Hukum Seputar Liur Anjing dan Mensucikannya

 Daging Anjing Halalkah?

Seiring dengan tingkat kemajuan dan meningkatkan kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu, maka banyak pula usaha yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan yang dimiliki untuk menggali segala yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui penelitian, pengkajian dan lain-lain, sehingga hasilnya nanti dapat membantu manusia memecahkan persoalan hidup yang terus berkembang dalam segala aspek kehidupan.

Di antara berbagai macam persoalan yang seringkali menimpa manusia adalah persoalan kesehatan, makanan dan keuangan serta kesenangan. Secara alami manusia selalu mencari cara agar dapat bertahan guna memenuhi kebutuhan tersebut. namun persoalanya adalah sejauh mana cara yang dilakukan manusia tersebut berguna dan bermanfaat bagi dirinya tanpa harus melakukan dan mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya persoalan hidup, akhirnya manusia berhadapan dengan jalan dimana mereka harus menentukan pilihan hidup. kemudian, manusia dituntut untuk mengambil sikap, jalan mana yang harus ditempuh. Hal ini semakin kompleks dengan jauhnya mereka dari tuntunan ajaran islam yang suci, sehingga mereka mengambil kesenangan dan makanan tanpa melihat lagi kehalalan dan keharamannya.

Memelihara Anjing

Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang mengistimewakannya melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal memelihara anjing tanpa satu kebutuhaan, seperti menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim). ‘Abdullah mengatakan bahwa Abu Hurairah juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَيُّمَا أَهْلِ دَارٍ اتَّخَذُوا كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَائِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim).

Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيْرَاطٌ إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ

Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan Shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud), selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak.
Ibnu Sirin dan Abu Shaleh mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِلاَّ كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ

Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu.”

Abu Hazim mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَلْبَ صَيْدٍ أََوْ مَاشِيَةٍ

Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” (HR. Bukhari)

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh).

Iman An-Nawawi rahimahullah memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab Riyadh ash-Shalihin, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman. (lihat Bahjah anNazhirin 3/187)

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin mengatakan, “Adapun memelihara anjing dihukumi haram bahkan perbuatan semacam ini termasuk dosa besar -Wal ‘iyadzu billah-. Karena seseorang yang memelihara anjing selain anjing yang dikecualikan (sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, pen), maka akan berkurang pahalanya dalam setiap harinya sebanyak 2 qiroth (satu qiroth = sebesar gunung Uhud).” (Syarh Riyadhus Shalihin)

Najisnya Air Liur Anjing

Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda,

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ

Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka buanglah lalu cucilah 7 kali. (HR Bukhari no 418, Muslim no. 422). Didalam riwayat lainnya:

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali, salahsatunya dengan tanah.” (HR. Muslim 420 dan Ahmad 2/427)

Seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian ulama memandang levelnya adalah najis yang berat (mughallazhah). Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah. Siapa yang menentang hukum ini, maka dia telah menentang Allah dan rasul-Nya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan kenajisan air liur anjing itu.

Prof. Thabaroh dalam kitab Ruuh ad-Din al-Islaami menyatakan: “Diantara hukum islam dalam perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mukjizat ilmiyah yang dimiliki islam yang mendahului kedokteran modern. Dimana kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, Karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusai dan menjadi sebab manusai menderita penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehinga wajib menjauhkanya dari semua yang memiliki hubungan dengan makanan dan minuman manusia.[1]

Hukum Jual Beli Anjing.

Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[2] Yang demikian itu didasarkan pada apa keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun.” [3]
 
Hukum Memakan Anjing

Berkembang dewasa ini disebagian kota di Negara ini, rumah makan dengan label “Sate Jamu” atau “Rica-rica jamu” yang memberikan pengertian rumah makan makanan dari daging anjing. Semaraknya ini masih didukung sebagian kelompok kaum muslimin yang menghalalkannya. Lalu bagaimana sebenarnya?

Mayoritas ulama muslimin mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.

1. Anjing terhitung dari As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, yaitu:

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berbunyi , bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كُلُّ ذِي نَابَ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas maka memakannya haram. “[4]

Hadits ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan semua hewan buas yang bertaring.”[5]

Berdasarkan hadits-hadits ini, maka harimau, singa, srigala, burung garuda, dan juga anjing haram dimakan.

2. Adanya larangan dari memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan bahwa :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun”. [6]

Kalau harganya terlarang, maka dagingnya pun haram.

Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya atas mereka.”[7]

3. Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

قُل لآأَجِدُ فِي مَآأُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَعَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam:6/145)

Ayat ini adalah Makkiyah yang turun sebelum hijroh bertujuan membantah orang-orang jahiliyah yang mengharamkan Al-Bahirah, As-Saa`ibah , Al-Washiilah dan Al-Haam. Kemudian setelah itu Allah dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighal dll. Termasuk didalamnya semua hewan buas yang bertaring.

Ayat diatas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan.

Syeikh Prof. DR. shalih bin Abdillah Al-fauzaan –Hafizhahullah- merajihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring menukilkan pernyataan syeikh Muhammad Al-Amien Asy-Syinqity yang menyatakan: Semua yang sudah absah pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahih dari Al-Qur`an atau As-Sunnah maka ia haram dan ditambahkan kepada empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan Al-Qur`an, karena sesuatu yang diharamkan diluar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat tersebut tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut. Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru , maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama.[8]

Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi dengan air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan memperngaruhi dagingnya. Padahal Rasululah n melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan hewan Al-Jilaalah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.[9]

Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i.

Semoga ini semua dapat membantu menjelaskna permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing (kalb).

Mensucikan Bejana Terkena Liur Anjing

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

أخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَفِيْ لَفظٍ لَهُ: “فَلْيُرِقْهُ” وَلِلتِّرْمِذِيِّ: “أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.

Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu lafazhnya: “Hendaklah ia membuang air yang di bejana tersebut.” Dan dalam riwayTirmidziy dengan lafazh: “Salah satu bilasannya dengan tanah atau yang pertamanya.

1. Takhrijul Hadits :

SHAHIH. Telah diriwayatkan oleh Muslim ( 1/162), Abu Dawud (no.71), Tirmidziy (no.91) , Nasaa-i(1/178), Ahmad (no.2/265,427,489,508) dan lain-lain banyak sekali yang salah satu lafazh-nya seperti di atas . Dalam lafazh Tirmidziy :

أُوْلاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Yang pertama atau salah satunya dicampur dengan tanah

Kemudian Abu Dawud –di dalam salah satu riwayatnya– (no.72), Tirmidziy (no.91), Thahawi dikitabnya Syarah Ma’aa-nil Atsar (1/19-20), Daruquthni (1/64,67,68) dan Baihaqiy (1/247-248) memberikan tambahan .

…وَإِذَا وَلَغَتْ فِيْهِ الْهِرَّةُ غُسِلَ مَرَّةً

… Dan apabila air di dalam bejana tersebut dijilat oleh kucing dicuci satu kali

Tambahan ini telah di-Shahih-kan oleh Tirmidziy, Thahawi, Daruquthni Syaik Ahmad Syakir dan Syaikh Albani.

Kemudian, hadits di atas tanpa tambahan “yang pertama dicampur dengan tanah.” Telah diriwayatkan juga oleh Imam Malik, Bukhari, Muslim, Nasaa-i, Ibnu Majah dan Ahmad dan lain-lain banyak sekali dengan lafazh:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا

Apabila anjing meminum (air) di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.

Imam muslim (no. 89) juga meriwayatkan dari jalur Ali bin Mushir dari al-A’masy dari Abu Razien dan Abu Shalih dari Abu Hurairoh secara marfu’ dengan lafazh :

«إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه، ثم ليغسله سبع مرات»

Apabila anjing meminum (air) di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia menumpahkannya kemudian mencucinya sebanyak tujuh kali.

Lafazh dengan jalur periwayatan inipun dikeluarkan imam an-Nasaa’i (1/53). Sebagian ahli hadits melemahkan lafazh (فليرقه) karena Ali bin Mushir bersendirian meriwayatkannya dari al-A’masy. Padahal hadits ini diriwayatkan oleh 9 orang murid al-A’masy dan semuanya tidak menyebutkan tambahan lafazh tersebut. Diantara mereka adalah Syu’bah dan Abu Mu’awiyah yang keduanya termasuk murid dekat al-A’masy. Juga hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairoh oleh sepuluh orang selain al-A’masy dan tidak ada diriwayatkan lafazh ini. (lihat ath-thahuur hlm 270).

Nampaknya al-Hafizh ibnu Hajar mencukupkan dengan riwayat muslim saja karena lebih sempurna dari riwayat al-Bukhori yang tidak menyebutkan padanya penggunaan debu. Padahal hadits ini asalnya shahihain dengan lafazh : «إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرات» lalu imam Muslim menambahkan lafazh : «أولاهن بالتراب»

Hadits ini didukung oleh hadits Abdullah bin Mughaffal bahwa Nabi bersabda :

«إذا ولغ الكلب في الإناء فاغسلوه سبع مرات، وعفّروه الثامنة بالتراب» أخرجه مسلم

Apabila Anjing menjilati bejana maka cucilah bejana tersebut tujuh kali dan taburilah yang kedelapan dengan debu. (HR Muslim no. 93).

Sedangkan at-Tirmidzi (no. 91) meriwayatkan dari jalan periwayatan Ayyub dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairoh secara marfu’ dengan lafazh:

«يُغسل الإناء إذا ولغ فيه الكلب سبع مرات، أُولاهن أو أخراهن بالتراب، وإذا ولغت فيه الهرة غسل مرة» ، وقال الترمذي: (حديث حسن صحيح)

Bejana dicuci bila dijilati anjing tujuh kali, yang pertama atau terakhir dengan debu. Apabila kucing yang menjilatinya maka dicuci sekali. Imam at-Tirmidzi menyatakan: Hadits ini hasan shahih.

2. Kosa kata Hadits

(طهور إناء أحدكم) dengan didhommahkan huruf tha’nya bermakna pensucian bejana salah seorang dari kalian.

(إذا ولغ فيه الكلب) : apabila anjing menjilatinya. Kata (وَلَغَ الكلب يلَغُ ولَغاً وولوغاً) artinya apabila minum atau memasukkan ujung lidahnya dan menggerakkannya. Sedang kan (أل) pada kata (الكلب) bermakna istighraqiyah sehingga mencakup segala jenis anjing baik yang diizinkan pemilikannya seperti anjing pemburu, anjing penjaga ternak dan kebun maupun yang tidak diizinkan.

(سبع مرات) pada asalnya bermakna Hendaknya mencucunya tujuh kali cucian

(أولاهن بالتراب) : pertama dengan menggunakan debu.

3. Pengertian umum hadits.

Syariat Islam berasal dari Allah yang maha bijaksana lagi maha mengetahui akibat yang ditimbulkan dari sebagian makhlukNya berupa madharat dan mengetahui cara menanggulangi dan mencegahnya serta menghilangkan bahaya tersebut. Diantara makhlukNya tersebut adalah anjing yang telah ditetapkan secara medis bahwa liurnya mengandung mikroba dan kotoran yang tidak hilang dan tercegah bahayanya kecuali dengan pensuciannya sesuai dengan anjuran Rasulullah. Dalam hadits ini Abu Hurairah menjelaskan anjuran Rasulullah kepada kita semua untuk mencuci semua bejana yang terkena liur anjing sebanyak tujuh kali dengan air dan tanah agar hilang semua mikronba dan kotoran tersebut. (lihat Tambih al-Afhaam 1/21).

4. Masaa’il

Ada beberapa masalah terkait dengan hadits ini, diantaranya:

1. Apakah tambahan kata (فليرقه) shahih ataukah tidak?

Sebagian ahli hadits melemahkan lafazh (فليرقه) yang ada dari jalur periwayatan Ali bin Mushir dari al-A’masy dari Abu Razien dan Abu Shalih dari Abu Hurairah. Imam Muslim mengisyareatkan bersendirinya Ali bin Mushir dalam meriwayatkan lafazh ini. Imam an-Nasa’i menyataka: Saya tidak mengetahui ada seorang yang mendampingi Ali bin Mushir atas riwayat (فليرقه). (Sunan an-nasaa’i 1/53). Demikian juga semakna dengannya disampaikan ibnu mandah (lihat fathu al-baari 1/331)

Imam al-Iraqi menyatakan: Ini tidak merusaknya, karena tambahan dari tsiqah (ziyadah tsiqah) diterima menurut pendapat mayoritas ulama…. Ali bin Mushir ini telah ditsiqahkan oleh Ahmad bin hambal, Yahya bin Ma’in, al-“ijli dan selain mereka. Beliau seorang huffazh yang dijadikan sandaran oleh syeikhain (al-Bukhari dan Muslim). Saya tidak tahu ada seorang yang mencelanya, sehingga kesendiriannya tersebut tidak berpengaruh. (Tharhu at-tatsrieb 2/121).

Sedang ibnu al-mulaqqin menyatakan: Kesendiriannya dalam meriwayatkan hal ini tidak bermasalah; karena Ali bin Mushir adalah seorang imam, hafizh yang disepakati ketakwaannya dan jadi hujjah. Oleh karena itu ad-Daraquthni menyatakan setelah menyampaikan riwayat ini: Sanadnya hasan dan para perawinya Tsiqah (lihat Sunan ad-daraquthni 1/64). Ini juga diriwayatkan imamul aimmah Muhammad bin ishaq bin Khuzaimah dalam shahihnya (Shahih ibnu Khuzaimah no. 98) dan lafazhnya (فليهرقه) dan zhahir riwayat ini adalah kewajiban mnumpahkan air dan makanan…. (syarhu al-Umdah 1/306 dan al-Badru al-Munir 2/325).

Hadits dengan tambahan ini dihukumi shahih oleh syeikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 167.

2. Jumlah pencucian.

Terfahami dari hadits Abdullah bin Mughaffal bahwa mencucinya delapan kali, karena lafazh :

«وعفروه الثامنة بالتراب» sehingga ini menjadi dasar wajibnya mencuci delapan kali. Ibnu Abdilbarr menyatakan:

(بهذا الحديث كان يفتي الحسن البصري، أن يُغسل الإناء سبع مرات والثامنة بالتراب، ولا أعلم أحداً كان يفتي بذلك غيره)

Dengan dasar hadits ini al-Hasan al-bashri berfatwa mencuci bejana tujuh kali dan kedelapannya dengan menggunakan debu (tanah). Saya tidak mengetahui ada yang berfatwa demikian selain beliau. (at-tamhied 18/266). Nampaknya ibnu Abdilbarr menginginkan ulama-ulama terdahulu. Padahal ini juga pendapat yang diriwayatkan dari imam Ahmad, seperti dalam al-Mughni 1/73 dan dari Imam Maalik seperti dijelaskna dalam kitab at-talkhish 1/36)

Diantara ulama ada yang merajihkan hadits Abu Hurairah dan cuciannya hanya 7 kali. Mereka menjawab hadits Ibnu Mughaffal dengan beberapa jawaban:

Cucian dijadikan delapan, karena tanah (debu) satu jenis bukan termasuk air, sehingga menjadikan bersatunya air dengan tanah dalam satu cucian dihitung dua. Sekan-akan tanah menduduki posisi satu cucian sehingga disebut kedelapan.
Abu Hurairah orang yang paling hafal hadits dizamannya, sehingga riwayatnya lebih didahulukan.

Diantara ulama ada yang merajihkan hadits Ibnu Mughaffal; karena beliau menambah cucian kedelapan. Tambahan ini diterima khususnya dari beliau. Hal ini tidak mengapa karena mengamalkan pengertian yang terfahami dari nash dan berisi pengertian kehati-hatian.

Yang rajih pendapat pertama.

3. Urutan pencucian dengan tanah (debu).

Disebutkan posisi pencucian dengan tanah dalam hadits-hadits yang kita bahas ini dalam beberapa sisi. Ada riwayat : «أُولاهن بالتراب» , ada juga dengan lafazh: «وعفروه الثامنة بالتراب» dan ada juga : أولاهن أو أخراهن serta ada juga dengan lafazh: «إحداهن» sedangkan dalam riwayat ath-Thahawi (Syarah Musykil al-Atsar 1/21) dengan lafazh: أولاها ـ أو السابعة ـ بالتراب . ini semua tidak masalah dan tidak mengharukan untuk menghilangkan pensyariatan penggunaan tanah hanya karena adanya perbedaan-perbedaan ini, sebagaimana pendapat madzhab hanafiyah dan Malikiyah (lihat Syarhu al-‘Umdah karya ibnul Mulaqqin 1/308 dan Tharhu At-tatsrieb 2/129-130). Hal ini karena masih bisa dirajihkan dengan merajihkan lafazh (أُولاهن) ; karena ia adalah riwayat Abu Hurairah dari jalan periwayatan Muhammad bin Sirin. Riwayat ibnu Sirin ini dibawakan oleh tiga perawi yaitu Hisyam bin Hisaan, Habieb bin asy-Syahied dan Ayub as-Sakhtiyaani. Imam Muslim mengeluarkan riwayat ini dari riwayat Hisyam. Riwayat ini rajih dengan tiga hal:

Banyak perawinya
Salah seorang dari syeikhain (al-Bukhari dan Muslim) mengeluarkannya.
Dari sisi pengertiannya; karena pencucian dengan tanah lebih pas kalau pertama sebab dibutuhkan setelah pencucian dengan air yang menghilangkan sisa tanah tersebut. Beda kalau dijadikan yang ketujuh maka ia membutuhkan pencucian lagi setelahnya.

Adapun riwayat at-tirmidzi yang berbunyi:أولاهن أو أُخراهن apabila ia berasal dari pernyataan Nabi maka ini menunjukkan adanya pilihan antara keduanya. Apabila itu keraguan dari sebagian perawi maka terjadilah satu hal yang kontradiktif, sehingga kembali kepada tarjih dan yang rajih adalah yang pertama sebagaimana diatas. Diantara indikator ini adalah keraguan dari perawi hadits adalah adanya riwayat lain dalam sunan at-tirmidzi dengan lafazh: أولاهن ـ أو قال: أخراهن ـ بالتراب

Sedangkan riwayat (إحداهن) hal ini tidak ada dalam kutubussittah, adanya pada sunan ad-Daraquthni dan al-bazaar (lihat al-badru al-Munir 2/330). Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat sebelumnya karena ia tidak ada penentuan bisa di yang pertama atau yang lainnya. Sehingga difahami dengan riwayat (أولاهن).

Demikian juga dengan hadits وعفروه الثامنة بالتراب maka kedelapan ini ditinjau pada tambahan atas tujuh kali cucian memakai air bukan sebagai yang terakhir. Dengan demikian inipun tidak menyelisihi riwayat-riwayat diatas.

Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel www.UstadzKholid.com

Referensi:

Bahjah an-Nazhirin syarah Riyadh as-Shalihin, Saalim bin Ied Al-Hilali, Dar ibnu Al-Jauzi.
Ath’imah Syeikh Shalih bin Fauzan , Maktabah Al-Ma’arif
Shahih fikih Sunnah, Abi Maalik Kamaal bin As-Sayyid saalim, Maktabah Taufiqiyah, mesir
Taudhih al-Ahkaam Syarh al-Bulugh all-Maram, Syeikn Abdullah bin Abdurrahman Ali Basaam, Maktabah Al-Asadi.Makkah.

[1] Taudhih al-Ahkam, Syeikh Ali Basaam, 1/137.
[2] Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 6554
[3] Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, Al-Bukhari 7/28 dan Muslim no. 1567.
[4] HR. muslim 1933
[5] HR. Muslim no. 1934
[6] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 3/43 dan Muslim 3/198 no 1567 serta Abu Dawud 3/753 nomor 3481. At-Tirmidzi 3/439 dan An-Nasaa-i VII/309 nomor 4666
[7] Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu Daud no.3488,
[8] Kitab al-Ath’imah hlm 56-60.
[9] HR at-Tirmidzi no. 1747.

Post a Comment for "Hukum Seputar Liur Anjing dan Mensucikannya"