F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-174 Jaalah (Sayembara) Bag. 01

Audio ke-174 Jaalah (Sayembara) Bag. 01
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 6 Rabi’ul Awwal 1446H | 10 September 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-174
https://drive.google.com/file/d/16-BEhTti3Kl2aEdyXswNZIOFgHriiY_E/view?usp=sharing

Ja'alah (Sayembara) Bagian Pertama


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Pada kesempatan kali ini kita memasuki satu bab pembahasan baru yaitu bab Ja'alah ( الجعالة ) atau yang dalam praktek masyarakat serupa dengan sayembara yaitu adanya orang yang berkomitmen untuk memberikan satu imbalan, bagi siapapun yang bisa melakukan suatu pekerjaan.

Sebagai contoh, ketika ada seorang yang mengatakan, "Barang siapa yang bisa menemukan barang milik saya yang hilang, maka dia akan saya beri imbalan sekian juta rupiah”.

Atau dengan mengatakan, "Jika engkau bisa mengerjakan pekerjaan ini atau melakukan pekerjaan ini, misalnya membangun 1 rumah, atau membangun satu bangunan, atau menggali sumur, jika engkau bisa menggali sumur yang mengeluarkan air, yang airnya itu melimpah, maka aku akan beri engkau sekian rupiah".

Namun bila dia tidak berhasil mendapatkan air, walaupun dia telah menggali, walaupun dia telah bekerja namun dia tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Misalnya tadi tidak bisa menemukan air atau tidak bisa mengembalikan atau menemukan barang yang hilang, maka dia tidak berhak mendapatkan apapun.

Adanya komitmen semacam ini dalam istilah para ahli Fiqih disebut dengan ja’alah, yaitu adanya satu pihak yang jaa'ala, berkomitmen untuk memberikan suatu imbalan bagi siapapun yang bisa melakukan suatu pekerjaan atau menghasilkan suatu barang itu disebut dengan akad ja’alah.

Dalam literasi fiqih Syafi'i bab ja’alah ini diposisikan setelah bab Ijaroh, setelah bab sewa menyewa. Karena secara tinjauan logika fiqih, menurut para fuqaha syafi'iyah, Ja’alah ini sejatinya adalah akad turunan dari akad Ijaroh (sewa-menyewa).

Kenapa demikian, karena objek akad pada Ja’alah itu adalah jasa, jual beli jasa yaitu pihak kedua menjual jasanya melakukan suatu tindakan, menemukan barang yang hilang atau mengerjakan suatu pekerjaan dengan imbalan yang akan diberikan oleh pihak pertama.

Bedanya dalam akad sewa-menyewa yang normal pekerjaan itu atau jasa yang dilakukan itu transparan, jelas batasannya, waktunya, dan satuannya. Tetapi dalam akad Ja’alah, pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan suatu barang atau menghasilkan suatu barang tidak bisa dideskripsikan, tidak bisa dijelaskan dengan gamblang.

Karena pihak pertama yang memberikan komitmen tersebut tidak bisa menjelaskan dengan apa dan bagaimana pihak kedua bisa mendapatkan barang yang diinginkan. Alias pemilik barang yang kehilangan tadi yang mengatakan, "siapapun yang bisa mengembalikan barang saya yang hilang, akan saya beri dia upah imbalan Rp 100.000.000", misalnya.

Ternyata pihak pertama tadi tidak mampu menjelaskan dari mana barang itu akan ditemukan, bagaimana, dan kapan bisa ditemukan. Ini disebut dengan Ja’alah.

Ini perbedaannya, amalannya tidak dapat dideskripsikan dengan jelas sebagai konsekwensinya karena amalannya tidak dapat dideskripsikan dengan jelas, baik oleh pihak pertama ataupun pihak kedua, sebagai pihak kedua, sebagai pelaku (pelaksana) yang mengerjakan pekerjaan maka imbalannya pun juga tidak jelas.

Dalam arti tidak pasti diberikan karena imbalan itu hanya diberikan kalau dia berhasil mengerjakan, mendapatkan barang yang hilang tersebut, mengembalikan barang yang hilang. Tetapi kalau dia gagal maka dia tidak berhak mendapatkan imbalan.

Contoh lain misalnya, ketika ada seorang yang berkata kepada seorang tabib, seorang dokter, "Obatilah keluargaku ini, kalau dia sembuh anda akan saya beri Rp 100.000.000".

Tapi kalau dia tidak sembuh dari penyakitnya, walaupun dia sudah berbuat, walaupun dia sudah melakukan terapi, memberikan pengobatan tetapi ternyata tidak sembuh maka dia tidak mendapatkan hak atau tidak berhak mendapatkan imbalan tersebut.

Dan juga tidak ada hak dia untuk mengajukan gugatan di pengadilan karena memang dia tidak bisa melakukan apa yang diinginkan, yang dipersyaratkan dalam akad ataupun kesepakatan. Model-model semacam ini disebut dengan Ja’alah.

Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya mohon maaf

بالله التوفق والهداية
السلام عليكم ورحمه الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+