Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai karunia dan nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Ada lagi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya di hari kelahiran yang bisa dipraktekkan yaitu menggundul kepala si buah hati. Anjuran ini dilaksanakan nantinya di hari ketujuh. Hikmahnya di antaranya adalah agar rambut kepala bayi tersebut di kemudian hari tidak mudah rontok, rusak, botak atau kerusakan lainnya pada rambut kepala. Semoga tulisan berikut ini bermanfaat.
C. MENGUNDUL KEPALA BAYI
Pensyariatan Menggundul Rambut Kepala
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari ‘Ali bin Abu Thalib ia berkata,
عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ وَقَالَ « يَا فَاطِمَةُ احْلِقِى رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً ». قَالَ فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا أَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengakikahi Hasan dengan seekor kambing." Kemudian beliau bersabda, "Wahai Fatimah, gundullah rambutnya lalu sedekahkanlah perak seberat rambutnya." Ali berkata, "Aku kemudian menimbang rambutnya, dan beratnya sekadar uang satu dirham atau sebagiannya." (HR. Tirmidzi no. 1519. Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan gharib dan sanadnya tidak bersambung. Dan Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Al Husain belum pernah bertemu dengan Ali bin Abu Thalib." Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini telah di-washol-kan/disambungkan oleh Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ 1175)
Dari Salman bin ‘Ami Adh-Dhobbi, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Pada anak lelaki ada perintah 'aqiqah, maka potongkanlah hewan sebagai akikah dan buanglah keburukan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472). Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa “imathotul adza” (membuang keburukan) dalam hadits ini adalah mencukur rambut bayi. (HR. Abu Daud no. 2840. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih, namun hanya maqthu’, yaitu perkataan tabi’in).
Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa mencukur rambut bayi akan membuat bayi tersebut terbebas dari kotoran. Berarti bayi yang tidak dicukur rambutnya adalah kebalikan dari hal tersebut. Renungkanlah!
Aturan dalam Mencukur Rambut Kepala
Pertama: Menggundul rambut kepala disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits di atas. Ini berlaku untuk bayi laki-laki dan perempuan karena syariat untuk laki-laki berlaku juga untuk perempuan kecuali jika ada dalil pembeda.
Kedua: Tidak boleh mencukur sebagian kepala saja dan meninggalkan sebagian lainnya, disebut qoza’. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنِ الْقَزَعِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” (HR. Bukhari no. 5921 dan Muslim no. 2120)
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْقَزَعِ. قَالَ قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِىِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” Aku (Umar bin Nafi’) berkata pada Nafi’, “Apa itu qoza’?” Nafi’ menjawab, “Qoza’ adalah menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian lainnya.” (HR. Muslim no. 2120)
Definisi qoza’ sebagaimana yang diterangkan oleh Nafi’ di atas, yaitu menggundul sebagian kepala saja dan meninggalkan yang lainnya secara mutlak. Inilah yang dipilih oleh An Nawawi.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa qoza’ itu dimakruhkan jika rambut yang digundul tempatnya berbeda-beda (misalnya: depan dan belakang gundul, bagian samping tidak gundul, pen) kecuali jika dalam kondisi penyembuhan penyakit dan semacamnya. Yang dimaksud makruh di sini adalah makruh tanzih (artinya: sebaiknya ditinggalkan). ... Madzhab Syafi’iyah melarang qoza’ secara mutlak termasuk laki-laki dan perempuan.”[1]
Bersedekah Seberat Timbangan Rambut dengan Perak
Dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib di atas terdapat pelajaran untuk bersedekah dari rambut bayi yang telah dicukur (digundul). Caranya adalah rambut bayi tersebut ditimbang, setelah itu sedekah dengan perak sesuai dengan hasil timbangan tadi, atau boleh pula sedekah dengan uang seharga perak. Misalnya berat rambut yang telah digundul adalah 1 gram, berarti sedekahnya adalah dengan 1 gram perak. Atau boleh pula dengan uang seharga 1 gram perak tadi. Misalnya harga 1 gram perak ketika itu adalah Rp. 5.650[2], berarti sedekahnya adalah dengan Rp. 5.650,-. Sedekah ini diserahkan kepada fakir miskin yang membutuhkan.
D. AQIQAH
Pengertian Aqiqah
Mengenai pengertian aqiqah disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-, yaitu aqiqah berasal dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah adalah sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti (يُعَقُّ), yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si bayi dicukur pula ketika itu.[3]
Pensyariatan Aqiqah
Aqiqah adalah sesuatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, para fuqoha tabi’in, dan para ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR. Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَلِىٍّ وَأُمِّ كُرْزٍ وَبُرَيْدَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَسٍ وَسَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَحَفْصَةُ هِىَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah masuk menemui Hafshah binti 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya[4]) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan."
Ia berkata, "Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu Abbas." Abu Isa berkata, "Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih[5])
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-[6]
Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”[7] Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.[8]
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
“Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa saja yang dilahirkan anak untuknya, maka ia suka dinusuk (diaqiqahi), maka lakukanlah.”[9]
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah, dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai pula menyebut Isya dengan ‘atamah.”[10]
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq -rahimahullah- memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[11]
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ سُنَّةٍ .
“Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[12]
Manfaat Aqiqah
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.”
Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.[13]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah- mengatakan,
“Sebagian ulama mengartikan “setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak tersebut terlepas dari kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya akan begitu lapang setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka keadaannya akan selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan, hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”[14]
Siapa yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah?
Aqiqah dituntut pada ayah selaku penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak. Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Subulus Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”[15]
Dalam masalah ini berarti ada perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu saja yang utama adalah ayah yang menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang sudah jelas penanggung nafkah keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah dibebankan pada anak atau ibu yang sama sekali bukan orang yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan dan Al Husain-?
Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena aqiqah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”[16]
Bagaimana Jika Tidak Mampu Aqiqah? Apakah Harus Mengaqiqahi Diri Sendiri Ketika Dewasa?
Aqiqah tentu saja melihat pada kemampuan orang yang bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16).
Asy Syarbini –rahimahullah- menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada saat kelahiran, namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”[17]
Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya mampu diaqiqahi ketika lahir, namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Jika sampai dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi, maka ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut sebagai pendapat yang batil.[18]
Sebagaimana pula dikatakan dalam salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah) dari setiap jalannya.”[19]
Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-, “Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?”
Beliau -rahimahullah- memberikan jawaban –di antaranya-,
“Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu melaksanakan aqiqah ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”[20]
Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika ia dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[21].Wallahu a’lam.
Perselisihan Ulama Mengenai Jumlah Hewan yang Diaqiqahi
Apakah yang disembelih ketika aqiqah adalah satu ekor kambing atau dua ekor, di sini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan diaqiqahi dengan masing-masing satu kambing. Adapun Imam Asy Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Daud, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa laki-laki hendaknya diaqiqahi dengan dua ekor kambing, sedangkan perempuan dengan satu ekor kambing.[22]
Perselisihan di atas berasal dari perbedaan dalil dalam masalah tersebut. Ada beberapa dalil yang digunakan, yaitu sebagai berikut.
Dalil pertama: Hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْكَعْبِيَّةِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ سَمِعْتُ أَحْمَدَ قَالَ مُكَافِئَتَانِ أَىْ مُسْتَوِيَتَانِ أَوْ مُقَارِبَتَانِ.
Dari Ummu Kurz Al Ka'biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalil kedua: Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki aqiqah dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing.” (HR. Tirmidzi no. 1513. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dua hadits ini dengan jelas membedakan antara aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing.
Dalil ketiga: Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Akan tetapi riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, itu yang lebih shahih)
Namun dalam riwayat An Nasai lafazhnya,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِكَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing dua ekor domba.” (HR. An Nasai no. 4219. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadit ini shahih)
Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud, itulah yang jadi pegangan Imam Malik untuk menyatakan bahwa aqiqah anak laki-laki sama dengan anak perempuan yaitu dengan satu ekor kambing. Manakah yang tepat dalam masalah ini?
Pendapat Terkuat dalam Masalah Jumlah Hewan Aqiqah
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud di atas, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,
صحيح لكن في رواية النسائي : كبشين كبشين . وهو الأصح
“Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud itu shahih. Akan tetapi dalam riwayat An Nasai dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih masing-masing dua kambing. Inilah riwayat yang lebih shahih.”[23]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan,
وَهَذِهِ الْأَحَادِيث حُجَّة لِلْجُمْهُورِ فِي التَّفْرِقَة بَيْن الْغُلَام وَالْجَارِيَة ، وَعَنْ مَالِك هُمَا سَوَاء فَيَعُقّ عَنْ كُلّ وَاحِد مِنْهُمَا شَاة ، وَاحْتَجَّ لَهُ بِمَا جَاءَ " أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَن وَالْحُسَيْن كَبْشًا كَبْشًا " أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَلَا حُجَّة فِيهِ فَقَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو الشَّيْخ مِنْ وَجْه آخَر عَنْ عِكْرِمَة عَنْ اِبْن عَبَّاس بِلَفْظِ " كَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ " وَأَخْرَجَ أَيْضًا مِنْ طَرِيق عَمْرو بْن شُعَيْب عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدّه مِثْله ، وَعَلَى تَقْدِير ثُبُوت رِوَايَة أَبِي دَاوُدَ فَلَيْسَ فِي الْحَدِيث مَا يُرَدّ بِهِ الْأَحَادِيث الْمُتَوَارِدَة فِي التَّنْصِيص عَلَى التَّثْنِيَة لِلْغُلَامِ ، بَلْ غَايَته أَنْ يَدُلّ عَلَى جَوَاز الِاقْتِصَار ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، فَإِنَّ الْعَدَد لَيْسَ شَرْطًا بَلْ مُسْتَحَبّ
“Hadits-hadits ini (semacam hadits Ummu Kurz, -pen) menjadi argumen yang kuat bagi jumhur (mayoritas) ulama dalam membedakan aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Namun Imam Malik berpendapat bahwa aqiqah pada keduanya itu sama. Imam Malik beralasan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud, namun tidak bisa dijadikan argumen. Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Abusy Syaikh dari jalur lain dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas dengan lafazh “masing-masing dua ekor kambing”. Dikeluarkan pula dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya riwayat yang semisalnya. Berdasarkan riwayat Abu Daud tadi, hadits tersebut bukanlah menafikan hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan dengan tegas bahwa aqiqah bagi anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing. Akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan bolehnya aqiqah kurang dari dua ekor kambing. Itulah maksudnya. Sehingga dari sini, jumlah kambing (yaitu dua ekor kambing bagi laki-laki, pen) bukanlah syarat dalam aqiqah, namun hanya sekedar disunnahkan (dianjurkan) saja.”[24] Hal yang sama dikatakan pula oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[25].
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
عَنْ الْغُلَامِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ .هَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْقَائِلِينَ بِهَا وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ، وَعَائِشَةُ ، وَالشَّافِعِيُّ ، وَإِسْحَاقُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ .وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُول : شَاةٌ شَاةٌ عَنْ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ .
“Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan boleh sama, yaitu dengan satu ekor kambing. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Asy Syafi’i, Ishaq dan Abu Tsaur. Bahkan Ibnu ‘Umar sendiri pernah berkata, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing dengan seekor kambing.”[26]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
فإن لم يجد الإنسان ، إلا شاة واحدة أجزأت وحصل بها المقصود ، لكن إذا كان الله قد أغناه ، فالاثنتان أفضل
“Jika seseorang tidak mendapati hewan aqiqah kecuali satu saja, maka maksud aqiqah tetap sudah terwujud. Akan tetapi, jika Allah memberinya kecukupan harta, aqiqah dengan dua kambing (untuk anak laki-laki) itu lebih afdhol.”[27]
Para ulama yang duduk di komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ menerangkan,
“Disunnahkan aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang semisal, sedangkan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Anak laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang semisal, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing” (HR. At Tirmidzi 794, Ahmad 5/40. At Tirmidzi menshahihkannya).
Ada hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing satu ekor kambing” (HR. Tirmidzi 794, Ahmad 5/39). Namun dalam riwayat Abu Daud dan An Nasai dikatakan bahwa aqiqah yang dilakukan pada Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan dua ekor kambing. Inilah yang lebih afdhol. Adapun jika dikatakan sah dengan satu ekor kambing, jawabannya tetap sah sebagaimana berlaku pada daging sembelihan lainnya.[28]
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa anak perempuan tidak perlu diaqiqahi sebagaimana yang dipegang oleh Al Hasan Al Bashri dan Qotadah[29] adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan dalil yang mensyariatkan aqiqah bagi anak perempuan dengan seekor kambing.
Kesimpulan, aqiqah pada anak laki-laki dianjurkan dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Namun jika tidak mampu, boleh pula bagi anak laki-laki dengan satu ekor kambing dan itu dianggap sah. Wallahu a’lam.
Apakah Aqiqah Boleh dengan Selain Kambing?
Jika memperhatikan dalil-dalil yang membicarakan aqiqah, maka kita dapati bahwa aqiqah dikhususkan dengan kambing atau domba, tidak dengan hewan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ummu Kurz,
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
"Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Dan juga dapat kita lihat dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.
Sedangkan hadits muthlaq semacam dari Salman bin ‘Amir yang dikeluarkan dalam Shahih Bukhari,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya", hadits muthlaq ini dibawa kepada hadits muqoyyad, yaitu semacam pada hadits Ummu Kurz. Sehingga dari sini, tidak boleh aqiqah kecuali dengan kambing saja. Tidak boleh dengan sapi, unta, atau bahkan ayam.
Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini[30], berbeda dengan madzhab Hanafi, Hambali dan Syafi’iyah yang membolehkan dengan selain kambing, yaitu masih dibolehkan dengan al an’am (sapi dan unta)[31]. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hewan Aqiqah Terlepas dari ‘Aib
Hewan yang diaqiqahi tidak sah jika memiliki ‘aib, hewan tersebut harus terlepas dari ‘aib. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (٢٦٧)
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali dari yang thoyyib” (HR. Muslim no. 1015). Thoyyib di sini bermakna selamat dari kejelekan (cacat)[32].
Ketentuan Pemilihan Hewan Aqiqah
1. Hewan aqiqah boleh jantan atau betina, namun yang lebih afdhol adalah jantan.
2. Syarat hewan aqiqah sama dengan hewan udhiyah (hewan qurban).
3. Lebih bagus memilih hewan aqiqah yang berwarna putih sebagaimana ketentuan dalam hewan qurban.
4. Dianjurkan memilih yang gemuk, yang besar, dan yang paling bagus.
5. Jika yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki, maka hendaklah dua kambing tersebut semisal (di antaranya dalam umur, -pen[33]).[34]
Bolehkah Aqiqah Diganti dengan Hanya Membeli Daging Saja?
Hal ini tidak dibenarkan. Yang benar haruslah hewan aqiqah itu disembelih, tidak hanya dengan sekedar membeli daging kambing di pasar lalu dibagikan pada orang lain.
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,
“Bolehkah penyembelihan kambing aqiqah diganti dengan membeli beberapa kilo daging ataukah aqiqah harus dengan jalan menyembelih?”
Jawaban: Tidak boleh. Aqiqah harus dengan jalan menyembelih seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.[35]
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?
Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[36]
Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[37] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[38] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[39] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.
Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).
Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.
Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[40]
Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[41]. Wallahu a’lam.
Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[42]
Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[43]
Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak
An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[44] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[45]
Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[46]
Mengundang Makan-Makan Aqiqah
Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[47]
Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”
Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[48]
Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah
Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[49]
Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[50]
Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[51]
Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi
Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.
Dari Buraidah, ia berkata,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.
“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 14/101, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[2] Ini harga perak yang kami ketahui infonya dari pedagang emas-perak saat kami membuat tulisan ini.
[3] Lihat Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al Minhaj (Kitab Syarh Minhaj Ath Tholibin), Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, 4/390, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H.
[4] Sebagaimana keterangan dari Sayyid Sabiq dalam catatan kaki kitab Fiqh Sunnah, 3/327, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut-Lebanon.
[5] Namun pembahasan mengenai hadits ini -insya Allah- akan disinggung selanjutnya pada pembahasan “hewan yang diaqiqahi” dalam tulisan serial kedua.
[6] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 8/154, Mawqi’ Al Waroq.
[7] HR. Ahmad 2/182. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[8] Nailul Author, 8/154.
[9] HR. Ahmad 5/430 dan Abu Daud 2842. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Ma’rifah, 1379.
[11] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/326, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut.
[12] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405
[13] Subulus Salam Syarh Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, Ta’liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 4/337, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[14] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 95, no. 19.
[15] Idem.
[16] Mughnil Muhtaj, 4/391.
[17] Idem.
[18] Lihat Mughnil Muhtaj, 4/391.
[19] Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad bin Al Husaini Al Hushni Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, hal. 705, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1422 H.
[20] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6
[21] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[22] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Maliki, hal. 421, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H dan At Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 4/314, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah.
[23] Lihat Takhrij Syaikh Al Albani terhadap Sunan Abi Daud. Lihat Shahih Abi Daud no. 2458.
[24] Fathul Bari, 9/592
[25] Subulus Salam, 4/335-336
[26] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, 1405
[27] Syarhul Mumthi’, 7/492.
[28] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ketiga no. 2191, 11/438. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.
[29] Lihat Al Mughni, 11/120.
[30] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/383.
[31] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11012, Mawqi’ ahlalhdeeth.
[32] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/100, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[33] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 8/25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415.
[34] Lihat ketentuan ini di Al Mughni, 11/120.
[35] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan kesepuluh no. 8052, 11/440. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.
[36] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[37] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.
[38] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.
[39] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth.
[40] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.
[41] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[42] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11
[43] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42
[44] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.
[45] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
[46] Kifayatul Akhyar,hal. 706
[47] Idem
[48] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.
[49] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.
[50] Mughnil Muhtaj, hal. 392.
[51] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
Artikel www.rumaysho.com
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Ada lagi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya di hari kelahiran yang bisa dipraktekkan yaitu menggundul kepala si buah hati. Anjuran ini dilaksanakan nantinya di hari ketujuh. Hikmahnya di antaranya adalah agar rambut kepala bayi tersebut di kemudian hari tidak mudah rontok, rusak, botak atau kerusakan lainnya pada rambut kepala. Semoga tulisan berikut ini bermanfaat.
C. MENGUNDUL KEPALA BAYI
Pensyariatan Menggundul Rambut Kepala
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari ‘Ali bin Abu Thalib ia berkata,
عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ وَقَالَ « يَا فَاطِمَةُ احْلِقِى رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً ». قَالَ فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا أَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengakikahi Hasan dengan seekor kambing." Kemudian beliau bersabda, "Wahai Fatimah, gundullah rambutnya lalu sedekahkanlah perak seberat rambutnya." Ali berkata, "Aku kemudian menimbang rambutnya, dan beratnya sekadar uang satu dirham atau sebagiannya." (HR. Tirmidzi no. 1519. Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan gharib dan sanadnya tidak bersambung. Dan Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Al Husain belum pernah bertemu dengan Ali bin Abu Thalib." Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini telah di-washol-kan/disambungkan oleh Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ 1175)
Dari Salman bin ‘Ami Adh-Dhobbi, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Pada anak lelaki ada perintah 'aqiqah, maka potongkanlah hewan sebagai akikah dan buanglah keburukan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472). Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa “imathotul adza” (membuang keburukan) dalam hadits ini adalah mencukur rambut bayi. (HR. Abu Daud no. 2840. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih, namun hanya maqthu’, yaitu perkataan tabi’in).
Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa mencukur rambut bayi akan membuat bayi tersebut terbebas dari kotoran. Berarti bayi yang tidak dicukur rambutnya adalah kebalikan dari hal tersebut. Renungkanlah!
Aturan dalam Mencukur Rambut Kepala
Pertama: Menggundul rambut kepala disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits di atas. Ini berlaku untuk bayi laki-laki dan perempuan karena syariat untuk laki-laki berlaku juga untuk perempuan kecuali jika ada dalil pembeda.
Kedua: Tidak boleh mencukur sebagian kepala saja dan meninggalkan sebagian lainnya, disebut qoza’. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنِ الْقَزَعِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” (HR. Bukhari no. 5921 dan Muslim no. 2120)
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْقَزَعِ. قَالَ قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِىِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” Aku (Umar bin Nafi’) berkata pada Nafi’, “Apa itu qoza’?” Nafi’ menjawab, “Qoza’ adalah menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian lainnya.” (HR. Muslim no. 2120)
Definisi qoza’ sebagaimana yang diterangkan oleh Nafi’ di atas, yaitu menggundul sebagian kepala saja dan meninggalkan yang lainnya secara mutlak. Inilah yang dipilih oleh An Nawawi.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa qoza’ itu dimakruhkan jika rambut yang digundul tempatnya berbeda-beda (misalnya: depan dan belakang gundul, bagian samping tidak gundul, pen) kecuali jika dalam kondisi penyembuhan penyakit dan semacamnya. Yang dimaksud makruh di sini adalah makruh tanzih (artinya: sebaiknya ditinggalkan). ... Madzhab Syafi’iyah melarang qoza’ secara mutlak termasuk laki-laki dan perempuan.”[1]
Bersedekah Seberat Timbangan Rambut dengan Perak
Dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib di atas terdapat pelajaran untuk bersedekah dari rambut bayi yang telah dicukur (digundul). Caranya adalah rambut bayi tersebut ditimbang, setelah itu sedekah dengan perak sesuai dengan hasil timbangan tadi, atau boleh pula sedekah dengan uang seharga perak. Misalnya berat rambut yang telah digundul adalah 1 gram, berarti sedekahnya adalah dengan 1 gram perak. Atau boleh pula dengan uang seharga 1 gram perak tadi. Misalnya harga 1 gram perak ketika itu adalah Rp. 5.650[2], berarti sedekahnya adalah dengan Rp. 5.650,-. Sedekah ini diserahkan kepada fakir miskin yang membutuhkan.
D. AQIQAH
Pengertian Aqiqah
Mengenai pengertian aqiqah disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-, yaitu aqiqah berasal dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah adalah sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti (يُعَقُّ), yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si bayi dicukur pula ketika itu.[3]
Pensyariatan Aqiqah
Aqiqah adalah sesuatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, para fuqoha tabi’in, dan para ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR. Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَلِىٍّ وَأُمِّ كُرْزٍ وَبُرَيْدَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَسٍ وَسَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَحَفْصَةُ هِىَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah masuk menemui Hafshah binti 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya[4]) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan."
Ia berkata, "Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu Abbas." Abu Isa berkata, "Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih[5])
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-[6]
Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”[7] Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.[8]
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
“Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa saja yang dilahirkan anak untuknya, maka ia suka dinusuk (diaqiqahi), maka lakukanlah.”[9]
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah, dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai pula menyebut Isya dengan ‘atamah.”[10]
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq -rahimahullah- memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[11]
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ سُنَّةٍ .
“Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[12]
Manfaat Aqiqah
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.”
Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.[13]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah- mengatakan,
“Sebagian ulama mengartikan “setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak tersebut terlepas dari kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya akan begitu lapang setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka keadaannya akan selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan, hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”[14]
Siapa yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah?
Aqiqah dituntut pada ayah selaku penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak. Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Subulus Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”[15]
Dalam masalah ini berarti ada perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu saja yang utama adalah ayah yang menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang sudah jelas penanggung nafkah keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah dibebankan pada anak atau ibu yang sama sekali bukan orang yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan dan Al Husain-?
Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena aqiqah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”[16]
Bagaimana Jika Tidak Mampu Aqiqah? Apakah Harus Mengaqiqahi Diri Sendiri Ketika Dewasa?
Aqiqah tentu saja melihat pada kemampuan orang yang bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16).
Asy Syarbini –rahimahullah- menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada saat kelahiran, namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”[17]
Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya mampu diaqiqahi ketika lahir, namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Jika sampai dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi, maka ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut sebagai pendapat yang batil.[18]
Sebagaimana pula dikatakan dalam salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah) dari setiap jalannya.”[19]
Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-, “Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?”
Beliau -rahimahullah- memberikan jawaban –di antaranya-,
“Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu melaksanakan aqiqah ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”[20]
Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika ia dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[21].Wallahu a’lam.
Perselisihan Ulama Mengenai Jumlah Hewan yang Diaqiqahi
Apakah yang disembelih ketika aqiqah adalah satu ekor kambing atau dua ekor, di sini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan diaqiqahi dengan masing-masing satu kambing. Adapun Imam Asy Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Daud, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa laki-laki hendaknya diaqiqahi dengan dua ekor kambing, sedangkan perempuan dengan satu ekor kambing.[22]
Perselisihan di atas berasal dari perbedaan dalil dalam masalah tersebut. Ada beberapa dalil yang digunakan, yaitu sebagai berikut.
Dalil pertama: Hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْكَعْبِيَّةِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ سَمِعْتُ أَحْمَدَ قَالَ مُكَافِئَتَانِ أَىْ مُسْتَوِيَتَانِ أَوْ مُقَارِبَتَانِ.
Dari Ummu Kurz Al Ka'biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalil kedua: Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki aqiqah dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing.” (HR. Tirmidzi no. 1513. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dua hadits ini dengan jelas membedakan antara aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing.
Dalil ketiga: Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Akan tetapi riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, itu yang lebih shahih)
Namun dalam riwayat An Nasai lafazhnya,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِكَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing dua ekor domba.” (HR. An Nasai no. 4219. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadit ini shahih)
Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud, itulah yang jadi pegangan Imam Malik untuk menyatakan bahwa aqiqah anak laki-laki sama dengan anak perempuan yaitu dengan satu ekor kambing. Manakah yang tepat dalam masalah ini?
Pendapat Terkuat dalam Masalah Jumlah Hewan Aqiqah
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud di atas, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,
صحيح لكن في رواية النسائي : كبشين كبشين . وهو الأصح
“Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud itu shahih. Akan tetapi dalam riwayat An Nasai dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih masing-masing dua kambing. Inilah riwayat yang lebih shahih.”[23]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan,
وَهَذِهِ الْأَحَادِيث حُجَّة لِلْجُمْهُورِ فِي التَّفْرِقَة بَيْن الْغُلَام وَالْجَارِيَة ، وَعَنْ مَالِك هُمَا سَوَاء فَيَعُقّ عَنْ كُلّ وَاحِد مِنْهُمَا شَاة ، وَاحْتَجَّ لَهُ بِمَا جَاءَ " أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَن وَالْحُسَيْن كَبْشًا كَبْشًا " أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَلَا حُجَّة فِيهِ فَقَدْ أَخْرَجَهُ أَبُو الشَّيْخ مِنْ وَجْه آخَر عَنْ عِكْرِمَة عَنْ اِبْن عَبَّاس بِلَفْظِ " كَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ " وَأَخْرَجَ أَيْضًا مِنْ طَرِيق عَمْرو بْن شُعَيْب عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدّه مِثْله ، وَعَلَى تَقْدِير ثُبُوت رِوَايَة أَبِي دَاوُدَ فَلَيْسَ فِي الْحَدِيث مَا يُرَدّ بِهِ الْأَحَادِيث الْمُتَوَارِدَة فِي التَّنْصِيص عَلَى التَّثْنِيَة لِلْغُلَامِ ، بَلْ غَايَته أَنْ يَدُلّ عَلَى جَوَاز الِاقْتِصَار ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، فَإِنَّ الْعَدَد لَيْسَ شَرْطًا بَلْ مُسْتَحَبّ
“Hadits-hadits ini (semacam hadits Ummu Kurz, -pen) menjadi argumen yang kuat bagi jumhur (mayoritas) ulama dalam membedakan aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Namun Imam Malik berpendapat bahwa aqiqah pada keduanya itu sama. Imam Malik beralasan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud, namun tidak bisa dijadikan argumen. Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Abusy Syaikh dari jalur lain dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas dengan lafazh “masing-masing dua ekor kambing”. Dikeluarkan pula dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya riwayat yang semisalnya. Berdasarkan riwayat Abu Daud tadi, hadits tersebut bukanlah menafikan hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan dengan tegas bahwa aqiqah bagi anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing. Akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan bolehnya aqiqah kurang dari dua ekor kambing. Itulah maksudnya. Sehingga dari sini, jumlah kambing (yaitu dua ekor kambing bagi laki-laki, pen) bukanlah syarat dalam aqiqah, namun hanya sekedar disunnahkan (dianjurkan) saja.”[24] Hal yang sama dikatakan pula oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[25].
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
عَنْ الْغُلَامِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ .هَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْقَائِلِينَ بِهَا وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ، وَعَائِشَةُ ، وَالشَّافِعِيُّ ، وَإِسْحَاقُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ .وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُول : شَاةٌ شَاةٌ عَنْ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ .
“Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan boleh sama, yaitu dengan satu ekor kambing. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Asy Syafi’i, Ishaq dan Abu Tsaur. Bahkan Ibnu ‘Umar sendiri pernah berkata, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing dengan seekor kambing.”[26]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
فإن لم يجد الإنسان ، إلا شاة واحدة أجزأت وحصل بها المقصود ، لكن إذا كان الله قد أغناه ، فالاثنتان أفضل
“Jika seseorang tidak mendapati hewan aqiqah kecuali satu saja, maka maksud aqiqah tetap sudah terwujud. Akan tetapi, jika Allah memberinya kecukupan harta, aqiqah dengan dua kambing (untuk anak laki-laki) itu lebih afdhol.”[27]
Para ulama yang duduk di komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ menerangkan,
“Disunnahkan aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang semisal, sedangkan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Anak laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang semisal, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing” (HR. At Tirmidzi 794, Ahmad 5/40. At Tirmidzi menshahihkannya).
Ada hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing satu ekor kambing” (HR. Tirmidzi 794, Ahmad 5/39). Namun dalam riwayat Abu Daud dan An Nasai dikatakan bahwa aqiqah yang dilakukan pada Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan dua ekor kambing. Inilah yang lebih afdhol. Adapun jika dikatakan sah dengan satu ekor kambing, jawabannya tetap sah sebagaimana berlaku pada daging sembelihan lainnya.[28]
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa anak perempuan tidak perlu diaqiqahi sebagaimana yang dipegang oleh Al Hasan Al Bashri dan Qotadah[29] adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan dalil yang mensyariatkan aqiqah bagi anak perempuan dengan seekor kambing.
Kesimpulan, aqiqah pada anak laki-laki dianjurkan dengan dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Namun jika tidak mampu, boleh pula bagi anak laki-laki dengan satu ekor kambing dan itu dianggap sah. Wallahu a’lam.
Apakah Aqiqah Boleh dengan Selain Kambing?
Jika memperhatikan dalil-dalil yang membicarakan aqiqah, maka kita dapati bahwa aqiqah dikhususkan dengan kambing atau domba, tidak dengan hewan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ummu Kurz,
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
"Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Dan juga dapat kita lihat dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.
Sedangkan hadits muthlaq semacam dari Salman bin ‘Amir yang dikeluarkan dalam Shahih Bukhari,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya", hadits muthlaq ini dibawa kepada hadits muqoyyad, yaitu semacam pada hadits Ummu Kurz. Sehingga dari sini, tidak boleh aqiqah kecuali dengan kambing saja. Tidak boleh dengan sapi, unta, atau bahkan ayam.
Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini[30], berbeda dengan madzhab Hanafi, Hambali dan Syafi’iyah yang membolehkan dengan selain kambing, yaitu masih dibolehkan dengan al an’am (sapi dan unta)[31]. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hewan Aqiqah Terlepas dari ‘Aib
Hewan yang diaqiqahi tidak sah jika memiliki ‘aib, hewan tersebut harus terlepas dari ‘aib. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (٢٦٧)
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali dari yang thoyyib” (HR. Muslim no. 1015). Thoyyib di sini bermakna selamat dari kejelekan (cacat)[32].
Ketentuan Pemilihan Hewan Aqiqah
1. Hewan aqiqah boleh jantan atau betina, namun yang lebih afdhol adalah jantan.
2. Syarat hewan aqiqah sama dengan hewan udhiyah (hewan qurban).
3. Lebih bagus memilih hewan aqiqah yang berwarna putih sebagaimana ketentuan dalam hewan qurban.
4. Dianjurkan memilih yang gemuk, yang besar, dan yang paling bagus.
5. Jika yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki, maka hendaklah dua kambing tersebut semisal (di antaranya dalam umur, -pen[33]).[34]
Bolehkah Aqiqah Diganti dengan Hanya Membeli Daging Saja?
Hal ini tidak dibenarkan. Yang benar haruslah hewan aqiqah itu disembelih, tidak hanya dengan sekedar membeli daging kambing di pasar lalu dibagikan pada orang lain.
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,
“Bolehkah penyembelihan kambing aqiqah diganti dengan membeli beberapa kilo daging ataukah aqiqah harus dengan jalan menyembelih?”
Jawaban: Tidak boleh. Aqiqah harus dengan jalan menyembelih seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.[35]
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?
Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[36]
Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[37] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[38] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[39] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.
Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).
Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.
Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[40]
Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[41]. Wallahu a’lam.
Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[42]
Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[43]
Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak
An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[44] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[45]
Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[46]
Mengundang Makan-Makan Aqiqah
Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[47]
Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”
Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[48]
Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah
Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[49]
Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[50]
Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[51]
Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi
Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.
Dari Buraidah, ia berkata,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.
“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 14/101, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[2] Ini harga perak yang kami ketahui infonya dari pedagang emas-perak saat kami membuat tulisan ini.
[3] Lihat Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al Minhaj (Kitab Syarh Minhaj Ath Tholibin), Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, 4/390, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H.
[4] Sebagaimana keterangan dari Sayyid Sabiq dalam catatan kaki kitab Fiqh Sunnah, 3/327, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut-Lebanon.
[5] Namun pembahasan mengenai hadits ini -insya Allah- akan disinggung selanjutnya pada pembahasan “hewan yang diaqiqahi” dalam tulisan serial kedua.
[6] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 8/154, Mawqi’ Al Waroq.
[7] HR. Ahmad 2/182. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[8] Nailul Author, 8/154.
[9] HR. Ahmad 5/430 dan Abu Daud 2842. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Ma’rifah, 1379.
[11] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/326, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut.
[12] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405
[13] Subulus Salam Syarh Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, Ta’liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 4/337, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[14] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 95, no. 19.
[15] Idem.
[16] Mughnil Muhtaj, 4/391.
[17] Idem.
[18] Lihat Mughnil Muhtaj, 4/391.
[19] Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad bin Al Husaini Al Hushni Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, hal. 705, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1422 H.
[20] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6
[21] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[22] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Maliki, hal. 421, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H dan At Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 4/314, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah.
[23] Lihat Takhrij Syaikh Al Albani terhadap Sunan Abi Daud. Lihat Shahih Abi Daud no. 2458.
[24] Fathul Bari, 9/592
[25] Subulus Salam, 4/335-336
[26] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, 1405
[27] Syarhul Mumthi’, 7/492.
[28] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ketiga no. 2191, 11/438. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.
[29] Lihat Al Mughni, 11/120.
[30] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/383.
[31] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11012, Mawqi’ ahlalhdeeth.
[32] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/100, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[33] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 8/25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415.
[34] Lihat ketentuan ini di Al Mughni, 11/120.
[35] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan kesepuluh no. 8052, 11/440. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.
[36] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[37] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.
[38] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.
[39] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth.
[40] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.
[41] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[42] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11
[43] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42
[44] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.
[45] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
[46] Kifayatul Akhyar,hal. 706
[47] Idem
[48] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.
[49] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.
[50] Mughnil Muhtaj, hal. 392.
[51] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
Artikel www.rumaysho.com
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Post a Comment