuat disisiku; demikian itu karena mengikuti dalil-dalil syar’iyah.
**************************************************
Syarah Syaikh Sulaiman hafidzohulloh :
(فهذا كتاب مختصر في الفقه) ‘Ini merupakan kitab yang ringkas dalam disiplin ilmu fiqih”. Makna ‘Mukhtashor’ adalah paerkataan yang sedikit lafadznya namun banyak maknanya.
(والفقه) ‘Fiqih’. Fiqih secara bahasa ‘al Fahmu’/pemahaman. Diantara pendukungnya firman Alloh Ta’ala :
يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Supaya mereka mengerti perkataanku”. (QS. Thaha : 28). Akan datang pengertiannya.
(جَمَعْتُ فِيهِ بَيْنَ اَلْمَسَائِلِ وَالدَّلَائِلِ) ‘di dalamnya aku kumpulakan antara masalah dan dalil’. Al-Masail merupakan bentuk jamak dari masalah, ia adalah sesuatu yang memerlukan penjelasan/dalil. Ad-Dalail jamak dari dalil, dalil ini disisi para ulama mencakup dalil naqli dan ‘aqli.
(وَاقْتَصَرْتُ فِيهِ عَلَى أَهُمِّ اَلْأُمُورِ, وَأَعْظَمِهَا نَفْعًا, لِشِدَّةِ اَلضَّرُورَةِ إِلَى هَذَا اَلْمَوْضُوعِ) ‘Di dalamnya aku cukupkan dengan menyebutkan masalah-masalah yang paling penting dan paling besar manfa’atnya; dikarenakan sangat mendesaknya pembahasan ini.’ Yakni : Beliau tidak membahas seluruh masalah dan hukum, beliau hanya membatasi pada permasalahan yang paling penting; Beliau hanya memilih masalah-masalah yang paling besar manfa’atnya, karena sangat diperlukan. Karena kitab ini beliau tulis untuk para pemula di dalam ilmu.
(وَكَثِيرًا مَا أَقْتَصِرُ عَلَى اَلنَّصِّ إِذَا كَانَ اَلْحُكْمُ فِيهِ وَاضِحًا; لِسُهُولَةِ حِفْظِهِ وَفَهْمِهِ عَلَى اَلْمُبْتَدِئِين) ‘Pada kebanyakannya aku cukupkan dengan menyebutkan nas, jika hukum dalam permasalahan tersebut telah jelas; Untuk mudah dihafal dan difahami oleh para pemula’, Ini merupakan metode yang sangat indah lagi bermanfa’at, yaitu menyebutkan nas, yang ia merupakan hukum dan masalah, ia memberikan dua faidah :
- Mengetahui hukum syar’i,
- Mengetahui dalil.
(لأن العلم معرفة الحق بدليلة) ‘Karena ilmu itu mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya’, Mengetahui dalil sangat penting bagi pencari ilmu.
Faidah mengetahui hukum dengan dalil-dalinya bagi pencari ilmu :
- Merasa tenang pada hukum syar’i.
- Memiliki hujjah dari Alloh Ta’ala.
- Melahirkan kemampuan untuk memuaskan/meyakinkan orang lain.
- Dia beribadah kepada Alloh di atas ilmu dan keterangan/dalil.
(معرفة) ‘Mengetahui’, Ia meliputi ilmu dan dzon, karena mengetahui hukum syar’iyah terkadang ilmiy dan sebagian yang lainnya adalah dzoniy.
Mengetahui (wajibnya) sholat yang lima waktu ilmu, sedangkan mengetahui sunah nya shalat witir menurut pendapat kebanyakan para ulama ‘jumhur’ dzoniy.
(الأحكام الشرعية) ‘Hukum-hukum syar’iyah’, Maksudnya hukum yang di ambil dari syara. Maka tidak termasuk hukum aqli; seperti mengetahui bahwa keseluruhan lebih besar daripada sebagian, mengetahui bahwa satu merupakan setengah dari dua. Juga tidak termasuk hukum hissi; seperti pengetahuan bahwa api panas. Demikian pula tidak termasuk hukum ‘adiy; seperti pengetahuan hujan turun setelah guntur dan kilat.
(الفرعية) ‘cabang’, seperti sholat, haji, perniagaan/jual beli … dan seterusnya. Maka tidak termasuk masalah-masalah ‘ilmiyah seperti tauhid.
(بأدلتها التفصيلية) ‘’, Ia sebagai pembeda dari ilmu ushul fiqih. Karena pembahasan ushul fiqih berkisar pada dalil-dalil fiqih yang global ‘ijamaliyah’. Contoh adilah ta tafshiliyah :
- Untuk sahnya wudkhu disyaratkan niat, berdasarkan hadits : ‘Amal ditentukan dengan niat …’.
- Membaca af faihah merupakan salah satu rukun sholat, berdasarkan hadits : ‘Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca …’.
- Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang kurang syaratnya maka bathil [ini ushul fiqih].
- Perintah memberikan konsekwensi wajib; demikian pula larangan, naskh – mansukh.
Maka maksud kata fiqih yang dikehendaki penulis adalah fiqih secara istilah.
(وأقتصر على الأدلة المشهورة خوفاً من التطويل) ‘’. Yakni : Beliau akan membatasi pada dalil-dalil yang dikenal lagi terkenal, tidak akan menyebutkan dalil-dalil yang tidak dikenal; yakni dalil yang hanya diketahui oleh penuntut ilmu. Karena kitab ini merupakan mukhtashor.
(وإذا كانت المسألة خلافية، اقتصرت على القول الذي ترجح عندي، تبعاً للأدلة الشرعية) ‘Jika masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah/yang diperselisihkan, maka aku cukupkan dengan menyebutkan pendapat yang paling kuat disisiku; demikian itu karena mengikuti dalil-dalil syar’iyah’. Yakni : Jika permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang diperselisihkan pada beberapa pendapat, maka beliau akan menyebutkan satu pendapat saja, dan pendapat tersebut merupakan pendapat yang kuat di sisinya; yang beliau menguatkannya dengan dalil. Beliau bukan seseorang yang taqlid pada madzhab atau ‘alim tertentu, beliau hanya mengikuti dalil.
Matan :
م / الأحكام الخمسة: اَلْوَاجِبُ : وَهُوَ مَا أُثِيبَ فَاعِلُهُ, وَعُوقِبَ تَارِكُه ُ. وَالْحَرَامُ : ضِدَّهُ. وَالْمَكْرُوهُ : مَا أُثِيبَ تَارِكُهُ, وَلَمْ يُعَاقَبْ فَاعِلُهُ . وَالْمَسْنُونُ : ضِدَّهُ. وَالْمُبَاحُ :وَهُوَ اَلَّذِي فِعْلُهُ وتَرْكُهُ عَلَى حَدٍّ سَوَاءٍ
Hukum yang lima : Wajib : Ia adalah perbuatan yang pelakunya diberikan pahala dan yang meninggalkanya di siksa. Dan Haram kebalikannya. Makruh : Perbuatan yang di beri pahala orang yang meninggalkanya dan tidak di siksa orang yang mengerjakannya. Dan yang disunnahkan kebalikannya. Mubah : Sesuatu yang mengerjakan dan meninggalkannya ada pada kedudukan yang sama.
******************************************
Syarah Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid hafidzohulloh Ta’ala :
(الأحكام الخمسة) ‘Hukum yang lima”, Yakni : Jenis hukum taklifiyah.
Kemudian beliau rohimahulloh menyebutkannya :
Wajib : Ia adalah perbuatan yang pelakunya diberikan pahala dan yang meninggalkanya di siksa : Ini merupakan pengertian dengan hukum bukan dengan had. Karena ia bukanlah wajib : “: Ia adalah perbuatan yang pelakunya … ” , tapi hukum bagi sesuatu yang memiliki hukum wajib. Adapun pengertiannya secara had adalah : (ما أمر به الشارع على وجه الإلزام) Sesuatu yang diperintahkan pembuat syari’at secara ilzam (mesti).
Dalam ucapan : (ما أمر به الشارع) ‘Sesuatu yang diperintahkan pembuat syari’at’ maka dikecualikan sesuatu yang haram, makruh dan mubah, karena ketiga jenis tersebut tidak diperintahkan.
Pembuat syari’at : Alloh atau RosulNya sholallohu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا
“Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh … ” (QS. Asy Syuroo : 13), dan Rosul Sholallohu ‘alaihi wa sallam merupakan penyampai dari Alloh subhanahu.
Dalam ucapan kita : (على وجه الإلزام) ‘secara ilzam (mesti)’, dikecualikan al-mandzub; karena, ia diperintahkan namun tidak secara ilzam.
Hukum wajib : Ia sebagimana di katakan oleh penulis : Pelakunya diberi pahala, jika sesuai perintah. Dan yang meninggalkannya berhak mendapatkan siksa.
Maka suatu keharusan untuk menyatakan (امتثالاً) ‘Sesuai perintah’, karena pahala tidak di capai kecuali jika mengerjakannya sesuai dengan perintah Alloh Ta’ala.
Haram : Kebalikannya; Di beri pahala yang meninggalkannya, dan di siksa yang mengerjakannya : Ini merupakan pengertian dengan hukum, tidak dengan had. Adapun pengertian haram secara had adalah : (ما نهى عنه الشارع على وجه الإلزام بالترك) ‘Sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari’at, dengan larangan yang ilzam (mesti) untuk ditinggalkan”. Seperti : Durhaka kepada kedua orang tua dan minum khomr/minuman keras. Dalam perkataan seperti : Gibah, namimah dan dusta.
Dari perkataan : (ما نهى عنه الشارع) ‘Sesuatu yang dilarang pembuat syari’at’ dikecualikan wajib dan mandzub.
Dalam perkataan (على وجه الإلزام بالترك) ‘Secara mesti untuk ditingglkan”, maka dikecualikan sesuatu yang dimakruhkan.
Adapun hukumnya seperti yang disebutkan penulis : (يثاب تاركه امتثالاً ويستحق العقاب فاعله) “Yang meninggalkannya di beri pahala, jika meninggalkannya sesuai perintah. Dan berhak mendapat siksa orang yang mengerjakannya”.
Maka harus mencantumkan (امتثالاً) ‘Sesuai perintah’. Contohnya : Seseorang berazam untuk melakukan sesuatu yang haram, kemudian teringat Kemaha Besaran Alloh dan siksanya, maka ia pun meninggalkannya. Maka jika seperti ini di beri pahala.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau meriwayatkannya dari Robb nya Tabaroka Wa Ta’ala, dia berkata :
إن الله كتب الحسنات والسيئات ، ثم بيّن ذلك ، فمن همّ بحسنة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة ، وإن هم بها فعملها كتبها عنده عشر حسنات إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة وإن هم بسيئة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة وإن هم بها فعملها كتبها الله سيئة واحدة رواه البخاري ومسلم
“Alloh menulis kebaikan dan kejelekan, kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berikeinginan untuk mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, maka Alloh menuliskannya di sisi Nya satu kebaikan secara sempurna. Jika berkeinginan dengan kebaikan tersebut dan mengamalkannya, maka Akkoh menuliskan di sisi Nya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipat, sampai kelipatan yang sangat banyak. Dan jika berkeinginan untuk mengerjakan kejelekan namun tidak mengerjakannya, maka Alloh menuliskan satu kebaikan yang sempurna di sisi Nya. Dan jika berkeinginan untuk mengerjakan kejelekan, kemudian mengerjakannya, maka Alloh menuliskan satu kejelekan (baginya). (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim :
إنما ترك ذلك من جرائي
“Dia meninggalkannya semata mata karena jaro’iy (rasa takut kepadaku dan mengharapkan sesuatu yang ada di sisiku)”. Yakni : karena Aku.
Seperti kisah yang berkeinginan jelek pada anak perempuan pamannya, maka dia membatalkannya karena Alloh. Maka Alloh pun mengabulkan do’a nya dan menghilangkan kegelisahannya; maka bergeserlah batu tersebut”.
Akan tetapi, jika seseorang bercita-cita mengerjakan yang haram, dan tidak menempuh sebabnya, maka dia di sanksi seukuran niatnya.
Dalilnya hadits Abu Kabsyah Al Anmariy, dia berkata : Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ورجل آتاه الله مالاً ولم يؤته علماً ، فهو يخبط في ماله ينفقه في غير حقه ، ورجل لم يؤته الله مالاً ولا علماً وهو يقول : لو كان لي مثل هذا عملتُ فيه مثل الذي يعمل قال رسول الله : فهما في الوزر سواء رواه ابن ماجه
“…. seseorang, Alloh mengkaruniakan harta namun tidak memberikan ilmu kepadanya, maka dia berbuat kerusakan dengan membelanjakan hartanya tidak pada kemestiannya. Dan seseorang yang tidak diberikan harta dan ilmu, maka dia berkata : ‘Andaikan aku memiliki seperti yang dia miliki, maka aku akan berbuat seperti yang dia kerjakan’. Rosulolloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Maka dosa keduanya sama’. (HR. Ibnu Majah [Syaikh Al Albani mensahihkannya dalam Sahih dan dlho’if Ibnu Majah, juga dalam Sahih Targhib wa Tarhib]).
Ketiga : Seseorang yang berkeinginan mengerjakan suatu yang haram, kemudian menempuh sebab-sebabnya, akan tetapi tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, maka dia di siksa seperti siksaan yang mengerjakan.
Dalilnya hadits Abi Bakroh, bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار ، قلت : يا رسول الله، هذا القاتل فما بال المقتول في النار ؟ قال : إنه حريصاً على قتل صاحبه متفق عليه
“Jika dua orang muslim saling berhadapan dengan pedangnya, maka yang membunuh dan yang di bunuh berada di Neraka. Maka aku berkata : wahai Raosulolloh, kalau yang membunuh pantas baginya, tapi yang di bunuh ?, Rosululloh menjawab : Karena dia pun sangat berkeinginan untuk membunuh saudaranya (Mutafaq ‘alaih).
Yang disunnahkan : Pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak di siksa : Ini pengertian dengan hukum, adapun pengertian dengan had adalah : (ما أمر به الشارع لا على وجه الإلزام) ‘Sesuatu yang diperintahkan pembuat syari’at dengan tidak mesti, seperti sunnah rowatib. Pengertian secara hukmunya sebagimana disebutkan oleh penulis : Pelakunya mendapat pahala jika mengerjakannya sesuai dengan perintah, dan tidak di siksa yang meninggalkannya. Maka andaikan mengerjakannya tidak sesuai dengan perintah, maka tidak mendapat pahala.
Contohnya : Seseorang mandi pada hari Jum’at untuk bersih-bersih semata, tidak bertujuan melaksanakan perintah Alloh, maka mandinya tidak mendapat pahala.
Dan yang meninggalkannya tidak di siksa, baik di dunia maupun di akhirat. Adapun di akhirat maka telah jelas, Alloh tidak akan menyiksa karena perkara yang di dalamnya ada rukhsoh. Adapun di dunia maka tidak di berikan sanksi; penguasa tidak menta’zirnya, karena bukan sesuatu yang wajib.
Dalam masalah yang di sunnahkan ada beberapa faidah, ia sebagai penutup celah-celah/kekurangan dalam perkara yang wajib. Sebagimana dalam hadits :
أول ما يحاسب عليه العبد من أعماله صـلاته ، فإن صلحت ، كتبت تامة ، وإن نقصت ، قال الله : انظروا لعبدي هل له من تطوع ؟ … الحديث
“Amal pertama seorang hamba yang di hisab sholatnya, jika baik maka dituliskan kesempurnaan baginya. Jika kurang maka Alloh berfirman : Lihatlah !, apakah dia memiliki shalat sunnah ?. (Al Hadits).
Ia sebagai sebab yang mendatangkan kecintaan Alloh, berdasarkan hadits :
ولا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه رواه البخاري
“Seorang hamba senantiasa mendekatkan diri dengan amal-amal yang sunnah, sehingga aku mencintainya”. (HR. Bukhori).
Makruh : Kebalikannya. Meninggalkanya di beri pahala, dan mengerjakannya tidak di siksa. Adapun pengertian secara had adalah : (ما طلب الشارع تركه لا على وجه الجزم والإلزام) ‘Sesuatu yang pembuat syari’at menuntut untuk meninggalkannya, namun tidak secara pasti dan mesti”.
Perkataannya : (لا على وجه الإلزام) ‘Tidak secara pasti dan mesti”, dikecualikan haram. Karena ia sesuatu yang di tuntut untuk di tinggalkan secara mesti.
Adapun hukumnya sebagimana disebutkan oleh penulis : (يثاب تاركه امتثالاً ولا يعاقب فاعله) “Di beri pahala yang meninggalkannya, jika sesuai dengan perintah, dan yang meninggalkannya tidak di siksa”.
Al Mubah : (الذي فِعلهُ وتركُهُ على حدٍ سواء) Sesuatu yang mengerjakan dan meninggalkannya ada pada kedudukan yang sama. Sesuatu yang secara dzat nya tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, seperti mandi untuk mendinginkan badan, dan hubungan suami istri pada malam bulan Ramadlhan.
artikel: http://sunande.wordpress.com/
Post a Comment