Syarh Aqidah Wasithiyah(5)

Takdir Dan Tingkatan-Tingkatannya (1/2)

Setelah penulis memaparkan mengenai takdir pada bab sebelumnya secara singkat, pembahasan selanjutnya dari Syarh Aqidah Al-Wasithiyah adalah mengulas lebih dalam mengenai masalah takdir dan tingkatan-tingkatannya. Apa saja?


Takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman. Di muka telah disebutkan
secara global mengenai iman kepada takdir. Kemudian, penulis Rahimahullah
menyebutkan di sini secara terperinci.



Takdir adalah ketentuan Allah Ta’ala terhadap segala sesuatu sejak
masa dahulu, Ilmu Allah Ta’ala bahwa itu akan terjadi pada waktu-waktu
tertentu yang diketahui-Nya dan dengan sifat-sifat tertentu, penulisan
hal itu oleh-Nya, kehendak-Nya terhadapnya, kejadiannya sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan oleh-Nya, dan penciptaannya oleh-Nya.
HREF="#foot931">1


Syaikh Rahimahullah telah menyebutkan empat tingkatan takdir, yang
harus diimani sebagaimana Ahlus Sunnah mengimaninya.


1 Tingkatan Pertama

Beriman bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang dikerjakan oleh seluruh
makhluk, dengan ilmu-Nya yang azali dan abadi. Allah telah mengetahui
segala keadaan mereka, yang berupa ketaatan, rezki, maupun ajal. Dia
mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, apa yang tidak terjadi
bila ia terjadi, serta bagaimana ia terjadi. Allah Ta’ala berfirman,



Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
(Ath-Thalaq: 12)



Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-’Ankabut:
62)


2 Tingkatan Kedua


Penulisan segala sesuatu oleh Allah di dalam Lauh Mahfuzh, baik yang
kecil maupun yang besar, baik yang telah terjadi maupun yang akan
terjadi. Allah Ta’ala berfirman,



Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Al-Hadid: 22)



Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata. (Yasin:
12)


3 Tingkatan Ketiga


Kehendak Allah yang berlaku, yang tidak bisa ditolak dan kekuasaan-Nya
yang tidak bisa dihindarkan oleh suatu apapun. Seluruh peristiwa terjadi
dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Adapun yang Dia kehendaki, niscaya
terjadi dan apapun yang tidak Dia kehendaki, niscaya tidak terjadi.
Allah berfirman,



Dan kamu tidak dapat menghendaki, kecuali apabila dikehendaki oleh
Allah, Rabb semesta alam. (At-Takwir: 29)


4 Tingkatan Keempat


Mencipta adalah wewenang Allah Ta’ala. Dialah Khaliq
(pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk yang diciptakan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,



Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
(Az-Zumar: 62)



Adakah sesuatu pencipta selain Allah? (Fathir: 3)


Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu yang telah terjadi, bersamaan
dengan itu Dia memerintahkan para hamba untuk mentaati-Nya dan mentaati
Rasul-Nya serta melarang mereka dari kemaksiatan terhadap-Nya.


Dia mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan dan orang-orang yang
berbuat adil serta meridhai orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Dia tidak mencintai orang-orang kafir dan tidak meridhai kaum yang
fasik. Dia tidak memerintahkan perbuatan keji, tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-hamba-Nya, dan tidak mencintai kerusakan. Dia Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui.


Ada sebagian ulama yang memadukan keempat tingkatan takdir ini dalam
satu bait sya’ir sebagai berikut:



(Taqdir) adalah ilmu, penulisan dan kehendak Maula kita



Begitu juga penciptaan-Nya, yaitu pengadaan dan pembentukannya



Catatan Kaki



HREF="#tex2html168">1

Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 121.

Takdir Dan Tingkatan-Tingkatannya (2/2)

Lebih dalam lagi mengenai takdir, penulis Syarh Aqidah Al-Wasithiyah menerangkan tentang iman kepada penulisan takdir seperti takdir yang meliputi seluruh makhluk, penulisan perjanjian (ketika di alam rahim), penulisan rezki, penulisan penetapan tahunan dan penulisan penetapan harian. Selain itu juga, menjelaskan secara ringkas sebagian jenis qalam (pena) alat penulis takdir itu.


Iman Kepada Penulisan Takdir, Mencakup Lima Takdir:


1. Takdir yang meliputi seluruh makhluk


Artinya, Allah telah mengetahui, menulis, menghendaki, dan menciptakannya,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya berikut dalil-dalilnya, dalam empat
tingkatannya.



2. Takdir kedua adalah penulisan mitsaq (perjanjian),
ketika Allah berfirman,



Dan (ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Rabbmu?" Mereka
menjawab, "Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi."
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini." (Al-A’raf: 172)



3. Takdir Al-’Umri (Penetapan umur): sekaligus
penetapan rezki, aja, dan amal perbuatan seorang hamba, serta apakah
ia bahagia ataukah sengsara, yaitu ketika masih berada di perut ibunya.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud.
HREF="#foot932">2

4. Takdir As-Sanawy (Penetapan tahunan). Allah
berfirman,



Pada malam itu, dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad-Dukhan:
4)


Ibnu Abbas berkata,



Ketika lailatul qadar, ditulislah pada ummul kitab, segala yang akan
terjadi pada tahun itu, baik yang berupa kebaikan, keburukan, maupun
rezki.



5. Takdir Al-Yaumi (Penetapan harian). Allah
Ta’ala berfirman,



Setiap hari Dia dalam kesibukan. (Ar-Rahman: 29)


Jadi, setiap hari Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan,
mengangkat derajat suatu kaum, merendahkan kaum yang lain.
HREF="#foot933">3


Takdir ini adalah penggiringan berbagai ketentuan kepada waktu yang
telah ditentukan sebelumnya. Takdir yaumy ini merupakan rincian takdir
umri (usia) ketika ruh ditiupkan ke janin yang ada di dalam perut
ibunya.


Sedangkan takdir umri juga merupakan rincian dari takdir pertama,
di masa mitsaq (perjanjian), dan takdir di masa mitsaq ini merupakan
perincian dari takdir yang ditulis oleh qalam dalam
Lauh Mahfuzh.
HREF="#foot775">4




Menurut petunjuk As-Sunnah, qalam tersebut terdapat empat macam:


1. Qalam pertama yang umum dan menyeluruh, meliputi seluruh makhluk.

2. Qalam kedua ketika Adam diciptakan. Qalam ini juga bersifat umum,
tetapi hanya meliputi seluruh bani Adam saja.


3. Qalam ketiga ketika malaikat diutus kepada janin yang berada di perut
ibunya. Qalam ini digunakan untuk menulis empat kalimat
.

4. Qalam keempat diciptakan untuk seorang hamba ketika telah mencapai
baligh.
Qalam ini dipegang oleh para malaikat pencatat, yang mereka
gunakan untuk mencatat apa yang dikerjakan oleh bani Adam.
HREF="#foot934">5


Apabila seorang hamba telah mengetahui bahwa kesemua itu berasal dari
sisi Allah, maka yang wajib baginya adalah meng-esa-kan Allah dalam
beribadah dan bertakwa kepadanya.
HREF="#foot935">6


Seorang hamba berkewajiban untuk menjalankan usaha dengan penuh kesungguhan
seraya meminta pertolongan dan petunjuk kepada Allah, ia harus yakin
bahwa tidak ada musibah yang menimpanya selain dari apa yang telah
dituliskan Allah untuknya, serta meyakini dengan seyakin-yakinnya
bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
kebajikan dan tidak menzhalimi walaupun sekecil biji dzarrah pun.



Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji dzarrahpun, niscaya
ia akan melihatnya. (Az-Zalzalah: 7 – 8).



Catatan Kaki



HREF="#tex2html170">2

Muslim IV / 2036.



HREF="#tex2html171">3

Lihat Al-Ma’arij Al-Qabul II / 345.



HREF="#tex2html172">4

Ibid. hal. 24



HREF="#tex2html173">5

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz hafizhahullah berkata bahwa
jumlah qalam tersebut hanya diketahui oleh Allah. Memastikan jumlahnya
dengan empat saja, bukanlah sesuatu yang bagus. Ibnul Qayyim pernah
menyebutkan empat qalam ini, tetapi bukan berarti tidak ada qalam
lain selain yang empat ini, karena telah dikatakan bahwa ada qalam
kelima yang digunakan untuk menulis apa saja yang terjadi dalam satu
tahun, pada lailatul qadar…


Jadi, tidak boleh memastikan bahwa qalam itu hanya ada empat. Banyak
sekali qalam yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah. Karena itu,
dalam hadits mi’raj, beliau bersabda, "Terdengar suara goresan
qalam (pena) …" Jumlahnya bisa jadi empat, seratus, atau
seribu, dan hanya Rabb kita sajalah yang mengetahuinya. Syarh
Ath-Thahawiyah, Ibnu Baz dalam 32 kaset.



HREF="#tex2html174">6

Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Arnauth, hal.
235.

Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Masalah Iman Dan Din

Pembahasan selanjutnya dari Syarh Aqidah Al-Wasithiyah adalah prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah iman dan agama. Penulis meramu kembali apa yang sudah bahas sebelumnya mengenai sikap pertengahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari golongan-golongan yang menyimpang.


Ad-Dien dan Al-Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah:



Perkataan, perbuatan dan keyakinan. Perkataan dengan hati dan lidah.
Sedangkan perbuatan dengan hati, lidah, dan anggota badan. Iman itu
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.


Perkataan hati

adalah kepercayaan dan keyakinannya.


Perkataan lidah

adalah pengucapan dua kalimah syahadah dan ikrar
terhadap konsekuensi-konsekuensinya.


Amalan hati

adalah niat, ikhlas, cinta, tunduk, dan keterikatan
hati kepada Allah, serta tawakkal kepadanya, juga segala hal yang
merupakan konsekuensi dari semua itu dan semua yang termasuk amalan
hati.


Amalan lisan

adalah apa saja yang hanya dilaksanakan dengan lidah,
seperti membaca Al-Qur’an, seluruh bentuk dzikir, seperti tasbih,
tahmid dan takbir; do’a, istighfar dan sebagainya.


Amalan anggota badan

adalah apa yang tidak bisa dilaksanakan kecuali
dengannya, seperti: berdiri, ruku’ sujud, berjalan dalam melaksanakan
amalan yang diridhai Allah, amar ma’ruf, dan nahyi munkar.
HREF="#foot953">1


Adapun bertambah dan berkurangnya iman, adalah berdasarkan firman
Allah Ta’ala,



Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, maka bertambahlah
iman mereka. (Al-Anfal: 2).


Juga sabda Nabi,



Akan keluar dari naar barangsiapa yang telah mengucapkan "Laa
Ilaaha Illallah", sedangkan di hatinya terdapat kebaikan
seberat biji gandum.
HREF="#foot954">2


Di antara dalil yang menunjukkan berkurang dan bertambahnya iman adalah
bahwa Allah telah membagi orang-orang beriman menjadi tiga bagian.



Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan
diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan, dengan
izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (Fathir:
32)


Orang yang menganiaya dirinya sendiri ( ÇäØÇäå äæáÓç ) adalah
orang yang lalai, yang melaksanakan sebagian kewajiban dan melakukan
sebagian perbuatan dosa.


Orang yang pertengahan ( ÇäåâÊÕÏ ) adalah orang yang melaksanakan
seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh perbuatan dosa, tetapi
kadang-kadang meninggalkan hal-hal yang mustahab dan melakukan hal-hal
yang makruh.


Sedangkan orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan ( ÇäÓÇÈâ ÈÇäÎêÑÇÊ
) adalah orang yang melaksanakan semua kewajiban dan hal yang mustahab
serta meninggalkan perbuatan haram dan yang makruh.
HREF="#foot955">3


Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblah karena kemaksiatan
dan dosa besar semata, selama pelakunya tidak menghalalkan perbuatan
dosa. Nabi telah bersabda,


Barangsiapa yang melaksanakan shalat kita, menghadap kiblat kita,
dan memakan sembelihan kita, maka ia seorang muslim.
HREF="#foot956">4


Setiap pelaku dosa besar atau orang yang melakukan dosa kecil secara
terus menerus, maka ia disebut sebagai orang yang maksiat dan fasik.
Ia sebagaimana seluruh orang mukmin yang lain, tidak keluar dari keimanan
disebabkan kemaksiatannya, selama ia tidak menghalalkannya dosa-dosa
tadi.


Ia disebut: orang yang beriman dengan keimanannya dan orang yang fasik
dengan dosa besarnya. Atau orang beriman yang kurang keimanannya.
Ia tidak diberi sebutan iman secara mutlak, tetapi sebutan tersebut
tidak dicabut darinya secara mutlak pula.


Adapun hukumnya di akhirat, ia berada di bawah kehendak Allah Ta’ala,
bila ia meninggal dunia sebelum bertaubat. Bila Allah menghendaki,
niscaya akan mengadzabnya sesuai dengan kadar dosanya, dan tempat
terakhirnya adalah Jannah.


Sebaliknya, jika Allah menghendaki pula, niscaya akan mengampuninya
sejak pertama kali dan memasukkannya ke Jannah dengan rahmat dan karunianya.


Adapun menurut kaum Khawarij dan Mu’tazilah, pelaku dosa besar itu
kekal di Neraka di akhirat nanti. Sedangkan di dunia, ia adalah orang
kafir yang halal darah dan hartanya menurut kaum Khawarij. Adapun
menurut kaum Mu’tazilah, ia berada di suatu tempat di antara dua tempat,
ia keluar dari keimanan, akan tetapi belum masuk ke dalam kekafiran.


Lain lagi menurut kaum Jahmiyah dan Murji’ah, ia tetap sempurna keimanannya
dan tidak berhak untuk disiksa. Mengenai hal ini, telah dibahas dalam
bab sikap pertengahan Ahlus Sunnah.



Catatan Kaki



HREF="#tex2html180">1

Ma’arijul Qabul II / 17.



HREF="#tex2html181">2

Muslim I / 182.



HREF="#tex2html182">3

Mukhtashar Ibnu Katsir III / 554, Ar-Rafi’i dan
Ibnu Katsir III / 554.


Mengenai firman Allah, "Di antara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri," Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy
berkata,


Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan sebagian kewajiban iman
dan melakukan sebagian hal yang diharamkan. (Lihat At-Taudhih
wal Bayan li Syajarah Al-Iman, hal. 17).



HREF="#tex2html183">4

Al-Bukhari, Fathul Bari I / 496. Lihat pula Ar-Raudhah
An-Nadiyah,
hal. 382.


Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Masalah Para Shahabat Rasulullah, Isteri dan Ahli Bait Beliau

Selanjutnya, penulis Syarh Aqidah Al-Wasithiyah menjelaskan kembali sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai para ahlul bait, isteri dan Sahabat Rasulullah. Suatu sikap tengah-tengah antara Rafidhah dengan khawarij.


Salah satu prinsip Ahlus Sunnah adalah bersihnya hati mereka dari
kedengkian, kebencian dan permusuhan terhadap para shahabat Rasulullah.
Lidah mereka juga bersih dari perbuatan mencaci dan mencela. Mereka
memohon keridhaan untuk para shahabat dan mendo’akan mereka:



Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu daripada kami. (Al-Hasyr: 10).


Mereka mematuhi perintah Nabi yang bersabda,



Janganlah kalian mencela para shahabatku. Demi Allah yang jiwaku di
tangan-Nya, jika salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar
Uhud, niscaya tidak sebanding dengan satu mud mereka atau setengahnya.

HREF="#foot964">1


Mereka menerma keutamaan-keutamaan para shahabat sebagaimana yang
dikabarkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka lebih mengutamakan
para shahabat yang telah berinfak dan berperang sejak sebelum Fathu
Makkah.


Mereka lebih mengutamakan shahabat Muhajirin di atas shahabat-shahabat
Anshar. Mereka juga mengutamakan sepuluh shahabat Muhajirin yang diberi
kabar gembira masuk Jannah. Mereka meyakini bahwa Allah telah melihat
kepada Ahli Badar yang berjumlah tiga ratus lebih belasan orang, lalu
berfirman,



Berbuatlah kalian semau kalian, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni
kalian.
HREF="#foot965">2


Mereka meyakini bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang
telah berbai’at di bawah "pohon" (dalam Bai’atur
Ridwan -pent) yang akan masuk Naar. Karena Nabi bersabda,



Tidak akan masuk Naar seorangpun yang telah berbai’at di bawah pohon.

HREF="#foot966">3


Mereka yang berbai’at itu berjumlah seribu empat ratus orang. Ahlus
Sunnah wal Jama’ah juga meyakini, akan masuk Jannah orang-orang yang
dikabarkan oleh Rasul akan memasukinya, seperti Tsabit bin Qais bin
Syamas. Rasulullah telah bersaksi bahwa ia masuk Jannah.
HREF="#foot967">4


Demikian halnya sepuluh shahabat yang dikabarkan Rasulullah akan masuk
Jannah. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Az-Zubair, Thalhah,
Sa’ad bin Malik bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah
bin Al-Jarah, serta Sa’id bin Zaid.
HREF="#foot968">5


Mereka mengakui bahwa sebaik-baik umat ini setelah Nabi mereka adalah:
Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali.
HREF="#foot969">6


Mereka berlepas diri dari paham Rafidhah dan Nawashib yang mengkadirkan
dan mencela Ahlul Bait, serta menampakkan permusuhan terhadap Ahlul
Bait. Ahlus Sunnah menahan diri dari perselisihan di antara mereka
dan apa saja yang benar-benar terjadi pada sejarah mereka, karena
mereka adalah para mujtahid yang benar, atau kalau tidak mereka adalah
mujtahid yang keliru.


Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak ada seorangpun yang ma’shum
dari dosa besar kecuali para nabi ‘alaihim ash-shalah was salam. Para
shahabat bisa saja melakukan dosa-dosa, akan tetapi mereka memiliki
banyak keutamaan yang menghapuskan keburukan itu. Mereka adalah sebaik-baik
generasi.
HREF="#foot970">7


Bisa jadi pula, shahabat yang pernah melakukan dosa itu telah bertaubat.
Mereka juga orang yang paling berbahagia dengan syafa’at Muhammad.


Ahlus Sunnah mencintai Ahlul Bait Nabi dikarenakan hal itu telah diwasiatkan
oleh beliau.
HREF="#foot971">8 Mereka berwala’ kepada isteri-isteri Nabi dan memohon keridhaan untuk
mereka. Mereka juga meyakini bahwa isteri-isteri beliau tersebut adalah
isteri-isteri beliau di akhirat. Mereka adalah ibu bagi kaum mukminin
(ummahatul mukminin) dipandang dari segi
penghormatan, pengagungan, dan pengharaman menikahi mereka.


Mereka adalah wanita-wanita suci yang bebas dari setiap keburukan.
Ahlus Sunnah berlepas diri dari siapa saja yang menyakiti atau mencela
mereka. Ahlus Sunnah mengharamkan untuk mencaci dan menuduh mereka.
Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan mereka, kaji kembalilah
hadits-hadits tersebut.
HREF="#foot972">9 Semoga Allah meridhai mereka beserta seluruh shahabat Rasulullah.



Catatan Kaki



HREF="#tex2html182">1

Al-Bukhari, Fathul Bari, VII / 21 dan Muslim IV
/ 1967.



HREF="#tex2html183">2

Al-Bukhari, Fathul Bari, VII / 305 dan Muslim IV
/ 1941.



HREF="#tex2html184">3

Muslim IV / 1942.



HREF="#tex2html185">4

Muslim I / 110



HREF="#tex2html186">5

Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud XII / 401 dan At-Tirmidzi
V / 647.



HREF="#tex2html187">6

Al-Bukhari, Fathul Bari VII / 53.



HREF="#tex2html188">7

Muslim IV / 1964.



HREF="#tex2html189">8

Muslim IV / 1873 dan IV / 1782.



HREF="#tex2html190">9

Al-Bukhari, Fathul Bari VII / 133 dan VII / 106; dan Muslim
IV / 1886 dan IV / 1895.


Penutup

Inilah pembahasan terakhir dari kitab Syarh Aqidah Al-Wasithiyah. Penulis rahimahullah membahas Madzhab Ahlus Sunnah Dalam Masalah Karamah Para Wali, jalan yang ditempuh mereka adalah ittiba’, dasar-dasar yang digunakan oleh mereka untuk mengukur amalan manusia dan yang terakhir adalah Akhlak mereka. Bagaimana penjelasan masing-masingnya secara singkat?


10. Madzhab Ahlus Sunnah Dalam Masalah Karamah Para Wali


Ahlus Sunnah mempercayai karamah para wali. Karamah
adalah sesuatu yang luar biasa, yang terjadi bukan pada seorang nabi.
Bila hal itu terjadi pada seorang nabi, maka disebut mukjizat.


Sesuatu yang luar biasa tidak menjadi karamah kecuali bila ia terjadi
pada seorang hamba yang nyata keshalihannya, yang memiliki aqidah
sahih dan amal shalih. Bila sesuatu yang luar biasa itu terjadi pada
diri orang-orang yang menyimpang, maka ia merupakan salah satu dari
rekayasa syaithan.


Bila hal itu terjadi pada seseorang yang belum diketahui keadaannya,
maka keadaannya tersebut diukur dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana
diriwayatkan dari Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata,



Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang
di udara, maka janganlah kalian mempercayainya sebelum kalian menilai
keadaan dirinya berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.


Atau sebagaimana kata beliau Rahimahullah, Ahlus Sunnah mempercayai
dan meyakini dengan seyakin-yakinnya akan adanya karamah para wali
dan berbagai hal luar biasa yang terjadi pada mereka, baik dalam bidang
ilmu pengetahuian, penemuan-penemuan, macam-macam kemampuan, dan pengaruh.


Di antaranya adalah kisah Ashabul Kahfi yang tidur panjang. Contoh
lain adalah kemurahan Allah kepada Maryam binti Imran yang mendapat
rizki sedangkan ia masih berada di dalam mihrab.


Salah satu contoh lain adalah ucapan Umar bin Al-Khaththab ketika
di atas mimbar, "Wahai Sariyah, ke gunung!" Beliau
melihat pasukan yang berada di Nahawand tersebut dan Sariyah tersebut
mendengar perkataan beliau, sekalipun dari jarak yang jauh.


Banyak lagi contoh karamah tersebut, yang tidak terhitung jumlahnya.
Kebanyakan dari hal itu saya lihat terdapat dalam buku Al-Alamah Syaikh
Ibnu Taimiyah, yaitu "Al-Furqan Baina Auliya’ Ar-Rahman wa
Auliya’ Asy-Syaithan."


11. Jalan Yang Ditempuh Ahlus Sunnah Adalah Ittiba’


Ahlus Sunnah mengikuti perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi dan
inilah yang dimaksud dengan mengikuti jejak beliau (ittiba’).


Adapun mengikuti jejak-jejak fisik beliau yang tidak merupakan bagian
dari Din (agama), seperti tempat kencing, tidur, dan berjalan beliau,
maka tidak diperbolehkan mencari-cari hal itu, karena hal itu merupakan
sarana menuju kemusyrikan.


Salah satu jalan (cara) yang dianut oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
adalah mengikuti perkataan para sahabat ketika tidak ditemukan sunnah
Rasulullah. Adapun ketika terdapat nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah,
maka nash tersebut haruslah didahulukan dari pendapat siapapun. Allah
Ta’ala berfirman,



Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa’: 162).


Ahlus Sunnah wal Jama’ah mematuhi waisat Rasul untuk berpegang kepada
sunnahnya dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Mereka menggigitnya dengan
geraham mereka dan memegangnya erat-erat sebagai pelaksanaan perintah
beliau.
HREF="#foot1031">1


Mereka mengutamakan firman Allah, kemudian petunjuk Rasulullah. Karena
itulah mereka disebut sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.


12. Dasar-Dasar Yang Digunakan Oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Untuk Mengukur
Amalan Seluruh Manusia


Ahlus Sunnah menggunakan tiga dasar untuk mengukur kebenaran amal
manusia, baik yang lahir maupun yang bathin, yang berkaitan dengan
Din. Dasar-dasar itu adalah:


1. Kitabullah ‘Azza wa Jalla, yang merupakan sebaik-baik perkataan.


Barangsiapa yang berkata dengannya pasti benar, barangsiapa yang berhukum
dengannya pasti adil, barangsiapa yang berpegang teguh padanya pasti
mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus, dan barangsiapa yang
menyimpang darinya pasti tersesat dan sengsara di dunia dan akhirat.


Ahlus Sunnah tidak mengutamakan perkataan siapapun dari pada perkataan
Allah ini.



2. Sunnah Rasul. Mereka tidak mengutamakan perkataan seorang makhluk
Allah pun dari pada sunnah Rasul yang shahih.

3. Kesepakatan (Ijma’) yang terjadi di masa generasi pertama
umat ini, sebelum terjadinya perpecahan, perluasan Islam, serta sebelum
bermunculannya bid’ah dan perbedaan pendapat.


Adapun pendapat-pendapat yang datang setelah itu, maka mereka timbang
dengan ketiga dasar ini. Bila sesuai dengannya, maka mereka menerimanya.
Tetapi bila tidak sesuai dengannya, maka mereka menolaknya, tanpa
memandang siapa yang mengucapkannya. Inilah manhaj yang benar dan
pemahaman yang lurus.




13. Akhlak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


Penulis Rahimahullah Ta’ala mengakhiri tulisan tentang aqidahnya ini
dengan sifat-sifat mulia yang disandang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Di antara kebaikan dan akhlak mulia mereka adalah Memerintahkan yang
ma’ruf dan mencegah yang mungkar.



Ma’ruf

adalah segala yang dinilai baik oleh syar’i
maupun akal.

Mungkar

adalah segala yang dinilai buruk oleh syar’i
maupun akal.


Allah Ta’ala berfirman,



Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada
yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang
beruntung. (Ali Imran: 104)


Nabi pun bersabda,



Barangsiapa di antara kalian melihat sesuatu yang mungkar, maka hendaklah
merubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, hendaklah dengan
lisannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan ini selemah-lemah
iman.
HREF="#foot1020">2


Ketiga hal yang disebutkan dalam hadits ini merupakan tingkatan-tingkatan
amar ma’ruf nahyi munkar, yaitu dengan tangan, kemudian dengan lisan,
dan terakhir dengan hati.


Di antara akhlak mulia Ahlus Sunnah adalah memberikan nasihat (ketulusan)
untuk Allah, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kalangan awam
mereka
HREF="#foot1021">3; kemudian orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat bangunan
yang tersusun kokoh
HREF="#foot1022">4; mereka mengasihi saudara-saudara muslim mereka
HREF="#foot1023">5; mereka menganjurkan akhlak mulia dan perbuatan baik; mereka memerintahkan
berlaku sabar dan berbuat baik kepada hamba-hamba Allah sesuai dengan
keadaan dan hak mereka, baik kepada kerabat, anak yatim maupun fakir
miskin; dan mereka melarang bersikap congkak dan sombong.


Segala yang mereka lakukan tidak lain dalam rangka mengikuti Al-Kitab
dan As-Sunnah. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita berada
dalam thaifah (kelompok) yang senantiasa berada di
atas kebenaran, mendapatkan pertolongan dan yang tidak terkena mudharat
dari orang yang memusuhi atau yang enggan menolong, sampai terjadinya
kiamat.
HREF="#foot1024">6


Sesungguhnya, Dialah yang berwewenang dan berkuasa atas hal itu. Dan
semoga Allah melimpahkan shalawat kepada nabi kita Muhammad, juga
kepada segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti
mereka dengan baik, hingga hari pembalasan.

<<pref

Catatan Kaki



HREF="#tex2html194">1

Lihat hadits Al-’Irbadh bin Sariyah dalam Sunan At-Tirmidzi,
Abu Dawud dalam "Aunul Ma’bud" XII / 258;
Ibnu Majah I / 15 dan Musnad Ahmad IV / 126. Lihat
pula Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 140 dan Syarh
Ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Arnauth, hal. 495.



HREF="#tex2html197">2

Muslim I / 69.



HREF="#tex2html198">3

Muslim I / 74.



HREF="#tex2html199">4

Al Bukhari, Fathul Bari V / 99 dan Muslim IV / 1999.



HREF="#tex2html200">5

Al Bukhari, Fathul Bari V / 99 dan Muslim IV / 1999.



HREF="#tex2html201">6

Al-Bukhari, Fathul Bari XIII / 249 dan Muslim III
/ 1523. Lihat pula Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Haras,
hal. 181 dan Al-As’ilah wal Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 146.


diambil dari artikel http://blog.vbaitullah.or.id/

Post a Comment for "Syarh Aqidah Wasithiyah(5)"