Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuannya

Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya:
  • Perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula.
  • Perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya.
  • Sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.

Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut.
Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kulliyah (menyeluruh), yang membawahi beberapa kaidah lain.
Pengertian الوَسِيلَةُ (wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju (perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawâzim (konsekuensi-konsekuensi) yang keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.
Jadi, apabila Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun kasat mata. Hal ini dikarenakan Allâh, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-hukum yang disyariatkan-Nya bagi hamba-Nya berupa lawâzim, syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna.
Sehingga, perintah untuk mengerjakan sesuatu bermakna perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.
Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majelis dzikir, silaturrahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabîlillâh (di jalan Allâh Ta'ala), sejak keluar dari rumah sampai pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasîlah (cara) untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allâh, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula) karena Allâh akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(Qs. at-Taubah/9:120-121)

Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

 Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka Allâh akan memperjalankannya atau memudahkan jalan baginya menuju ke surga. (HR Muslim)[1]

Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan shalat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan. Dan firman Allâh Ta'ala :

 Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). (Qs. Yasin/36:12)

Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” pada ayat di atas ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain.

Maka perintah untuk melaksanakan shalat adalah perintah untuk melaksanakan shalat dan perkara-perkara yang shalat tidak sempurna kecuali dengannya seperti thaharah (bersuci), menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan shalat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut. Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut. Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2]:
“Jika datang waktu shalat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana”.
Dikarenakan kewajiban tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.
Termasuk juga di dalam kaidah ini adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil. Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam :
Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah. Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-masing.
Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh muasyarakat luas.
Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu ‘ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang.
Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma‘ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyalatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, termasuk juga mempelajari ilmu pertanian (persawahan, perkebunan), dan hal hal yang menyertainya.

[1] HR Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad Du’aa‘, Bab: Fadhl al-Ijtima’ ‘ala Tilawatil-Qur‘ân, no. 2699 dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu
[2] Al Mughni 1/314

(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII)

Post a Comment for "Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuannya"