Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -3

Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -3
Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama

PRINSIP KEEMPAT

Mengagungkan Sunnah dan Memerangi Bid’ah

Imam Syafi’i Sangat Mengagungkan Sunnah
[sebelumnya Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -2 ]

Dan Imam Syafi’i termasuk ulama yang dikenal sangat semangat dalam mengagungkan Sunnah Nabi sebagaimana pujian para ulama kepada beliau.

Imam Ahmad berkata: “Saya tidak melihat seorangpun yang lebih semangat dalam mengikuti sunnah daripada Imam Syafi’i”.[1]



Imam Al-Baihaqi membuat satu bab pembahasan dengan judul “Keterangan yang membuktikan baiknya madzhab Syafi’i dalam mengikuti Sunnah dan menjauhi bid’ah”.[2]

Imam adz-Dzahabi berkata memuji beliau: “Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat kuat dalam berpegang teguh terhadap Sunnah Rasulullah, baik dalam masalah aqidah maupun cabang agama”.[3]

Banyak sekali bukti dari Imam Syafi’i tentang pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi. Cukuplah sebagai contoh petuah beliau:

لاَ يَجْمُلُ الْعِلْمُ وَلاَ يَحْسُنُ إِلاَّ بِثَلاَثِ خِلاَلٍ : تَقْوَى اللهِ وَإِصَابَةِ السُّنَّةِ وَالْخَشْيَةُ

Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah dan rasa takut”.[4]

Imam Syafi’i Menanamkan Tunduk Terhadap Sunnah

Imam Syafi’i berkata:

لَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا نَسَبَهُ النَّاسُ أَوْ نَسَبَ نَفْسَهُ إِلَى عِلْمٍ يُخَالِفُ فِيْ أَنَّ فَرْضَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اتِّبَاعُ أَمْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالتَّسْلِيْمُ لِحُكْمِهِ

Saya tidak mendengar seorangpun yang dianggap manusia atau dia menganggap dirinya berilmu berselisih pendapat bahwa di antara kewajiban dari Allah adalah mengikuti dan mencontoh Rasulullah dan pasrah terhadap hukumnya”.[5].

Imam Syafi’i Mengimani Kesempurnaan Islam

Di antara nikmat terbesar yang Alloh anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana dalam firmanNya:

[ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا]

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS. al-Maidah: 3)

Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan Nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itulah, Allah menjadikannya sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada Jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”.[6]

Dengan sempurnanya Islam, maka segala perbuatan bid’ah dalam agama berarti suatu kelancangan terhadap syari’at dan ralat terhadap pembuat syari’at bahwa masih ada permasalahan yang belum dijelaskan. Imam Malik bin Anas rahimahullah mengeluarkan perkataan emas tentang ayat ini. Beliau berkata:

مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad r mengkhianati risalah, karena Alloh Y berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” Maka apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi r) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.[7]

Camkanlah baik-baik perkataan berharga dari Imam yang mulia ini, niscaya anda akan mengetahui betapa bahayanya perkara bid’ah dalam agama.

Demikian juga Imam Syafi’i, beliau sangat meyakini akan kesempurnaan agama Islam. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala mengatakan:

فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِيْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلاَّ وَفِيْ كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا

Tidak ada suatu masalah baru-pun yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya”.[8]

Kemudian Imam Syafi’i membawakan beberapa dalil untuk menguatkan ucapannya di atas, di antaranya adalah firman Allah dalam surat an-Nahl: 89:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيداً عَلَى هَـؤُلاء وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).

Imam Syafi’i Pembaharu Agama

Nabi telah menginformasikan bahwa akan senantiasa ada sebagian kelompok kaum muslimin yang memperbaharui agama, beliau juga bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ إِلَى هَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini pada setiap seratus tahun orang yang memperbaharui agamaNya”.[9]

Al-Munawi berkata: “Makna “memperbaharui agama” yaitu menjelaskan dan membedakan antara perkara sunnah dan bid’ah, menyebarkan ilmu agama, membela ahli ilmu dan membantah ahli bid’ah, hal itu tidak bisa terwujudkan kecuali bagi seorang yang alim tentang agama. Ibnu Katsir mengatakan: “Setiap kaum mengaku bahwa imam mereka adalah yang dimaksud oleh hadits ini, tetapi nampaknya hadits ini mencakup seluruh ulama pada setiap bidang, baik tafsir, hadits, fiqih, nahwu, bahasa dan sebagainya”.[10]

Jadi makna pembaharu agama adalah seorang yang berilmu tentang Islam yang menghidupkan Al-Kitab dan As-Sunnah, menghancurkan kesyirikan dan kebid’ahan, dan menghidupkan tauhid dan sunnah, mematikan kebodohan agama dan menghidupkan ilmu agama[11].

Dan tidak diragukan lagi bahwa di antara para pembaharu agama tersebut adalah Imam Syafi’i yang telah berjuang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Hal itu terbukti dengan beberapa alasan:
  1. Keilmuan Imam Syafi’i telah diakui oleh para ulama sezamannya dan sesudahnya sampai hari ini, bahkan sebagiannya adalah gurunya sendiri seperti Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah dan lain-lainnya.
  2. Persaksian para Imam Ahlus Sunnah, di antaranya adalah persaksian Al-Imam Ahmad yang mengatakan tentang hadits pembaharu agama. Al-Imam Ahmad berkata: “Umar bin Abdul Aziz pada awal seratus tahun pertama dan Asy-Syafi’i pada permulaan seratus tahun yang kedua”.[12]
  3. Banyak sekali tajdid (pembaharuan) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam berbagai cabang disiplin ilmu Islam, di antaranya beliau mengajak Umat untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salaful ummah. Beliau juga menghidupkan berbagai macam ilmu Al-Qur’an, hadits, fiqih, ushul fiqih dan lain sebagainya.[13]
Imam Syafi’i Membenci Bid’ah

Imam Syafi’i termasuk tokoh ulama yang sangat anti dari kebid’ahan. Sungguh, telah popular kedudukan dan keadaan beliau yang sangat semangat dalam mengikuti sunnah dan sering memperingatkan dari bahaya bid’ah, bahkan termasuk wasiat beliau adalah perintah untuk mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah dan hawa nafsu”.[14]

Hal ini juga diakui oleh para ulama. Muhammad bin Dawud berkata: “Tidak pernah diketahui dalam perjalanan hidup Syafi’i bahwa beliau pernah berbicara agama dengan hawa nafsu atau dinisbatkan kepadanya, bahkan beliau dikenal sangat benci terhadap ahli kalam dan ahli bid’ah”.[15]

Dawud bin Ali al-Ashbahani berkata: “Terkumpul pada diri Syafi’i keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh lainnya, di antaranya adalah nasab dia yang sampai kepada Nabi, kebagusan agama dan keselamatannya dari hawa nafsu dan kebid’ahan”.[16] Sahnun juga berkata: “Tidak ada pada Imam Syafi’i kebid’ahan”.[17]

Imam Ibnu Nashr Al-Maqdisi berkata tatkala menceritakan keadaan Imam Syafi’i dan keluasan ilmunya: “Tidaklah beliau menukil dari seorang salaf-pun atau dari seorang ulama yang sezaman dengannya suatu macam kebid’ahan, atau meyakininya atau mencampur dengan ilmunya, bahkan beliau melarang dan mencela semua itu”.[18]

Imam Syafi’i mengatakan:

وَأُوْصِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلُزُوْمِ السُّنَّةِ وَالآثَارِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ –عَلَيْهِ السَّلاَمُ- وَأَصْحَابِهِ، وَتَرْكِ الْبِدَعِ وَالأَهْوَاءِ وَاجْتِنَابِهَا

Saya wasiatkan dengan taqwa kepada Allah dan berpegang taguh dengan sunnah dan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta meninggalkan dan menjauhi hawa kebid’ahan dan hafa nafsu”.[19]

إِنَّمَا الاسْتِحْسَانُ تَلَذُّذٌ

Sesungguhnya istihsan itu hanyalah mencicipi saja/mencari kelezatan”.[20]

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syari’at”.[21]

Ar-Ruyani berkata: “Maksudnya adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri”.[22]

Imam Syafi’i juga menulis sebuah kitab berjudul “Ibthol Istihsan” (Menghancurkan Istihsan).[23] Yang dimaksud dengan istihsan di sini adalah menganggap baik suatu perkata tanpa dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’ atau qiyas, karena orang yang melakukan hal itu berarti dia telah membuat suatu syari’at tentang hukum tersebut dan tidak mengambilnya dari dalil-dalil syari’at.[24]

Demikian pula para ulama madzhab Syafi’iyyah, mereka sangat keras melarang dan mengingkari kebid’ahan bahkan mereka menulis karya-karya khusus yang membantah kebid’ahan.[25]

Adakah Bid’ah Hasanah Menurut Imam Syafi’i?

Adapun dalil-dalil yang dijadikan oleh orang-orang yang melegalkan bid’ah hasanah, semunya adalah rapuh[26], di antara syubhat yang mereka bawakan adalah ucapan Imam Syafi’i:

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ الأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ ضَلاَلَةٌ، وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ، قَدْ قَالَ عُمَرُ فِِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ، يَعْنِي أَنَّهَا مُحْدَثَةٌ لَمْ تَكُنْ، وَإِذَا كَانَتْ فَلَيْسَ فِيْهَا رَدٌّ لِمَا مَضَى.

Perkara yang baru itu ada dua macam: Perkara baru yang menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, atsar dan ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Adapun perkara baru dari kebaikan yang tidak menyelisihi salah satu dari ini maka tidaklah tercela. Umar mengatakan tentang terawih pada bulan Romadhon: Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni dia termasuk perkara baru tetapi tidak menyelisihi hal-hal tadi”.[27]

Dalam redaksi lainnya, diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata:

الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ, وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ

Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan yang tercela: Apabila sesuai dengan sunnah maka terpuji dan apabila menyelisihi sunnah maka tercela. Dan beliau berdalil dengan ucapan Umar tentang tarawih Romadhan: Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[28]

Jawaban:

Ucapan Imam Syafi’i di atas tidak bisa untuk mendukung adanya bid’ah hasanah seperti maksud orang-orang belakangan. Keterangannya sebagai berikut:

  • Ucapan Imam Syafi’i di atas masih dipertanyakan tentang keshohihannya. Dan anggaplah shohih tetap tidak bisa untuk melawan atau mengkhususkan keumuman hadits Nabi di atas. 

Imam Syafi’i sendiri berkata:

وَكَذَلِكَ يَنْبَغِيْ لِمَنْ سَمِعَ الْحَدِيْثَ أَنْ يَقُوْلَ بِهِ عَلَى عُمُوْمِهِ وَجُمْلَتِهِ حَتَّى يَجِدَ دَلاَلَةً يُفَرِّقُ بِهَا فِيْهِ بَيْنَهُ

Hendaknya bagi seorang yang mendengarkan hadits untuk mengamalkannya secara umum sampai mendapati dalil yang mengkhususkannya.[29]

  • Bagaimana Imam Syafi’i mengatakan bid’ah hasanah, padahal beliau adalah seorang Imam yang dikenal mengagungkan Sunnah dan memerangi bid’ah dan ahlinya sebagaimana telah kami paparkan sebagiannya. Oleh karenanya, barangsiapa yang hendak menafsirkan ucapan Imam Syafi’i, maka dia harus memahami kaidah-kaidah Imam Syafi’i. Hal ini merupakan suatu hal yang popular dalam suatu bidang. Imam Syafi’i sendiri berkata:

لاَ يَجْمُلُ الْعِلْمُ وَلاَ يَحْسُنُ إِلاَّ بِثَلاَثِ خِلاَلٍ : تَقْوَى اللهِ وَإِصَابَةِ السُّنَّةِ وَالْخَشْيَةُ

Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah dan rasa takut”.[30]

Jadi beliau mensyaratkan dalam setiap ucapan beliau agar “sesuai dengan sunnah” Dan sebagaimana dimaklumi bersama bahwa bid’ah adalah lawan kata sunnah. Lantas, bagaimana suatu bid’ah dikatakan baik jika pada dasarnya saja sudah menyelisihi sunnah Nabi?!![31]

  • Kalau kita perhatikan ucapan Imam Syafi’i di atas secara teliti, maka maksud ucapan beliau dengan bid’ah yang terpuji adalah bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah secara istilah. Dengan bukti, bahwa setiap bid’ah secara istilah adalah menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan bid’ah yang terpuji adalah bid’ah yang tidak menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, padahal setiap bid’ah dalam istilah itu pasti menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Hafizh Ibnu Rojab menjelaskan bahwa maksud Imam Syafi’i dengan ucapannya di atas adalah bid’ah secara bahasa.[32]

Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sesat maksudnya adalah dari segi bahasa, sedangkan ulama yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat maksudnya adalah bid’ah secara istilah”.[33]

  • Hal yang memperkuat bahwa maksud ucapan Imam Syafi’i di atas adalah bid’ah secara bahasa adalah pendalilan beliau dengan ucapan Umar bin Khothob tentang sholat tarawih secara berjama’ah “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” padahal shalat tarawih berjama’ah bukanlah bid’ah karena pernah dilakukan oleh Nabi, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir diwajibkan. Nah, tatkala kekhawatiran ini hilang dengan meninggalnya Nabi Muhammad maka Umar menghidupkannya lagi dan menamainya sebagai bid’ah secara bahasa.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Bid’ah terbagi menjadi dua bagian: kadang berupa bid’ah secara syar’i ; seperti sabda Rosululloh shallallahu 'alaihi wa sallam:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Setiap bentuk bid’ah adalah sesat, dan kadang berupa bid’ah secara bahasa; seperti perkataan Amiril Mukminin Umar bin Khoththob ketika menjadikan para sahabat satu jama’ah dalam sholat Tarawih secara terus-menerus: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[34]

  1. Mungkin maksud Imam Syafi’i dengan ucapan beliau bid’ah hasanah tersebut adalah masalah-masalah dunia yang bermanfaat seperti seperti listrik, telepon, pesawat, mobil, buku dan sejenisnya dari hal-hal yang bermanfaat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Buthomi[35] dan Syaikh Ahmad Surkati[36].
  2. Imam Syafi’i dikenal dengan seorang ulama yang sangat menghormati hadits Nabi dan marah besar terhadap orang-orang yang menolak hadits. Pernah seorang penanya mengatakan kepada beliau: “Lantas apakah engkau berpendapat dengan hadits tersebut? Imam Syafi’i marah mendengarnya seraya mengatakan:

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ، وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِيْ إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا فَلَمْ أَقُلْ بِهِ؟ نَعَمْ عَلَى السَّمْعِ وَالْبَصَرِ

Aduhai orang ini, bagian bumi manakah yang aku injak dan bagian langit mana yang menaungiku, apabila aku meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah r kemudian aku tidak mengambilnya. Benar, aku mendengar dan tunduk pada hadits tersebut”.[37]

Lantas, bagaimana kiranya beliau akan melawan hadits “Setiap bid’ah adalah sesat”?!. Maka, ucapan beliau sebaiknya dibawa kepada bid’ah secara bahasa agar tidak bertentangan dengan hadits Nabi.[38]

Banyak orang berdalil dengan ucapan Imam Syafi’i di atas untuk melegalkan adanya bid’ah hasanah dalam ibadah, padahal Imam Syafi’i sendiri mengingkari hal-hal yang mereka anggap sebagai bid’ah hasanah, contoh mudah adalah masalah acara Tahlilan dan selametan kematian[39] yang biasa diadakan oleh sebagian saudara kita yang nota bene bermadzhab Syafi’i, padahal Imam Syafi’i dan ulama-ulama madzhab Syafi’i telah menegaskan akan tercelanya perbuatan tersebut[40].

Imam Syafi’i berkata:

وَ أَكْرَهُ الْمَأَتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةَ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَ يُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى مِنَ الأَثَرِ

Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu”.[41]

Imam Nawawi menukil perkataan pengarang kitab As-Syamil sebagai berikut:

وَ أَمَّا إِصْلاَحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَيْئٌ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ

Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikitpun bahkan termasuk bid’ah, bukan sunnah”.[42]

Al-Hafidz As-Suyuthi berkata: “Termasuk perkara bid’ah adalah berkumpul-kumpul kepada keluarga mayit.” Kemudian beliau menukil perkataan Imam Syafi’i diatas tadi.[43]

Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah Makkah, pernah ditanya masalah ini lalu dia menjawab:

نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا وَالِي الأَمْرِ ثَبَّتَ اللهُ بِهِ قَوَاعِدَ الدِّيْنِ وَأَيَّدَ بِهِ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ

Benar, apa yang dilakukan kebanyakan manusia berupa kumpul-kumpul pada keluarga mayit dan membuatkan makanan termasuk perkara bid’ah mungkaroh, Apabila pemerintah -yang Alloh menguatkan sendi-sendi Islam dengannya- melarang hal ini, dia akan diberi pahala”.[44]

Apakah setelah itu, masihkah disebut sebagai bid’ah hasanah?!! Jawablah wahai orang yang dikaruniai akal.

Sikap Imam Syafi’i Terhadap Ahli bid’ah

Imam al-Baihaqi berkata: “Adalah Syafi’i sangat keras terhadap orang yang menyeleweng dan ahli bid’ah, dan beliau terang-terangan menghajr (mendiamkan) mereka”.[45] Bahkan dikisahkan bahwa sebab hijrah beliau dari Baghdad menuju Mesir adalah karena munculnya Mu’tazilah dan kuatnya mereka dengan kebid’ahan dan kepemimpinan mereka sehingga Negara tunduk pada mereka.[46]

Di antara contoh sikap beliau adalah:

قَالَ الْبُوَيْطِيُّ: سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ: أُصَلِّيْ خَلْفَ الرَّافِضِيْ ؟ قَالَ: لاَ تُصَلِّ خَلْفَ الرَّافِضِيِّ، وَلاَ الْقَدَرِيِّ، وَلاَ الْمُرْجِئِ. قُلْتُ: صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: مَنْ قَالَ: الِإِيْمَانُ قَوْلٌ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ قَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لَيْسَا بِإِمَامَيْنِ فَهُوَ رَافِضِيٌّ، وَمَنْ جَعَلَ الْمَشِيْئَةَ إِلَى نَفْسِهِ فَهُوَ قَدَرِيٌّ

Berkata al-Buwaithi: Saya pernah bertanya kepada Syafi’i: Apakah saya sholat di belakang Rofidhah? Beliau menjawab: Jangan sholat di belakang seorang Rofidhah, Qodariyyah, Murji’ah. Saya berkata: Sifatkanlah mereka kepada kita. Beliau menjawab: Barangsiapa mengatakan bahwa iman itu sekadar ucapan maka dia adalah murji’ah. Barangsiapa mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam maka dia adalah Rofidhoh. Barangsiapa yang menjadikan kehendak pada dirinya maka dia adalah Qodariyyah.[47]

Apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i ini merupakan salah satu cara untuk hajr Ahli bid’ah agar mereka bertaubat dari kesalahan dan penyimpangannya.

PRINSIP KELIMA

Melarang Fanatik dan Takqlid Buta

Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ (loyalitas) dan bara’ (benci)-nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar kelompok, organisasi, dan madzhab, individu, negara dan sebagainya.

Adapun taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar dalil atau hujjahnya.[48] Allah telah mencela sikap taklid dalam banyak ayatNya, di antaranya:

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (QS. Al-Baqarah: 166).

Nah, sekarang bagaimana sikap Imam Syafi’i terhadap taklid dan fanatisme?! Ikutilah penjelasan berikut:

Imam Syafi’i Melarang Taklid

Para ulama sepakat untuk mengingkari taklid buta dan mereka melarang manusia dari sikap taklid kepada pribadi mereka[49]. Dan di antara para Imam yang paling keras melarang taklid adalah Imam Syafi’i, karena beliau komitmen kuat dengan hadits Nabi dan beliau berlepas diri dari sikap taklid, beliau mengulang-ngulang wasiat tersebut berkali-kali dan menganjurkan untuk mengikuti dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi, sehingga wasiat emas ini membawa manfaat yang sangat banyak sekali.[50]

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Para imam empat melarang dari sikap taklid kepada mereka dan mereka mencela untuk mengambil ucapan mereka tanpa dalil”.[51]

Nukilan-nukilan dari mereka tentang masalah ini banyak sekali[52], terutama dari Imam Syafi’i[53], kami akan sebutkan di antaranya saja sebagai pelajaran bagi kita:

Imam Syafi’i berkata:

كُلُّ مَا قُلْتُهُ فَكَانَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا صَحَّ، فَهُوَ أَوْلَى، وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ

Setiap apa yang aku katakan lalu ada hadits shahih dari Rasulullah yang menyelisihi ucapanku maka hadits lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku”.[54]

Imam Syafi’i berkata:

إِذَا وَجَدْتُمْ فِيْ كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : فَااتَّبِعُوْهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ

Apabila kalian mendapati sunnah Rasulullah maka ikutilah sunnah Rasulullah dan janganlah menoleh ucapan seorangpun”.[55]

Imam Syafi’i berkata:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَخُذُوْا بِهِ وَدَعُوْا قَوْلِيْ

Apabila telah shahih hadits dari Rasulullah maka ambilah dan tinggalkan pendapatku”.[56]

Imam Syafi’i berkata:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ ، وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ، فَاضْرِبُوْا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Apabila ada hadits shahih maka itulah madzhabku dan apabila ada hadits shohih maka lemparlah ucapanku ke tembok”.[57]

Imam Syafi’i berkata:

ِكُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ الْخَبَرُ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِيْ حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَمَاتِيْ

Setiap masalah yang ternyata ada hadits shohih dari Nabi yang menyelisihi ucapanku maka saya meralatnya baik di saat hidupku atau sesudah matiku”.[58]

Demikianlah saudaraku, ucapan-ucapan emas nan berharga dari Imam Syafi’i. Berkat ucapan beliau ini, maka para muridnya dan pengikut madzhabnya yang sejati mengikuti wasiat emas beliau sekalipun harus menyelisihi pendapat Syafi’i. Imam Nawawi berkata: “Para sahabat kami telah mengamalkan wasiat ini dalam masalah tatswib dan persyaratan tahallul pada ihram karena sakit dan masalah-masalah lainnya yang termuat dalam kitab-kitab fiqih”.[59]

Berikut beberapa contoh praktek nyata para muridnya dalam merealisasikan wasiat ini:
  • Imam Al-Muzani (salah seorang murid senior Imam Syafi’i) berkata di awal kitabnya Mukhtashor Fi Fiqih Syafi’i: “Kitab ini saya intisarikan dari ilmu Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan dari makna yang pernah beliau ucapkan. Hal itu aku lakukan untuk memudahkan siapa saja yang ingin mengetahui ilmu-ilmu beliau dengan catatan bahwa Imam Syafi’i sendiri telah melarang dari sikap taklid kepadanya atau kepada selainnya”.[60]
  • Abu Bakar al-Atsrom berkata: Aku pernah duduk bersama Imam Al-Buwaithi (salah seorang murid senior Syafi’i) aku menyebutkan padanya hadits Ammar tentang masalah tayammum, maka beliau mengambil sebilah pisau dan ia mengupas sedikit dari bagian kitabnya, kemudian ia pukulkan kitabnya itu satu pukulan dengan pisauanya seraya berkata: “Begitulah guru kami (Imam Syafi’i) berwasiat kepada kami. Apabila telah shahih sebuah hadits menurut kalian maka itulah pendapatku”.

Imam Abu Syamah berkomentar: “Apa yang dilakukan oleh al-Buwaithi ini merupakan tindakan yang bagus dan sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah dan sesuai dengan perintah Imam Syafi’i. Adapun mereka yang menampakkan fanatik kepada pendapat-pendapat Imam Syafi’i dalam keadaan bagaimanapun juga sekalipun menyelisihi sunnah, maka pada hakekatnya mereka bukanlah orang-orang yang mengikuti Imam Syafi’i. Hal itu karena mereka tidak melaksanakan perintah beliau”.[61]

Imam Syafi’i mengingkari Fanatisme

Fanatisme madzhab dan golongan hukumnya haram.

Imam Syafi’i telah mengingkari keras sikap fanatisme madzhab dan golongan. Imam Al-Baihaqi menceritakan bahwa Imam Syafi’i menyatakan kepada seorang yang mempertentangkan hadits Rasulullah dengan perkataan ulama:

أَنَا أَقُوْلُ لَكَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنْتَ تَقُوْلُ : قَالَ عَطَاءُ وَطَاوُوْسُ وَمَنْصُوْرٌ وَإِبْرَاهِيْمُ وَهَؤُلاَءِ لاَ يَرَوْنَ ذَلِكَ. هَلْ لأَحَدٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ حُجَّةٌ؟

Aku berkata kepadamu bahwa Rasulullah telah bersabda demikian tetapi kemudian kamu justru berkata Atho’, Thowus, Manshur, Ibrahim tidak berpedapat demikian. Apakah ada ucapan seorang yang bisa dipertentangakan dengan Rasulullah?!”.[62]

Sekalipun demikian wasiat dan pengingkaran Imam Syafi’i, tapi lihatlah apa yang terjadi pada tubuh para pengikutnya. Perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah adalah sesuatu yang sangat populer sejak dahulu.

PRINSIP KEENAM

Persatuan Dan Perselisihan

“Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi yang mulia dan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah”.[63]

Imam Syafi’i Menyeru Kepada Persatuan

Persatuan adalah sesuatu yang sangat ditekankan dan dianjurkan dalam Islam. Namun perlu diketahui bahwa persatuan di sini adalah persatuan di atas aqidah yang sama, bukan persatuan yang sekadar dalam slogan saja tetapi pada hakekatnya hati mereka bercerai berai. Oleh karenanya, perlu diperhatikan beberapa hal berikut untuk mempersatukan umat:
  1. Memperbaiki aqidah dari noda-noda syirik.
  2. Mendengar dan ta’at kepada para pemimpin, karena memberontak kepada mereka akan menyebabkan kekacauan.
  3. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan persengketaan.
  4. Mendamaikan antara manusia yang bersengketa dan bertengkar.
  5. Memerangi para pemberontak yang ingin memecah belah persatuan.[64]

Dan Imam Syafi’i sangat menanamkan beberapa hal di atas sebagai bentuk usaha persatuan. Hal ini sangat diketahui oleh orang yang mempelajari kehidupan beliau. Di antara ucapan beliau dalam masalah ini adalah:

وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ, وَمَنْ خَالَفَ مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمْ الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا, وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةُ فِي الْفُرْقَةِ, فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَةًّ غَفْلَةٌ عَنْ مَعْنَى كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِيَاسٍ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Barangsiapa berpendapat sesuai dengan jama’ah kaum muslimin maka berarti dia berpegang kepada jama’ah mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi jama’ah kaum muslimin maka dia menyelisihi jama’ah yang dia diperintahkan untuk mengikutinya. Sesungguhnya kesalahan itu ada dalam perpecahan, adapaun jama’ah maka tidak mungkin semuanya bersatu menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, dan qiyas insya Alloh”.[65]

Para ulama Syafi’iyyah mengikuti wasiat yang mulia ini, seperti wasiat Imam ash-Shabuni: “Saya wasiatkan kepada kalian agar menjadi umat yang bersaudara dalam kebaikan, saling tolong-menolong, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan tidak berpecah belah, dan mengikuti jalan para ulama umat ini seperti Malik bin Anas, Syafi’i, Tsauri, Ibnu Uyainah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim, Yahya bin Yahya dan selain mereka dari ulama agama Islam, semoga Allah meridhoi mereka semua dan menjadikan kita semua bersama mereka dalam surgaNya”.[66]

Imam Syafi’i memerintahkan taat kepada pemimpin dan melarang memberontak mereka

Salah satu kita menuju persatuan dan mencegah perpecahan yang sangat inti adalah taat kepada pemimpin dan tidak memberontak mereka. Inilah yang ditanamkan oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya.

Imam Syafi’i juga berkata:

(فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ في شيء فردوه إلى الله) يَعْنِي وَاللهُ أَعْلَمُ هُمْ وَأُمَرَاؤُهُمْ الَّذِيْنَ أُمِرُوْا بِطَاعَتِهِمْ

Kalau kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada Allah” Yakni –wallahu A’lam- mereka dan para pemimpin mereka yang diperintahkan untuk ditaati oleh mereka”.[67]

Dalam ucapan ini, beliau menegaskan bahwa para pemimpin itu harus ditaati, tapi tentunya hal itu selain dalam kemaksiatan, sebab tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah.[68]

Imam Syafi’i berkata dalam wasiatnya:

وَالسَّمْعُ لأُوْلِي الأَمْرِ مَا دَامُوْا يُصَلُّوْنَ وَالْمُوَالاَةُ لَهُمْ وَلاَ يَخْرُجُ عَلَيْهِمْ بِالسَّيْفِ

Dan hendaknya taat kepada pemimpin selagi mereka masih shalat dan mencintai mereka dan tidak memberontak mereka”.[69]

Beliau juga menganjurkan kepada kita untuk mendoakan kebaikan untuk para pemimpin:

وَالدُّعَاءُ لأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ يَخْرُجُ عَلَيْهِمْ بِالسَّيْفِ

Dan hendaknya mendoakan kebaikan bagi para pemimpin kaum muslimin dan tidak memberontak mereka”.[70]

Bahkan beliau menjadikan ini sebagai aqidah karena beliau mengatakan setelah itu: “Barangsiapa yang menyelisihi hal ini (aqidah ini) maka dia telah menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”.[71]

Murid beliau al-Muzani juga berwasiat: “Dan hendaknya taat kepada pemimpin dalam kebaikan dan menjauhi dalam kemaksiatan”.[72]

Oleh karenanya kita dianjurkan mendoakan baik pemimpin dan membantu beban berat amanat para pemimpin, karena memimpin manusia itu bukan pekerjaan ringan. Imam Syafi’i sendiri mengatakan:

سِيَاسَةُ النَّاسِ أَشَدُّ مِنْ سِيَاسَةِ الدَّوَابِ

Mengatur manusia itu lebih berat daripada mengatur binatang”.[73]

Macam maçam Perselisihan Penurut Imam Syafi’i

Penting sekali bagi kita untuk memahami fiqih ikhtilaf yang telah dijelaskan secara bagus oleh Imam Syafi’i. Beliau berkata:

الاخْتِلاَفُ وَجْهَانِ : فَمَا كَانَ لِلَّهِ فِيْهِ نَصُّ حُكْمٍ أَوْ لِرَسُوْلِهِ سُنَّةٌ أَوْ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِيْهِ إِجْمَاعٌ لَمْ يَسَعْ أَحَدًا عَلِمَ مِنْ هَذَا وَاحِدًا أَنْ يُخَالِفَهُ. وَمَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِنْ هَذَا وَاحِدٌ كَانَ لِأَهْلِ الْعِلْمِ الاجْتِهَادُ فِيْهِ بِطَلَبِ الشُّبْهَةِ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوْهِ الثّلاَثَةِ

“Perselisihan itu ada dua macam, apabila sudah ada dalilnya yang jelas dari Allah dan sunnah Rasul atau ijma’ kaum muslimin maka tidak boleh bagi kaum muslimin yang mengetahuinya untuk menyelisihinya. Adapun apabila tidak ada dalilnya yang jelas maka boleh bagi ahli ilmu untuk berijtihad dengan mencari masalah yang menyerupainya dengan salah satu di antara tiga tadi (Al-Qur’an, sunnah dan ijma’).[74]

Dari penjelasan ucapan Imam Syafi’i di atas, dapat kita simpulkan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam[75]:

Pertama: Perselisihan Tercela

Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:
  • Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[76]
  • Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[77]
  • Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[78].

Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela

Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih[79]. Hal ini memiliki beberapa gambaran:
  • Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
  • Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
  • Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[80].
Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan[81]. Imam Qotadah berkata: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[82] Mirip dengan ini adalah ucapan Syaikh Hammad al-Anshori: “Sesungguhnya mengetahui perselisihan ulama adalah penting untuk diketahui oleh penuntut ilmu karena kejahilan tentangnya menjadikan seorang akan bertikai, bermusuhan dan sejenisnya”.[83]

Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi:

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[84]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran.

Dan termasuk kisah menarik dalam hal ini adalah dialog Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan Imam Syafi’i tentang makna ( الْقَرْءُ) apakah maksudnya adalah haidh ataukah suci dari haidh. Pertamanya Imam Syafi’i mengatakan: Haidh dan Abu Ubaid mengatakan: Suci dari haidh. Setelah masing-masing memaparkan argumen-argumen yang kuat dan berpisah, ternyata masing-masing terpengaruh dengan argumen kawan debatnya, sehingga Imam Syafi’i yang pertamanya berpendapat haidh akhirnya berubah menjadi suci dari haidh dan Abu Ubaid yang pertamanya berpendapat suci dari haidh berubah menjadi haidh.[85]


Oleh : Al-Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A.
Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011 di http://www.kajianonlinemedan.com
Publish : http://abangdani.wordpress.com

[1] Manaqib Syafi’i 1/471 oleh al-Baihaqi.

[2] Manaqib Syafi’i 1/471.

[3] Mukhtashor Al-Uluw hlm. 177.

[4] Manaqib Syafi’i 1/470 oleh al-Baihaqi.

[5] Jima’ul Ilmi hlm. 11.

[6] Tafsir Al-Qur’anil Azhim 3/23.

[7] Al-I’tisham 1/64-65 Imam Syatibi, tahqiq Salim al-Hilali.

[8] Ar-Risalah hlm. 20.

[9] HR. Abu Dawud 4291 dan al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/522, ath-Thabarani dalam Al-Ausath 6527, al-Baihaqi dalam Ma’rifah Sunan wal Atsar 1/137, al-Harawi dalam Dzammul Kalam 1108. Hadits ini dikuatkan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagaimana dalam Faidhul Qadir 2/282, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tawali Ta’sis hal. 48, as-Sakhawi dalam Al-Maqashidul Hasanah hal. 203, al-Albani dalam Ash-Shahihah 2/123, bahkan al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam At-Tanbi’ah Fiima Yab’atsuhullah Ala Ra’si Kulli Sanah hal. 19: “Para ulama sepakat bahwa hadits ini shahih”. Lihat pula keterangan hadits ini secara luas dari segi sanad dan matan dalam Irsyadul Fuhul Ila Tahrir Nuqul hlm. 285-305 oleh Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali.

[10] Faidhul Qadir Syarh Jami’u Saghir 2/281-282

[11] Lihat Irsyadul Fuhul Ila Tahrir Nuqul hlm. 298 oleh Salim al-Hilali dan Mafhum Tajdid Baina Sunnah nabawiyyah wa Baina Ad’iya Tajdid Al-Mu’ashirin hlm. 4 oleh Dr. Mahmud ath-Thohhan.

[12] Tawali Ta’sis hlm. 48 oleh Ibnu Hajar.

[13] Lihat kata pengantar Ustadzuna Al-Fadhil Abdul Hakim bin Amir Abdat terhadap buku “Wasiat dan Prinsip Imam Syafi’i Tentang Taklid Buta dan Fanatisme Madzhab” hlm. 11-17 oleh akhuna Ibnu Saini.

[14] Muqoddimah Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais terhadap Aqidah Syafi’i oleh al-Barzanji hlm. 52.

[15] Siyar A’lam Nubala 10/26 oleh adz-Dzahabi.

[16] Tawali Ta’sis hlm. 102 oleh Ibnu Hajar.

[17] Siyar A’lam Nubala 10/95 oleh adz-Dzahabi.

[18] Al-Hujjah ala Tarikil Mahajjah 1/180, Lihat pula Iljam Awam ‘an Ilmi Kalam hlm. 90 oleh al-Ghozali dan Inarotul Fikr hlm. 32 oleh al-Biqo’i. (Dinukil dari disertasi Dr. Ustadz Muhammad Nur Ihsan yang berjudul Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 255).

[19] Wasiyatul Imam Syafi’i hlm. 47-48, I’tiqad Imam Syafi’i hlm. 16 oleh al-Hakari, Al-Amru bil Ittiba’ hlm. 313 oleh as-Suyuthi dan Aqidah Syafi’i oleh al-Barzanji hlm. 93, Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 97 oleh Dr. Muhammad Nur Ihsan.

[20] Ar-Risalah hlm. 507.

[21] Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab Syafi’i seperti al-Ghozali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ 2/395 dan lain sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 oleh Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi).

[22] Disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul hlm. 787 dan az-Zarkasyi dalam Al-Bahrul Muhith 2/230.

[23] Sebagaimana dalam Al-Umm 7/293.

[24] Taisir Al-Wushul Ila Qowaid Ushul hlm. 328 oleh Abdullah al-Fauzan. Lihat pula tulisan “Al-Istihsan Baina Muayyidihi wa Mu’aridhihi” oleh Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dimuat dalam Majalah Al-Hikmah hlm. 145- 146, edisi 4, Jumadil Awal 1415 H.

[25] Lihat secara detail dalam Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bid’a hlm. 103-130 oleh akhuna al-Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, MA.

[26] Syaikh Salim al-Hilali telah menepis syubhat-syubhat para penganut faham “bid’ah hasanah” dan meruntuhkannya satu persatu secara bagus dalam risalahnya “Al-Bid’ah wa Atsaruha Sayyi’ fil Ummah” hal. 207-247 -Jami’ Rosail-. Dan juga Syaikh Abdul Qoyyum as-Sahyibani dalam kitabnya Al-Luma’ fir Roddi Ala Muhassinil Bida’.

[27] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Manaqib Syafi’i 1/469 dari Rabi’ bin Sulaiman. Tetapi dalam sanadnya terdapat Musa bin Fadhl, kami belum mendapati biografinya. (Al-Bid’ah wa Atsaruha hlm. 242 oleh Salim al-Hilali).

[28] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah Auliya’ 9/113 dari Harmalah bin Yahya. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Athosyi, disebutkan oleh al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab, tetapi keduanya tidak menyebutkan pujian atau celaan. (Al-Bid’ah hlm. 242).

[29] Ar-Risalah hlm. 295 dan Al-Umm 7/269. Lihat pula Al-Ihkam fii Ushul Ahkam 1/361 oleh Ibnu Hazm, Mudzakkiroh Ushul Fiqih hlm. 340 oleh asy-Syinqithi, Taudhih Ushul Fiqih ala Manhaj Ahlil Hadits hlm. 193-194 oleh Zakariya bin Ghulam al-Bakistani.

[30] Manaqib Syafi’i 1/470 oleh al-Baihaqi.

[31] Manhaj Imam Syafi’i fii Itsbatil Aqidah hlm. 134 oleh Syaikh Dr. Muhammad al-Aqil.

[32] Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/131.

[33] Al-Fatawa Al-Haditsiyyah hlm. 370. Lihat pula Juz fi Ittiba’ Sunan hlm. 30 oleh adz-Dzahabi.

[34] Tafsir Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir 1/283.

[35] Tahdzir Muslimin hlm. 66.

[36] Al-Masail Tsalats hlm. 49-50.

[37] Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/150 oleh al-Khathib al-Baghdadi.

[38] Lihat Al-Bid’ah wa Atsaruha hlm. 242-244 oleh Syaikh Salim al-Hilali, dan Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 289-296 oleh DR. Ust. Muhammad Nur Ihsan.

[39] Sudah banyak para ustadz dan peneliti yang menulis buku tentang hal ini, seperti Ustadzuna Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab, Ustadz Abu Ihsan al-Medani dalam Bincang-Bincang Seputar Tahlilan Yasinan dan Maulidan, ustadzuna Abu Ibrahim dalam Penjelasan Gamblang Tentang Yasinan Tahlilan dan Selametan, ustadz Hartono Ahmad Jaiz dalam Tarekat Tasawwuf Tahlilan dan Maulidan , ustadz Abdul Aziz dalam Muallaf Menggugat Tahlilan, saudara Harry Yuniardi dalam Santri NU Menggugat Tahlilan. Dan ustadz Abu Ubaidah juga memiliki tulisan ringkas mengenai hal ini berjudul “Tahlilan Dalam Pandangan Ulama Madzhab”, tercetak bersama buku beliau “Bangga Dengan Jenggot”.

[40] Kalau kita perhatikan keterangan para ulama dalam masalah ini, akan sangat jelas bagi kita bahwa ulama madzhab Syafi’i adalah di antara ulama madzhab yang paling keras mengingkari acara ini dibandingkan madzhab-madzhab lainnya. Saya jadi teringat dengan kisah salah seorang ustadz yang berdialog dengan simpatisan acara ini. Setelah ustadz tersebut membawakan komentar ulama-ulama Syafi’iyyah di atas, ternyata sang simpatisan berkomentar aneh: “Kita ini sudah banyak mengikuti madzhab Syafi’i, jadi sekali-kali boleh lah kita menyelisihinya”.!!!

[41] Al-Umm (1/318)

[42] Al-Majmu (5/290).

[43] Al-Amru bil Ittiba’ (hal. 288)

[44] I’anah Tholibin juz. 2 hal.145-146 oleh Syeikh Abu Bakar Muhammad Syatho.

[45] Manaqib Syafi’i 1/469.

[46] Lihat Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah 1/138 oleh Dr. Muhammad Al-Aqil.

[47] Siyar A’lam Nubala’ 3/3283 oleh adz-Dzahabi.

[48] Mudzakkiroh Ushul Fiqih hlm. 490 oleh asy-Syinqithi.

[49] Lihat masalah ini secara bagus dalam Iqodh Himam Ulil Abshor oleh al-Fullani dan Al-Muqollidun wal Aimmah Arbaah oleh Abu Abdirrahman Said Mi’syasyah.

[50] Al-Ihkam fii Ushul Ahkam 2/1091 oleh Ibnu Hazm.

[51] I’lamul Muwaqqi’in 2/200.

[52] Lihat Muqoddimah Shifat Sholat Nabi hlm. 45-55 oleh al-Albani dan At-Ta’dhim wal Minnah fil Intishor lis Sunnah hlm. 19-29 oleh Syaikh Salim al-Hilali.

[53] Lihat buku “Wasiat dan Prinsip Imam Syafi’i Tentang Taklid Buta dan Fanatisme Madzhab” oleh akhuna Al-Ustadz Ibnu Saini. Kami telah mengambil manfaat dari beberapa nukilannya.

[54] Hilyatul Auliya 9/106-107 oleh Abu Nu’aim.

[55] Dzammul Kalam 3/47 oleh Al-Harowi dan dishahihkan alAlbani dalam Shifat Sholat Nabi hlm. 50.

[56] Al-Bidayah wa Nihayah 5/276 oleh Ibnu Katsir.

[57] Siyar A’lam Nubala 5/35 oleh Adz-Dzahabi dan Al-Majmu’ 1/63 oleh an-Nawawi.

[58] Tawali Ta’sis hlm. 108 oleh Ibnu Hajar.

[59] Al-Majmu’ 1/63.

[60] Mukhtashor Al-Muzani hlm. 1.

[61] Mukhtashor Al-Muammal Fir Raddi Ila Amril Awwal hlm. 59 dan dinukil oleh as-Subki dalam Makna Qouilil Imam Al-Muthollibi hlm. 81.

[62] Manaqib Syafi’i 1/214-215.

[63] Al-Fathur Robbani 6/2847-2848 oleh asy-Syaukani.

[64] Al-Ajwibah Mufidah hlm. 130-131 oleh Dr. Shalih al-Fauzan.

[65] Ar-Risalah hlm. 475-476.

[66] Wasiat Imam Ash-Shobuni hlm. 70.

[67] Ar-Risalah hlm. 80.

[68] Syaikh Ibnu Utsaimin berkata dalam Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656: “Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
  1. Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardhu, maka wajib mentaatinya.
  2. Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh mentaatinya.
  3. Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka majib ditaati juga, bila tidak mentaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.

Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang bathil dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah”.

[69] Diriwayatkan oleh Al-Hakkari dalam I’tiqod Imam Syafi’i hlm. 16 dan Abdul Ghoni bin Abdul Wahid al-Maqdisi sebagaimana dalam Al-Amru bil Ittiba’ hlm. 313 oleh as-Suyuthi.

[70] I’tiqod Imam Syafi’i hlm. 18 oleh al-Hakkari.

[71] Idem hlm. 18

[72] Syarhus Sunnah hlm. 86.

[73] Tawali Ta’sis hlm. 134 oleh Ibnu Hajar.

[74] Jima’ul Ilmi hlm. 96, Ar-Risalah hlm. 560.

[75] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.

[76] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.

[77] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.

[78] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.

[79] Semoga Allah merahmati Imam Ibnul Qoyyim tatkala mengatakan: “Adanya perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi karena perbedaan pemahaman dan kadar akal mereka, akan tetapi yang tercela adalah permusuhan di kalangan mereka. Adapun perbedaan yang tidak menjadikan permusuhan dan pengelompokan, masing-masing yang berselisih tujuannya adalah ketaatan kepada Allah dan rasulNya, maka perbedaan tersebut tidaklah berbahaya, karena memang itu adalah suatu kepastian pada manusia”. (Showai’q Al-Mursalah 2/519).

[80] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.

[81] Alangkah indahnya ucapan Ahmad bin Abdul Halim: “Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka banyak sekali jumlahnya. Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar dan Umar saja, kedua orang yang paling mulia setelah Nabi, mereka berdua bebeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi keduanya tidak menginginkan kecuali kebaikan”. (Majmu’ Fatawa 5/408).

[82] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.

[83] Al-Majmu’ fi Tarjamati Syaikh Hammad al-Anshori 2/519.

[84] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 3/3281, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’i dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.

[85] Thobaqot Syafi’iyyah 1/273 oleh as-Subki, Muqoddimah Syaikh Masyhur bin Hasan terhadap Ath-Thuhur karya Abu Ubaid hlm. 34

Post a Comment for "Makalah: Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama -3"