🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 1 Rabi’ul Awwal 1446H | 5 September 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-171
https://drive.google.com/file/d/1-057JeKXGmmlydujKhy8lbUBlwnHj074/view?usp=sharingIjaroh (Sewa Menyewa) Bagian Kedelapan
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Masih bersama pembahasan tentang sewa-menyewa.
Al-Muallif pada sesi sebelumnya telah menjelaskan bahwa:
وإطلاقها يقتضي تعجيل الأجرة، إلا أن يُشْتَرَطَ التأجيل
Ketika suatu akad sewa-menyewa itu telah dilangsungkan dan pada akad itu tidak ada penjelasan dengan lebih lanjut perihal pembayaran uang sewa. Maka hukum asal akad sewa-menyewa, penyewa idealnya, hukum asalnya dia harus melakukan pembayaran uang sewa tunai di saat akad sewa menyewa dilangsungkan.
Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa sewa-menyewa itu adalah salah satu model dari akad jual-beli. Sebagaimana dalam akad jual-beli ketika tidak ada persyaratan untuk menunda pembayaran maka idealnya pembeli harus segera menyerahkan uang pembayarannya, sebagaimana penjual harus segera menyerahkan barang yang dia jual.
Karena telah dijelaskan berkali-kali bahwa jual-beli itu satu akad yang berkonsekuensi memindahkan kepemilikan, memindahkan hak. Hak barang dari penjual kepada pembeli, hak atas uang dari pembeli kepada penjual, dan adanya perpindahan barang ini atau yang disebut dalam literasi ilmu fiqih dengan mu'awadhah.
Mu’awadhah (pertukaran barang) itu bersifat otomatis dan spontanitas, tatkala ada ijab ada qabul ada penawaran, "Saya jual kepada Anda" dan kemudian ada jawaban respon dari pembeli dan mengatakan, "Iya, saya terima pembeliannya", maka spontan hukum-hukum yang berlaku pada jual-beli berlaku dan harus segera dilaksanakan.
Demikian pula halnya sewa-menyewa. Karena sekali lagi sewa-menyewa itu adalah salah satu bentuk dari jual-beli. Para ulama juga telah menjelaskan, bahwa adanya perpindahan kepemilikan adanya kewajiban serah terima barang, serah terima pembayaran, pada akad jual-beli ataupun sewa-menyewa ini adalah salah satu konsekuensi dari hukum wadh'iyyah atau yang disebut dengan hukum sebab akibat.
Acapkali suatu sebab telah dilakukan maka akibatnya akan segera terwujud tanpa ada penundaan tanpa ada jeda sedikit pun, sebagaimana halnya hukum sebab-akibat yang lainnya.
Ketika seorang yang berwudhu misalnya sekedar dia selesai dari berwudhu, maka segera pula status sebagai orang yang telah bersuci atau yang disebut dengan thaharah terwujud pada dirinya.
Sehingga dia segera boleh menunaikan shalat, melakukan ibadah-ibadah yang harus dilakukan dalam kondisi suci. Sebagaimana ketika orang itu buang hadats maka wudhunya akan segera batal tanpa ada jeda sedikit pun.
Adanya kewajiban serah terima barang, serah terima pembayaran dalam jual-beli, demikian pula dalam sewa-menyewa. Penyewa berkewajiban segera melakukan pembayaran, sebagaimana pemilik barang segera harus menyerahkan barangnya untuk bisa dimanfaatkan oleh penyewa.
Ini hukum asalnya, selama tidak ada perincian tidak ada klausul yang merinci, tidak ada kesepakatan yang menyelisihi dari hukum asal ini, maka hukum asal ini akan berlangsung atau berlaku dan harus diindahkan oleh kedua belah pihak.
Kecuali bila ada kesepakatan, ada persyaratan bahwa penyewa akan melakukan pembayaran uang sewa dalam waktu tertentu. Baik ditunda sekali pembayaran atau dilakukan pembayaran secara berkala.
Demikian pula sebaliknya pemilik barang yang disewakan hukum asalnya dia setelah akad sewa menyewa telah disepakati, telah dijalin, dia idealnya harus segera menyerahkan barang untuk bisa dimanfaatkan oleh penyewa.
Kecuali bila ada persyaratan bahwa barang tersebut akan diserahkan sehingga bisa dimanfaatkan oleh penyewa setelah sekian lama waktunya, misalnya setelah sepekan, atau sewa menyewa itu akan berlangsung terhitung dari tanggal sekian satu bulan ke depan, misalnya.
Kalau ada kesepakatan semacam ini maka kesepakatan ini mengubah ketentuan dasar, sehingga walaupun akad sewa-menyewa telah terjalin, ada kata ijab dan ada qabul (saya sewakan dan saya menyewa) ada kata sepakat, tetapi konsekuensi dari akad itu tertunda seiring dengan kesepakatan atau persyaratan yang telah disepakati antara kedua belah pihak.
Sejalan dengan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
"Seluruh kaum muslimin hukum asalnya berkewajiban memenuhi atau berkewajiban menjalankan persyaratan yang telah disepakati.
إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَّمَ ، أو حَرَامًا حَلَالًا
Kecuali persyaratan yang melanggar aturan syari'at, sehingga menyebabkan mereka terjerumus dalam menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal." [HR. Sunan Tirmidzi]
Maka persyaratan yang menyimpang dan bahkan bertabrakan dengan tuntunan syari'at ini tidak boleh dilakukan, tidak boleh dijalankan. Karena setiap manusia tidak dibenarkan untuk keluar dari tuntunan dan aturan syari'at.
Karena itu kalau ada persyaratan semacam ini, itu dianggap gugur atau yang disebut dengan batal demi hukum.
Kemudian Al-Muallif rahimahullāh ta'āla mengatakan:
إلا أن يشترط التأجيل
"Kecuali bila ada persyaratan penundaan pembayaran."
Al-Muallif rahimahullāh ta'āla di sini hanya menjelaskan tentang kewajiban melakukan pembayaran. Bahwa kewajiban pembayaran itu harus dilakukan setelah akad. Hukum asalnya demikian, kecuali bila ada klausul kesepakatan boleh ditunda.
Al-Muallif (Imam Abu Syuja) tidak menjelaskan tentang kapan pemilik barang harus menyerahkan barangnya untuk dimanfaatkan, diambil gunanya oleh penyewa.
Kenapa? Karena hukum asalnya akad sewa-menyewa itu atau serah terima hak guna atau jasa, itu dilakukan pada waktu yang akan datang. Karena memang jasa atau hak guna barang itu hanya bisa didapat hanya bisa dimanfaatkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu (dalam waktu yang telah disepakati).
Kalau dalam pembayaran saja boleh ada kesepakatan penundaan pembayaran, maka demikian pula halnya dengan serah terima barang yang menjadi objek sewa menyewa. Karena memang secara alami barang itu hanya akan bisa dimanfaatkan di masa yang akan mendatang.
Demikian pula kalau ternyata ada kesempatan bahwa pemanfaatan barang tersebut terhitung sejak tanggal sekian dan tanggal sekian, sebagaimana yang terjadi zaman sekarang misalnya ketika Anda pesan kamar hotel atau Anda membeli tiket pesawat, kereta, atau yang lainnya. Maka Anda menentukan tanggal kepergian Anda mungkin sebulan yang akan datang.
Sehingga walaupun Anda telah membeli tiket, telah membooking kamar hotel dan Anda telah melakukan pembayaran tunai, tetapi pihak kedua pemilik layanan transportasi (perusahaan transportasi) ataupun pemilik hotel hanya berkewajiban untuk melayani Anda, memberikan kesempatan kepada Anda untuk memanfaatkan fasilitas mereka yaitu (hotel ataupun maskapai yang mereka miliki) pada waktu yang telah Anda pilih yaitu satu bulan yang akan datang.
Sehingga secara teori, dengan menyebutkan bahwa boleh menunda pembayaran, itu sudah cukup mewakili untuk menjelaskan bolehnya menunda serah terima barang untuk dimanfaatkan oleh penyewa.
Karena itu di sini Al-Muallif hanya menyebutkan satu poin saja karena untuk poin kedua yaitu serah terima barang (pemanfaatan barang) itu secara otomatis hanya bisa dilakukan di masa yang akan datang dan tidak mungkin bisa diserahkan di saat transaksi.
Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment