Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -4 (habis)

Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -4
Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama

PRINSIP KETUJUH

Membantah Para Penyimpang Agama

Artikel sebelumnya Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -3. Membantah ahli bathil merupakan tugas yang sangat mulia, bahkan termasuk jihad fi sabilillah bagi orang yang dikarunia ilmu.[1] Syaikhul Islam mengatakan bahwa orang yang membantah ahli bid’ah termasuk orang yang berjihad, sampai-sampai Yahya bin Yahya berkata: “Membela sunnah lebih utama daripada jihad”.[2]



Prinsip mulia telah diterapkan oleh Imam Syafi’i dalam banyak kesempatan sehingga Allah memberikan manfaat yang banyak dengan sebab itu.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Saya tidak mengetahui seorangpun yang lebih berjasa pada Islam pada zaman Syafi’i daripada Syafi’i”. Abu Zur’ah berkata: “Benar Ahmad bin Hanbal. Saya juga tidak mengetahui seorangpun yang lebih berjasa pada Islam di zaman Syafi’i daripada Syafi’i dan seorangpun yang membela sunnah Rasulullah seperti pembelaan Syafi’i dan membongkar kedok para kaum (ahli bid’ah) seperti yang dilakukan oleh Syafi’i”.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Manaqib (keutamaan) Imam Syafi’i dan kesungguhannya dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta kesungguhannya dalam membantah orang yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak sekali”.[4]

Berikut beberapa contoh praktek Imam Syafi’i terhadap prinsip mulia ini:

Imam Syafi’i Menggugat Para Penipu Agama

Akhir-akhir ini banyak orang menampakkan aksi-aksi luar biasa bahkan disiarkan di media massa dan media kaca yang disaksikan oleh banyak penonton setia, padahal hal itu adalah sihir dan penipuan yang amat nyata.

Kedigdayaan dan keluarbiasaan yang muncul pada seseorang tidak mesti menunjukkan kebaikan seseorang tersebut. Akan tetapi kebaikan seseorang harus diukur dengan barometer syariat. Tidakkah engkau lihat bahwa Dajjal juga memiliki keluarbiasaan, tetapi apakah hal itu menunjukkan dia sholih dan baik?!! Jadi dalam hal ini harus dibedakan antara karomah dan istidroj. Karomah adalah keluarbiasaan yang Alloh anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, adapun kedigdayaan yang muncul dari orang yang menyimpang, penyihir dan para Dajjal, maka hal itu disebut istidroj dan tipu daya Iblis.

Imam Syafi’i telah menyingkap kedok mereka jauh-jauh hari.

ابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُوْنُسُ، قُلْتُ لِلشَّافِعِيِّ: صَاحِبُنَا اللَّيْثُ يَقُوْلُ : لَوْ رَأَيْتُ صَاحِبَ هَوَى يَمْشِيْ عَلَى الْمَاءِ مَا قَبِلْتُه ُ. قَالَ : قَصَّرَ، لَوْ رَأَيْتُهُ يَمْشِيْ فِي الْهَوَاءِ لَمَا قَبِلْتُهُ

Ibnu Abi Hatim berkata: menceritakan kami Yunus, aku berkata kepada Syafi’i: Kawan kita Laits mengatakan: Seandainya saya melihat pengekor hawa nafsu berjalan di atas air, saya tidak akan menerimanya. Syafi’i berkata: “Dia masih kurang, seandainya saya melihatnya dapat berjalan di udara, saya tidak akan menerimanya”.[5]

Imam Syafi’i dan Ilmu Kalam/Filsafat

Imam adz-Dzahabi berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih”.[6]

Bahkan beliau memberikan kecaman keras kepada para ahli kalam. Simaklah ucapan Imam Syafi’i berikut:

حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ : هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلاَمِ

Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia kelilingkan ke kampung seraya dikatakan pada khayalak: Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari Al-Qur’an dan sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.”[7]

Imam Syafi’i dan Shufiyyah

Kaum Shufi belakangan banyak mengumpulkan beberapa penyimpangan dari agama Islam dan dakwah Imam Syafi’i[8]. Oleh karenanya, Imam Syafi’i memperingatkan kita dari kelompok tersebut. Beliau berkata:

لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَهُ أَحْمَقَ

Seandainya seorang menjadi shufi di awal siang hari, maka sebelum dhuhur akan engkau dapati dia termasuk orang yang pandir”.[9]

أُسُّ التَّصَوُّفِ الْكَسْلُ

Pokok utama tashawuf adalah kemalasan”.[10]

خَلَّفْتُ بِبَغْدَادَ شَيْئًا أَحْدَثَتْهُ الزَّنَادِقَةُ يُسَمُّوْنَهُ “التَّغْبِيْرَ” يُشْغِلُوْنَ بِهِ النَّاسَ عَنِ الْقُرْآنِ

Saya tinggalkan kota Baghdad sesuatu yang dibuat orang-orang zindiq, mereka menamainya dengan taghbir untuk melalaikan manusia dari Al-Qur’an”.[11]

Taghbir adalah dzikir atau lantunan syair-syair zuhud dengan suara merdu, ini adalah kebiasaan orang-orang sufi. Maka Imam Syafi’i dengan kesempurnaan ilmu dan imannya mengetahui bahwa semua itu dapat memalingkan manusia dari Al-Qur’an[12].

Imam Syafi’i dan Rofidhoh

Kaum Rofidhoh adalah kaum yang memiliki banyak penyimpangan dan kesamaan dengan kaum Yahudi[13]. Oleh karenanya, Imam Syafi’i memperingatkan keras kepada kita akan kejelekan mereka. Beliau menyebut mereka dengan kelompok yang paling jelek[14]. Beliau juga mengatakan:

لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ أَشْهَدَ باِِلزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ

“Saya tidak mendapati seorangpun dari pengekor hawa nafsu yang lebih pendusta daripada kaum Rofidhoh”.[15]

PRINSIP KEDELAPAN

Perhatian Kepada Ilmu Agama

Defenisi Ilmu Menurut Imam Syafi’i

Perlu diketahui bahwa setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits maksudnya adalah ilmu agama, ilmu Al-Qur’an dan sunnah, sekalipun kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitek, pertanian, perekonomian dan sebagainya.

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Ilmu yang bermanfaat adalah mempelajari Al-Qur’an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Demikian juga dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan lain sebagainya”.[16]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i, ilmu yang berfaedah untuk mengetahui kewajiban seorang hamba berupa perkara agama, baik dalam ibadah maupun pergaulannya sehari-hari. Ilmu yang berbicara tentang Alloh dan sifat-sifatNya, serta apa yang wajib bagi dirinya dalam menjalankan perintah Alloh, mensucikan Alloh dari segala kekurangan, ilmu yang demikian berkisar pada ilmu tafsir, hadits dan fiqh”.[17]

Imam Syafi’i berkata:

كُلُّ الْعُلُومِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ
إِلَّا الْحَدِيثَ وَإِلَّا الْفِقْهَ فِي الدِّين
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِينِ

Setiap ilmu selain Al-Qur’an adalah menyibukkan
Kecuali hadits dan fiqih dalam agama
Ilmu adalah yang terdapat di dalamnya Haddatsana (hadits)
Selain itu adalah was-was Syetan.[18]

Keutamaan Ilmu Menurut Imam Syafi’i

Keutamaan-keutamaan ilmu agama banyak sekali, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Imam Syafi’i bahwa:

1. Ilmu adalah sebab kebaikan di dunia dan akherat

Imam Syafi’i berkata:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akherat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia akherat, maka hendaknya dia berilmu. [19]

Dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ اْلدِّيْنِ

Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikan, maka Alloh akan faqihkan ia dalam agamaNya”.[20]

2. Ilmu Sebagai benteng dari syubhat dan fitnah

Imam Syafi’i berkata:

لَوْلاَ الْمَحَابِرُ لَخَطَبَتِ الزَّنَادِقَةُ عَلَى الْمَنَابِرِ

Seandainya bukan karena tinta (ilmu), niscaya orang-orang zindiq akan berkhutbah di mimbar-mimbar”[21]

Dengan ilmu kita dapat menjaga diri kita dari berbagai syubhat yang menyerang. [22] Dengan ilmu juga kita dapat membantah argumen orang-orang yang ingin merusak agama. Oleh karenanya jihad ada dua macam: karena itu, jihad ada dua macam: Jihad dengan tangan dan lisan.[23]

3. Ilmu adalah amalam yang paling utama

Imam Asy-Syafi’i berkata:

لَيْسَ شَيْءٌ بَعْدَ الْفَرَائِضِ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ

Tidak ada satupun yang lebih utama setelah menunaikan kewajiban selain menuntut ilmu”.[24]

4. Menuntut ilmu lebih utama daripada ibadah sunnah

Imam Syafi’i berkata:

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ النَّافِلَةِ

Menuntut ilmu lebih utama daripada sholat sunnah”.[25]

Dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi:

وَ إِنَّ اْلعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِيْ اْلسَّمَاوَاتِ وَ مَنْ فِيْ اْلأَرْضِ حَتىَّ اْلحِيْتَانُ فِيْ اْلمَاءِ, وَ فَضْلُ اْلعَالِمِ عَلىَ اْلعَابِدِ كَفَضْلِ اْلقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلىَ سَائِرِ اْلكَوَاكِبِ

Orang yang berilmu, ia akan dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada didalam air. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah bagaikan bulan dimalam purnama atas seluruh bintang”.[26]

Semangat Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu

Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat bersemangat tinggi dalam menuntut ilmu.

Al-Humaidi menceritakan bahwa dirinya tatkala di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Syafi’i masih nyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia berkata: Apa semua ini wahai Abu Abdillah (Syafi’i)?! Beliau menjawab: Saya teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka sayapun segara menyalakan lampu dan menulisnya”.[27]

Termasuk bukti semangat Imam Syafi’i dalam menunutut ilmu adalah ucapan beliau kepada Imam Ahmad bin Hanbal:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالأَخْبَارِ الصِّحَاحِ مِنَّا، فَإِذَا كَانَ خَبَرٌ صَحِيْحٌ، فَأَعْلِمْنِيْ حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيْهِ، كُوْفِيًّا كَانَ أَوْ بَصْرِيًّا أَوْ شَامِيًّا

Engkau lebih tahu tentang hadits-hadits shahih daripada diriku. Apabila ada hadits shohih maka beritahukanlah padaku sehingga aku akan mendatanginya baik Kufah, Bashroh atau Syam”.[28]

Kunci-Kunci Ilmu Menurut Imam Syafi’i

Mungkin kita bertanya-tanya: Bagaimana kiat menuntut ilmu? Apa saja kunci-kuncinya? Berikut ini jawaban Imam Syafi’i:


أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ

Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara
Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup
Bimbingan ustadz dan waktu yang lama.[29]

Imam Syafi’i juga berkata:

فَحُقَّ عَلَى طَلَبَةِ الْعِلْمِ بُلُوْغُ غَايَةِ جُهْدِهِمْ فِي الاسْتِكْثَارِ مِنْ عِلْمِهِ وَالصَّبْرُ عَلَى كُلِّ عَارِضٍ دُوْنَ طَلَبِهِ وَإِخْلاَصُ النِّيَّةِ لِلَّهِ فِي اسْتِدْرَاكِ عِلْمِهِ نَصًّا وَاسْتِنْبَاطًا وَالرَّغْبَةُ إِلَى اللهِ فِي الْعَوْنِ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لاَ يُدْرَكُ خَيْرٌ إِلاَّ بِعَوْنِهِ

Maka hendaknya bagi para penunutut ilmu untuk: 1. Mencurahkan tenaganya dalam memperbanyak ilmu 2. Bersabar menghadapi tantangan dalam menuntut ilmu 3. Mengikhlaskan niat karena Allah untuk menggapai ilmunya secara nash ataupun istinbath (menggali hukum) 4. Berdoa mengharapkan pertolongan Allah, karena tidak mungkin meraih kebaikan kecuali dengan pertolonganNya”.[30]

PRINSIP KESEMBILAN

Akhlaq Yang Mulia Dan Penyucian Jiwa

Imam Syafi’i Menyeru akhlak yang mulia

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan aqidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan aqidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin”[31].

Imam Syafi’i berkata menekankan pentingnya akhlak:

زِيْنَةُ الْعُلَمَاءِ التَّقْوَى وَحِلْيَتُهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ وَجَمَالُهُمْ كَرَمُ النَّفْسِ

Perhiasan ulama adalah taqwa, mahkota mereka adalah akhlak yang indah, dan keindahan mereka adalah kedermawanan”.[32]

Imam Syafi’i dan Adab dalam Dialog/Debat

Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama yang banyak melakukan dialog dan pandai berdialog[33], baik dengan lawan ataupun kawan, semuanya dalam rangka nasehat dan mencari kebenaran, bukan kemenangan. Inilah suatu adab mulia dalam dialog yang seharusnya kita perhatikan bersama, apalagi akhir-akhir ini semakin marak dialog dan debat di sana sini.

Imam Syafi’i berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ عَلَى الْغَلَبَةِ

Saya tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan”.[34]

Beliau juga berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ أَحْبَبْتُ أَنْ يُوَفَّقَ وَيُسَدَّدَ وَيُعَانَ وَيَكُوْنَ عَلَيْهِ رِعَايَةٌ مِنَ اللهِ وَحِفْظٌ وَمَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلاَّ وَلَمْ أُبَالِ بَيَّنَ اللهُ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ أَوْ لِسَانِهِ

Tidaklah saya berdebat kecuali saya berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan diberi pertolongan dan dijaga oleh Allah. Dan tidaklah saya berdebat kecuali saya tidak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya”.[35]

Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata mengomentari ucapan ini: “Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempunyai maksud dan tujuan kecuali nampaknya kebenaran, sekalipun lewat lisan lawan debatnya yang menyelisihinya”.[36]

Kelembutan Imam Syafi’i Terhadap Lawan-nya

Berakhlak baik menghadapi lawan merupakan akhlak indah yang jarang sekali orang bisa menerapkannya, namun Imam Syafi’i termasuk ulama yang mampu menahan dirinya dari sikap emosi dan beliau bisa bersikap arif seperti perintah Allah:

خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.(QS. Al-A’raf: 199)

Imam Syafi’i berkata:

قُلْ بِمَا شِئْتَ فِيْ مَسَبَّةِ عِرْضِيْ فَسُكُوْتِيْ عَنِ اللَّئِيْمِ جَوَابُ
مَا أَنَا عَادِمُ الْجَوَابِ وَلَكِنْ مَا مِنَ الأُسْدِ أَنْ تُجِيْبَ الْكِلاَبَ

Berkatalah sesukamu untuk menghina kehormatanku
Diamku dari orang hina adalah suatu jawaban
Bukan berarti saya tidak memiliki jawaban tetapi
Tidak pantas singa meladeni anjing.[37]

Imam Syafi’i juga pernah mengatakan:

يُخَاطِبُنِيْ السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبَا
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حِلْمًا كَعُوْدٍ زَادَهُ الاِحْرَاقُ طِيْبَا

Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek
Maka saya tidak ingin untuk menjawabnya
Dia bertambah pandir dan saya bertambah lembut
Seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.[38]

Subhanallah, demikianlah akhlak yang indah.

Imam Syafi’i dan Tazkiyatun Nufus

Tazkiyatun Nufus (penyucian jiwa) adalah perkara yang sangat penting sekali, bahkan merupakan salah satu tugas inti dari dari dakwah Nabi Muhammad.

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Jumu’ah: 2).

Imam Syafi’i menyeru kepada keikhlasan, beliau berkata:

رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ لَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنَ النَّاسِ سَبِيْلٌ. فَانْظُرْ مَا فِيْهِ صَلاَحُ نَفْسِكَ فَالْزَمْهُ وَدَعِ النَّاسَ وَمَا هُمْ فِيْهِ

Ridho semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin digapai, tidak ada jalan untuk selamat dari omongan orang. Maqka lihatlah kebaikan hatimu, peganglah dan biarkan manusia berbicara sekehendak mereka”.[39]

وَدِدْتُ أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ أَعْلَمَهُ تَعَلَّمَهُ النَّاسُ أُوْجَرُ عَلَيْهِ وَلاَ يَحْمَدُوْنِي

Saya ingin kalau setiap ilmu yang saya ketahui dipelajari oleh manusia kemudian saya diberi pahala dan mereka tidak memuji saya”.[40]

Imam Syafi’i juga menyeru kepada ketaqwaan, beliau berkata:

مَنْ لَمْ تَعُزُّهُ التَّقْوَى فَلاَ عِزَّ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak mulia dengan taqwa maka tidak ada kemuliaan baginya”.[41]

Imam Syafi’i menganjurkan sifat tawadhu’ (rendah diri), beliau berkata:

يَنْبَغِيْ لِلْفَقِيْهِ أَنْ يَضَعَ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ، وَشُكْرًا لِلَّهِ

Hendaknya bagi seorang yang berilmu untuk meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai sikap tawadhu’ kepada Allah dan syukur kepada-Nya”.[42]

Dekianlah penjelasan tentang prinsip-prinsip imam Syafi’i dalam beragama, semogah kita semua bisa meneladani beliau dalam mengamalkan agama yang mulia ini.

Oleh : Al-Ustadz  Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A.
Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011 di http://www.kajianonlinemedan.com
Publish : http://abangdani.wordpress.com

[1] Ya, membantah ahli bid’ah ini hanyalah bagi mereka yang memiliki ilmu. Oleh karenanya tidak boleh tergesa-gesa membantah mereka kecuali dengan ilmu dan hikmah. Adapun apabila anak-anak kemarin sore tergesa-gesa menangani masalah ini tanpa ilmu dan tanpa adab, maka kita khawatir kerusakan lebih besar. (Lihat Al-Mantsur hlm. 30 oleh al-Maqdisi).

[2] Idem 4/13.

[3] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 93 oleh al-Aburri, Manaqib Syafi’i 2/278-279 oleh al-Baihaqi.

[4] Majmu Fatawa 20/330.

[5] Siyar A’lam Nubala’ 3/3282 oleh adz-Dzahabi.

[6] Mukhtashor Al-Uluw hlm. 177.

[7] Manaqib Syafi’i al-Baihaqi 1/462, Tawali Ta’sis Ibnu Hajar hal. 111, Syaraf Ashabil Hadits al-Khathib al-Baghdadi hal. 143. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam Nubala’ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i”.

[8] Lihat buku khusus masalah ini “Mukholafat Shufiyyah lil Imam Syafi’i” oleh Syaikh Abdul Kholiq al-Washobi.

[9] Manaqib Syafi’i 2/207 oleh al-Baihaqi.

[10] Hilyatul Ulama 9/136-137 oleh Abu Nu’aim.

[11] Manaqib Syafi’i 1/283, Talbis Iblis hlm. 230.

[12] Lihat Al-Istiqomah hlm. 127 dan Al-Fahrasat hlm. 445 oleh Ibnu Nadim.

[13] Syaikh Abdullah Al-Jamili menulis sebuah kitab besar berjudul “Badzlul Majhud fi Itsabt Musyabahah Bainan Rofidhoh wal Yahud” (Mencurahkan Jerih Payah Untuk Menetapkan Kemiripan Antara Rofidhoh dengan Yahudi). cet Maktabah Ghuroba Atsariyyah.

[14] Manaqib Syafi’i 1/468 oleh al-Baihaqi.

[15] Adab Syafi’i hlm. 187-189 oleh Ibnu Abi Hatim.

[16] Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf hlm. 26.

[17] Fathul Bari 1/192.

[18] Diwan Syafi’i hlm. 88.

[19] Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab 1/30 oleh an-Nawawi. Dan sebagian orang menganggapnya sebagai hadits Nabi padahal tidak ada asalnya. Lihat buku penulis Kritik Hadits-Hadits Dho’if Populer hlm. 57

[20] HR.Bukhori 71 dan Muslim 1037.

[21] Siyar A’lam Nubala’ 3/3291 oleh adz-Dzahabi.

[22] Alangkah berharganya nasehat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kepada muridnya Ibnul Qoyyim: “Janganlah engkau jadikan hatimu terhadap syubhat seperti spon yang menyerapnya serta merta, tetapi jadikanlah hatimu seperti kaca yang kuat, sehingga tatkala syubhat mampir padanya, dia dapat melihat dengan kejernihannya dan mengusir dengan kekuatannya. Tetapi apabila engkau jadikan hatimu menyerap setiap syubhat, maka dia akan menjadi sarang syubhat.” (Miftah Dar Sa’adah 1/443). Lalu Ibnul Qoyyim berkomentar: “Tidaklah saya mendapatkan faedah untuk menangkis syubhat lebih dari pada wasiat ini”.

[23] Miftah Daar Sa’adah 1/70 Ibnu Qoyyim.

[24] Miftah Darr Sa’adah 1/391.

[25] Al-Majmu’ 1/40 oleh an-Nawawi.

[26] HR. Abu Dawud 3641, Tirmidzi 2682, Ibnu Majah 223, Ahmad 5/196. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shohih Targhib 1/138.

[27] Adab Syafi’i wa Manaqibuhu karya Ibnu Abi Hatim hal. 44-45.

[28] Hilyatul Auliya’ 9/170 oleh Abu Nu’aim. Lihat takhrij lengkap dan panjang terhadap atsar ini dalam risalah At-Ta’dzim wal Minnah hlm. 45-46 oleh Syaikh Salim al-Hilali.

[29] Diwan Syafi’i hlm. 20.

[30] Ar-Risalah hlm. 19.

[31] An-Nashîhah Fima Yazibu Muro’atuhu (hal. 13) oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili.

[32] Tawali Ta’sis hlm. 135 oleh Ibnu Hajar.

[33] Menakjubkan ucapan Harun bin Sa’id: “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”. (Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 109 oleh Ibnu Abdil Hadi).

[34] Tawali Ta’sis hlm.113 oleh Ibnu Hajar.

[35] Idem hlm. 104.

[36] Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm. 9, tahqiq Ali bin Hasan al-Halabi.

[37] Diwan Asy-Syafi’i hal. 44

[38] Diwan Asy-Syafi’i hal. 156

[39] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 90 oleh al-Aburri, Hilyatul Auliya’ 9/122 oleh Abu Nu’aim , Al-’Uzlah hlm. 76 oleh al-Khotthobi.

[40] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 115 oleh al-Aburri dan Manaqib Syafi’i 1/257 oleh al-Baihaqi. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar 3/3283: “Ucapan dari jiwa yang bersih ini mutawatir dari Syafi’i”.

[41] Tawali Ta’sis hlm. 121 oleh Ibnu Hajar.

[42] Siyar A’lam Nubala 3/3288 oleh adz-Dzahabi.

Post a Comment for "Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -4 (habis)"