BAGAIMANA AKU MENCAPAI JALAN TAUHID
Oleh:
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizahullah
Pelajaran Aneh Dari Seorang Syaikh ShufiOleh:
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizahullah
Suatu ketika, saya pergi bersama salah seorang Syaikh untuk mengikuti pelajaran di salah satu masjid. Di sana, orang-orang sudah berkumpul, baik guru-guru maupun para syaikh.
Mereka membaca sebuah buku berjudul Al-Hikam karanan Ibn ‘Ajibah. Pelajaran mereka tentang “Mendidik jiwa menurut orang-orang Shufi”.
Salah seorang diantara mereka membaca kisah aneh dari buku tersebut yang isinya:
· Salah seorang dari golongan shufi masuk kamar mandi untuk mandi. Ketika orang shufi ini keluar dari kamar mandi tersebut, ia mencuri handuk yang khusus dipinjamkan oleh pemilik kamar mandi untuk orang yang mandi di tempat itu. Ujung handuk dibiarkan kelihatan, agar orang-orang memergokinya mencuri, kemudian mereka mengejek dan menghardiknya. Dengan tujuan menghinakan dan mendidik dirinya dengan cara-cara shufi. Dan ternyata, setelah ia keluar dari kamar mandi,pemilik kamar mandi tersebut mengejarnya dan melihat ujung handuk menyembul keluar dari balik pakaiannya, lalu iapun menghardik dan memukulnya. Orang-orang yang mendengarnya, melihat syaikh shufi yang mencuri handuk dari kamar mandi ini, lalu merekapun ikut menghardik, mengejek dan berbagai hal yang dilakukan orang-orang ketika memergoki seorang pencuri. Mereka mendapatkan gambaran yang jelek dari orang shufi ini.
· Seorang laki-laki dari kalangan shufi ingin mendidik dan menghinakan dirinya. Lalu ia memikul sekarang buah-buahan yang disukai anak-anak. Lalu iapun pergi ke pasar dan berkata kepada setiap anak kecil yang lewat:”Ludahi wajahku, saya akan beri buah yang kamu sukai”. Lalu anak kecil itu meludahi wajah syaikh itu dan memberinya buah. Demikianlah ludah anak-anak kecil di jalan mampir ke wajah syaikh shufi ini, karena mereka menginginkan buah tersebut. Dan syaikh inipun semakin senang.
Ketika saya mendengar kedua kisah ini, aku hampir saja marah. Dadaku terasa sempit mendengarkan pendidikan salah yang tidak diajarkan agama Islam yang memuliakan manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً} (70) سورة الإسراء
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isro: 70).
Saya berkata kepada syaikh yang bersamaku setelah keluar dari masjid itu:”Inikah cara orang-orang shufi mendidik diri mereka? Apakah pendidikan itu dengan cara mencuri, yang dalam hukum Islam dikenakan hukum potong tangan? Apakah pendidikan itu dengan melakukan perbuatan hina dan mencela atau melakukan hal-hal yang seharusnya ditinggalkan? Sesungguhnya agama Islam dan akal sehat yang memuliakan manusia melarang perbuatan semacam ini. Inikah hikmah-hikmah yang mereka pelajari dari buku yang mereka namakan dengan Al-Hikam karangan ibn ‘Ajibah itu?”.
Dan salah satu hal yang perlu diingat adalah syaikh yang memimpin pelajaran ini memiliki banyak pengikut dan murid.
Suatu ketika syaikh ini mengumumkan bahwa ia akan melaksanakan haji. Kemudian murid-muridnya datang untuk mencatat dan mendaftarkan nama-nama mereka untuk menemaninya melaksanakan haji. Bahkan kaum wanitapun banyak yang mendaftarkan diri dan mungkin diantara mereka yang terpaksa menjual perhiasannya untuk itu. Sehingga orang-orang yang berkeinginan melaksanakan haji semakin bertambah. Uang yang ia kumpulkan juga semakin banyak. Kemudian pada akhirnya ia mengumumkan bahwa ia urung melaksanakan haji, tetapi syaikh itu tidak mengembalikan uang yang terkumpul itu kepada pemiliknya, tetapi justru ia makan sendiri dengan cara yang haram.
Sungguh benar firman Allah Azza wa Jalla:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ} (34) سورة التوبة
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah…” (QS. At-Tubah: 34).
Saya mendengar dari salah seorang pengikutnya yang tergolong kaya dan banyak bergaul dengan syaikh itu, mengatakan bahwa syaikh itu adalah seorang dajjal dan penipu besar.
Dzikir Ala Shufi Di Masjid
Suatu ketika, saya menghadiri halaqoh dzikir yang diadakan oleh kalangan shufi di masjid daerah yang saya tinggali. Lalu salah seorang diantara mereka yang memiliki suara yang indah maju ke depan untuk menyenandungkan bait-bait qosidah dan lagu-lagu di tengah halaqoh dimana orang-orang kampung berkumpul di saat dzikir berlangsung.
Dan diantara syair yang saya ingat dari orang shufi ini adalah ungkapan:
يا رجال الغيب ساعدونا أنقذونا
Wahai orang yang ghaib, tolonglah kami, bantulah kami
Dan berbagai ungkapan itstighotsa (meminta pertolongan) lainnya. Padahal memohon pertolongan kepada orang-orang yang sudah meninggal dan tidak dapat mendengar adalah suatu bentuk kekafiran kepada Allah Azza wa Jalla. Walaupun mereka mendengar, tetapi mereka tidak dapat memenuhi permintaan. Bahkan mereka tidak dapat memberi manfaat bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain.
Al-Qur’an telah memberikan isyarat akan hal itu dalam firman Allah Azza wa Jalla:
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ.إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ } (13-14) سورة فاطر
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Faathir: 13-14).
Setelah keluar dari majelis dzikir itu, saya berkata kepada syaikh imam masjid yang juga ikut dalam dzikir itu:”Sesungguhnya dzikir ini tidak pantas dinamakan dzikir, karena saya tidak mendengar nama Allah disebutkan. Dan juga tidak ada permohonan ataupun do’a kepada Allah. Saya hanya mendengar panggilan dan permohonan kepada orang ghoib. Siapakah orang ghoib yang dapat menolong, menyelamatkan dan membantu kita itu?”
Syaikh itu hanya diam membisu.
Bantahan paling jelas untuk mereka adalah firman Allah Azza wa Jalla berikut
{وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ ولا أَنفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ} (197) سورة الأعراف
“Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri” (QS. Al-A’rof: 197).
Suatu ketika, saya pergi ke masjid lain yang memiliki jumlah jama’ah yang lebih banyak. Di masjid itu terdapat seorang syaikh shufi yang memiliki banyak pengikut. Setelah sholat, mereka melakukan dzikir. Mereka mulai saling menjauh, menari-nari dalam berdzikir dan berteriak menyebut nama (الله, آه, هي…) Kemudian orang yang menyanyi itu mendekati syaikh yang mulai menari dihadapannya dan mengerak-gerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan bagaikan seorang biduan atau penari. Ia memuji syaikh itu, sementara sang syaikh hanya melihat kepadanya dengan senyum, penuh kerelaan…!!!
Pergaulan Orang Shufi Dengan Orang Lain
Saya memnbeli toko dari salah seorang murid syaikh shufi, tapi dengan syarat, ia harus menjamin orang yang menyewanya sekarang ini, bila terlambat membayar ongkos sewanya, dan iapun setuju dengan syarat ini. Setelah beberapa hari kemudian, orang yang menyewa itu menolak membayar. Lalu saya complain ke pemilik pertama dimana saya membeli. Tetapi pemilik itu menolak membayar, dengan alasan tidak punya uang yang bisa dibayarkan. Beberapa hari kemudian, sang shufi ini, bersama dengan syaikhnya, berangkat melaksanakan haji. Saya kaget dengan kejadian itu, karena ia telah membohongiku. Lalu saya menyampaikan kepada murid-murid terdekat lainnya, perihal penipuan yang dilakukan oleh temannya itu dengan menjual toko kepadaku sementara orang yang menyewanya ketika saya membeli toko itu menolak membayar ongkos sewanya.
Ajan tetapi, diapun tidak dapat melakukan apa-apa. Dia hanya dapat berkata:”Apa yang dapat kami lakukan kepadanya?”. Padahal seandainya ia jujur, tentu ia akan memanggil orang itu dan memintanya mengembalikan hak orang lain.
Saya beberapa kali pergi ke pemilik pertama yang memberi tanggungan (orang shufi itu). Ia memiliki usahan menjahit. Dan ketika salah seorang murid syaikh yang pernah menyanyi dan menari di hadapannya melihatku. Ia langsung tahu bahwa saya datang mencari temannya itu. Disamping menyampaikan ulah temannya, saya juga memintanya agar menunjukkan kepadaku dimana temannya berada. Tetapi alih-alih ia membantuku dan jujur kepadaku, ia malah menghina dan menghujaniku dengan kata-kata kotor dan keji. Sayapun meninggalkannya dan hanya dapat bergumam dalam hati:”Inilah akhlak orang shufi, sementara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingati kita dalam sabdanya:
أربع من كان فيه كان منافقا خالصا, ومن كانت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: إذا حدث كذب, وإذا وعد أخلف, وإذا عاهد غدر, وإذا خاصم فجر (رواه البخاري؛ مسلم
“Ada empat sifat yang barangsiapa memilikinya maka ia murni termasuk orang munafik dan barangsiapa yang memiliki salah satu sifat itu, maka ia telah memiliki salah satu sifat orang munafik hingga ia meninggalkannya; Apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia mengingkarinya, apabila membuat perjanjian ia menghianati perjanjian itu dan apabila bersengketa ia berbuat dosa” (HR. Bukhori; Muslim).
Mendapat Petunjuk Ke Jalan Tauhid
Saya membaca hadits Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu dihadapan Syaikh yang mengajariku, yaitu sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إذا سألت فاسأل الله, و إذا استعنت فاستعين بالله ( رواه الترمذي
“Apabila engkau memohon, maka mohonlah kepada Allah dan apabila engkau meminta pertolongan mintalah kepada Allah” (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata hadits Hasan Shahih).
Sungguh menarik perkataan Imam An-Nawawi rahimahullah (ketika menjelaskan hadits ini): ”…kemudian jika kebutuhan yang ia minta adalah termasuk kekhususan Allah dan tidak dapat dilakukan oleh makhluk-Nya, seperti memohon petunjuk, ilmu, kesembuhan dari penyakit dan mendapatkan kesehatan, maka ia harus memintanya langsung kepada Rabbnya. Adapun meminta kepada makhluk dan mengandalkan mereka, maka perbuatan tersebut tercela”.
Lalu saya berkata terhadap syaikh tersebut bahwa hadits ini dan penjelasannya menunjukkan larangan memohon sesuatu kepada selain Allah Azza wa Jalla. Tetapi syaikh itu berkata kepadaku:”Bahkan hal itu boleh dilakukan”. Apa dalilmu, sanggah saya. Syaikh itu marah dan berkata:”Bibiku biasa mengucapkan:’Wahai syaikh Sa’ad –nama seseorang yang telah meninggal dan dikubur di dalam masjid untuk memohon sesuatu kepadanya-. Lalu saya Tanya bibi saya itu. Wahai bibiku! Apakah syaikh Sa’ad dapat menolongmu? Lalu bibi saya menjawab:Saya memohon do’a kepadanya, agar ia dapat menghadap Allah dan memberiku syafa’at”.
Saya berkata kepadanya:”Engkau ini seorang ulama, sementara usiamu engkau habiskan dengan membaca buku-buku.Tetapi aqidahmu engkau ambil dari bibimu yang bodoh itu”.
Ia kemudian berkata kepadaku:”Kamu memiliki pikiran-pikiran wahabi –ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab-, kamu melakukan umroh lalu datang membawa buku-buku Wahabi”.
Sebenarnya saya tidak banyak tahu tentang Wahabi kecuali apa yang saya dengar dari syaikh-syaikh yang mengatakan bahwa orang-orang Wahabi itu berbeda dengan kebanyak orang, mereka tidak mempercayai para wali dan karomah mereka, tidak mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berbagai tuduhan-tuduhan bohong yang mereka lontarkan.
Saya berkata pada diri saya sendiri: ”Jika orang-orang Wahabiyyah mempercayai permohonan hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata dan bahwa yang memberi kesembuhan hanya Allah Azza wa Jalla semata. Maka saya harus mengenal ajaran ini lebih jauh”.
Saya bertanya kepada orang-orang tentang kelompok ini, lalu memberitahu bahwa mereka biasanya berkumpul pada Kamis malam untuk mempelajari tafsir, hadits, dan fiqh.
Lalu saya pergi ke tempat itu bersama anak-anakku dan beberapa orang pemuda terpelajar. Kami masuk ruangan yang besar, lalu duduk menunggu pelajaran dimulai. Dan setelah beberapa saat kemudian, masuklah seorang syaikh yang sudah tua. Ia memberi salam dan menyalami kami semua yang dimulai dari sebelah kanan, lalu duduk di atas sebuah bangku. Tidak seorangpun berdiri untuknya. Saya berkata dalam hati: “Syaikh ini sangat tawadlu (=rendah hati), ia tidak senang jika orang lain berdiri menyambutnya”.
Lalu syaikh itu mulai memberikan pelajarannya:
إن الحمد لله نحمده و نستعينه ونستغفر …
Hingga akhir khutbah sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbah dan pelajarannya. Kemudian beliau memulai ceramahnya dengan menggunakan bahasa Arab, menyampaikan hadits-hadits, lengkap dengan penjelasan tentang keshohihan dan perawinya. Dan bersholawat untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali menyebut nama beliau. Pada akhir pelajaran, beliau disodorkan banyak pertanyaan secara tertulis. Dan beliau selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu yang diperkuat oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ada diantara yang hadir yang mendebatnya, dan beliau selalu menjawab orang yang bertanya kepadanya.
Dan di akhir pelajarannya beliau mengucapkan:
الحمد لله على أننا مسلمون و سلفيون
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk diantara orang-orang muslim dan salaf”.
Merekalah orang-orang yang mengikuti kaum salaf Ash-Sholeh, yaitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagian orang mengatakan bahwa kami ini dari golongan Wahabi. Perbuatan ini termasuk panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
{ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ } (11) سورة الحجرات
“…dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan…” (QS. Al-Hujurot: 11).
Dulu, mereka menuduh Imam Asy-Syafi’I rahimahullah sebagai seorang Rafidlo (=salah satu sekte Syi’ah), lalu beliau rahimahullah membantahnya dengan sebuah bait syair:
إن كان رفضا حب آل محمد #### فليشهد الثقلان أني رافضي
Bila Rafidlo itu adalah kecintaan kepada Keluarga Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
Maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia bahwa aku adalah seorang Rafidlo
Maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia bahwa aku adalah seorang Rafidlo
Maka, kami juga membantah mereka yang menuduh kami sebagai seorang Wahabi dengan bait seorang penyair
إن كان تابع أحمد متوهباً #### فأنا المقر بأنني وهابي
Bila orang yang mengikuti Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dianggap seorang Wahabi
Maka saya menyatakan bahwa saya adalah seorang Wahabi
Maka saya menyatakan bahwa saya adalah seorang Wahabi
Setelah pelajaran, kami keluar bersama beberapa orang pemuda dan takjub dengan keilmuan dan ketawadluannya. Saya mendengar salah seorang diantara mereka berkata: “Inilah syaikh yang sebenarnya”.
Arti Wahhabi
Musuh-musuh Tauhid menyebut orang-orang yang berjalan di atas Tauhid sebagai seorang wahhabi yang menisbahkan kepada Muhammad bin Abdil Wahhab. Seandainya mereka mau jujur, seharusnya mereka menyebut Muhammadiy karena dinisbahjannya kepada nama Muhammad bin Abdil Wahhab. Tetapi itulah kehendak Allah Azza wa Jalla, mereka menisbahkannya kepada Al-Wahhab ( الوهاب ) yang merupakan salah satu diantara nama-nama Allah Yang Agung, yang berarti Yang Maha Memberi.
Bila orang-orang shufi menisbahkan diri mereka kepada suatu kelompok yang menggunakan Suuf (kulit domba). Maka orang-orang Wahhabi menisbahkan diri mereka kepada Al-Wahhab, yaitu Allah yang memberi mereka Tauhid dan memberinya kemampuan untuk dakwah kepada Tauhid dengan taufiq dari Allah Azza wa Jalla.
Perdebatan Dengan Seorang Syaikh Shufi
Ketika syaikh yang biasa mengajariku itu tahu bahwa saya pergi belajar kepada orang-orang Salaf dan mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, ia sangat marah sekali, karena khawatir saya meninggalkannya dan berubah haluan. Setelah beberapa saat kemudian, salah seorang tetangga majid datang untuk ikut menghadiri pengajian bersama kami di masjid setelah sholat Maghrib. Ia bercerita, bahwa ia telah menyimak pelajaran dari syaikh golongan shufi. Syaikh itu berkata, bahwa istri salah seorang muridnya kesulitan ketika akan melahirkan. Kemudian muridnya itu beristighotsa (memohon bantuan) kepada syaikh kecil (yang ia maksudkan adalah diri sang shufi itu sendiri), lalu istrinya itu melahirkan dengan mudah tanpa mengalami kesulitan. Kemudian syaikh tempat kami belajar itu bertanya kepada laki-laki tetangga masjid ini:”Jadi, bagaimana pendapatmu tentang peristiwa itu?”. Lelaki itu menjawab:”Ini jelas perbuatan syirik”.
Syaikh itu langsung menghardik dan berkata:”Diam! Apa yang kamu ketahui tentang syirik, kamu hanyalah seorang tukang pandai besi, sementara kami adalah para syaikh yang memiliki ilmu dan lebih banyak mengetahui berbagai hal daripada kamu!”.
Kemudian syaikh itu berdiri dan menuju kamarnya lalu kembali dan membawa buku Al-Adzkar karangan Imam An-Nawawi rahimahullah. Selanjutnya ia membaca suatu kisah tentang Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa bila kaki beliau tersandung beliau berkata:”Ya Muhammad!!”. Jadi apakah beliau telah melakukan perbuatan syirik? Laki-laki tadi menjawab:”Riwayat ini dloif (lemah)”.
Lalu dengan suara keras syaikh itu berkata:”Kamu itu tidak tahu mana yang lemah dan mana yang shahih, kamilah para ulama yang mengetahui itu semua”.
Kemudian syaikh itu menoleh kepadaku dan berkata:”Bila orang ini hadir sekali lagi, saya akan membunuhnya”.
Kami semua keluar dari masjid, lalu laki-laki itu meminta agar aku menyuruh anakku menemaninya untuk mengambil buku Al-Adzkar yang ditahqiq (=diteliti) oleh Syaikh Abdul Qodir Al-Arna’ut. Lalu anak itupun datang dan memberikan buku itu kepadaku. Ternyata kisah yang diceritakan tadi, menurut orang yang mentahqiq buku ini (baca: Al-Adzkar) adalah riwayat yang dloif (=lemah).
Dan pada hari kedua, anak saya menyerahkan buku ini kepada syaikh itu. Ternyata ia membaca bahwa kisah itu adalah tidak shahih, tetapi syaikh itu tidak mau mengakui kesalahannya dan berkata bahwa riwayat ini adalah termasuk fadla’ilul a’mal (=keutamaan amal) yang dapat diterapkan dengan menggunakan hadits-hadits lemah.
Saya katakana, bahwa kisah ini bukan termasuk diantara amalan-amalan yang utama sebagaimana yang diduga oleh syaikh itu, tetapi ini adalah termasuk masalah aqidah yang tidak boleh digunakan dengan sandaran hadits-hadits yang lemah.
Sebagai informasi tambahan, bahwa Imam Muslim dan imam-imam yang lain memandang ketidakbolehan menggunakan hadits-hadits lemah dalam masalah fadla’ilul a’mal.
Adapun ulama-ulama jaman sekarang (mutaakhirin) memandang bolehnya menggunakan hadits-hadits lemah dalam masalah fadla’ilul a’mal dengan syarat-syarat yang banyak dan semua syarat itu juga sulit diwujudkan. Kisah Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma ini bukanlah hadits dan bukan juga termasuk amalan-amalan yang utama, tetapi ia adalah dasar aqidah, seperti yang saya jelaskan tadi.
Kemudian pada hari selanjutnya, kami pergi untuk mengikuti pengajian sebagaimana biasanya. Dan setelah sholat, syaikh shufi itu langsung keluar dari masjid, dan tidak duduk untuk memberi pengajian sebagaimana biasanya.
Syaikh ini berusaha menjelaskan kepadaku, bahwa memohon pertolongan (isti’anah) kepada selain Allah Azza wa Jalla adalah boleh, sebagaimana halnya dengan tawassul. Ia memberiku beberapa buku, diantaranya adalah buku Muhiqqut Taqawwul Fii Mas’alatit Tawassul karangan Zaahid Al-Kautsari. Saya membaca buku itu, dan ternyata buku itu membolehkan isti’anah kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ِإذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله, وَإِذَا استَعَنْتَ فَاسْتَعِن بِالله ( رواه الترمذي
“Apabila engkau memohon, maka mohonlah kepada Allah dan apabila engkau meminta pertolongan mintalah kepada Allah” (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata hadits Hasan Shahih).
Pengarang buku ini mengatakan bahwa sanad hadits ini lemah, oleh karena itu ia tidak memakainya, padahal hadits ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Arba’in An-Nawawi hadits no 19. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan ia berkata:Hadits Hasan Shahih. Imam Nawawi dan imam lainnya juga memakai hadits ini. Dan yang mengherankan, bagaimana Al-Kautsari menolak hadits ini. Itu karena hadits ini bertentangan dengan aqidah mereka. Sayapun semakin marah kepadanya dan kepada aqidahnya dan semakin cinta kepada orang-orang salaf dan aqidah mereka yang melarang isti’anah kepada selain Allah Azza wa Jalla berdasarkan hadits tadi dan firman Allah Azza wa Jalla.
وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ (106) سورة يونس
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106).
Dan juga sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُعَاءُ هُوَ العِبَادَة ( رواه الترمذي
“Do’a itu adalah ibadah” (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata: Hasan Shahih).
Ketika syaikh itu melihatku tidak puas dengan buku yang ia berikan kepadaku. Ia mulai menjauhiku dan menyebarkan kepada orang lain bahwa saya adalah seorang “Wahhabi, hati-hati terhadapnya”.
Saya berkata dalam hati:”Mereka mengatakan tentang Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia seorang tukang sihir dan gila dan berkata tentang Imam Syafi’I bahwa ia seorang Rafidli, kemudian beliau membalasnya dengan syair:
فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلاَنِ أَنِّي رَافِضِي
إِنْ كَانَ رَفْضًا حُبُّ آل محمّدٍ
إِنْ كَانَ رَفْضًا حُبُّ آل محمّدٍ
Bila Rafidlo itu adalah kecintaan kepada Keluarga Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
Maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia bahwa aku adalah seorang Rafidlo
Maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia bahwa aku adalah seorang Rafidlo
Mereka juga menuduh salah seorang yang mentauhidkan Allah dengan sebutan Wahhabi, lalu orang itu menjawabnya:
فَأَنَا المُقِرُّ بِأَنَّنِي وَهَّابِي
إِنْ كَانَ تَابِعُ أَحْمَدَ مُتَوَهِّباً
إِنْ كَانَ تَابِعُ أَحْمَدَ مُتَوَهِّباً
Bila orang yang mengikuti Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dianggap seorang Wahabi
Maka saya menyatakan bahwa saya adalah seorang Wahabi
Maka saya menyatakan bahwa saya adalah seorang Wahabi
رَبٌّ سِوَى المُتَفَرِّدِ الوَهَّاب
أَنْفِي الشَّرِيكَ عَنِ الإلهِ فَلَيْسَ لِي
أَنْفِي الشَّرِيكَ عَنِ الإلهِ فَلَيْسَ لِي
Saya meniadakan sekutu bagi Allah, maka saya tidak punya Tuhan kecuali Allah
Rabb Yang Maha Tunggal dan Maha Memberi
Rabb Yang Maha Tunggal dan Maha Memberi
قَبْرٌ لَهُ سَبَبٌ مِن الأَسْبَابِ
لاَ قُبَّةٌ تُرْجَى, وَلَا وَثَنٌ وَلَا
لاَ قُبَّةٌ تُرْجَى, وَلَا وَثَنٌ وَلَا
Saya tidak memohon kepada Qubah, berhala,
atau kuburan yang dianggap sebagai sarana penghubung (kepada Allah)
atau kuburan yang dianggap sebagai sarana penghubung (kepada Allah)
Saya memuji kepada Allah yang telah memberiku petunjuk kepada jalan Tauhid, aqidah kaum salaf. Dan saya mulai berdakwah mengajak orang lain untuk menuju kepada Tauhid dan menyebarkannya diantara manusia. Mengikuti penghulu seluruh manusia (Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah memulai dakwahnya kepada Tauhid selama 13 tahun di Makkah. Dengan penuh kesabaran beliau dan para sahabatnya menghadapi siksaan dan gangguan, hingga akhirnya Tauhid itu menyebar dan berhasil mendirikan Negara berasaskan Tauhid, dengan pertolongan Allah Azza wa Jalla.
Sikap Para Syaikh Shufi Terhadap Tauhid
Suatu ketika saya menemui seorang syaikh besar yang memiliki banyak murid dan pengikut. Dia adalah seorang khotib dan imam masjid besar. Saya mulai bercakap-cakap dengannya tentang do’a, bahwa do’a itu adalah ibadah yang tidak boleh dimohonkan kecuali hanya kepada Allah semata. Saya memperkuat argument saya dengan dalil dari Al-Qur’an, yaitu firman Allah Azza wa Jalla:
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً. أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا} (56-57) سورة الإسراء
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti” (QS. Al-Isro: 56-57).
Saya bertanya kepadanya tentang pengertian firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:
{…أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ… } (57) سورة الإسراء
“…Orang-orang yang mereka seru itu…(QS. Al-Isro: 57).
Ia menjawab: “Berhala-berhala”
Saya katakana bahwa maksud ayat ini adalah permohonan kepada para wali dan orang-orang sholih.
Ia berkata kepadaku:”Kita kembali ke tafsir Ibn Katsir”
Kemudian setelah itu, ia mengambil Tafsir Ibn Katsir dari perpustakaannya. Dan ternyata dalam buku itu terdapat banyak sekali pendapat tentang itu, dan pendapat yang paling benar adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang berkata: Sekelompok jin yang disembah kemudian mereka masuk Islam. Dan dalam riwayat lain: Sekelompok manusia yang menyembah sekelompok jin, lalu kelompok jin itu masuk Islam dan berpegang teguh kepada agama mereka (baca: Islam). (3/46).
Syaikh itu berkata: “Engkau memang benar”
Sayapun gembira dengan pengakuan syaikh ini. Kemudian sayapun mulai sering berkunjung dan duduk-duduk diruangannya. Suatu ketika saya terkejut ketika saya berada didekatnya, ia berkata kepada para hadirin:”Sesungguhnya orang-orang Wahhabiy itu adalah setengah kafir, karena mereka tidak beriman kepada arwah-arwah”.
Saya berkata dalam hati, syaikh ini kembali mungkir. Mungkin ia takut akan kedudukannya dan kewibawaannya sehingga ia membuat kebohongan tentang golongan Wahhabiyah. Karena orang-orang Wahhabiy juga percaya akan adanya arwah-arwah dan tidak mengingkarinya. Karena hal itu diperkuat oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang mereka ingkari adalah keyakinan bahwa para arwah itu dapat melakukan sesuatu, seperti memberi pertolongan kepada orang yang meminta, membantu orang yang masih hidup, serta dapat memberi manfaat dan menolak mudlarat (=kesusahan). Karena semua perbuatan ini termasuk syirik besar yang disebutkan oleh Al-Qur’an yang menceritakan tentang orang-orang yang telah meninggal.
… وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ.إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ } (13-14) سورة فاطر
“…Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS. Faathir: 13-14).
Ayat ini dengan sangat jelas menyebutkan bahwa orang-orang yang telah meninggal tidak memiliki sesuatupun, dan bahwa mereka tidak dapat mendengar do’a orang lain. Walaupun seandainya mereka mendengar akan tetapi mereka tidak akan dapat mengabulkan. Dan pada hari kiamat nanti mereka (orang-orang yang meninggal itu) akan mengingkari perbuatan syirik yang mereka lakukan. Dan hal itu jelas tergambar dalam ayat:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ (14) سورة فاطر
“Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu…” (QS. Faathir: 14).
Suatu ketika saya duduk-duduk dengan beberapa orang syaikh di masjid daerah saya untuk mempelajari Al-Qur’an setelah sholat Subuh. Semuanya termasuk penghapal Al-Qur’an. Dan kami mendegar salah satu ayat yang dibaca:
{قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ} (65) سورة النمل
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65).
Saya katakan kepada mereka bahwa ayat ini adalah dalil yang sangat jelas, bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah Azza wa Jalla.
Lalu mereka berdiri dan berkata kepadaku:”Para wali juga mengetahui hal yang ghaib”.
“Apa dalil kalian”, sanggahku.
Setiap orang diantara mereka yang hadirpun mulai bercerita tentang berbagai kisah yang mereka pernah dengar dari orang-orang, bahwa wali Fulan mengabarkan hal-hal ghaib.
Saya berkata kepada mereka: Cerita-cerita ini boleh jadi adalah cerita-cerita bohong dan tidak dapat dijadikan dalil, apalagi bertentangan dengan Al-Qur’an. Jadi bagaimana mungkin Anda mengambilnya dan meninggalkan Al-Qur’an.
Akan tetapi mereka tidak puas dengan penjelasannku. Diantara mereka mulai ada yang bersuara keras karena marah dan tidak seorangpun diantara mereka yang memperhatikan ayat ini. Bahkan mereka semua sepakat dalam kebatilan dengan dalil kisah-kisah khurafat yang tersebar dari mulut ke mulut serta tidak punya dasar (dalil) sama sekali.
Saya keluar dari masjid dan tidak lagi datang ke sana pada hari kedua. Lebih baik saya tinggal bersama anak-anak kecil membaca Al-Qur’an daripada duduk-duduk bersama para penghapal Al-Qur’an yang justru menyalahi aqidah Al-Qur’an dan tidak melaksanakan hukum-hukumnya.
Dan yang wajib bagi setiap muslim bila bertemu dengan orang-orang semacam mereka, agar tidak duduk bersama mereka, sebagai pengamalan firrman Allah Azza wa Jalla:
{… وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ} (68) سورة الأنعام
“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu” (QS. Al-An’aam: 68).
Mereka adalah orang-orang yang dholim yang mempersekutukan Allah dengan manusia yang mereka anggap mengetahui hal-hal ghaib, sementara Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkata kepada manusia:
{قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ} (188) سورة الأعراف
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188).
Suatu ketika, saya sholat di sebuah masjid dekat rumah. Imam masjid itu mengenalku dan tahu kalau saya aktif dalam dakwah kepada Tauhidullah (=pengesaan Allah) dan tidak memohon kepada selain-Nya. Lalu ia memberiku buku yang berjudul Al-Kafi fii Raddi ‘alal Wahhabiy yang dikarang oleh seorang shufi. Saya membaca buku itu dengan seksama dari awal sampai akhir.
Ternyata di dalam buku ini disebutkan bahwa ada sekelompok laki-laki yang berkata kepada sesuatu ( كُن فيكون) “jadi, maka jadilah”.
Saya heran dengan perbuatan bohong ini, karena hal itu adalah satu shifat Allah semata-mata. Manusia tidak mampu menciptakan lalat bahkan tidak mampu mengeluarkan kembali makanan yang telah ditelan oleh lalat itu.
Allah Azza wa Jalla telah membuat perumpamaan untuk manusia yang menjelaskan kelemahan makhluk-makhluk-Nya
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ} (73) سورة الحـج
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah” (QS. Al-Hajj: 73).
Lalu buku itu saya ke pemiliknya dan ternyata ia pernah bersama-sama saya belajar dan menghapal Al-Qur’an di Daarul Huffadz. Saya bertanya kepadanya: Syaikh pengarang buku ini mengaku bahwa ada sekelompok laki-laki yang mengatakan “kun fayakun” (Jadi, maka jadilah) Apakah ini benar?
Ia menjawab:”Ya benar, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata:Kun Tsa’labah (=jadilah Tsa’labah) dan ternyata yang muncul adalah Tsa’labah.
Saya katakana kepadanya: Apakah Tsa’labah sebelumnya tidak ada, kemudian diciptakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ketiadaan? Atau Tsa’labah ini sebelumnya tidak hadir di tempat dan sedang ditungu kedatangannya, dan ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah bayangan dari kejauhan beliau berharap bahwa yang datang itu adalah Tsa’labah, lalu beliau berkata:”Kun, Tsa’labah”.
Jadi seakan-akan beliau berdo’a kepada Allah, semoga yang datang itu Tsa’labah, agar pasukan perang dapat segera berangkat dan tidak terlambat (karena menunggu dia) dan Allah Azza wa Jalla mengabulkan do’anya, agar yang datang itu adalah Tsa’labah.
Orang itu diam dan mengetahui kesalahan syaikh pengarang buku itu. Akan tetapi, buku itu masih juga ia simpan.
Artikel Oleh:
Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan
http://ibnusarijan.blogspot.com
Sumber: كيف أهتديت إلى التوحيد
Post a Comment