Mengenali dan Mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Merupakan sebuah sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin ketika bulan Ramadhan adalah I’tikaf. Setiap kaum muslimin tentu berharap agar Ramadhan yang dia laksanakan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika 10 terakhir Ramadhan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadr malam yang di dalamnya dilipatgandakan amalan seorang hamba lebih baik daripada 1000 bulan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya telah memberikan contoh kepada umatnya untuk meningkatkan amaliah ibadah ketika memasuki 10 Terakhir Ramadhan tersebut, dan berusaha untuk mencari malam Lailatul Qadr dengan mengerahkan upaya maksimal, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Dahulu Rasulullah ketika memasuki 10 Terakhir dari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya”(HR Al Bukhari no.1884)
Di antara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 Terakhir Ramadhan adalah I’tikaf di masjid.
Maka berikut ini beberapa hukum ringkas yang terkait dengan permasalahan I’tikaf:
Pengertian I’tikaf
I’tikaf secara bahasa adalah terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu atau menahan diri dari sesuatu.
Adapun pengertian I’tikaf secara syar’i adalah tinggal di masjid oleh orang tertentu, dengan sifat tertentu dalam rangka konsentrasi beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hukum I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah sunnah yang disyari’atkan sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.
Dalil dari Al-Qur’an, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf”. (Al Baqarah: 187)
Dalil dari As Sunnah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Rasulullah dahulu beri’tikaf ketika 10 Terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian beri’tikaflah istri-istri beliau setelah itu”.(Muttafaqun’alaih)
Serta para ulama’ bersepakat tentang sunnahnya perkara ini.
Tempat I’tikaf
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa i’tikaf hanya bisa dilakukan pada 3 masjid saja, yaitu Al-Masjidil Haram di Makkah, Masjid An-Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsha di Palestina.
Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa seluruh masjid bisa digunakan untuk beri’tikaf sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf” (Al Baqarah: 187)
Karena pada ayat di atas sasarannya adalah seluruh kaum muslimin, tidak terbatas pada masjid tertentu. Kaum muslimin kebanyakan tinggal di luar 3 masjid tersebut.
Adapun hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu :
لااعتكاف إلا في ثلاثة مساجد المسجد الحرام والمسجد الاقصى ومسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid (Masjid Al-Haram, Masjid Al-Aqsha, dan Masjid An-Nabawy) (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
maka para ulama’ membawanya kepada afdhaliyyah (nilai yang lebih utama), yakni tidak ada I’tikaf yang utama kecuali pada tiga masjid tersebut.
Keluarnya seseorang ketika beri’tikaf
Jika ada keperluan seperti buang hajat (BAK, BAB), maka para ulama bersepakat tentang bolehnya hal tersebut. Adapun jika selain buang hajat maka disesuaikan dengan kondisi.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Dan yang termasuk dalam makna hajat adalah kebutuhan seseorang terhadap makanan dan minuman jika tidak didapati seorang pun yang mengantarkan makanan bagi dia, kemudian jika seseorang ingin muntah maka dia harus menjauh dari masjid, dan seluruh perkara yang mau tidak mau harus dia lakukan namun tidak mungkin dia lakukan di masjid, maka boleh bagi dia untuk keluar dari masjid. Yang demikian tidak membatalkan i’tikafnya dengan catatan tidak berlama-lama. Begitu pula keluar untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti seseorang yang beri’tikaf di masjid yang tidak didirikan shalat jum’at maka dia harus keluar untuk menunaikan shalat jum’at dan tidak membatalkan I’tikafnya.
Sedangkan jika keluar tanpa ada keperluan (hajat) maka hal tersebut membatalkan I’tikafnya walaupun sebentar, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Malik, dan Al-Imam Abu Hanifah.”
Sebagian ‘ulama menganjurkan agar i’tikaf dilakukan di masjid yang ditegakkan shalat Jum’at padanya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Adapun keluar dari masjid jika sebagian badannya maka tidak mengapa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج رأسه من المسجد وهو معتكف، فأغسله وأنا حائض - وفي رواية - كانت ترجل رأس النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض
“Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kepalanya dari masjid ketika beliau sedang beri’tikaf. Maka aku (‘Aisyah) mencucinya dalam keadaan aku haidh.”
Dalam riwayat lain : “Aisyah menyisir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia (‘Aisyah) sedang haidh.”
Kalau keluarnya dengan seluruh badannya, maka ada tiga kondisi :
Pertama : Keluar karena urusan yang tidak bisa tidak, maka secara tabi’at maupun secara syar’i. Seperti buang hajat kencing ataupun buang air besar, wudhu’, mandi janabah, atau selainnya : makan, minum, maka itu semua boleh jika memang tidak mungkin dilakukan di masjid. Namun jika memungkinkan dilakukan di masjid, maka tidak boleh keluar dari masjid. Misalnya, jika di masjid terdapat kamar mandi sehingga memungkinkan baginya untuk buang hajat atau mandi di situ. Atau jika ada orang yang mengantarkan kepadanya makanan dan minumnya. Maka dalam kondisi tersebut tidak boleh keluar dari masjid karena tidak ada hal yang mengharuskannya untuk keluar.
Kedua : Keluar karena urusan ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah, dan lainnya maka tidak boleh. Kecuali jika ia mempersyaratkannya sejak awal i’tikafnya. Misalnya jika di keluarnya ada orang sakit yang mesti ia jenguk, atau dikhawatirkan wafat, maka dia mempersyarakat sejak awal i’tikaf bahwa ia hendak keluar untuk keperluan tersebut, maka tidak mengapa baginya keluar.
Ketiga : Keluar untuk sesuatu yang menafikan i’tikafnya, seperti keluar untuk jual beli, berjima’ dengan istrinya, dan semisalnya, maka ini tidak boleh, baik ia mempersyarakat sejak awal maupun tidak. Karena perbuatan tersebut membatalkan i’tikaf dan menafikan tujuannya. “
(Majalis Syahri Ramadhan).
Kapan dimulai dan diakhiri waktu I’tikaf
I’tikaf dimulai ketika tenggelamnya matahari hari ke-20 pada bulan Ramadhan sebagaimana pendapat Jumhur ulama’. Berdalil bahwa dimulainya hari itu dengan tenggelamnya matahari. I’tikaf diakhiri dengan tenggelamnya matahari pada malam ‘Ied.
Batasan I’tikaf
Tidak ada batasan waktu tertentu untuk I’tikaf, begitu pula syari’at tidak membatasinya, dan ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama yang lainya. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hanifah sahnya i’tikaf walaupun hanya 1 jam.
Dan sebagaimana kisah Umar radhiyallahu ‘anhu :
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Dahulu semasa jahiliyyah aku bernadzar untuk beri’tikaf sehari di Masjid Al Haram. Maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah nadzarmu” (Muttafaqun’alaih)
I’tikaf di luar Ramadhan
I’tikaf di luar Ramadhan diperbolehkan, sebagaimana kisah Umar t ketika bernadzar semasa jahiliyyahnya untuk beri’tikaf selama 1 hari di Masjid Al Haram akan tetapi yang disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan, dan kaum muslimin tidak diperintahkan untuk beri’tikaf selain bulan Ramadhan.
I’tikaf di daerah lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan syaddur rihal (perjalanan serius untuk tujuan ibadah) kecuali ke 3 masjid, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudry shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian menempuh perjalanan yang jauh kecuali pada 3 masjid: Masjidku ini (Masjid An Nabawy), Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha”.(Muttafaqun’alaih)
Adapun selain 3 masjid di atas para ulama bersepakat tidak disyari’atkannya. Termasuk dalam hal ini i’tikaf. Tidak boleh bagi seseorang sengaja melakukan perjalanan ke masjid lain di luar daerahnya untuk melakukan i’tikaf di masjid tersebut, yang demikian termasuk syaddur rihal yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas.
Kecuali bagi seorang musafir yang ketika sampai di suatu tempat kemudian dia berniat untuk beri’tikaf di masjid di tempat tersebut tanpa ada niat sebelumnya sejak dari negerinya bahwa ia akan i’tikaf di masjid tersebut, maka yang demikian tidak mengapa.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang beri’tikaf (mu’takif)?
1. Mengikhlaskan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
2. Menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, memperbanyak shalat nawafil (sunnah), dan lain sebagainya.
3. Tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna.
4. Tidak meninggalkan masjid kecuali untuk kebutuhan yang mendesak (dharury).
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :
“Tujuan i’tikaf adalah memutuskan diri dari berhubungan dengan manusia agar bisa konsentrasi beribadah kepada Allah di salah satu masjid, dalam rangka mencari keutamaan dan pahala dari-Nya, serta untuk mendapatkan lailatul qadar. Oleh karena itu selayaknya bagi seorang yang beri’itikaf untuk menyibukkan diri dengan dzikir, qira’ah, shalat, dan ibadah, serta menjauhi hal-hal yang tidak perlu seperti berbincang tentang urusan dunia. Dan tidak mengapa berbincang sedikit dengan pembicaraan yang mubah dengan keluarganya atau yang lainnya karena adanya mashlahah. Berdasarkan hadits dari Shafiyyah Ummul Mu`minin radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, maka aku mengunjungi beliau pada salah satu malam. Maka aku berbincang dengan beliau, kemudian aku berdiri untuk pulang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersamaku (mengantar). Muttafaqun ‘alaihi
Beberapa Fatwa Penting
Bolehkan mu’takif (seorang yang beri’tikaf) mengajar atau menyampaikan pelajaran?
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab : Yang afdhal (lebih utama) bagi seorang mu’takif adalah dia menyibukkan diri dengan ibadah khusus, seperti dzikir, shalat, qira’atul qur’an, dan semisalnya. Namun jika memang ada keperluan untuk mengajari seseorang atau belajar, maka tidak mengapa. Karena yang demikian juga termasuk dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.
Bolehkah bagi mu’takif berhubungan dengan telepon untuk menyelesaikan urusan umat?
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :
“Ya boleh bagi seorang mu’takif untuk berhubungan dengan telepon guna menyelesaikan sebagian kebutuhan kaum muslimin, apabila telepon tersebut memang berada di masjid tempat dia beri’tikaf, karena dia tidak perlu keluar dari masjid. Namun apabila teleponnya berada di luar masjid, maka ia tidak boleh keluar untuk itu.
Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum muslimin, apabila orang tersebut memang sangat terkait dengannya maka dia tidak perlu i’tikaf. Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum muslimin lebih penting daripada i’tikaf, karena manfaatnya lebih banyak. Manfaat lebih banyak lebih utama daripada manfaat yang terbatas, kecuali jika manfaat terbatas tersebut merupakan kewajiban dalam Islam.”
Perhatian :
1. Hendaknya para mu’takif senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian masjid.
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
“Dengan tetap perhatian terhadap semangat untuk senantiasa menjaga kebersihan masjid dan waspada dari sebab-sebab yang bisa mengotori masjid, baik sisa-sisa makanan maupun yang lainnya. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku, sampai-sampai hanya sekedar kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid.” HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
Dan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membangun masjid di tiap-tiap kampung/qabilah, kemudian hendaknya dibersihkan dan diberi wewangian.” diriwayatkan oleh “Al-Khamsah” kecuali An-Nasa`i, sanadnnya jayyid.”
2. Adapun hadits
ومن اعتكف يوماً ابتغاء وجه الله ؛ جعل الله بينه وبين النار ثلاثة خنادق ، كل خندق أبعد ما بين الخافقين
“Barangsiapa yang beri’tikaf satu hari karena mengharap wajah Allah, maka Allah jadikan antara dia dengan neraka tiga parit. Masing-masing parit (lebarnya) lebih jauh daripada jarak dua ufuk.” (HR. Ath-Thabarani)
Adalah hadits yang dha’if (lemah). Pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Bisyr bin Salam Al-Bajali, dia adalah seorang perawi yang munkarul hadits, sebagaimana dikatan oleh Ibnu Abi Hatim, dan disepakati oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. (lihat Adh-Dha’ifah no. 5345).
Semoga amalan kita dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai amal shalih.
Amin Ya Mujibas Sa’ilin
diambil dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=361
oleh:
*Ust. Abu Ahmad Kadiri
*Ust. Abu ‘Amr Ahmad
Merupakan sebuah sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin ketika bulan Ramadhan adalah I’tikaf. Setiap kaum muslimin tentu berharap agar Ramadhan yang dia laksanakan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika 10 terakhir Ramadhan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadr malam yang di dalamnya dilipatgandakan amalan seorang hamba lebih baik daripada 1000 bulan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya telah memberikan contoh kepada umatnya untuk meningkatkan amaliah ibadah ketika memasuki 10 Terakhir Ramadhan tersebut, dan berusaha untuk mencari malam Lailatul Qadr dengan mengerahkan upaya maksimal, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Dahulu Rasulullah ketika memasuki 10 Terakhir dari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya”(HR Al Bukhari no.1884)
Di antara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 Terakhir Ramadhan adalah I’tikaf di masjid.
Maka berikut ini beberapa hukum ringkas yang terkait dengan permasalahan I’tikaf:
Pengertian I’tikaf
I’tikaf secara bahasa adalah terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu atau menahan diri dari sesuatu.
Adapun pengertian I’tikaf secara syar’i adalah tinggal di masjid oleh orang tertentu, dengan sifat tertentu dalam rangka konsentrasi beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hukum I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah sunnah yang disyari’atkan sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.
Dalil dari Al-Qur’an, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf”. (Al Baqarah: 187)
Dalil dari As Sunnah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Rasulullah dahulu beri’tikaf ketika 10 Terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian beri’tikaflah istri-istri beliau setelah itu”.(Muttafaqun’alaih)
Serta para ulama’ bersepakat tentang sunnahnya perkara ini.
Tempat I’tikaf
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa i’tikaf hanya bisa dilakukan pada 3 masjid saja, yaitu Al-Masjidil Haram di Makkah, Masjid An-Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsha di Palestina.
Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa seluruh masjid bisa digunakan untuk beri’tikaf sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf” (Al Baqarah: 187)
Karena pada ayat di atas sasarannya adalah seluruh kaum muslimin, tidak terbatas pada masjid tertentu. Kaum muslimin kebanyakan tinggal di luar 3 masjid tersebut.
Adapun hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu :
لااعتكاف إلا في ثلاثة مساجد المسجد الحرام والمسجد الاقصى ومسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid (Masjid Al-Haram, Masjid Al-Aqsha, dan Masjid An-Nabawy) (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
maka para ulama’ membawanya kepada afdhaliyyah (nilai yang lebih utama), yakni tidak ada I’tikaf yang utama kecuali pada tiga masjid tersebut.
Keluarnya seseorang ketika beri’tikaf
Jika ada keperluan seperti buang hajat (BAK, BAB), maka para ulama bersepakat tentang bolehnya hal tersebut. Adapun jika selain buang hajat maka disesuaikan dengan kondisi.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Dan yang termasuk dalam makna hajat adalah kebutuhan seseorang terhadap makanan dan minuman jika tidak didapati seorang pun yang mengantarkan makanan bagi dia, kemudian jika seseorang ingin muntah maka dia harus menjauh dari masjid, dan seluruh perkara yang mau tidak mau harus dia lakukan namun tidak mungkin dia lakukan di masjid, maka boleh bagi dia untuk keluar dari masjid. Yang demikian tidak membatalkan i’tikafnya dengan catatan tidak berlama-lama. Begitu pula keluar untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti seseorang yang beri’tikaf di masjid yang tidak didirikan shalat jum’at maka dia harus keluar untuk menunaikan shalat jum’at dan tidak membatalkan I’tikafnya.
Sedangkan jika keluar tanpa ada keperluan (hajat) maka hal tersebut membatalkan I’tikafnya walaupun sebentar, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Malik, dan Al-Imam Abu Hanifah.”
Sebagian ‘ulama menganjurkan agar i’tikaf dilakukan di masjid yang ditegakkan shalat Jum’at padanya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Adapun keluar dari masjid jika sebagian badannya maka tidak mengapa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج رأسه من المسجد وهو معتكف، فأغسله وأنا حائض - وفي رواية - كانت ترجل رأس النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض
“Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kepalanya dari masjid ketika beliau sedang beri’tikaf. Maka aku (‘Aisyah) mencucinya dalam keadaan aku haidh.”
Dalam riwayat lain : “Aisyah menyisir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia (‘Aisyah) sedang haidh.”
Kalau keluarnya dengan seluruh badannya, maka ada tiga kondisi :
Pertama : Keluar karena urusan yang tidak bisa tidak, maka secara tabi’at maupun secara syar’i. Seperti buang hajat kencing ataupun buang air besar, wudhu’, mandi janabah, atau selainnya : makan, minum, maka itu semua boleh jika memang tidak mungkin dilakukan di masjid. Namun jika memungkinkan dilakukan di masjid, maka tidak boleh keluar dari masjid. Misalnya, jika di masjid terdapat kamar mandi sehingga memungkinkan baginya untuk buang hajat atau mandi di situ. Atau jika ada orang yang mengantarkan kepadanya makanan dan minumnya. Maka dalam kondisi tersebut tidak boleh keluar dari masjid karena tidak ada hal yang mengharuskannya untuk keluar.
Kedua : Keluar karena urusan ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah, dan lainnya maka tidak boleh. Kecuali jika ia mempersyaratkannya sejak awal i’tikafnya. Misalnya jika di keluarnya ada orang sakit yang mesti ia jenguk, atau dikhawatirkan wafat, maka dia mempersyarakat sejak awal i’tikaf bahwa ia hendak keluar untuk keperluan tersebut, maka tidak mengapa baginya keluar.
Ketiga : Keluar untuk sesuatu yang menafikan i’tikafnya, seperti keluar untuk jual beli, berjima’ dengan istrinya, dan semisalnya, maka ini tidak boleh, baik ia mempersyarakat sejak awal maupun tidak. Karena perbuatan tersebut membatalkan i’tikaf dan menafikan tujuannya. “
(Majalis Syahri Ramadhan).
Kapan dimulai dan diakhiri waktu I’tikaf
I’tikaf dimulai ketika tenggelamnya matahari hari ke-20 pada bulan Ramadhan sebagaimana pendapat Jumhur ulama’. Berdalil bahwa dimulainya hari itu dengan tenggelamnya matahari. I’tikaf diakhiri dengan tenggelamnya matahari pada malam ‘Ied.
Batasan I’tikaf
Tidak ada batasan waktu tertentu untuk I’tikaf, begitu pula syari’at tidak membatasinya, dan ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama yang lainya. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hanifah sahnya i’tikaf walaupun hanya 1 jam.
Dan sebagaimana kisah Umar radhiyallahu ‘anhu :
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Dahulu semasa jahiliyyah aku bernadzar untuk beri’tikaf sehari di Masjid Al Haram. Maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah nadzarmu” (Muttafaqun’alaih)
I’tikaf di luar Ramadhan
I’tikaf di luar Ramadhan diperbolehkan, sebagaimana kisah Umar t ketika bernadzar semasa jahiliyyahnya untuk beri’tikaf selama 1 hari di Masjid Al Haram akan tetapi yang disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan, dan kaum muslimin tidak diperintahkan untuk beri’tikaf selain bulan Ramadhan.
I’tikaf di daerah lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan syaddur rihal (perjalanan serius untuk tujuan ibadah) kecuali ke 3 masjid, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudry shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian menempuh perjalanan yang jauh kecuali pada 3 masjid: Masjidku ini (Masjid An Nabawy), Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha”.(Muttafaqun’alaih)
Adapun selain 3 masjid di atas para ulama bersepakat tidak disyari’atkannya. Termasuk dalam hal ini i’tikaf. Tidak boleh bagi seseorang sengaja melakukan perjalanan ke masjid lain di luar daerahnya untuk melakukan i’tikaf di masjid tersebut, yang demikian termasuk syaddur rihal yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas.
Kecuali bagi seorang musafir yang ketika sampai di suatu tempat kemudian dia berniat untuk beri’tikaf di masjid di tempat tersebut tanpa ada niat sebelumnya sejak dari negerinya bahwa ia akan i’tikaf di masjid tersebut, maka yang demikian tidak mengapa.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang beri’tikaf (mu’takif)?
1. Mengikhlaskan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
2. Menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, memperbanyak shalat nawafil (sunnah), dan lain sebagainya.
3. Tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna.
4. Tidak meninggalkan masjid kecuali untuk kebutuhan yang mendesak (dharury).
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :
“Tujuan i’tikaf adalah memutuskan diri dari berhubungan dengan manusia agar bisa konsentrasi beribadah kepada Allah di salah satu masjid, dalam rangka mencari keutamaan dan pahala dari-Nya, serta untuk mendapatkan lailatul qadar. Oleh karena itu selayaknya bagi seorang yang beri’itikaf untuk menyibukkan diri dengan dzikir, qira’ah, shalat, dan ibadah, serta menjauhi hal-hal yang tidak perlu seperti berbincang tentang urusan dunia. Dan tidak mengapa berbincang sedikit dengan pembicaraan yang mubah dengan keluarganya atau yang lainnya karena adanya mashlahah. Berdasarkan hadits dari Shafiyyah Ummul Mu`minin radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, maka aku mengunjungi beliau pada salah satu malam. Maka aku berbincang dengan beliau, kemudian aku berdiri untuk pulang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersamaku (mengantar). Muttafaqun ‘alaihi
Beberapa Fatwa Penting
Bolehkan mu’takif (seorang yang beri’tikaf) mengajar atau menyampaikan pelajaran?
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab : Yang afdhal (lebih utama) bagi seorang mu’takif adalah dia menyibukkan diri dengan ibadah khusus, seperti dzikir, shalat, qira’atul qur’an, dan semisalnya. Namun jika memang ada keperluan untuk mengajari seseorang atau belajar, maka tidak mengapa. Karena yang demikian juga termasuk dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.
Bolehkah bagi mu’takif berhubungan dengan telepon untuk menyelesaikan urusan umat?
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :
“Ya boleh bagi seorang mu’takif untuk berhubungan dengan telepon guna menyelesaikan sebagian kebutuhan kaum muslimin, apabila telepon tersebut memang berada di masjid tempat dia beri’tikaf, karena dia tidak perlu keluar dari masjid. Namun apabila teleponnya berada di luar masjid, maka ia tidak boleh keluar untuk itu.
Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum muslimin, apabila orang tersebut memang sangat terkait dengannya maka dia tidak perlu i’tikaf. Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum muslimin lebih penting daripada i’tikaf, karena manfaatnya lebih banyak. Manfaat lebih banyak lebih utama daripada manfaat yang terbatas, kecuali jika manfaat terbatas tersebut merupakan kewajiban dalam Islam.”
Perhatian :
1. Hendaknya para mu’takif senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian masjid.
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
“Dengan tetap perhatian terhadap semangat untuk senantiasa menjaga kebersihan masjid dan waspada dari sebab-sebab yang bisa mengotori masjid, baik sisa-sisa makanan maupun yang lainnya. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku, sampai-sampai hanya sekedar kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid.” HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
Dan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membangun masjid di tiap-tiap kampung/qabilah, kemudian hendaknya dibersihkan dan diberi wewangian.” diriwayatkan oleh “Al-Khamsah” kecuali An-Nasa`i, sanadnnya jayyid.”
2. Adapun hadits
ومن اعتكف يوماً ابتغاء وجه الله ؛ جعل الله بينه وبين النار ثلاثة خنادق ، كل خندق أبعد ما بين الخافقين
“Barangsiapa yang beri’tikaf satu hari karena mengharap wajah Allah, maka Allah jadikan antara dia dengan neraka tiga parit. Masing-masing parit (lebarnya) lebih jauh daripada jarak dua ufuk.” (HR. Ath-Thabarani)
Adalah hadits yang dha’if (lemah). Pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Bisyr bin Salam Al-Bajali, dia adalah seorang perawi yang munkarul hadits, sebagaimana dikatan oleh Ibnu Abi Hatim, dan disepakati oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. (lihat Adh-Dha’ifah no. 5345).
Semoga amalan kita dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai amal shalih.
Amin Ya Mujibas Sa’ilin
diambil dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=361
oleh:
*Ust. Abu Ahmad Kadiri
*Ust. Abu ‘Amr Ahmad
Post a Comment