Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (2)

Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (2) novieffendi.com
Didalam artikel sebelumnya Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (1) telah dibahas tentang Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah serta keharusan menjadikan Manhaj Salaf Sebagai Sumber Rujukan. Berikutnya akan dibahas tentang pengertian bid'ah dan syubhat tentang bid'ah hasanah. Selamat Membaca..

Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah

Syubhat 1: Tidak Semua Yang Baru Berarti Bid’ah

Banyak orang yang salah faham akan makna bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan. Mereka menganggap bahwa dengan memahami hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar’ [1] secara tekstual, maka semua orang akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.[2]

Pemahaman yang rancu semacam ini muncul dari ketidaktahuan mereka akan uslub (gaya bahasa) Al Qur’an, Hadits, atau ucapan para ulama yang senantiasa membedakan pengertian suatu kata dari segi etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah/syar’i). Kerancuan tadi juga disebabkan oleh ketidak fahaman orang tersebut akan konteks suatu nash (ayat/hadits), atau karena pemahaman parsial — yang memegangi satu nash dan mengabaikan nash-nash lainnya–, atau akibat mencomot nash tersebut dari konteks selengkapnya. Dan yang terakhir ini cukup fatal akibatnya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.

Pentingnya membedakan antara definisi lughawi (bahasa) dan syar’i.

Sebagai contoh, kata ‘ash-shalah’ (الصَّلاَة) merupakan mashdar (bentukan/noun) dari kata صَلَّى- يُصَلِّي, yang dalam bahasa Arab memiliki tak kurang dari lima makna. Al Fairuzabadi[3]) mengatakan:

وَالصَّلاَةُ: الدُّعَاءُ, وَالرَّحْمَةُ, وَالاِسْتِغْفَارُ, وَحُسْنُ الثَّنَاءِ مِنَ اللهِ عَلىَ رَسُولِهِ, وَعِبَادَةٌ فِيْهَا رُكُوعٌ وَسُجُودٌ.

‘ash shalaah’ artinya: (1)doa, (2)rahmat, (3)istighfar, (4) pujian yang baik dari Allah terhadap Rasul-Nya, dan (5)ibadah yang mengandung ruku’ dan sujud [4]).

Ketika menemukan definisi (الصلاة) semacam ini, seseorang harus menentukan terlebih dahulu mana yang merupakan definisi lughawi dan mana yang syar’i. Lalu ketika hendak mengartikan suatu hadits atau ayat tertentu, ia harus memperhatikan konteks ayat/hadits di mana istilah ini berada, kemudian menentukan apakah shalat di sini yang dimaksud ialah shalat secara lughawi ataukah syar’i. Kalau secara bahasa ia memiliki lebih dari satu makna, maka ia harus meneliti makna apa yang diinginkan dalam konteks ini.

Bagaimana jika ia hanya memahami satu makna saja dari kata shalat tadi, lantas menerapkannya dalam seluruh konteks kalimat….? Jelas, cara seperti ini pasti mengacaukan pemahaman yang sebenarnya. Cobalah Anda simak jika shalat dalam ayat berikut diartikan secara lughawi sebagai doa umpamanya:

Dirikanlah doa dari sejak matahari tergelincir hingga malam gelap…” (Al Isra’: 78). Tentu aneh kedengarannya, karena (الصلاة) disini maksudnya ialah shalat secara syar’i yang pakai ruku’ dan sujud, bukannya sekedar doa. Demikian pula kalau ia hanya mengartikannya dengan pengertian syar’i tanpa mengindahkan makna lughawinya. Maka ketika mendapati ayat berikut pemahamannya akan kacau:

Ambillah sebagian harta mereka sebagai zakat yang membersihkan dan menyucikan mereka; dan ‘shalatlah(?)’ kepada mereka, karena shalatmu menimbulkan ketenangan bagi mereka…(?)” (QS. 9:103). Dengan pola pikir semacam ini, tak menutup kemungkinan kalau suatu saat akan ada yang mengatakan bahwa menyolatkan orang yang masih hidup hukumnya sunnah!! Padahal yang dimaksud dengan (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ) di sini artinya: “doakanlah mereka”, karena doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbulkan ketenangan bagi mereka.

Bagaimana pula ia hendak mengartikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ (رواه مسلم 1431).

Apakah akan diartikan: “Kalau salah seorang dari kalian diundang makan hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang berpuasa maka shalatlah (?), namun jika sedang tidak berpuasa silakan menyantap makanannya” (H.R. Muslim no 1431). Padahal maksudnya agar ia mendoakan orang yang mengundangnya kalau ia sedang berpuasa.

Sama persis dengan masalah bid’ah yang sedang kita bahas. Berangkat dari salah pengertian tentang makna bid’ah yang dianggap sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian orang langsung membid’ahkan setiap hal baru yang terjadi pada diri kita, tanpa memilah-milah antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah dalam urusan duniawi. Karenanya, kita harus mendudukkan pengertian bid’ah yang sebenarnya.

Akan tetapi sebelum kita mendefinisikan bid’ah, kita harus mengenal Sunnah terlebih dahulu. Karena sunnah identik dengan apa-apa yang harus dilakukan, sedangkan bid’ah identik dengan apa-apa yang harus ditinggalkan. Dan apa-apa yang harus dilakukan lazimnya dibahas lebih dahulu dari pada apa-apa yang harus ditinggalkan. Insya Allah dengan memahami Sunnah, kita akan memahami bid’ah [5]).

Apa itu Sunnah?

Sunnah menurut bahasa, artinya: cara yang diikuti. Sedang menurut syar’i ialah semua yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya atas izin dari Allah Ta’ala; yang berupa jalan-jalan kebaikan, atau adab-adab dan keutamaan yang beliau anjurkan, demi menyempurnakan umat ini dan membahagiakannya. Kalau yang beliau syari’atkan itu berupa perintah untuk melakukan sesuatu dan menekuninya, maka itulah Sunnah waajibah (yang diwajibkan), yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim pun. Namun jika bukan seperti itu, berarti itu Sunnah mustahabbah (yang disukai), yang bila dilakukan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan pelakunya tidak akan disiksa.

Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sunnah tadi lewat sabdanya; beliau juga mengajarkannya lewat perbuatan dan persetujuannya. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sesuatu secara berulang-ulang hingga jadi kebiasaan, jadilah hal itu sunnah bagi umatnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk khususiyyah (kekhususan) beliau, seperti puasa secara bersambung umpamanya (puasa wishal).

Demikian pula ketika beliau mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi pada para sahabatnya, kemudian hal itu berulang sekian kali tanpa diingkari oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadilah itu sunnah taqririyyah (sunnah karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Akan tetapi jika apa yang beliau lakukan, atau yang beliau lihat dan dengarkan tadi tidak terjadi berulang kali, maka tidak termasuk sunnah. Mengapa? Karena kata sunnah (سَنَّ – يَسُنُّ – سُنَّةً) berasal dari sesuatu yang berulang kali. Seperti kata (سَنَّ السِّكِّيْنَ) yang artinya mengasah pisau, yaitu menggosoknya berulang kali pada asahan sampai tajam [6]).

Contoh apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali saja dan tak diulangi lagi –hingga tidak dianggap sebagai sunnah– ialah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ tanpa udzur seperti safar, sakit, ataupun hujan (H.R. Muslim dan Tirmidzi) [7]). Karenanya, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata:

جَمِيعُ مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَبِهِ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلَا حَدِيثَيْنِ: حَدِيثَ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ وَحَدِيثَ النَّبِيِّ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ.

Semua hadits yang ada dalam kitab ini (Sunan Tirmidzi) ialah untuk diamalkan, dan menjadi dalil bagi sebagian ulama; kecuali dua hadits: Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara dhuhur, asar, maghrib, dan isya’ di Madinah tanpa alasan takut maupun hujan. Dan hadits Nabi yang mengatakan: “Kalau seseorang ketahuan minum khamer, maka cambuklah. Kalau ia minum lagi keempat kalinya, maka bunuh saja…” (lihat Kitabul ‘Ilal dari Sunan At Tirmidzi).

Sedangkan contoh dari apa yang pernah beliau diamkan dan beliau setujui sekali saja –hingga tidak bisa dianggap sunnah bagi kaum muslimin,– ialah hadits yang mengatakan tentang nadzar seorang wanita yang bila Allah Ta’ala memulangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari safarnya dalam keadaan selamat, ia akan menabuh rebana di hadapan beliau sebagai luapan rasa bahagia atas keselamatannya[8]). Maka wanita tersebut melangsungkan nadzarnya, dan beliau menyetujuinya kali itu saja. Karenanya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai sunnah bagi umatnya.

Adapun contoh dari sunnah fi’liyyah ialah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selepas shalat berputar ke arah makmum. Hal ini terjadi ratusan kali, karenanya ini merupakan sunnah bagi setiap imam selepas shalat, meskipun beliau tak pernah memerintahkannya.

Sedangkan contoh dari sunnah taqririyyah ialah ketika beliau mendiamkan apa yang dilakukan para sahabatnya saat mengiring jenazah. Beliau melihat ada yang berjalan di depan jenazah, ada yang disamping kanan, di kiri, dan ada yang di belakang, akan tetapi beliau mendiamkan mereka; dan hal terjadi berulang kali setiap mereka mengiring jenazah. Maka hal ini dianggap sebagai sunnah taqririyyah.

Demikianlah pengertian sunnah, maka hadirkanlah selalu makna ini dalam benak anda… dan jangan lupa untuk menyertakan pula sunnah-sunnah Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau.

Pengertian bid’ah

Adapun bid’ah, maka itulah lawan dari Sunnah. Mengapa? Karena bid’ah hakekatnya ialah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya, maupun melalui lisan Nabi-Nya; baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Atau dengan kata lain, bid’ah ialah: semua yang di zaman Rasulullah dan para sahabatnya tidak dianggap sebagai agama yang dijadikan ritual ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan, meski ia dianggap memiliki nilai sakral luar biasa, atau dijadikan syi’ar agama[9]). Ini definisi bid’ah menurut syar’i secara global, sedang perinciannya sebagai berikut:

Definisi Bid’ah secara lughawi

Kata ‘bid’ah’ berasal dari bada‘a – yabda’u - bad’un atau bid’atun, yang secara lughawi artinya sesuatu yang baru. Mengenai hal ini, Imam Al Azhari[10]) menukil ucapan Ibnu Sikkiet yang mengatakan:

اَلْبِدْعَةُ: كُلُّ مُحْدَثَةٍ.

Bid’ah itu segala sesuatu yang baru” [11]).

Definisi senada juga dinyatakan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy[12]), yang mengatakan:

البَدْعُ: إِحْدَاثُ شَئْ ٍلَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلاَ ذِكْرٌ وَلاَ مَعْرِفَةٌ

Al bad’u (bid’ah) ialah mengadakan sesuatu yang tidak pernah diciptakan, atau disebut, atau dikenal sebelumnya” [13]).

Isim fa’il (nama pelaku) dari kata bada’a tadi ialah badie’ (بَدِيْعٌ) atau mubdi’ (مُبْدِعٌ), artinya: pencipta sesuatu tanpa ada contoh terlebih dahulu. Hal ini seperti firman Allah:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ

Dialah pencipta langit dan bumi” (Al Baqarah :117), yaitu tanpa ada contoh (prototip) sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Az Zajjaj[14]).

Korelasi antara definisi bid’ah secara lughawi dan syar’i

Dari nukilan-nukilan di atas, dapat kita fahami bahwa bid’ah secara bahasa ialah segala sesuatu yang baru, entah itu baik atau buruk; berkaitan dengan agama atau tidak. Karenanya Az Zajjaj mengatakan:

وَكُلُّ مَنْ أَنْشَأَ مَالَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ قِيْلَ لَهُ: أَبْدَعْتَ. وَلِهَذَا قِيْلَ لِمَنْ خَالَفَ السُّـنَّةَ: مُبْتَدِعٌ. لأَِنَّهُ أَحْدَثَ فِي الإِسْلاَمِ مَالَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ السَّلَفُ.

Setiap orang yang melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, kita katakan kepadanya: “abda’ta” (anda telah melakukan bid’ah (terobosan baru)). Karenanya, orang yang menyelisihi ajaran (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah), sebab ia mengada-adakan sesuatu dalam Islam yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf sebelumnya” [15]).

Jadi, korelasi antara kedua definisi tadi ialah bahwa bid’ah itu intinya sesuatu yang baru dan diada-adakan. Namun bedanya, bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama, sebagaimana yang disebutkan oleh Az Zajjaj di atas. Untuk lebih jelasnya perhatikan definisi bid’ah secara syar’i menurut Al Jurjani berikut:

البِدْعَةُ هِيَ الْفِعْلَةُ الْمُخَالِفَةُ لِلسُّـنَّةِ، سُمِّيَتْ: اَلْبِدْعَةَ، لأَِنَّ قَائِلَهَا ابْتَدَعَهَا مِنْ غَيْرِ مَقَالِ إِمَامٍ، وَهِيَ الأَمْرُ الْمُحْدَثُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ، وَلَمْ يَكُنْ مِمَّا اقْتَضَاهُ الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيُّ.

Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i” [16]).

Kata-kata yang bercetak tebal dan bergaris bawah di atas amat penting untuk kita fahami maknanya. Sehingga kita tidak mencampuradukkan antara bid’ah dengan maslahat mursalah [17]). Atau antara bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara syar’i. Berangkat dari pemahaman ini, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah secara syar’i dengan definisi paling universal sebagai berikut:

الْبِدْعَةُ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيْقَةٍ فيِ الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرِيْعَةَ, يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فيِ التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ (الاعتصام 1/50).

Bid’ah adalah sebuah metode baru dalam agama yang bersifat menyaingi syari’at, dan dilakukan dengan tujuan beribadah secara lebih giat kepada Allah Ta’ala.

Kaidah dalam mendefinisikan bid’ah

Dari definisi-definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bid’ah menurut syar’i harus memiliki kriteria berikut:
  1. Berkaitan dengan agama, bukan dengan urusan duniawi. 
  2. Bersifat baru dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  3. Bersifat menyaingi syari’at Allah dan Rasul-Nya. 
  4. Tidak selaras dengan dalil-dalil syar’i. 
  5. Dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah.

Bertolak dari kaidah ini, jelaslah bahwa cara berpakaian, cara makan, sarana transportasi, komunikasi dan hasil kemajuan teknologi lainnya tidak bisa disebut bid’ah secara syar’i, karena kesemuanya tidak memenuhi kriteria di atas.

Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah?

Syubhat 2: Adakah Bid’ah Hasanah?

Sebagian orang menganggap bahwa bid’ah ada dua; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (dholalah). Mereka berhujjah dengan pendapat sebagian salaf seperti perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu:

نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Sebaik-baik bid’ah adalah ini[18])

Atau perkataan Imam Syafi’i -rahimahullah- yang menyebutkan:

الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم

Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela [19]).

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai khutbah beliau senantiasa mengatakan:

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم 45)

Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama, yaitu Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) dari ayahnya (Muhammad bin ‘Ali Al Baqir) [20]), dari sahabat Jabir bin Abdillah, dengan lafazh:

وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat” [21]

Dalam kedua hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan sabda beliau ini berkenaan dengan bid’ah menurut syari’at. Mengapa harus begitu? Karena dua hal; pertama: menurut kaidah ushul fiqih, dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i, terlebih dahulu kita harus membawanya kepada pengertiannya secara syar’i, kalau tidak bisa, baru kita membawanya kepada pengertian yang lain, seperti pengertian bahasa atau adat setempat sesuai dengan qarinah (petunjuk) yang ada[22]). Kedua: jika ia ditafsirkan sebagai bid’ah lughawi, konsekuensinya semua hal yang baru dianggap bid’ah dan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap penemuan baru dalam bidang IPTEK pun dianggap sesat…dan jelas tidak mungkin ada orang berakal yang mengatakan seperti itu, apalagi seorang Rasul yang ma’shum.

Mendudukkan maksud ucapan Umar bin Khatthab

Jika kita telah memahami makna bid’ah secara lughawi dan syar’i, maka ucapan Umar bin Khatthab yang berbunyi: “sebaik-baik bid’ah adalah ini…”, sama sekali tidak bisa dijadikan dalil akan adanya bid’ah hasanah dalam agama, karena makna ucapan tersebut ialah bid’ah secara bahasa yang sifatnya nisbi (relatif).

Alasannya: Lihatlah konteks ucapan Umar selengkapnya berikut:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab t di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan).

Kemudian sebagaimana kita ketahui, anjuran beliau untuk shalat tarawih berjama’ah itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya beberapa kali, kemudian beliau hentikan karena khawatir kalau shalat tarawih diwajibkan atas umatnya[23]). Akan tetapi di masa Umar berkuasa, tidak semua warga Madinah tahu akan hal ini, karena banyak di antara mereka yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi shalat dibelakang beliau. Karenanya, bagi mereka ini merupakan hal baru (bid’ah lughawi). Jadi, jelaslah bahwa bid’ah yang dimaksudkan Umar di sini bukanlah bid’ah syar’i maupun lughawi secara mutlak, akan tetapi bid’ah lughawi nisbi (hal yang baru bagi sebagian kalangan).

Lebih dari itu, ingatlah bahwa Umar termasuk salah seorang Khulafa’ Ar Rasyidin yang perbuatannya dianggap sebagai sunnah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه أبو داود (4607) واللفظ له, وابن ماجه (42), وأحمد (16521,16522), والدارمي (95) وصححه الألباني)

Kuwasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati pemimpin kalian meski ia seorang budak habsyi (kulit hitam). Karena siapa yang hidup sepeninggalku nanti, pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran)-ku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin sepeninggalku. Peganglah sunnah tadi erat-erat dan gigitlah dengan taringmu. Dan waspadailah setiap muhdatsaatul umuur [24]), karena itu semua adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud (no 4607) Ibnu Majah (42), Ahmad (16521,16522) dan Ad Darimi (95); ini adalah lafazh Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat: Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).

Demikian juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ (رواه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).

Dari Hudzaifah katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Jadikanlah dua orang sepeninggalku sebagai qudwah (panutan/teladan) kalian: Abu Bakar dan Umar” (H.R. Tirmidzi dan beliau menghasankannya) [25]).

Kalaulah yang diperbuat oleh Umar tadi merupakan bid’ah dalam agama (bid’ah syar’i), maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk meneladani seseorang yang mengatakan bahwa bid’ah syar’i itu ada yang baik, sedangkan Nabi sendiri mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat… Ini adalah sesuatu yang kontradiksi! Dan tidak pantas bagi sahabat sekaliber Umar bin Khatthab yang dijuluki al faruq (pembeda antara haq dan batil), untuk menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa ada bid’ah yang baik dalam agama.

Karenanya, ucapan Umar bin Khatthab di atas tidak boleh diartikan sebagai bid’ah secara syar’i, namun yang beliau maksudkan ialah bahwa keputusannya untuk menyatukan kaum muslimin pada satu imam merupakan suatu hal baru dan baik setelah sekian lama ditinggalkan.

Perhatian:

Sekiranya kita menganggap ucapan ‘Umar bin Khatthab tadi sebagai bentuk pembenaran akan adanya bid’ah hasanah –meskipun ini mustahil–; maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum harus didahulukan dari perkataan Umar yang tidak ma’shum. Cobalah anda renungi kembali jawaban Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang kami cantumkan di mukaddimah buku ini (hal 12).

Mendudukkan ucapan Imam Syafi’i

Kalaulah Imam Syafi’i -rahimahullah- mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka beliau jualah yang mengatakan berikut ini:

مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَتَذْهَبُ عَلَيهِ سُنَّةٌ لِرَسُولِ اللهِ وَتَعْزُبُ عَنْهُ فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ, فِيْهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ لِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَالْقَوْلُ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ وَهُوَ قَوْلِي ( تاريخ دمشق لابن عساكر 15 / 389 )

Tak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang di sana ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku (lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh Ibnu Asakir)

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ e لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ (الفلاني ص 68)

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.(lihat Muqaddimah Shifatu Shalatin Nabii, oleh Al Albani).

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ. ( النووي في المجموع 1 / 63 )

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang. (lihat Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab 1/63)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ ( سير أعلام النبلاء 3/3284-3285)

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok. (Siyar A’laamin Nubala’ 3/3284-3285).

كُلُّ مَسْأَلَةٍِ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ e عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي. ( أبو نعيم في الحلية 9 / 107 )

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku (Hilyatul Auliya’ 9/107)

إِذَا رَأَيْتُمُوْنِي أَقُوْلُ قَوْلاً وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوا أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 10 / 1 )

Jika kalian mendapatiku mengatakan suatu perkataan, padahal di sana ada hadits shahih yang berseberangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang!! (Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir)

كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 9 / 2 )

Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ. ( تاريخ دمشق, 51/389)

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku (Tarikh Dimasyq, 51/389).

قَالَ الرَّبِيْعُ: سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَمَا تَقُوْلُ؟ فَارْتَعَدَ وَانْتَفَضَ وَقَالَ: أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ. (حلية الأولياء 9/107)

Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita: Ada seseorang yang bertanya kepada Asy Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (lihat: Hilyatul Auliya’ 9/107) [26]).

Setelah kita mengetahui pernyataan beliau bahwa perkataan Rasulullah wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id

***********
[1]) Yang artinya: Semua bid’ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan berada di Neraka.

[2]) Seperti yang dinyatakan oleh Novel Alaydrus dalam buku: Mana Dalilnya 1, hal 17.

[3]) Beliau ialah Al Imam Al Lughawy Abu Thahir Majduddien Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar Asy Syirazi Al Fairuzabadi. Lahir di Karazin-Persia, pada tahun 720H. Sejak kecil beliau telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Beliau hafal Al Qur’an dan pandai menulis sejak umur tujuh tahun, dan ini merupakan sesuatu yang langka untuk bocah seusia itu. Kehausannya dalam mencari ilmu mengharuskannya untuk mengembara ke Irak, Syam, Mesir, Hijaz, Romawi, India dan akhirnya menetap di desa Zabid, Yaman. Diantara gurunya ialah Ibnul Qayyim, Ibnu Hisyam, dan Taqiyyuddin As Subky. Karyanya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab, tafsir, tarikh, biografi, hadits, dan fiqih. Beliau wafat di Zabid, malam Selasa bulan Syawal tahun 817 H, dalam usia mendekati 90 tahun tapi penglihatan dan pendengarannya masih prima. (Muqaddimah Al Qomus Al Muhith, hal 9-15 cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon )

[4]) Al Qomus Al Muhith, hal 1303-1304. cet. Muassasah Ar Risalah.

[5]) Paragraf ini dan yang setelahnya kami sadur dari kitab: Al Inshaf fiima Qiila fi Maulidin Nabiyyi minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, (تتمة نافعة) tulisan syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.

[6]) Lihat Al Qomus Al Fiqhy, 1/183.

[7]) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, no 705; juga oleh At Tirmidzi dalam Sunan-nya, no 172.

[8]) H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan katanya: hadits ini hasan shahih gharib. Disini hanya kami cuplikkan sebagian dari hadits seutuhnya yang cukup panjang.

[9]) Al Inshaf Fiima Qiila fil Maulid Minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.

[10]) Beliau ialah Al ‘Allamah Al Lughawy Abu Manshur, Muhammad bin Ahmad ibnul Azhar Al Azhary Al Harawy Asy Syafi’iy. Lahir sekitar tahun 282 H. Beliau adalah Imam dalam bahasa Arab dan fiqih. Seorang ulama yang tsiqah dan taat beragama. Diantara karya ilmiahnya ialah: Tahdzibul Lughah, Kitab At Tafsir, Tafsir Alfaazhul Muzany, ‘Ilalul Qira’ah, Ar Ruh, Al Asma’ul Husna dan lainnya. Beliau wafat pada Rabi’ul Akhir tahun 370 H, pada usia 88 tahun (As Siyar, 3/3212-3213)

[11]) Lihat Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).

[12]) Beliau ialah Al Imam Shahibul ‘Arabiyyah, Al Khalil bin Ahmad bin ‘Amru Al Azdy Al Farahidy Al Bashry. Beliau adalah peletak dasar-dasar ilmu ‘Arudh, orang terdepan dalam hal bahasa Arab, taat beragama, wara’, penuh qana’ah, tawadhu’ dan amat disegani. Beliau berguru kepada Ayyub As Sikhtiyani, ‘Ashim Al Ahwal dan lainnya. Darinyalah Imam Sibawaih menimba ilmu nahwu, demikian pula An Nadhar bin Syumeil, Al Ashma’iy dan yang lainnya. Beliau adalah orang yang super cerdas. Lahir tahun 100H. Diantara karyanya ialah Kitabul ‘Ain (ع), namun belum selesai. Beliau wafat tahun 169 atau 170 H -rahimahullah- (As Siyar, 2/1636).

[13]) Lihat Kitaabul ‘Ain, 2/54.

[14]) Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).

[15]) Ibid. Perhatikan bagaimana Az Zajjaj membedakan antara definisi bid’ah lughawi dengan syar’i. Ia tak sekedar mengatakan bahwa bid’ah adalah melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Namun ungkapan selanjutnya menegaskan siapakah pelaku bid’ah itu, yaitu orang-orang yang berbuat menyelisihi sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga apabila beliau menyatakan bahwa bid’ah itu sesat, maka bid’ah di sini ialah bid’ah secara syar’i.

[16]) At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani.

[17]) Mengenai maslahat mursalah akan kami bahas secara terpisah pada bab: Antara bid’ah dan Maslahat Mursalah hal 44.

[18]) H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab Ma Jaa-a fi Qiyaami Ramadhan.

[19]) Lihat: Fathul Baari Syarh Shahihil Bukhari, penjelasan hadits no 7277.

[20]) Ja’far Ash Shadiq dan ayahnya: Muhammad Al Baqir (putera Ali Zainul ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib) merupakan tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meriwayatkan hadits yang agung ini karena kecintaan mereka terhadap kemurnian ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kebencian mereka terhadap bid’ah. Demikianlah profil Ahlul Bait sejati yang mengenyam ilmu dari sumbernya yang terpelihara, yaitu para salafus shaleh radhiyallaahu ‘anhum. Silakan saudara bandingkan sikap mereka terhadap bid’ah dengan sikap anak-cucu mereka (?) saat ini, yang dengan sekuat tenaga hendak menyimpangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang ma’shum– dengan mengatakan: “Oo, bukan begitu… tidak semua bid’ah itu sesat…!! Anda telah salah menafsirkan hadits di atas… Hadits di atas memang benar, tapi kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memutuskan bahwa semua bid’ah sesat” (yang bercetak tebal ini adalah ucapan salah seorang ‘habib’ yang sedang produktif menulis buku-buku demi melegitimasi berbagai bid’ah, yang kalaulah tidak karena khawatir bukunya jadi terkenal, niscaya penulis cantumkan di sini). Subhaanallaah!! alangkah beraninya ia mengoreksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …!? Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu orang yang tak fasih berbicara, hingga sabdanya yang seterang matahari di siang bolong ini masih harus dipelintar-pelintir kesana kemari? Tak cukup sampai di sini, si ‘habib’ malah membikin kebohongan atas nama sahabat dengan mengatakan bahwa mereka memahami sabda Nabi tadi dengan menyisipkan kata: ‘yang bertentangan dengan syari’at’ antara kata ‘bid’ah’ dan ‘dholalah’, jadi menurutnya, pemahaman para sahabat ialah bahwa setiap bid’ah yang bertentangan dengan syari’at itu sesat. Ia hendak membentuk opini bahwa jika bid’ah itu tidak bertentangan dengan syari’at maka tidak sesat… ‘Audzubillah min hadza!

[21]) Lihat: Shahih Muslim, kitab: Al Jumu’ah, bab: Takhfiefus Shalati wal Khutbah, hadits no 867.

[22]) Lihat Raudhatun Nadhir 2/15, Irsyadul Fuhul 1/113.

[23]) Lihat H.R. Bukhari dalam Shahihnya no 7290, dan Muslim no 781, dari sahabat Zaid bin Tsabit.

[24]) As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy –rahimahullah– menjelaskan:

ومُحْدَثَاتُ الأُمُورِ : مَا ابتَدَعَهُ أَهْلُ الأَهْوَاءِ مِنَ الأَشْيَاءِ الَّتِي كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ عَلىَ غَيْرِهَا (انظر: تاج العروس, مادة: بدع؛ وكذا في اللسان 9/158؛ وتهذيب اللغة)

Muhdatsaatul umuur ialah bid’ah-bid’ah yang dimunculkan oleh para pengikut hawa nafsu, yaitu berupa hal-hal yang para salaf tidak pernah melakukannya (Lihat:Taajul ‘Aruus; demikian juga dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan Tahdziebul Lughah).

[25]) Lihat Sunan At Tirmidzi, kitab Al Manaqib, bab: fie manaqib Abi Bakr wa Umar, hadits nomor 3595. Hadits senada juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Mas’ud dalam kitab yang sama, bab: manaqib Abdillah bin Mas’ud (no 3741). Demikian pula dalam Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, bab: Fazhlu Abi Bakr wa Umar (no 94). Dari sekian jalur ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkannya, lihat (Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, hadits no 3662,3663).

[26]) Anda dapat merujuk sebagian besar dari perkataan Imam Syafi’i tadi dalam muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, tulisan Al ‘Allaamah Muhammad Nashieruddien Al Albani, rahimahullah.

Post a Comment for "Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (2)"