Enam Perkara Yang Harus Diwaspadai
أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا : إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ وَ سَفْكَ الدَّمِ وَ بَيْعَ الْحُكْمِ وَ قَطِيْعَةَ الرَّحْمِ وَ نَشْوًا يَتَّخِذُوْنَ الْقُرْآنَ مَزَامِيْرَ وَ كَثْرَةَ الشُّرَطِ
“Aku mengkhawatir atas kalian enam perkara: imarah sufaha (orang-orang yang bodoh menjadi pemimpin), menumpahkan darah, jual beli hukum, memutuskan silaturahim, anak-anak muda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling, dan banyaknya algojo (yang zalim).” (HR. Ath Thabrani)[1]
Dalam hadits ini Nabi mengkhawatirkan enam perkara atas umatnya yaitu:
1. Orang-Orang Bodoh Menjadi Pemimpin (Imarah Sufaha)
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan imarah sufaha, beliau bersabda kepada Ka’ab bin ‘Ujrah
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan adanya imarah sufaha, karena mereka tidak mau mengambil petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peraturan, sehingga hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dikesampingkan. Akibatnya, rusaklah kehidupan, padahal hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kehidupan untuk manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru orang-orang yang berakal agar berpikir, bahwa hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kehidupan untuk manusia. Dalam kasus pembunuhan misalnya, bila ditegakkan qishash, maka orang akan berpikir dua belas kali sebelum melakukannya, karena balasannya adalah dibunuh kembali. Pencuri akan jera, dan orang pun akan meninggalkan zina, dan manusia tidak akan berani menzalimi orang lain, karena akan diberi hukuman yang setimpal. Berbeda bila hanya dipenjara, mereka tak akan pernah jera, bahkan akan semakin merajalela.
Dalam pemilihan pemimpin, Islam memerintahkan untuk menyerahkan kepada ahlul hilli wal ‘aqdi yang berisi para alim ulama dan orang-orang yang berpengalaman, agar memilih pemimpin yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Salah satu kualifikasi di antaranya harus seorang mujtahid, luas pengetahuannya, sehat jasmani dan rohaninya, adil, menguasai taktik perang, dan lain-lain. Berbeda bila diserahkan kepada rakyat, maka yang dapat menjadi pemimpin adalah yang paling banyak suara dan uangnya, walaupun ia berhati setan dan berbadan manusia, sehingga tidak akan mungkin lepas dari korupsi dan manipulasi, karena besarnya uang yang dibutuhkan untuk pencalonan. Bila uang itu digunakan untuk pembangunan negara, tentu akan lebih bermanfaat dari pada dihambur-hamburkan untuk mencari masa.
Islam amat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan menghilangkan kemudharatan dari mereka, menghancurkan kezaliman dan melarang tindakan semena-mena, cobalah dengarkan khutbah Abu Bakar radhiallahu’anhu, ketika beliau diangkat menjadi khalifah,
“Wahai hadirin, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu. Namun aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat kesalahan, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat di sisiku, sampai aku kembalikan haknya insya Allah. Sedangkan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di sisiku, sampai aku ambil hak (zakat) darinya insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah tersebar zina pada suatu kaum, kecuali Allah akan meratakan adzab-Nya kepada mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan apabila aku memaksiati Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kamu kepadaku.”[4]
2. Menumpahkan Darah
Menumpahkan darah adalah dosa yang amat besar di sisi Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala telah melarang menumpahkan darah dalam beberapa ayat-Nya, di antaranya Allah berfirman,
وَلاَتَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلاَيُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
Allah Ta’ala menyebutkan bahwa membunuh seorang manusia dengan tanpa alasan yang benar, sama dengan membunuh semua manusia, Allah Ta’ala berfirman,
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِى إِسْرَاءِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya barangsiapa yang membunuh jiwa dengan tanpa alasan seperti qishas, atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia semuanya, karena tidak ada bedanya bagi dia suatu jiwa dengan jiwa lainnya..”
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar adalah salah satu perkara yang membinasakan, beliau bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Karena jiwa seorang muslim lebih berharga dari dunia dan seisinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا
3. Jual Beli Hukum
Yang dimaksud dengan jual beli hukum adalah suap-menyuap agar seorang hakim tidak menghukumi dengan hukum yang adil, dan ini adalah dosa yang besar dan mendatangkan laknat Allah Ta’ala. Karena kewajiban hakim adalah menghukumi manusia dengan ‘adil sesuai dengan Alquran dan sunah, maka jika hukum dapat dibeli dengan uang, akan hancurlah negeri dan binasalah manusia, kebatilan akan merajalela dan berakhir dengan datangnya adzab Allah ‘Azza wa Jalla.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat orang yang memberi uang suap dan yang menerimanya, beliau bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
Hadis ini tegas melarang risywah (suap menyuap) dan pelakunya berhak mendapatkan laknat dari Allah Ta’ala, karena keduanya saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata[7], “Oleh karena itu, para ulama berkata, ‘Siapa saja yang memberikan hadiah untuk pejabat negara dengan tujuan agar ia melakukan sesuatu yang tidak boleh, maka ia adalah haram bagi orang yang memberikan hadiah dan yang diberi hadiah dan ini termasuk risywah (suap menyuap) yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى
Adapun jika ia memberi hadiah untuk menghindari kezalimannya atau memberikan kepadanya haknya yang wajib, maka hadiah tersebut haram bagi orang yang menerimanya saja, dan boleh bagi orang yang memberinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنِّيْ لَأُعْطِى أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلِمَ تُعْطِيْهِمْ؟ قَالَ : يَأْبُوْنَ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلُوْنِيْ وَيَأْبَى اللهُ لِيَ الْبُخْلَ
Dan yang masuk dalam masalah ini adalah yang disebut dengan hadaya al ‘Ummaal (hadiah untuk pejabat/ uang pelicin) dalam hadis berikut ini:
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سُفْيَانُ أَيْضًا فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar, lalu memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda, “Ada apa dengan seorang pegawai yang kami utus?” Lalu ia datang dan berkata, “Ini untukmu dan ini untukku.” “Mengapa ia tidak duduk sajadi rumah ayah dan ibunya untuk melihat apakah akan diberikan hadiah untuknya atau tidak?! Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah ia datang membawa sesuatu kecuali ia akan datang pada hari kiamat sambil membawanya di atas lehernya, berupa sesuatu yang bersuara (rugha), sapi yang berkoar dan kambing yang mengembik. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putihnya ketiak beliau seraya bersabda, “Bukankah aku telah menyampaikannya?” 3x. (HR Bukhari dan Muslim).
4. Memutuskan silaturahim.
Islam memerintahkan untuk menyambung silaturrahim kepada orang-orang yang mempunyai kekerabatan dengan kita, dan memberikan pahala yang besar bagi yang mengamalkannya, bahkan ia termasuk perintah Allah yang paling agung, dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang urgen, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah jika kamu mau,
‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka, dan dibutakan penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 22-24)
Allah telah menjanjikan pahala besar bagi orang yang menyambung silaturahim di akhirat kelak, dan menganugerahkan karunia yang besar di dalam kehidupan dunia. Di antara keutamaan silaturrahim adalah sebagai kesempurnaan iman seorang hamba. Nabi shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Di antaranya juga bahwa silaturahim dapat meluaskan rizki dan memanjangkan umur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Dan hendaknya, kita memperhatikan adab-adab yang harus dijaga dalam silaturahim, diantara adab-adab itu adalah:
Adab pertama: Niat yang iklash, dan tidak mengharapkan keuntungan duniawi belaka.
Karena Allah tidak akan menerima amalan yang tidak ikhlas, bahkan meleburkan pahala orang yang hanya berharap keuntungan duniawi, Allah Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ {15} أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ {16}
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan atas pekerjaan mereka di dunia, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali Neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Adab kedua: Mendahulukan yang paling dekat kekerabatannya.
Semakin dekat kekerabatan, maka menyambungnya semakin wajib, maka bila seseorang misalnya menyambung silaturahim dengan anak pamannya, namun malah memutuskan silaturahim dengan kakak atau adiknya, orang seperti ini tentunya tidak dianggap bijak. Abu Hurairah berkata,
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan baik adalah kerabat kita yang paling dekat, maka seorang muslim yang faqih tentunya akan mencari yang paling besar pahalanya.
Adab ketiga: Jangan ber-silaturahim hanya karena untuk membalas kebaikan saja.
Karena hakikat silaturahim adalah untuk mengharapkan keridhaan Allah dengan berbagai bentuk usaha yang mungkin dilakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
Dan berusaha menyambung silaturahim yang diputuskan adalah amalan yang amat agung pahalanya, karena kebanyakan manusia bila diputuskan silaturahim-nya, akan segera membalas dengan perbuatan yang serupa. Disebutkan di dalam hadis bahwa seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat yang aku berusaha menyambung rahimnya namun mereka malah memutuskannya, dan aku berusaha berbuat baik kepadanya, namun mereka malah berbuat buruk kepadaku, dan aku berusaha berlemah lembut terhadap mereka, namun mereka berbuat jahil kepadaku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ.
Adab keempat: Mendahulukan bersedekah kepada kerabat yang paling dekat jika mereka membutuhkan.
Anas radhiallahu’anhu berkata, “Abu Thalhah adalah kaum anshar yang paling banyak hartanya, dan hartanya yang paling ia sukai adalah Bairaha yang berada di depan masjid. Rasulullah suka memasukinya dan minum dari airnya yang segar, ketika turun ayat,
لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Abu Thalhah bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kamu tidak akan mencapai kebaikan sampai menginfakkan apa yang kamu cintai’. Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha, dan sesungguhnya aku sedekahkan ia untuk Allah Ta’ala. Aku berharap kebaikan dan pahalanya di sisi Allah, maka letakkanlah ia sesuai keinginanmu wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada seseorang:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap sedekah kepada kerabat yang menyimpan kebencian dan permusuhan sebagai sedekah yang paling utama, beliau bersabda:
إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ
5. Anak-anak Muda yang Menjadikan Alquran Sebagai Seruling-seruling
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan adanya pemuda-pemuda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling, namun dalam hadis lain beliau menganjurkan untuk membaguskan suara ketika membaca Alquran, sabdanya:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “taghanni“, sebagian mereka mengatakan bahwa maknanya adalah mencukupkan diri dengan Alquran, sebagian lagi mengatakan bahwa maknanya adalah membacanya dengan nada sedih, sebagian lagi mengatakan bahwa maknanya adalah membaguskan suara ketika baca Alquran dan pendapat-pendapat lainnya. Namun Al Hafidz berpendapat bahwa makna-makna itu masuk kedalam hadis tersebut, beliau berkata,
والحاصل أنه يمكن الجمع بين أكثر التأويلات المذكورة وهو أنه يحسن به صوته جاهرا به مترنما على طريق التحزن مستغنيا به عن غيره من الأخبار طالبا به غنى النفس..
“Walhasil, semua pendapat-pendapat tersebut dapat dikumpulkan, yaitu membaguskan dan mengeraskan suaranya dengan nada sedih, mencukupkan diri dengannya dan tidak membutuhkan yang lainnya, mencari kekayaan jiwa dengannya..[13]
Dan membaguskan suara dalam membaca Alquran bukanlah dengan nada-nada yang diada-adakan sebagaimana yang kita lihat di zaman ini. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
المطلوب شرعا إنما هو التحسين بالصوت الباعث على تدبر القرآن وتفهمه والخشوع والخضوع والإنقياد للطاعة فأما الأصوات بالنغمات المحدثة المركبة على الأوزان والأوضاع الملهية والقانون الموسيقائى فالقرآن ينزه عن هذا ويجل ويعظم أن يسلك فى أدائه هذا المذهب
Terlebih bila nada-nada tersebut menyerupai nyanyian, maka ini diharamkan karena mengandung nilai tasyabbuh (menyerupai) orang-orang fasiq, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Seorang mukmin tidak boleh membaca Alquran dengan nada menyanyi dan cara-cara para penyanyi. Kewajiban ia adalah membacanya sebagaimana salafushalih dari para shahabat dahulu membacanya, yaitu dengan secara tartil, nada sedih dan khusyu sehingga berpengaruh kepada hati orang yang mendengarnya.”[15]
Dan inilah yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang telah berlalu, yaitu adanya para pemuda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling. Karena membaca Alquran dengan nada-nada yang diindah-indahkan bagaikan nyanyian, amat mudah menjerumuskan pelakunya kepada riya’ dan keinginan untuk populer.
6. Banyaknya Algojo (yang zalim)
Para algojo yang zalim yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis lain:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Syaikh Abdur Rauf Al Munawi berkata, “(Mereka adalah) suatu kaum yang membawa cambuk yang tidak diperbolehkan untuk memukulnya dalam menegakkan hadd, namun ia sengaja melakukannya untuk menyiksa manusia, mereka adalah para algojo yang dikenal dengan nama Al Jallaadiin (yang suka mencambuk). Apabila mereka diperintahkan untuk memukul, mereka melakukannya melebihi batasan yang disyariatkan, bahkan seringkali menyebabkan orang yang dipukulnya binasa..”[16]
Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com dari enam artikel
[1] Dalam Al Mu’jamul Kabiir 18/57 no 105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami’ Ash Shagier no 216.
[2] Hadits shahih, Lihat shahih Targhib wattarhib no 2242.
[3]Hadits hasan, Lihat silsilah shahihah no 231.
[4] Al Bidayah wan Nihayah 5/269, ibnu Katsir berkata: “Sanadnya shahih”.
[5] Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Shahih Targhib no 2440, dari hadits Buraidah.
[6] Dikeluarkan oleh Ahmad no 9019, At Tirmidzi (no 1337) dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah dla’ifah (3/382).
[7] Majmu’ fatawa 31/286.
[8] Ahmad dalam musnadnya 2/387 no 9011. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani di dalam shahih Jami’ shogier no 5093..
[9] Ahmad dalam musnadnya 3 / 4 no 11017, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib wattarhib no 815.
[10] Bukhari no 6138, dan Muslim no 47.
[11] Bukhari no 5986 dan Muslim no 2557.
[12] Ahmad dalam musnadnya no 23577 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam irwaul ghalil no 892.
[13]Ibnu Hajar, Fathul Baari 9/72.
[14] Ibnu Katsir, Fadla-il Al Qur’an 1/114.
[15] Ibnu Baz, Majmu’ fatawa 9/290.
[16] Faidlul Qadiir 4/275.
Post a Comment