Kitab Qodlho (Peradilan) dan Syahadah (Saksi) Fiqhu al Muyassar

Bismillah …

Penulis hafidzohulloh berkata :

كتاب القضاء والشهادات
Kitab Qodlho (Peradilan) dan Syahadah (Saksi)


Ia mencakup dua bab :

Bab Pertama : Tentang Peradilan; ia memiliki beberapa permasalahan :

Masalah pertama : Pengertian Peradilan, Hukumnya dan Dalil-dalil Disyari’atkannya :


  • Pengertiannya : Al Qodlho secara etimologi adalah (الفصل) ‘ketetapan’ dan (الحكم) ‘keputusan’. Sempurnanya sesuatu dan selesai darinya. Dikatakan (قَضَى – يقضِي- قضاءً) jika telah ada ketetapan dan keputusan. Adapun secara istilah/terminology adalah menjelaskan hukum syari’at dan memutuskan dengannya, serta menyelesaikan sengketa dan memutuskan perselisihan. Al-qodlho dinamakan hukum karena mencegah kedzoliman, diambil dari kata ‘hikmah’ yang memberikan konsekwensi meletakan sesuatu pada kemestiannya.
  • Hukum dan Hikmahnya : Al Qodlho fardu kifayah, jika telah ada yang memangku jabatan serta mencukupi maka dosa terlepas dari yang lainnya. Jika setiap orang shalih tidak ada yang mau mengembannya maka mereka semuanya berdosa; Karena dengan ketiadaannya urusan manusia tidak akan terealisasi [dengan kemestiannya]. Ia merupakan salah satu ibadah yang agung. Di dalamnya ada pertolongan bagi yang terdzolimi, menegakan hukum, memberikan setiap hak kepada pemiliknya, mendamaikan manusia, memutuskan sengketa dan perselisihan; untuk tercapainya keamanan dan meminimalkan kerusakan. Oleh karena itu wajib bagi Imam/pemimpin untuk mengangkat qodhi/hakim sesuai kebutuhan dan maslahat. Supaya tidak tercampakannya hak dan menyebarnya kedzoliman. Bagi yang memangku jabatan ini ada keutamaan dan balasan yang besar; jika menunaikan haknya, dan ia merupakan ahlinya. Di dalamnya pula ada dosa yang sangat besar, bagi orang-orang yang menjabatnya; jika tidak menuanaikan haknya dan bukan ahlinya.
  • Dalil Disyariatkannya : Landasanya al Kitab, as Sunnah dan Ijma’. Dalil dari al Kitab tentang disyari’atkannya adalah firman Alloh Ta’ala :

(يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ) [ص: 26]

Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil…” (QS. Shaad : 26).

Dalil dari sunnah adalah sabda sholallohu ‘alaihi wa sallam : “

(إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم واجتهد ثم أخطأ فله أجر)

Jika seorang hakim memutuskan perkara, maka bersunguh-sungguh/ijtihad, kemudian, jika benar mak baginya dua pahala. Dan jika seorang hakim menghukumi dan bersungguh-sungguh, kemudian salah, maka baginya satu pahala”. (Mutafaq ‘Alaih : HR. Bukhori [7352], Muslim [1716]).

Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam telah menegakan qodlho dan mengangkat qodlhi, demikian pula perbuatan sahabatnya setelah beliau, serta salafus shalih.

Adapun ijma : Kaum Muslimin telah sepakat tentang disyari’atkannya mengangkat qodlhi dan pemutus antar manusia.

Masalah Kedua : Syarat-syarat Hakim/Qodlhi :

Bagi yang memangku jabatan hakim disyaratkan hal-hal berikut :

  1. Muslim; Karena ke Islaman merupakan syarat keadilan. Sedangkan orang kafir bukanlah orang yang adil. Selain itu, jiaka orang kafir menjadi hakim maka telah memuliakannya, sedangkan yang di tuntut menghinakannya.
  2. Mukalaf, yakni baligh lagi berakal; Karena anak-anak dan orang gila bukanlah mukalaf dan di bawah pengampuan orang lain.
  3. Merdeka; Karena seorang hamba sahaya akan sibuk dengan hak-hak tuannya, dia tidak memiliki kekuasaan dan keleluasaan. Hamba sahaya tidak memiliki hak memangku jatan hakim, seperti perempuan.
  4. Laki-laki; Perempuan tidak boleh memangku jabatan hakim, karena dia bukan pemangku kekuasaan. Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :(لن يفلح قوم ولَّوْا أمرهم امرأة)“Suatu kaum tidak akan beruntung jika urusan mereka dikendalikan oleh seorang perempuan”. (HR. Bukhori [4425]).
  5. Adil; tidak di jabat orang fasiq. Berdasarkan firmanNya :(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا) [الحجرات: 6]Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti …“. (QS. Al Hujurot : 6). Jika tidak diterima pemberitaannya maka untuk tidak diterima hukumnya lebih utama.
  6. Selamat dari cacat permanen primer; spserti tuli, buta dan bisu. Karena dengan cacat tersebut tidak mungkin bisa untuk memutuskan perkara di antara yang bersengketa, tentang persyaratan melihat perlu penelitian kembali.
  7. Mengetahui hukum syar’i yang akan menjadi bekal dalam memutuskan perkara, walaupun hanya mengetahui madhabnya, dia mengikuti Imam diantara para Imam.


Masalah Ketiga : Adab dan Akhlaq Qodlhi/Hakim, Serta Sesuatu Yang Harus Dimiliki dan Sesuatu Yang Harus Tidak Ada :

  1. Hakim harus kuat dan memiliki wibawa; tapi tidak sombong dan keras, lembut tapi tidak lemah. Agar orang dzolim tidak tamak dalam kebatilannya dan orang lemah tidak putus asa dari keadilannya.
  2. Hendaklah seorang Qadhi itu seorang yang memiliki sifat lemah lembut; Sehingga dia tidak marah dari pembicaraan orang yang menentangnya, sehingga menghalanginya dari memutuskan hukum [dengan adil].
  3. Memiliki ketelitian dan cermat, sehingga tidak lalai dan tertipu.
  4. Hendaknya seorang hakim itu seorang yang senantiasa menjaga kehormatan, waro’ dan bersih/suci dari sesuatu yang diharamkan Alloh.
  5. Pandai bertanya, kuat memegang prinsip kebenaran, memiliki pandangan cemerlang dan terkenal. Ali rodiyallohu ‘anhu berkata : “Seseorang qodlhi tidak layak dikatakan qodlhi sampai memiliki lima kriteria : Menjaga kehormatan, cermat tidak tergesa-gesa, mengetahui latar belakang kasus, memiliki peikiran yang cemerlang dan tidak gentar dengan celaan yang mencela tatkala menegakan kebenaran”. (Lihat al Mughni Ibnu Qudamah [14/17], syaikh al Albani berkata : Aku tidak berpandangan dari Ali. Al Baihaqi mengeluarkan yang semisalnya [10/110).
  6. Seorang qodlhi haram mempermudah salah seorang yang bersengketa, atau condong kepada salah satunya, atau mengajarkan cara beralasan atau cara membuat dakwaan.
  7. Seorang qodlhi diharamkan memutuskan perkara tatkala sedang murka/marah besar, berdasarkan sabda Sholallohu ‘alaihi wa sallam : “Seorang hakim/qodlhi tatkala marah tidak boleh memutuskan perkara dua orang yang bersengketa” (HR. Bukhori [7158] dan Muslim [1717]). Di analogikan pada marah setiap yang menggangu pikiran, dari kesulitan, kekalutan, rasa lapar, haus, lelah, sakit dan yang lainnya.
  8. Seorang hakim diharamkan menerima suap, berdasarkan hadits Abu Hurairoh rodiyallohu ‘anhu : Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Alloh melaknat penyuap dan yang di suap dalam hukum”. (HR. Tirmidzi [1336], dia berkata : Hasan Sahih. Ibnu Majah [2313]. Syaikh Al Albani Menshahihkannya dalam Sahih Sunan Tirmidz [1073]). Suap menghalangi hukum dengan kebenaran bagi pemiliknya, atau mencegah untuk menghukumi dengan kebatilan bagi yang berbuat bathil, kedua-duanya merupakan kejelekan yang sangat besar.
  9. Seorang hakim diharamkan menerima hadiah dari yang bersengketa atau dari salah satunya. Barangsiapa yang sudah menjadi kebiasaannya menerima hadiah dari orang tersebut semenjak sebelum menjadi qodlhi maka tidak lah mengapa, dengan syarat pemberi hadiah itu tidak memiliki lawan sengketa yang hakim tersebut harus memutuskannya. Andaikan bersikap waro’ dari hal seperti di atas maka lebih baik. Seorang qodlhi harus membersihkan dirinya dari seluruh perkara yang bisa mempengaruhi keputusan dan pendengarannya, sehingga dalam jual beli pun tidak selayaknya melekukannya sendiri, dari orang-orang yang mengenalnya; dikhawatirkan adanya kelebihan atau diskon, karena dilebihkan dalam jual beli seperti hadiah. Semestinya dia mewakilkan pelaksanaan jual beli dengan wakil yang tidak diketahui bahwa ia bekerja untuk nya.
  10. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara untuk dirinya sendiri, kerabatnya dan untuk orang-orang yang tidak diterima persakasiannya untuk dirinya. Tidak boleh pula memutuskan perkara bagi musuhnya, karena keadaan yang seperti ini bisa melahirkan tuduhan.
  11. Tidak menghukumi dengan ilmunya; karena bisa melahirkan tuduhan pada dirinya.
  12. Seorang qodlhi dianjurkan untuk memiliki sekretaris untuk menuliskan kejadian-kejadian dan yang lain-lainnya, dari orang-orang yang bisa membantunya. Seperti pelayan, penerjemah dan yang lain-lainnya. Karena kesibukannya mengurusi perkara manusia, maka dia membutuhkan orang-orang yang bisa membantunya.
  13. Seorang hakim harus menghukumi segala perkara dengan kitabulloh dan sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, jika tidak mendapatkannya maka dengan ijma', jika tidak mendapatkanya pula dan dia merupakan ahli ijtihad maka berijtihad, jika bukan ahli ijtihad maka wajib meminta fatwa/ketetapan hukum dan menghukumi dengan fatwanya mufti.
  14. Seorang qodlhi wajib berlaku adil dengan dua pihak yang bersengketa dalam segala sesuatu. Umar rodiyallohu ‘anhu menulis surat kepada Abu Musa rodiyallohu ‘anhu : “Samakanlah kedudukan manusia dihadapanmu, di majlis mu dan dalam keadilanm; sehingga yang lemah tidak berputus-asa dari keadilanmu, dan yang mulia tidak tamak dengan kecondonganmu”. (Riwayat Daruquthni [512], dan ia sahih, lihat Irwaul Gholil [8/241]).

Masalah Keempat : Cara Menetapkan Hukum Dan Sifatnya :

Seorang hakim akan sampai pada keputusan hukum suatu perkara dengan mengikuti langkah-langkah berikut :

  • Jika dihadapannya hadir dua pihak yang bersengketa maka dudukanlah keduanya dihadapanmu, tanyalah keduanya : Siapa penggugatnya ? atau diam hingga penggugat sendiri yang berkata, maka dia mendengarkan gugatannya.
  • Jika gugatan tersebut telah dianggap sah, maka hakim bertanya kepada tergugat tentang sikapnya, jika tergugat mengakui kebenaran gugatan tersebut maka hakim memutuskan hukum dengan pengakuan tersebut, jika tergugat mengingkari maka hakim meminta penggugat untuk mendatangkan bukti.
  • Jika penggugat memiliki bukti maka diminta untuk menghadirkannya, dan disimak persaksiannya, kemudian memutuskan hukum dengan persaksian tersebut; dengan syarat-syaratnya, dan tidak menetapkan hukum dengan ilmunya.
  • Jika penggugat tidak memiliki bukti, maka hakim memberitahukan kepadanya bahwa tergugat memiliki hak untuk bersumpah; berdasarkan sabda Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa salllam kepada dua orang yang bersengketa tanah dengan dakwaan telah dirampas : ‘Apakah kamu memiliki bukti ?, dia berkata : Tidak, maka Rosululloh sholallohu ‘allaihi wa sallam bersabda [kepada tergugat –pen]: “Maka kamu harus bersumpah”. (HR. Muslim : [223]). Dan pula berdasarkan sabda beliau sholallohu ‘alaihi wa sallam : “Penggugat harus mendatangkan bukti, sedangkan sumpah bagi tergugat”. (Akan datang takhrijnya pada bab berikutnya, lihat h. 423 [kitab aslinya –pen]).
  • Jika penggugat menerima sumpah tergugat, maka hakim meminta bersumpah pada tergugat dan membebaskan jalannya; karena asalnya adalah bebas dari gugatan.
  • Jika tergugat tidak mau dan enggan untuk bersumpah, maka hakim menetapkan hukum bagi kebenaran penggugat, karena keengganan tergugat merupakan petunjuk tentang kebenaran penggugat. Diantara yang telah menerapkan metode ini Utsman rodiyallohu ‘anhu dan jama’ah dari kalangan ahli ilmu. Adapun sebagian jama’ah yang lainnya, dari kalangan ahli ilmu berpendapat : Jika tergugat enggan bersumpah maka kewajiban bersumpah berpindah pada penggugat, maka dia bersumpah kemudian berhak dengan gugatannya.
  • Jika tergugat bersumpah dan hakim membebaskan jalanya, kemudian setelah itu pengugat mendatangkan bukti, maka hakim harus memenangkan gugatan pengugat; karena sumpah mengingkari tidak menetapkan hak, ia hanya menghilangkan gugatan penggugat/persengketaan.


Bab Kedua : Tentang Saksi, Ia memiliki beberapa permasalahan :

Masalah Pertama : Pengertian, Hukum dan Dalilnya.

1. Pengertiannya : Syahadah secara etimologi adalah kabar yang menentukan, mustaq dari musyahadah; Karena seorang saksi mengkabarkan suatu peristiwa yang dilihat dan disaksikannya. Adapun yang dimaksudkan di sini adalah menurut para ahli fiqih : Memberitakan kebenaran suatu peristiwa untuk kepentingan orang lain atas yang lainnya, disampaikan di majlis persidangan. Atau : Memberitakan suatu peristiwa yang di lihat oleh saksi dengan lafadz yang khusus, yakni : Aku melihat atau aku menyaksikan, atau kata-kata yang semakna dengannya.

2. Hukumnya : Menyempaikan persaksian pada selain hak Alloh Ta’ala – yakni pada hak bani adam – fardu kifayah, jika telah didapatkan yang melaksanakannya maka mencukupi bagi yang lain, karena telah dicapainya tujuan. Jika tidak didapatkan kecuali orang itu saja, maka menjadi fardu ‘ain atasnya. Berdasarkan firman Alloh Ta’ala :

(وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا) [البقرة: 282]

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” (QS. Al Baqoroh : 282).

Adapun menunaikan dan menetapkannya di hadapan hakim fardu ‘ain bagi orang yang mengembannya, kapan pun di panggil maka harus menyampaikannya, berdasarkan firmanNya Ta’ala :

(وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ) [البقرة: 283]

dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya”; (QS. Al Baqoroh : 283). Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi orang-orang yang menyembunyikan persaksian. Maka ia menunjukan pada wajibnya menyampaikan bagi orang-orang yang mengembannya. Kapan pun dia dibutuhkan untuk itu.

Syarat wajibnya menunaikan persaksian adalah : Tidak ada bahaya bagi saksi, jika persaksiannya akan menimbulkan bahaya bagi kehormatan, harta, jiwa atau keluarganya maka tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Sholallohu ‘alaihi wa sallam :

(لا ضرر ولا ضرار)

Tidak boleh memadlhorotkan diri sendiri dan orang lain”. (HR. Hakim [2/57-58] dan mensahihkannya, adz Dzahabi menyepakatinya. Al Baihaqi [6/69-70] dan dinyatakan sahih oleh al Albani dalam as Shahihah [250]).

3. Dalil disyari’atkannya : Tentang disyari’atkannya syahadah ditunjukan oleh al Kitab, as Sunnah dan Ijma. Adapun al Kitab berdasarkan firmanNya Ta’ala :

(وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا) [البقرة: 282]

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” (QS. Al Baqoroh : 282).

Dan firmanNya :

(وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ) [الطلاق: 2]

Tunaikanlah persaksian karena Alloh”. (QS. Ath Tholaq : 2).

Dan firmanNya Ta’ala :

(وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ) [البقرة: 283]

dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya”; (QS. Al Baqoroh : 283).

Dan firmanNya Ta’ala :

(وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ) [الطلاق: 2]

Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara” . (QS. Ath Tholaq : 2).

(وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ)

dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai” (QS. Al Baqoroh : 282).

Dan dari sunnah : hadits Ibnu Mas’ud rodiyallohu ‘anhu, Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(شاهداك أو يمينه)

Dua orang saksimu atau sumpahnya”. (HR. Al Bukhori, No. 6676. Muslim, No. 138-221, Lafadz ini milik Muslim.

Dan hadits Ibnu Abbas rodiyallohu ‘anhuma, Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

البينة على المدَّعي، واليمين على من أنكر

Bukti bagi penggugat, dan sumpah bagi yang tergugat”. (HR. Tirmidzi [1341], Syaikh Al Albani mensahihkannya, dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dengan lafadz : “Dan sumpah bagi tergugat” [Sahih Sunan at Tirmidzi No. 1078]).

Para ulama sepakat tentang disyari’atkannya; untuk menetapkan hak, karena kebutuhan mengharuskan pensyari’atannya.

Masalah Kedua : Syarat Saksi Yang Diterima Persaksiannya

Berikut ini syarat-syarat diterimanya persaksian seseorang :

1. Islam : Persaksian orang kafir tidak diterima; berdasarkan firman Alloh Ta’ala:

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara”. (QS. Ath Tholaq : 2).

Dan firmanNya ‘Azza wa Jalla :

مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ

dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. (QS. Al Baqoroh : 282).

Orang kafir tidak adil dan tidak diridlhoi, persaksian orang kafir yang diterima adalah persaksian ahli kitab tentang wasiat tatkala safar; dikarenakan darurat, tidak ada selain mereka; berdasarkan firman Alloh Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ
ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”. (QS. Al Maidah : 106).

Ibnu Abas dan jama’ah yang banyak berkata tentang firmanNya : “atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu” : dari selain muslimin, yakni ahli kitab[1].

2. Baligh dan berakal : Anak kecil (belum baligh) persaksiannya tidak diterima, walaupun dia disifati dengan adil, karena akal nya belum sempurna. Ia kurang professional. Akan tetapi, persaksian anak kecil/bocah diterima bila saling bersaksi diantara mereka mengenai luka secara khusus, khusunya sebelum berpisahnya mereka dan jika kalimat mereka satu (sepakat tentang kasusu luka tersebut -penj).

Demikian pula, persaksian orang gila, idiot dan yang mabuk tidak diterima; karena persaksian mereka tidak memberikan faidah yakin, yang dengannya ditetapkan ketetapan hukum.

3. Bisa berbicara : Persaksian orang bisu tidak diterima, walaupun isyaratnya dupahami; hanya saja diterima persaksiannya dalam hukum-hukum yang khusus pada saat darurat. Akan tetapi, jika persaksian itu dituliskan dengan tulisannya maka diterima; karena tulisan sebagai konklusi dari lafadz.

4. Hifdz, dobt dan yaqdzoh : Maka persaksian orang yang lalai lagi terkenal dengan sering salah dan lupa tidak diterima; karena tidak dicapainya tsiqoh untuk diterima persaksiannya; karena adanya kemungkinan kesalahan dari dirinya sendiri. Akan tetapi diterima persaksiannya jika kurang hifdz, dobt dan terkadang salah, karena tidak ada seorang pun yang bisa selamat darinya.

5. ‘Adalah : Maka persaksian orang fasiq tidak diterima, berdasarkan firmanNya Ta’ala :

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara”. (QS. Ath Tholaq : 2).

Adil adalah orang yang mustaqim dalam agamanya, tidak nampak sesuatu yang meraguan dari dirinya, manjaga muru’ah, melaksanakan yang wajib dan mustahab dan yang menjauhi perkara haram dan munkar.

Masalah Ketiga : Hukum-Hukum yang Berkaiatan dengan Saksi :

1. Seorang saksi wajib mengetahui kejadian yang akan dipersaksikan, tidak boleh mempersaksikan sesuatu yang tidak diketahui. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al Isro : 36).

Dan firmanNya Ta’ala :

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid)”. (QS. Az Zukhruf : 86). Yakni di atas pengetahuan dan ilmu.

Ilmu dicapai dengan mendengar, melihat, atau telah tersiar lagi terkenal, dalam perkara yang secara gholib tidak bisa diketahui kecuali dengannya, seperti silsilah keturunan dan kematian.

2. Persaksian seorang ayah bagi keuntungan anaknya tidak diterima, dan sebaliknya; karena adanya kemungkinan tuduhan jelek. Demikian pula seorang salah seorang suami istri bagi sahabatnya. Dan persaksian yang merugikan mereka diterima; jika dia bersaksi yang merugikan ayahnya, atau anaknya, atau istrinya atau istri pada suaminya maka diterima; karena tidak ada kemungkinan jelek di dalamnya. Alloh Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”. (QS. An Nisa 135).

3. Persaksian musuh kepada musuhnya tidak diterima, dan tidak pula dari orang yang persaksiannya akan memberikan manfa’at bagi dirinya, atau dengan persaksiannya tersebut akan menolak bahaya dari dirinya. Adapun permusuhan dalam agama (karena Alloh) maka tidak menghalangi diterimanya persaksian. Maka persaksian seorang muslim atas orang kafir, dan sunniy atas mubtadi’ diterima.

4. Seorang saksi wajib untuk bersaksi dengan hak/benar, walau pun pada manusia terdekat, dan tidak boleh melampaui batas. Alloh Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”. (QS. An Nisa 135). Yakni : walapun persaksian yang merugikan tersebut bagi anakmu dan kerabatmu, maka janganlah kamu melindungi mereka dengan persaksian tersebut, bahkan bersaksilah dengan hak, walapun madlhorot tersebut kembali pada diri mereka.

5. Persaksian diatas persaksian diterima; karena kebutuhan menuntutnya, akan tetapi dengan syarat saksi pokok tersebut memiliki udzur, seperti sakit, meninggal ata selainnya, disertai tetapnya keadilan bagi saksi asal dan furu.

6. Persaksian zur tidak diterima, yakni dusta, ia termasuk dosa besar, berdasarkan firmanNya Ta’ala :

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (QS. Al Haj : 30).

Dan sabdanya sholallohu ‘alaihi wa sallam : “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa-dosa terbesar, mereaka menjawab : Mau wahai Rosululloh, beliau bersabda : Menyekutukan Alloh, durhaka kepada kedua orang tua – seraya duduk besandar beliau bersabda –, dan perkataan dusta, beliau terus mengulang-ngulangnya, sehingga kami berangan-angan : andaikan saja beliau berhenti dari mengulangnya”. (HR. Bukhori No. 2653, 2654. Muslim No. 87). Karena di dalamnya menghilangkan keadilan dan menetapkan zur dan kedzoliman.

7. Tidak boleh mengambil upah untuk menunaikan persaksian. Akan tetapi, jika tidak mampu untuk mendatangkan tempat menyampaikan persaksian, maka boleh mengambil upah seukuran ongkos kendaraan.

8. Jumlah saksi berbeda-beda seiring berbedanya kasus : Pada kasus zina dan liwath persaksian yang kurang dari empat orang saksi laki-laki tidak diterima. Berdasarkan firmanNya Ta’ala :

لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang”. (QS. An Nur : 13). Adapun pada kasus yang lainnya, seperti pencurian, pencemaran nama baik dengan berzina, demikian pula sesuatu yang bukan harta dan yang dimaksudkannya bukan harta pula, pada kebiasaanya urusan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Seperti nikah, talak, roj’ah, dzihar, wakalah, wasiat dan yang semisalnya. Maka pada permasalahan seperti ini akan diterima bila ada dua orang saksi laki-laki. Dan persaksian wanita tidak diterima, berdasarkan firmanNya Ta’ala tentang roj’ah :

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara”. (QS. Ath Tholaq : 2). Maka sesisa yang telah disebutkan di atas dikiaskan/dianalogikan padanya, karena ia bukanlah harta dan tidak dimaksudkan dengannya harta, maka ia serupa ‘uqubah.

Adapun harta dan yang dimaksudkan dengannya harta, seperti jual-beli, ijaroh, qord, rohn, dan yang sejenisnya dari berbagai akad maliyah, maka pada permasalahan seperti akan ditrima dengan dua orang saksi laki-laki atau dua orang perempuan; berdasar firmanNya Ta’ala :

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ

dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai” (QS. Al Baqoroh : 282).

Dan diterima pula dalam permasalahan harta yang dimaksudkan dengannya harta, persaksian seorang laki-laki dan sumpahnya penggugat, berdasarkan ketetapan nabi dengan persaksian seperti ini.

Adapun sesuatu yang pada kebiasaanya tidak nampak bagi kaum laki-laki, seperti ‘aib/cacat perempuan yang tersembunyi, tentang janda dan perawan, melahirkan dan menyusui dan yang semisalnya, maka pada kasus seperti ini diterima persaksian wanita secara menyendiri; cukup dengan seorang perempuan yang adil.

Barangsiapa mangaku faqir setelah sebelumnya kaya, maka untuk menetapkan kebenarannya diperlukan persaksian tiga orang laki-laki; berdasarkan sabdanya sholalohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Qobishoh bin Mukhoriq [al Hilaliy] tentang permasalahan ini :

ورجل أصابته فاقة حتى يقوم ثلاثة من ذوي الحِجا من قومه: لقد أصابت فلاناً فاقة

Seseorang didera kesengsaraan, sehingga ada tiga orang saksi yang berakal[2] dari kaumnya (menyatakan) : Si Fulan terdesak dengan kesengsaraan”. (HR. Muslim No. 1044). [Lihat Kitab bulughul Marrom, Kitab Zakat hadits terakhir -penj].

9. Dalam memberi persaksian tidak disyaratkan dengan keta-kata (أشهد) ‘Aku bersaksi’ atau (شهدت) ‘Aku bersaksi’, cukuplah dengan perkataan : Aku melihat demikian dan demikian, atau aku mendengar, atau yang semisalnya; Karena tidak adanya nas yang mensyaratkan hal tersebut.

Kemudian, inilah yang Alloh Ta’ala mudahkan pengumpulannya dalam ringkasan ini, kami memohon kepada Alloh untuk menjadikannya ikhlas karena wajahNya yang mulia, dan mudah-mudahan bermanfa’at bagi hamba-hambaNya yang shalih. Akhir perkataan kami Segala puji hanya bagi Alloh Robb semesta alam. Sholawat, salam dan keberkahan atas nabi kita Muhammad, pengikutnya dan seluruh para sahabatnya.

*****

[1] Lihat tafsir Ibnu Katsir (3/211).
[2] Al Hija : al ‘aqlu.
artikel:  http://sunande.wordpress.com

Post a Comment for "Kitab Qodlho (Peradilan) dan Syahadah (Saksi) Fiqhu al Muyassar"