Beberapa Anjuran, Keutamaan, Adab dan Etika dalam Berdzikir

Beberapa Anjuran, Keutamaan, Adab dan Etika dalam BerdzikirAnjuran dan Keutamaan Berdzikir

Di antara bekal penting bagi seorang muslim dan muslimah dalam mengarungi samudra kehidupan adalah dzikir kepada Allah. Bukanlah hal samar akan keagungan dan kemuliaan kedudukan dzikir dalam tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, yang keduanya telah menjelaskan tentang keutamaan, tata cara, dan bentuk-bentuknya dengan uraian yang sangat meluas dan mengesankan.

Adapun anjuran dan keutamaan dzikir dan berdzikir, itu merupakan suatu hal yang sangat menerangi jiwa seorang hamba tatkala dicermati dan direnungi olehnya.



Dalam Al-Qur`an Al-Karim, terdapat beberapa sisi penjelasan tentang keutamaan dzikir dan berdzikir, di antaranya:

Pertama: Allah memerintahkan untuk berdzikir. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا.

Berdzikirlah (dengan menyebut) nama Rabb-mu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” [Al-Muzzammil: 8]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا.

Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepada kalian, sedang malaikat-Nya (memohonkan ampunan untuk kalian), supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” [Al-Ahzâb: 41-43]

وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ.

Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah pada petang dan pagi hari.” [Ali Imrân: 41]

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا.

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) nama Rabb-mu pada pagi dan petang.” [Al-Insân: 25]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), berteguhhatilah kalian dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” [Al-Anfâl: 45]

Kedua: Allah Subhânahu wa Ta’âlâ melarang untuk melalaikan atau melupakan dzikir,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ.

Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dengan tidak mengeraskan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah engkau termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” [Al-A’râf: 205]

Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
  • Bermakna dalam hatimu.
  • Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.

Allah Subhânahu wa ta'ala berfirman pula,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]

Sifat orang-orang yang beriman adalah tidak terlalaikan dari dzikirnya oleh suatu apapun. Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid, yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut terhadap suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” [An-Nûr: 36-37]

Ketiga: Allah Ta’âlâ mengabarkan bahaya terhadap orang-orang yang berpaling dari dzikir,

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ.

Barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami mengadakan syaithan (yang menyesatkan) baginya maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [Az-Zukhruf: 36]

لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

Agar Kami memberi cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada Rabb-nya, niscaya dia akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam azab yang amat berat.” [Al-Jin: 17]

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.

Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thâhâ: 124]

Keempat: perintah Allah untuk menghindari orang-orang yang lalai terhadap dzikir. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا.

Maka berpalinglah engkau dari orang yang berpaling dari dzikir kepada Kami dan tidak menginginkan (apa-apa), kecuali kehidupan duniawi.” [An-Najm: 29]

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.

Dan janganlah engkau mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari dzikir kepada Kami serta yang menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [Al-Kahf: 28]

Kelima: Allah Jalla Jalâluhu mengadakan keberuntungan bagi siapa saja yang memperbanyak atau terus menerus berdzikir kepada-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), berteguhhatilah kalian dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” [Al-Anfâl: 45]

اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي.

Pergilah engkau beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, serta janganlah kalian berdua lalai dalam berdzikir kepada-Ku.” [Thâhâ: 42]

Keenam: pujian Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada orang-orang yang berdzikir dan penyebutan pahala untuk mereka,

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ … وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا.

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,… laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar untuk mereka.” [Al-Ahzâb: 35]

Ketujuh: Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan kerugian orang yang lalai terhadap dzikir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ.

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari berdzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang rugi.” [Al-Munâfiqun: 9]

Kedelapan: Allah akan senantiasa mengingat dan menyebut orang-orang yang berdzikir sebagai balasan untuk amalan mereka. Allah Jallat ‘Azhamatuhu berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ.

Oleh karena itu, berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku mengingat kalian (pula), bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” [Al-Baqarah: 152]

Kesembilan: Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengabarkan bahwa dzikir lebih besar daripada segala sesuatu,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.

Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur`an), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya dzikir kepada Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui segala sesuatu yang kalian kerjakan.” [Al-‘Ankabût: 45]

Tentang makna “Dan sesungguhnya dzikir kepada Allah adalah lebih besar”, ada beberapa penafsiran di kalangan ulama[1]:
  1. Bahwa dzikir kepada Allah lebih besar daripada segala sesuatu karena maksud segala ketaatan yang dilakukan untuk Allah adalah guna menegakkan dzikir kepada-Nya. Oleh karena itu, dzikir adalah sebaik-baik, inti, dan ruh ketaatan.
  2. Bahwa penyebutan kalian dengan dzikir kepada Allah akan menyebabkan Allah menyebut dan mengingat kalian, sedang penyebutan Allah kepada kalian adalah lebih besar daripada dzikir kalian kepada-Nya.
  3. Bermakna bahwa dzikir kepada Allah itu sangatlah besar dan agung sehingga tidaklah pantas ada kekejian dan kemungkaran yang melekat bersamanya. Bahkan, bila dzikir telah ditegakkan, sirnalah segala dosa dan maksiat.
  4. Bahwa kandungan ayat menjelaskan bahwa shalat mempunyai dua faedah: (1) shalat itu mencegah dari kekejian dan kemungkaran, serta (2) shalat menghimpun dan mencakup dzikir kepada Allah. Sementara itu, dzikir yang terkandung dalam shalat lebih agung dan lebih besar daripada pencegahan shalat terhadap perbuatan keji dan mungkar.

Kesepuluh: Allah menjadikan dzikir sebagai penutup amalan-amalan shalih, seperti perintah Allah Ta’âlâ untuk menutup shalat dengan dzikir dalam firman-Nya,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ.

Jika kalian berada dalam keadaan takut (bahaya), kerjakanlah shalat sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian, apabila kalian telah aman, berdzikirlah kepada Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan apa-apa yang belum kalian ketahui kepada kalian.” [Al-Baqarah: 239]

sebagai penutup haji dalam firman-Nya,

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا.

Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak daripada itu.” [Al-Baqarah: 200]

dan setelah shalat Jum’at,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

Apabila shalat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di muka bumi; serta carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.” [Al-Jumu’ah: 10]

Kesebelas: yang bisa memahami dan mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah hanyalah orang-orang yang berdzikir,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini secara sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” [Ali ‘Imrân: 190-191]

Kedua belas: dzikir adalah penyejuk hati dan penenang jiwa bagi orang-orang yang beriman sebagaimana dalam firman-Nya,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ.

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah, hati menjadi tenteram.” [Al-Ra’d: 28]

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ.

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (yaitu) Al-Qur`an yang (ayat-ayatnya) serupa lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya, kulit orang-orang yang takut terhadap Rabb-nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka menuju dzikir kepada Allah. Itulah hidayah Allah yang, dengan (kitab) itu, Dia memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, tiada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” [Az-Zumar: 23]

Ketiga belas: Allah membedakan antara orang-orang beriman dan Ahlul Kitab dalam hal berdzikir kepada Allah. Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ.

Belumkah datang waktu bagi orang-orang yang beriman untuk hati mereka tunduk dalam berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, tetapi hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik.” [Al-Hadîd: 16]

Keempat belas: sedikit atau melupakan berdzikir adalah salah satu sifat orang-orang munafik sebagaimana yang diterangkan dalam firman-Nya,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, tetapi (Allah) akan membalas tipuan mereka. Apabila berdiri untuk mengerjakan shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan mengerjakan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka berdzikir kepada Allah, kecuali sedikit sekali.” [An-Nisâ`: 142]

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ.

Syaithan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka melupakan dzikir kepada Allah; mereka itulah golongan syaithan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan syaithan itulah golongan yang merugi.” [Al-Mujâdilah: 19]

Kelima belas: Allah menjelaskan tentang upaya syaithan dalam hal memalingkan manusia dari dzikir. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ.

Sesungguhnya syaithan itu hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, serta menghalangi kalian dari dzikir kepada Allah dan dari shalat; tidakkah kalian berhenti (dari mengerjakan perbuatan itu)?” [Al-Mâ`idah: 91]

Keenam belas: banyak berdzikir adalah salah satu karakter orang yang mengambil suri teladan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam firman-Nya,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada (diri) Rasulullah itu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak berdzikir kepada Allah.” [Al-Ahzâb: 21]

Ketujuh belas: celaan terhadap orang yang hatinya membatu terhadap dzikir kepada Allah sebagaimana dalam firman-Nya,

أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ.

Maka apakah orang-orang, yang hatinya dibukakan oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu mendapat cahaya (hidayah) dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang hatinya telah membatu terhadap dzikir kepada Allah. Mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata.” [Az-Zumar: 22]

Demikian beberapa sisi keutamaan berdzikir kepada Allah dalam uraian Al-Qur`an. Tentunya masih banyak keterangan yang luput dijelaskan di sini. Sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mengandung sejumlah keutamaan lain. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang senantiasa mengingat Allah, memuji, dan mengagungkan-Nya. Kita memohon pula kepada-Nya agar dijauhkan dari golongan orang-orang yang lalai terhadap dzikir dan mengingat Allah. Innahu Jawwâdun Karîm.

Beberapa Adab dan Etika dalam Berdzikir

Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ.

Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” [Al-A’râf: 205]

Dalam ayat yang mulia ini, terdapat sejumlah adab dan etika berkaitan dengan dzikir kepada Allah Ta’âlâ.

Berikut uraiannya.

Pertama: dalam ayat di atas, termaktub perintah untuk berdzikir kepada Allah. Telah berlalu, pada tulisan sebelumnya, berbagai perintah untuk berdzikir beserta keutamaan berdzikir kepada Allah dan besarnya anjuran dalam syariat untuk hal tersebut. Seluruh hal tersebut memberikan pengertian akan pentingnya arti berdzikir dalam kehidupan seorang hamba.

Kedua: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu,” mengukir sebuah etika yang patut dipelihara dalam berdzikir kepada llahi, yaitu dzikir hendaknya dalam diri dan tidak dijaharkan. Yang demikian itu lebih mendekati pintu ikhlas, lebih patut dikabulkan, dan lebih jauh dari kenistaan riya. Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
  1. Bermakna dalam hatimu.
  2. Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.
Namun, penafsiran kedualah yang lebih tepat berdasarkan dalil kelanjutan ayat “… dan dengan tidak menjaharkan suara,” sebagaimana yang akan diterangkan.

Ketiga: firman-Nya, “dengan merendahkan diri,” mengandung etika indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Hal yang demikian lebih mendekati makna ibadah yang mengandung pengertian merendah dan menghinakan diri serta tunduk dan bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan menjaga etika ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah Jallat ‘Azhamatuhu. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.

Keempat: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu … dan rasa takut,” maksudnya adalah berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam keadaan khawatir bila terdapat kekurangan pada amalanmu dan dalam keadaan takut bila amalanmu tertolak atau tidak diterima. Etika ini adalah ketentuan tetap yang mesti dipelihara oleh setiap muslim dan muslimah dalam melaksanakan setiap ibadah.

Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang mengingatkan etika agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di antara keterangan tersebut adalah firman Allah Jalla Jalâluhu yang menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ.

Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 60-61]

Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang firman-Nya “Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut …,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri, dan meminum khamar?” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,

لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ

Bukan, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.” [2]

Kelima: firman-Nya, “dan dengan tidak menjaharkan suara,” juga merupakan etika yang patut diperhatikan karena berdzikir dengan tidak mengeraskan suara akan lebih mendekati khusyu’ serta lebih indah dalam benak dan pikiran. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa, dalam sebuah perjalanan, terdapat sekelompok shahabat yang menjaharkan suaranya kala berdoa maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,

أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ

Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkanlah suara kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada yang tuli tidak pula kepada yang tidak hadir. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kalian.” [3]

Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Hadits (di atas) menunjukkan makruhnya menjaharkan suara ketika berdoa dan berdzikir. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in.”[4]

Dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

Ketahuilah bahwa setiap orang di antara kalian bermunajat kepada Rabb-nya maka janganlah sekali-sekali sebagian di antara kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian di antara kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca,” -atau beliau berkata-, “… dalam shalat.” [5]

Keenam: hendaknya dzikir itu dilakukan dengan hati dan lisan, bukan dengan hati saja. Etika ini dipetik dari firman-Nya “… dan dengan tidak menjaharkan suara.” Menjaharkan sesuatu berarti mengangkat dan mengumumkan suara. Oleh karena itu, ayat ini adalah nash bahwa dzikir itu dilakukan dengan lisan, tetapi tidak dijaharkan. Demikian simpulan keterangan sejumlah ahli tafsir mengenai ayat ini.

Ketujuh: firman-Nya “… pada pagi dan petang,” menunjukkan keutamaan berdzikir pada dua waktu ini: pagi dan petang. Keistimewaan berdzikir pada dua waktu ini dikarenakan banyaknya ketenangan dan kesempatan pada waktu tersebut, serta kebanyakan urusan kehidupan manusia berada di antara keduanya, sedang para malaikat naik mengangkat amalan hamba pada dua waktu ini. Oleh karena itu, di antara rahmat Allah dan kemurahan-Nya, kita dianjurkan untuk memperbanyak dzikir pada pagi dan petang serta dijanjikan berbagai keutamaan dengan mengamalkan berbagai dzikir yang dituntunkan pada dua waktu itu. Insya Allah, pada tulisan yang akan datang, akan dijelaskan berbagai dzikir yang dituntunkan untuk dibaca pada pagi dan petang.

Kedelapan: pada akhir ayat diterangkan, “… serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai,” yaitu janganlah engkau termasuk sebagai orang-orang yang dilupakan dan dipalingkan dari berdzikir kepada Allah sebab Allah Ta’âlâ telah mengingatkan,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]

Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan sifat orang yang beriman,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid, yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan tidak pula oleh jual beli dari berdzikir kepada Allah, (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut terhadap suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” [An-Nûr: 36-37]

Allah Subhânahu wa ta'ala mengabarkan bahaya terhadap orang-orang yang berpaling dari dzikir,

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ.

Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami mengadakan syaithan (yang menyesatkan) baginya maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [Az-Zukhruf: 36]

لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

Agar Kami memberi cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada Rabb-nya, niscaya dia akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam adzab yang amat berat.” [Al-Jinn: 17]

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.

Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada-Ku, sesungguhnya penghidupan yang sempit baginya dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thâhâ: 124]

Seluruh nash ayat di atas memberikan pesan dan pelajaran agar seorang hamba tidak pernah putus dari dzikir, walaupun dzikir yang dia lakukan hanya sedikit.

Kesembilan: dari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan ayat yang tertera pada awal pembahasan, nampaklah kesalahan yang sering dilakukan oleh sejumlah kaum muslimin yang berdzikir secara berjamaah dan diiringi oleh suara keras. Sesungguhnya hal tersebut adalah sebuah kemungkaran dan bid’ah dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Etika yang tercatat dalam agama kita adalah apa-apa yang telah kami terangkan. Tiada nukilan sah yang menunjukkan adanya syariat berdzikir secara berjamaah, bahkan yang tercatat dalam perjalanan umat ini adalah bahwa bid’ah pertama yang muncul dalam bab ibadah adalah bid’ah dzikir berjama’ah yang dilakukan oleh sekelompok manusia di Kûfah pada masa Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, sedang Abdullah bin Mas’ûd telah mengingkari hal tersebut dan menganggapnya sebagai bid’ah dalam agama yang tidak pernah diamalkan oleh Nabi dan para shahabatnya. Demikianlah keterangan para ulama dalam buku-buku yang menjeiaskan tentang firqah-firqah (sekte-sekte) yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus.

Semoga Allah Ta’âlâ memberi hidayah kepada kita semua menuju jalan yang lurus serta menjaga kita dari fitnah dunia dan kesesatan. Wallâhu A’lam.

[1] Sebagaimana keterangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullâh dalam kitabnya, Madârij As-Sâlikîn, sedang pendapat keempat, beliau nukil dari guru beliau, Ibnu Taimiyah rahimahullâh.

[2] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Jarîr, Al-Hâkim, dan Al-Baghawy sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah karya Al-Albâny.

[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu.

[4] Sebagaimana dinukil dalam Fath Al-Bâry 9/189.

[5] Dikeluarkan oleh Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ` 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, ‘Abd bin Humaid no. 883, Al-Hâkim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’ab Al-Imân 2/543, serta Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 23/318. Dianggap shahih di atas syarat Asy-Syaikhain oleh Syaikh Muqbil sebagaimana dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahîhain.

Oleh: Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Sumber: Dua artikel dari http://dzulqarnain.net

Post a Comment for "Beberapa Anjuran, Keutamaan, Adab dan Etika dalam Berdzikir"