Menggapai Hidayah Dan Sebab-sebab Mendapatkannya

Menggapai Hidayah Dan Sebab-sebab Mendapatkannya
Menggapai Hidayah

Sudah menjadi kesepakatan para nabi dan rasul, tertera pula dalam seluruh kitab suci, bahwa Allah Azza wa Jalla menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menganugerahkan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa yang disesatkan oleh Allah Azza wa Jalla maka tidak ada seorang pun yang mampu memberinya hidayah. Adapun orang yang telah diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla maka tiada seorang pun yang sanggup menyesatkannya. Yang mendapatkan hidayah dan yang sesat adalah hamba. Adapun yang memberikannya adalah Pencipta hamba (Allah Azza wa Jalla). (Syifa’ul ‘Alil hlm. 161, cet. 2 tahun 1997 M, Kairo)

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu, ketetapan dan anugerah nikmat paling afdhal yang dianugerahkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba adalah hidayah, sedangkan musibah terbesar yang Dia timpakan kepada seorang hamba adalah kesesatan. Semua kenikmatan yang dirasakan oleh seorang hamba, posisinya masih di bawah nikmat hidayah. Begitu pula, segenap musibah yang dirasakan oleh seorang hamba jauh lebih ringan dibandingkan dengan musibah kesesatan. (Syifa’ul ‘Alil hlm. 161)

Oleh karena itu, sudah semestinya hidayah menjadi dambaan setiap insan beriman, sebagaimana kesesatan menjadi momok yang sangat menakutkan siapa pun yang memiliki akal pikiran.

Betapa tidak. Hidayah adalah kunci kebahagiaan dunia dan jalan menuju surga. Sebaliknya, kesesatan adalah biang kesengsaraan di dunia dan titian menuju neraka. Maka dari itu, tiada cita-cita yang lebih mulia dan aktivitas yang lebih berharga selain perjuangan menggapai hidayah untuk meraih ‘tiket’ menuju surga.

Pembaca yang budiman, para ulama kita menyebutkan empat penggunaan kata hidayah dalam Al-Qur’an.
1. Hidayah umum untuk segenap makhluk
2. Hidayah al-irsyad wal bayan
3. Hidayah at-taufiq wal ilham
4. Hidayah bagi ahlul jannah (penduduk surga) untuk masuk ke dalam surga, dan hidayah bagi ahlun nar (penduduk neraka) untuk masuk ke dalamnya.

Sebab-sebab Mendapatkan Hidayah

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا,إِنَّ السَّفِينَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ

Engkau mendambakan hidayah namun tidak menempuh jalannya, sesungguhnya kapal itu tidak mungkin berlayar di atas samudra yang kering

Cukup banyak jalan dan sebab meraih hidayah yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Kita akan menyebutkannya semampu kita dengan taufik dan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla.

1. Berpegang teguh dengan agama Allah Azza wa Jalla.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن يَعْتَصِم بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)

Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas, “Berpegang teguh dengan (agama) Allah Azza wa Jalla dan bertawakal kepada-Nya merupakan pegangan dalam hidayah, bekal untuk menjauhi kesesatan, sarana menuju jalan petunjuk, jalan yang lurus, dan tercapainya cita-cita.” (Tafsir Ibnu Katsir)

2. Menaati dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menjalankan perintah beliau dan menjauhi larangannya, mengkaji dan mengamalkan sunnahnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (an-Nur: 54)

“Tidak ada jalan bagi kita untuk meraih hidayah melainkan dengan cara menaati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tanpa itu maka tidak mungkin, bahkan mustahil,” tutur asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t dalam Tafsir-nya.

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“… Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-A’raf: 158)

3. Menelusuri jejak langkah salafush shalih dalam hal keilmuan dan berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوا

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ….” (al-Baqarah: 137)

Maksudnya, tidak ada jalan bagi ahli kitab untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan keimanan kepada apa yang diimani oleh para sahabat—kaum mukminin yang ada pada masa itu—yaitu keimanan kepada segenap nabi dan rasul, tidak membedakan di antara mereka, juga beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka. (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Ahli kitab tidak mungkin mendapatkan hidayah melainkan dengan mengikuti jejak langkah para sahabat dalam hal keimanan.

Meskipun ayat di atas berkenaan dengan ahli kitab, namun lafadznya umum mencakup siapa pun yang mendambakan hidayah. Yang teranggap adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Maka dari itu, tidak ada jalan bagi siapa pun, untuk meraih hidayah melainkan dengan meniti jejak langkah salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

4. Mengikuti bimbingan para ulama As-Sunnah

Perhatikan firman Allah Azza wa Jalla berikut ini tentang seruan Nabi Ibrahim q kepada ayahnya.

يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)

Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah dalam kitabnya Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama (hlm. 18) tatkala menyebutkan beberapa keutamaan ulama, mengatakan, “Termasuk keutamaan mereka adalah bahwa mengikuti mereka merupakan (sebab) hidayah kepada jalan yang lurus.” Beliau kemudian membawakan ayat di atas, juga surat al-An’am ayat 53. Beliau kemudian menegaskan, “Barang siapa yang mengikuti ulama maka dia telah mengikuti jalan yang lurus, sedangkan barang siapa yang menyelisihi ulama dan menyia-nyiakan hak mereka maka dia telah keluar menuju jalan setan dan berpisah dari jalan lurus yang ditelusuri oleh Rasul n dan para pengikutnya ….”

Cermati pula firman Allah Azza wa Jalla tentang ucapan orang yang beriman dari keluarga Fir’aun.

وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ

Orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.” (Ghafir: 38)

5. Merenungkan firman Allah Azza wa Jalla berikut ini.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-’Ankabut: 69)

Ayat di atas menjelaskan kepada kita beberapa sebab mendapatkan hidayah, di antaranya:
  • Bersungguh-sungguh mengikuti jalan keridhaan Allah Azza wa Jalla 
  • Berjihad fi sabilillah melawan musuh-musuh Allah l sesuai dengan ketentuan syariat, mengharapkan keridhaan Allah Azza wa Jalla semata.
  • Berbuat baik dengan menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla.
  • Bersungguh-sungguh menimba ilmu syar’i.

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu menjelaskan ayat di atas, “(Ayat tersebut) juga menunjukkan bahwa orang yang bersemangat dan bersungguh-sungguh menimba ilmu syar’i, dia akan mendapatkan hidayah dan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla untuk menggapai apa yang dicarinya. Pertolongan ini berbentuk petunjuk-petunjuk Ilahi yang di luar batas kesungguhan seseorang dan kemudahan-kemudahan menggapai ilmu. Karena, menimba ilmu syar’i termasuk jihad fi sabilillah, bahkan salah satu dari dua jenis jihad yang tidak dilakukan melainkan oleh orang-orang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan melawan orang kafir dan munafik, jihad mengajarkan bimbingan agama, dan jihad dengan membantah orang-orang yang menyelisihi kebenaran meskipun dari kalangan muslimin.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Yang dimaksud dengan orang-orang yang berjihad dalam ayat di atas adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.
Hidayah yang dimaksud dalam ayat ini meliputi hidayah al-irsyad dan hidayah at-taufiq, di dunia dan di akhirat. (Tafsir Ibnu Katsir)

Hidayah Umum bagi Setiap Makhluk

Segenap makhluk di sini meliputi manusia, jin, dan hewan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ

Sucikanlah nama Rabbmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing), dan yang memberi petunjuk.” (al-A’la: 1—3)

Yang dimaksud dengan hidayah dalam ayat di atas adalah hidayah umum kepada segenap makhluk hidup dan kemaslahatan hidup mereka. (Syifa’ul ‘Alil hlm. 163)

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya menegaskan, “Inilah hidayah umum yang bermakna bahwa Allah Azza wa Jalla menunjuki segenap makhluk kepada kemaslahatannya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, surat al-A’la: 3)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ

Musa berkata, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullahu dan Qatadah rahimahullahu menafsirkan, “Allah Azza wa Jalla memberikan kemaslahatan kepada segala sesuatu dan menunjukinya kepada kemaslahatan tersebut.”

Adapun Adh-Dhahhak rahimahullahu dan yang lainnya menafsirkan, “Allah Azza wa Jalla memberikan bentuk dan rupa kepada segala sesuatu yang sesuai dengan kemanfaatannya, seperti tangan untuk memegang dengan kuat, kaki untuk berjalan, lisan untuk berbicara, mata untuk melihat, dan telinga untuk mendengar.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, pada tafsir surat Thaha: 50. Lihat Syifa’ul ‘Alil hlm. 186—187)

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma menjelaskan, “Allah Azza wa Jalla menciptakan pasangan hidup bagi segala sesuatu, lalu mengarahkannya kepada pernikahan, makan dan minumnya, serta tempat tinggal dan kelahirannya.” (Tafsir ath-Thabari, pada surat Thaha: 50)

Semua penafsiran di atas mengandung satu makna, yaitu hidayah umum bagi segenap makhluk.

As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya menegaskan, “Inilah hidayah umum yang dapat disaksikan pada seluruh makhluk. Anda akan mendapati segenap makhluk melakukan aktivitas yang bermanfaat baginya dan menghindari mudarat (bahaya) dari dirinya, sesuai kodrat penciptaannya.”

Hidayah ini tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah iman dan kafirnya seseorang. Tidak pula terkait dengan pahala dan dosa, atau surga dan neraka. Hidayah ini hanyalah bersinggungan dengan ciptaan Allah Azza wa Jalla, kesempurnaan penciptaan segenap makhluk, dan petunjuk Allah Azza wa Jalla bagi segenap makhluk dalam melakukan aktivitas kehidupannya.

Hidayah ini sangatlah luas dan beragam. Untuk mengetahuinya secara detail, seseorang harus menyibak keajaiban-keajaiban yang ada pada setiap makhluk di muka bumi ini. Artinya, dia harus mencermati ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang kauniyah dan membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang lebah:

وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah ) bagi orang-orang yang memikirkan". (an-Nahl: 68—69)


Hidayah Allah Azza wa Jalla kepada lebah sangat banyak, di antaranya:
  1.  Rumah yang dibuat oleh lebah, di gunung-gunung, di pohon-pohon, dan rumah lebah yang dibuat oleh manusia. Rumahnya sangat bagus, kokoh, tidak ada celah yang rusak sehingga mudah dimasuki musuh.
  2. Makanan lebah. Lebah bisa memakan semua jenis buah-buahan dan bunga, lalu menghasilkan madu sesuai dengan jenis nektarnya.
  3. Allah Azza wa Jalla memudahkan lebah menempuh perjalanan berat dan panjang. Menyusuri lembah-lembah nan luas, gunung-gunung yang menjulang, dan daratan yang ganas, lalu pulang kembali ke sarangnya tanpa tersesat. Bahkan, lebah bisa membawa serta sarang dan madunya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menegaskan bahwa lebah adalah hewan yang paling banyak manfaat dan berkahnya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepadanya ilham dan hidayah secara khusus. (Syifa’ul ‘Alil hlm. 167, lihat Tafsir Ibnu Katsir pada surat an-Nahl: 69)

Coba cermati kisah Nabi Sulaiman 'alaihis sallam dengan semut, yang diabadikan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an.

وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

"Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia, dan burung, lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (an-Naml: 17—18)

Keajaiban semut cukup banyak, di antaranya adalah
1. Semut adalah hewan yang suka menasihati untuk kemaslahatan bangsa semut.
2. Nasihat yang disampaikan oleh seekor semut pada ayat di atas didengar oleh semua kalangan semut. Hal ini memiliki dua kemungkinan:
  • Suaranya didengar langsung oleh semut-semut lain di lembah tersebut. Ini berarti Allah Azza wa Jalla menganugerahkan pendengaran yang luar biasa kepada mereka. Ini adalah keajaiban yang sangat menakjubkan.
  • Suaranya didengar oleh sebagian semut yang ada di sekitarnya, lalu disampaikan kepada semut-semut lain hingga tersebar ke seluruh penjuru lembah. (Taisir al-Karim ar-Rahman, pada surat an-Naml: 17—18)
3. Semut memiliki sarang khusus untuk masing-masing jenis. Masing-masing jenis tidak masuk ke sarang jenis semut yang lain. (Syifa’ul ‘Alil hlm. 168—169)

Ibnul Qayyim rahimahullahu menuturkan bahwa semut adalah hewan yang paling giat dan rajin. Semut menjadi contoh tentang perwujudan etos kerja yang tinggi. Semut juga dikenal sebagai hewan yang sangat ekonomis, tidak suka menghambur-hamburkan apa yang dimilikinya. Selain itu, semut juga dianugerahi oleh Allah Azza wa Jalla daya cium yang sangat tajam. Semut mampu mencium keberadaan makanannya dari jarak yang jauh. Semut juga dikenal sebagai hewan yang suka bergotong-royong, berjiwa sosial yang tinggi, memerhatikan kepentingan umum, dan tidak egois. Tidak ada istilah “korupsi makanan untuk kepentingan pribadi”. Hewan yang penyabar, pantang menyerah, dan panjang akal (cerdas). Yang lebih menakjubkan, meskipun semut tidak memiliki pemimpin yang mengatur layaknya bangsa lebah, namun mereka memiliki sifat-sifat tersebut di atas. (Syifa’ul ‘Alil hlm. 168—171)

Masih banyak lagi keajaiban-keajaiban yang ada pada makhluk ciptaan Allah Azza wa Jalla. Semua itu menunjukkan keluasan dan keragaman hidayah (petunjuk) Allah Azza wa Jalla kepada makhluk-Nya, sekaligus sebagai bukti kekuasaan dan kebesaran Pencipta alam semesta. Allah Azza wa Jallaberfirman:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpunkan.” (al-An’am: 38)(lihat Syifa’ul ‘Alil hlm. 163—189, Kitab al-Adzkiya hlm. 263—373, karya Ibnul Jauzi rahimahullahu)

Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya, Badai’ul Fawaid (2/189), menyimpulkan, “Barang siapa merenungkan sebagian hidayah (petunjuk) Allah Azza wa Jalla yang tersebar di alam raya ini, dia akan mempersaksikan bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah Azza wa Jalla. Dialah Dzat Yang Maha Mengetahui urusan yang ghaib dan yang tampak, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 064
Artikel:
http://asysyariah.com/menggapai-hidayah.html
http://asysyariah.com/sebab-sebab-mendapatkan-hidayah.html
http://asysyariah.com/hidayah-umum-bagi-setiap-makhluk.html

Post a Comment for "Menggapai Hidayah Dan Sebab-sebab Mendapatkannya"