Sejak dahulu, sebelum datangnya Islam, bangsa arab telah menggunakan tahun kamariah. Hanya saja, tidak semua masyarakat jahiliah di seluruh penjuru Jazirah Arab sepakat dalam menentukan kalender tertentu, sehingga penanggalan mereka berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka mengenal kalender kamariah, dan mereka menggunakan konsep ini untuk membuat penanggalan bagi suku mereka masing-masing.
Kalender kamariah, yang mereka kenal sejak zaman dahulu, sama dengan kalender kamariah yang berlaku saat ini. Dalam satu tahun, ada dua belas bulan, dan awal bulan ditentukan berdasarkan terbitnya hilal (bulan sabit pertama). Mereka menetapkan bulan Muharram sebagai awal tahun. Mereka juga menetapkan empat bulan haram (bulan suci). Mereka menghormati bulan-bulan haram ini. Mereka jadikan empat bulan haram sebagai masa dilarangnya berperang antar-suku dan golongan.
Asal penamaan bulan pada kalender kamariah
Tabel berikut merupakan daftar nama-nama bulan kamariah dari berbagai versi:
Panamaan bulan kamariah yang berlaku saat ini–menurut pendapat yang kuat–telah ada sejak awal abad kelima Masehi. Ada yang mengatakan, bahwa yang menetapkan pertama kali adalah Ka’ab bin Murrah, kakek kelima Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada lima bulan (Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, dan Ramadhan) yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut. Rabi’ul Awal dan Akhir diambil dari kata “rabi’” yang artinya ‘semi’, karena ketika penamaan bulan Rabi’ bertepatan dengan musim semi. Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata “jamad”, yang artinya ‘beku’, karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, yang saat itu air membeku. Sedangkan Ramadhan diambil dari kata “ramdha’”, yang artinya ‘sangat panas’, karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.
Tujuh bulan lainnya dinamai dengan nama keadaan masyarakat dan siklus sosial. Muharram, dari kata “haram”, yang artinya ‘suci’, karena bulan ini termasuk salah satu di antara empat bulan suci. Shafar, diambil dari kata “shifr”, yang artinya ‘nol’ atau ‘kosong’. Dinamakan “Shafar”, karena pada bulan ini rumah-rumah banyak yang kosong ditinggalkan penghuninya untuk berperang. Rajab, secara bahasa artinya ‘mengagungkan’, karena masyarakat jahiliah sangat mengagungkan bulan ini, dan dijadikan sebagai masa sangat terlarang untuk berperang. Karena itu, mereka menyebut bulan ini dengan “Rajab Al-A’sham” (Rajab yang sunyi).
Demikian pula, bulan Sya’ban. Kata ini diambil dari kata “sya’bun”, yang artinya ‘kelompok’ atau ‘golongan’. Disebut Sya’ban, karena pada bulan ini masyarakat jahiliah berpencar, membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan peperangan, setelah mereka meninggalkan perang di bulan Rajab. Syawal, diambil dari kata “syalat” yang artinya ‘mengangkat’, karena bulan ini adalah musim di saat unta betina mengangkat ekor mereka karena tidak mau dikawini pejantan. Sementara “Dzulqa’dah” diambil dari kata “al-qa’du”, yang artinya ‘duduk’. Pada bulan ini, masyarakat jahiliah mulai menetap di rumah dan tidak melakukan peperangan, karena bulan ini merupakan awal dari tiga rangkaian bulan haram. Sedangkan Dzulhijjah diambil dari nama ibadah mereka di bulan ini, yaitu berhaji ke Baitullah (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Bagaimana orang arab mencatat sejarah mereka?
Masyarakat Arab tidak memiliki sistem penanggalan yang stabil. Antara satu suku dengan suku yang lain memiliki penanggalan yang berbeda. Ini menyebabkan ketidakseragaman pencatatan tanggal kejadian dan sejarah di zaman jahiliah. Meskipun mereka mencatat kejadian tersebut, namun sebatas secara cerita global, dengan acuan urutan kejadian. Misalnya: Kejadian meninggalnya pemimpin besar mereka, Ka’ab bin Luai sebelum Peristiwa Gajah, Perang Fijar terjadi sekian tahun setelah Peristiwa Gajah, dan seterusnya.
Sistem penanggalan di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Setelah Islam tersebar melalui dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun kamariah ditetapkan dengan awal tahun, dimulai dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Hanya saja, awal tahun dan hitungan tahun yang tetap belum ditentukan, sehingga kaum muslimin menyebut tahun dalam perjalanan hidup mereka dengan nama kejadian paling penting di tahun tersebut. Mereka memberikan nama-nama tahun sebagai berikut:
Tahun pertama: Tahun Izin, karena telah diturunkan izin untuk hijrah dari Mekah ke Madinah.
Tahun kedua: Tahun Al-Amr (perintah), karena telah turun perintah untuk memerangi orang kafir.
Tahun ketiga: Tahun At-Tamhis (pembersihan), karena Allah membersihkan dosa dan kesalahan kaum muslimin setelah kejadian Perang Uhud.
Tahun keempat: Tahun Tarfi`ah (kesepakatan). Dari kata “ra-fa-a”, yang artinya ‘perjanjian damai antara dua kelompok’. Tahun kelima: Tahun Zilzal (goncangan), sebagai isyarat atas ujian yang dialami kaum muslimin ketika Perang Khandak.
Tahun keenam: Tahun Isti’nas (meminta izin), yang mengisyaratkan kejadian turunnya firman Allah, yang artinya, “Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian, sampai kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur:28)
Tahun ketujuh: Tahun Istighlab (kemenangan), karena di tahun ini, kaum muslimin berhasil mengalahkan orang yahudi daerah Khaibar.
Tahun kedelapan: Tahun Istiwa’ (berjaya). Inilah tahun terjadinya Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah).
Tahun kesembilan: Tahun Al-Bara`ah (berlepas diri), yaitu tahun dilaksanakannya Haji Akbar, dan turun ayat yang menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari kaum musyrikin. Tahun ini juga sering disebut dengan “Tahun Wufud” (tamu), karena pada tahun ini, masyarakat Arab dari berbagai penjuru banyak berdatangan ke Madinah dengan berbondong-bondong, untuk menyatakan keislaman mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tahun kesepuluh: Tahun Al-Wada’ (perpisahan). Di tahun ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Haji Wada’. (Arsip Multaqa Ahlil Hadits, tanggal 14 Maret 2005)
Sistem penanggalan di masa sahabat
Di masa Khulafaur Rasyidun, sistem ketatanegaraan kerajaan islam, sedikit demi sedikit, mulai dirapikan, menyesuaikan perkembangan sistem ketatanegaraan yang berlaku di penjuru dunia, selama tidak melanggar aturan islam. Korespondensi antar-negara telah dilangsungkan berulang kali. Namun, yang bermasalah, kaum muslimin tidak memiliki hitungan tahun yang tetap. Akibatnya, terkadang masing-masing memiliki nama tahun yang berbeda-beda. Ini berlangsung di masa Khalifah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dan beberapa tahun di masa pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu. Sehingga kita kenal, ada istilah “Tahun Tha’un”, karena pada tahun tersebut, terjadi wabah tha’un yang menyebar di berbagai daerah.
Sampai akhirnya di tahun ketiga pada masa kekhalifahan Umar, datanglah sebuah surat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu–sahabat yang ditugasi menjadi gubernur di Bashrah–yang isinya, “Sesungguhnya, surat-surat dari Amirul Mukminin (Umar) sering datang kepada kami. Namun kami tidak tahu, kapankah kami harus melaksanakan instruksi surat tersebut. Pernah kami mendapat surat yang ditulis di bulan Sya’ban, dan kami tidak tahu apakah itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Seketika itu, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu langsung mengumpulkan para sahabat senior untuk membahas masalah ini. Pertemuan ini dilangsungkan pada tanggal 20 Jumadil Akhir, tahun 17 Hijriah. Mereka sepakat akan mendesaknya proses penentuan penanggalan sebagai acuan kalender islam. Dimulai dari penentuan tahun pertama. Ada yang mengusulkan, tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tahun pertama, ada yang mengusulkan dengan tahun diutusnya beliau menjadi rasul, ada yang usul menggunakan kalender romawi atau persia, dan ada beberapa usulan lainnya.
Akhirnya, terbentuklah sebuah keputusan dengan mengambil pendapatnya Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang mengusulkan tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah, sebagai tahun pertama. Sementara keputusan penentuan bulan yang pertama diambil berdasarkan pendapat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, untuk menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam Islam, karena bulan ini merupakan awal tahun pada kalender arab sebelum Islam.
Di samping itu, Muharram termasuk salah satu bulan haram dan kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah haji. Penentuan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah juga dibangun atas asumsi bahwa pada bulan itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum berhijrah dan beliau sampai Madinah sebelum Muharram tahun berikutnya. Beliau mulai berangkat hijrah di akhir bulan Shafar, dan beliau sampai di pintu gerbang Madinah pada hari senin, tanggal 8 Rabiul Awal, kemudian beliau baru masuk Madinah hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awal. Penetapan awal kalender Hijriah bertepatan dengan hari Jumat, tanggal 16 Juli 622 Masehi. (Al-Mufasshal fi Raddi ‘ala Syubuhati A’da Al-Islam, 5:238)
Ditinjau dari asal penamaannya, kalender ini lazim dikenal dengan “kalender kamariah”, karena prinsip penentuan kalender ini berdasarkan siklus perputaran qamar (bulan). Sementara itu, kelender ini juga sering disebut kalender Hijriah, mengingat sejarah penetapan kalender ini bagi kaum muslimin, dikaitkan dengan peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah.
Artikel:
http://yufidia.com/sejarah-kalender-hijriah
Kalender kamariah, yang mereka kenal sejak zaman dahulu, sama dengan kalender kamariah yang berlaku saat ini. Dalam satu tahun, ada dua belas bulan, dan awal bulan ditentukan berdasarkan terbitnya hilal (bulan sabit pertama). Mereka menetapkan bulan Muharram sebagai awal tahun. Mereka juga menetapkan empat bulan haram (bulan suci). Mereka menghormati bulan-bulan haram ini. Mereka jadikan empat bulan haram sebagai masa dilarangnya berperang antar-suku dan golongan.
Asal penamaan bulan pada kalender kamariah
Tabel berikut merupakan daftar nama-nama bulan kamariah dari berbagai versi:
No | Kalender Kaum Tsamud (riwayat Al-Azdi) | Kalender sebelum datangnya Islam (riwayat Al-Bairuni) | Kalender sebelum datangnya Islam (riwayat Al-Mas’udi) | Kalender sejak tahun 412 H |
1 | Mujab | Al-Mu’tamir | Natiq | Muharram |
2 | Mujir | Najir | Tsaqil | Shafar |
3 | Murid | Khawwan | Thaliq | Rabi’ul Awal |
4 | Mulzim | Shuwan/Bushon | Najir | Rabi'ul Ahir |
5 | Mashdar | Hantam/Hanin/Runna | Simah | Jumadil Ula |
6 | Hawbar | Zuba | Amnah | Jumadil Akhirah |
7 | Hubal | Al-Asham | Ahlak | Rajab |
8 | Muha | Adil | Kusa’ | Sya’ban |
9 | Dimar | Nafiq/Nathil | Zahir | Ramadhan |
10 | Dabir | Waghil/Waghl | Burth | Syawal |
11 | Haifal | Hawa’/Rannah | Harf | Dzulqa’dah |
12 | Musbil | Burk | Na’as | Dzulhijjah |
Panamaan bulan kamariah yang berlaku saat ini–menurut pendapat yang kuat–telah ada sejak awal abad kelima Masehi. Ada yang mengatakan, bahwa yang menetapkan pertama kali adalah Ka’ab bin Murrah, kakek kelima Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada lima bulan (Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, dan Ramadhan) yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut. Rabi’ul Awal dan Akhir diambil dari kata “rabi’” yang artinya ‘semi’, karena ketika penamaan bulan Rabi’ bertepatan dengan musim semi. Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata “jamad”, yang artinya ‘beku’, karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, yang saat itu air membeku. Sedangkan Ramadhan diambil dari kata “ramdha’”, yang artinya ‘sangat panas’, karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.
Tujuh bulan lainnya dinamai dengan nama keadaan masyarakat dan siklus sosial. Muharram, dari kata “haram”, yang artinya ‘suci’, karena bulan ini termasuk salah satu di antara empat bulan suci. Shafar, diambil dari kata “shifr”, yang artinya ‘nol’ atau ‘kosong’. Dinamakan “Shafar”, karena pada bulan ini rumah-rumah banyak yang kosong ditinggalkan penghuninya untuk berperang. Rajab, secara bahasa artinya ‘mengagungkan’, karena masyarakat jahiliah sangat mengagungkan bulan ini, dan dijadikan sebagai masa sangat terlarang untuk berperang. Karena itu, mereka menyebut bulan ini dengan “Rajab Al-A’sham” (Rajab yang sunyi).
Demikian pula, bulan Sya’ban. Kata ini diambil dari kata “sya’bun”, yang artinya ‘kelompok’ atau ‘golongan’. Disebut Sya’ban, karena pada bulan ini masyarakat jahiliah berpencar, membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan peperangan, setelah mereka meninggalkan perang di bulan Rajab. Syawal, diambil dari kata “syalat” yang artinya ‘mengangkat’, karena bulan ini adalah musim di saat unta betina mengangkat ekor mereka karena tidak mau dikawini pejantan. Sementara “Dzulqa’dah” diambil dari kata “al-qa’du”, yang artinya ‘duduk’. Pada bulan ini, masyarakat jahiliah mulai menetap di rumah dan tidak melakukan peperangan, karena bulan ini merupakan awal dari tiga rangkaian bulan haram. Sedangkan Dzulhijjah diambil dari nama ibadah mereka di bulan ini, yaitu berhaji ke Baitullah (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Bagaimana orang arab mencatat sejarah mereka?
Masyarakat Arab tidak memiliki sistem penanggalan yang stabil. Antara satu suku dengan suku yang lain memiliki penanggalan yang berbeda. Ini menyebabkan ketidakseragaman pencatatan tanggal kejadian dan sejarah di zaman jahiliah. Meskipun mereka mencatat kejadian tersebut, namun sebatas secara cerita global, dengan acuan urutan kejadian. Misalnya: Kejadian meninggalnya pemimpin besar mereka, Ka’ab bin Luai sebelum Peristiwa Gajah, Perang Fijar terjadi sekian tahun setelah Peristiwa Gajah, dan seterusnya.
Sistem penanggalan di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Setelah Islam tersebar melalui dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun kamariah ditetapkan dengan awal tahun, dimulai dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Hanya saja, awal tahun dan hitungan tahun yang tetap belum ditentukan, sehingga kaum muslimin menyebut tahun dalam perjalanan hidup mereka dengan nama kejadian paling penting di tahun tersebut. Mereka memberikan nama-nama tahun sebagai berikut:
Tahun pertama: Tahun Izin, karena telah diturunkan izin untuk hijrah dari Mekah ke Madinah.
Tahun kedua: Tahun Al-Amr (perintah), karena telah turun perintah untuk memerangi orang kafir.
Tahun ketiga: Tahun At-Tamhis (pembersihan), karena Allah membersihkan dosa dan kesalahan kaum muslimin setelah kejadian Perang Uhud.
Tahun keempat: Tahun Tarfi`ah (kesepakatan). Dari kata “ra-fa-a”, yang artinya ‘perjanjian damai antara dua kelompok’. Tahun kelima: Tahun Zilzal (goncangan), sebagai isyarat atas ujian yang dialami kaum muslimin ketika Perang Khandak.
Tahun keenam: Tahun Isti’nas (meminta izin), yang mengisyaratkan kejadian turunnya firman Allah, yang artinya, “Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian, sampai kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur:28)
Tahun ketujuh: Tahun Istighlab (kemenangan), karena di tahun ini, kaum muslimin berhasil mengalahkan orang yahudi daerah Khaibar.
Tahun kedelapan: Tahun Istiwa’ (berjaya). Inilah tahun terjadinya Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah).
Tahun kesembilan: Tahun Al-Bara`ah (berlepas diri), yaitu tahun dilaksanakannya Haji Akbar, dan turun ayat yang menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari kaum musyrikin. Tahun ini juga sering disebut dengan “Tahun Wufud” (tamu), karena pada tahun ini, masyarakat Arab dari berbagai penjuru banyak berdatangan ke Madinah dengan berbondong-bondong, untuk menyatakan keislaman mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tahun kesepuluh: Tahun Al-Wada’ (perpisahan). Di tahun ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Haji Wada’. (Arsip Multaqa Ahlil Hadits, tanggal 14 Maret 2005)
Sistem penanggalan di masa sahabat
Di masa Khulafaur Rasyidun, sistem ketatanegaraan kerajaan islam, sedikit demi sedikit, mulai dirapikan, menyesuaikan perkembangan sistem ketatanegaraan yang berlaku di penjuru dunia, selama tidak melanggar aturan islam. Korespondensi antar-negara telah dilangsungkan berulang kali. Namun, yang bermasalah, kaum muslimin tidak memiliki hitungan tahun yang tetap. Akibatnya, terkadang masing-masing memiliki nama tahun yang berbeda-beda. Ini berlangsung di masa Khalifah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dan beberapa tahun di masa pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu. Sehingga kita kenal, ada istilah “Tahun Tha’un”, karena pada tahun tersebut, terjadi wabah tha’un yang menyebar di berbagai daerah.
Sampai akhirnya di tahun ketiga pada masa kekhalifahan Umar, datanglah sebuah surat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu–sahabat yang ditugasi menjadi gubernur di Bashrah–yang isinya, “Sesungguhnya, surat-surat dari Amirul Mukminin (Umar) sering datang kepada kami. Namun kami tidak tahu, kapankah kami harus melaksanakan instruksi surat tersebut. Pernah kami mendapat surat yang ditulis di bulan Sya’ban, dan kami tidak tahu apakah itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Seketika itu, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu langsung mengumpulkan para sahabat senior untuk membahas masalah ini. Pertemuan ini dilangsungkan pada tanggal 20 Jumadil Akhir, tahun 17 Hijriah. Mereka sepakat akan mendesaknya proses penentuan penanggalan sebagai acuan kalender islam. Dimulai dari penentuan tahun pertama. Ada yang mengusulkan, tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tahun pertama, ada yang mengusulkan dengan tahun diutusnya beliau menjadi rasul, ada yang usul menggunakan kalender romawi atau persia, dan ada beberapa usulan lainnya.
Akhirnya, terbentuklah sebuah keputusan dengan mengambil pendapatnya Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang mengusulkan tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah, sebagai tahun pertama. Sementara keputusan penentuan bulan yang pertama diambil berdasarkan pendapat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, untuk menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam Islam, karena bulan ini merupakan awal tahun pada kalender arab sebelum Islam.
Di samping itu, Muharram termasuk salah satu bulan haram dan kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah haji. Penentuan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah juga dibangun atas asumsi bahwa pada bulan itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum berhijrah dan beliau sampai Madinah sebelum Muharram tahun berikutnya. Beliau mulai berangkat hijrah di akhir bulan Shafar, dan beliau sampai di pintu gerbang Madinah pada hari senin, tanggal 8 Rabiul Awal, kemudian beliau baru masuk Madinah hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awal. Penetapan awal kalender Hijriah bertepatan dengan hari Jumat, tanggal 16 Juli 622 Masehi. (Al-Mufasshal fi Raddi ‘ala Syubuhati A’da Al-Islam, 5:238)
Ditinjau dari asal penamaannya, kalender ini lazim dikenal dengan “kalender kamariah”, karena prinsip penentuan kalender ini berdasarkan siklus perputaran qamar (bulan). Sementara itu, kelender ini juga sering disebut kalender Hijriah, mengingat sejarah penetapan kalender ini bagi kaum muslimin, dikaitkan dengan peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah.
Artikel:
http://yufidia.com/sejarah-kalender-hijriah
Post a Comment