Syarh Aqidah Wasithiyah(4)

Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Asma’ Dan Sifat-Sifat Allah Secara Tafshil (4/4)

Memasuki bagian akhir dari bab ini, selain memaparkan dan menjelaskan kabar-kabar berupa nama dan sifat Allah yang datang dari-Nya dan dari rasul-Nya, juga menjelaskan secara khusus dalil-dalil bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah di akhirat dan juga bahwa Allah turun ke langit dunia setiap malam. Hal ini untuk menepis keragu-raguan orang yang tidak meyakini akan kebenaran kedua fakta ini. Simak juga pembagian sifat-sifat Allah. Apa saja perbedaan kedua jenis sifat-sifat Allah?


4.1.17 Orang-orang Mukmin Melihat Allah Pada Hari Kiamat


Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Rabbnyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 22 – 23).



Pada bab ini penulis Rahimahullah Ta’ala menyebutkan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa orang-orang mukmin melihat Rabb mereka pada hari
kiamat, secara langsung dengan mata kepala mereka dengan cara yang
layak dengan kebesaran-Nya, yang mana hal itu tidak mirip dengan satu
pun di antara para makhluk-Nya.


Hal ini telah disebutkan di dalam As-Sunnah. Nabi bersabda,



Bila penduduk Jannah telah masuk Jannah, Allah Tabaraka wa Ta’ala
berfirman, "Inginkah kalian jika aku menambahkan sesuatu
untuk kalian?" Mereka bertanya, "Tidakkah Engkau
telah menjadikan wajah kami menjadi putih, Engkau memasukkan kami
ke Jannah, dan Engkau selamat kami dari Naar?" Maka, Allah
menyingkapkan hijab. Tidak ada sesuatupun yang diberikan kepada mereka,
yang lebih mereka sukai daripada kenikmatan melihat kepada Rabb mereka
‘Azza wa Jalla.



Kemudian, Nabi membaca ayat ini

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Jannah)
dan tambahannya. (yaitu melihat wajah Allah. -pent)
HREF="#foot610">4.19 (Yunus: 26)



Pendapat bahwa orang-orang mukmin melihat Rabb mereka pada Hari Kiamat
ini, disepakati oleh para nabi, rasul, seluruh shahabat, tabi’in dan
imam kaum muslimin dalam berbagai masa.


Yang menentang pendapat ini hanyalah orang-orang Jahmiyah dan Mu’tazilah
serta orang-orang yang mengikuti mereka. Pendapat mereka itu bathil
dan tertolak dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
HREF="#foot611">4.20Nabi bersabda,



Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat
bulan ini. Kalian tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Maka,
apabila kalian bisa dengan sepenuh daya menjaga shalat sebelum matahari
terbit (shalat fajar) dan sebelum matahari tenggelam (shalat ‘ashar)
maka lakukanlah.
HREF="#foot612">4.21


4.1.18 Allah Turun Ke Langit Dunia Setiap Malam


Nabi bersabda:



Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia,
ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman,

"Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya,
Siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta
ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya."
HREF="#foot613">4.22



Hadits yang disepakati keshahihannya ini, merupakan dalil yang shahih
dan gamblang, yang menyatakan turunnya Allah Ta’ala ke langit dunia
pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir.


Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki
dan kapan saja Dia menghendaki. Arti turun telah diketahui, tetapi
bagaimana keadaan turun-Nya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan
kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah.


Demikian pula turunnya Allah pada Hari Kiamat, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Turun-Nya tidak sama dengan turunnya
tubuh manusia dari atap rumah ke tanah, yang mana atap tetap berada
di atasnya, tetapi Allah Maha Suci dari hal yang demikian itu.
HREF="#foot614">4.23




4.1.19 Sifat Al-Farh (Gembira)

Nabi bersabda,



Allah lebih gembira dengan taubat seorang hamba-Nya, dibanding dengan
kegembiraan salah seorang dari kalian yang menemukan untanya, yang
telah hilang di padang pasir yang luas.
HREF="#foot616">4.24


Ini merupakan salah satu sifat Fi’liyah dengan keadaan yang
sesuai dengan kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla.




4.1.20 Sifat Adh-Dhahik (Tertawa)


Nabi bersabda,



Allah tertawa terhadap dua orang, salah satu membunuh yang lain, tetapi
keduanya masuk Jannah. (Para sahabat) bertanya, Bagaimana bisa demikian
wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Yang seorang berperang
di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, lalu gugur sebagai syahid. Kemudian
Allah menerima taubat si pembunuh, ia masuk Islam, lalu berperang
di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian gugur sebagai syahid.
HREF="#foot618">4.25


Dalam hadits ini terdapat dalil yang shahih dan tegas, yang menyatakan
sifat tertawa bagi Allah, yang layak dengan kebesaran-Nya. Ini merupakan
salah satu sifat Fi’liyah yang dilakukan oleh Allah apabila
Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki.
HREF="#foot619">4.26




4.1.21 Sifat Al-’Ajab (Ta’ajub)


Nabi bersabda,



Allah sungguh ta’ajub atau tertawa oleh si Fulan dan Fulanah. Maka
Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan, "Dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan."
HREF="#foot621">4.27


Dalam hadits shahih ini dinyatakan sifat ta’ajub, yang merupakan
salah satu sifat Fi’liyah. Jadi, Allah Ta’ala ta’ajub apabila
Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki, dengan keadaan yang
layak dengan kebesaran-Nya.



Tidak ada seseuatu pun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar
lagi Melihat. (Asy-Syura: 11)




4.1.22 Sifat Qadamur Rahman (Telapak Kaki Allah)


Nabi bersabda,



Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam)
senantiasa mengatakan, "Masih adakah tambahan?"
Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya
-dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka
sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam)
berkata, "Cukup… cukup…!"
HREF="#foot623">4.28


Dalam hadits ini dinyatakan adanya kaki bagi Allah Yang Maha Rahman,
dengan keadaan yang layak dengan kebesaran-Nya, sebagaimana telah
dijelaskan dahulu.
HREF="#foot624">4.29


4.2 Sifat Fi’liyah dan Sifat Dzatiyah bagi Allah


Sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua:


1. Sifat Dzatiyah, yaitu sifat yang tidak
terpisahkan dari Allah Ta’ala. Maka, Ia sejak dahulu dan tetap menyandang
sifat tersebut.


Misalnya: Ilmu, Hidup, Kuasa, Mendengar, Melihat, Wajah, Telapak,
Tangan, Mata, Kaki, Raja, Agung, Besar, Perkasa, Tinggi, Jari, Telapak
Kaki, Kaya, Kasih Sayang dan Berbicara.



2. Sifat Fi’liyah, yaitu sifat yang berkaitan
dengan kehendak dan kekuasaan Allah.


Misalnya: Bersemayam, Turun, Tiba, Tertawa, Ridha, Ta’ajub, Murka,
Datang, Menghidupkan, Mematikan, Gembira, Marah, Benci, Cinta.


Semua sifat ini disebut Qadim (ada sejak dahulu)
dari segi jenisnya dan baru dari segi terjadinya satu persatu. Sifat-sifat
tersebut, juga sifat-sifat Fi’liyah yang lain, berkaitan dengan kehendak
Allah. Bila Dia berkehendak, Dia melakukannya. Sedangkan bila Dia
tidak berkehendak, Dia tidak melakukannya.
HREF="#foot517">4.30




4.2.1 Sifat Fi’liyah Sekaligus Dzatiyah


Kadang-kadang suatu sifat bisa dikategorikan dalam sifat Fi’liyah
sekaligus Dzatiyah. Misalnya sifat berbicara (kalam), asalnya
merupakan sifat Dzatiyah, karena Dia sejak dahulu dan tetap berbicara.
Tetapi bila dilihat terjadinya satu persatu, berbicara merupakan sifat
Fi’liyah, karena berbicara itu berkaitan dengan kehendak-Nya. Dia
berbicara kalau menghendaki. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,



Sesungguhnya perintah-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah
mengatakan, "Jadilah!", maka terjadilah ia.


Setiap sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah Ta’ala, adalah mengikuti
kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang hikmah tersebut kita mengerti, tetapi
kadang-kadang kita tidak mampu mengetahuinya.


Akan tetapi kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah tidak menghendaki
sesuatu apapun, kecuali hal itu sesuai dengan hikmah. Hal ini diisyaratkan
dalam firman Allah,



Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
HREF="#foot626">4.31 (Al-Insaan: 30).



Catatan Kaki



HREF="#tex2html105">4.19

Diriwayatkan oleh Muslim I/163, sedangkan ayat dalam hadits
ini adalah ayat ke-26 dari Surat Yunus.



HREF="#tex2html106">4.20

Al-Kawasyif Al-Jalilah, hal. 401.



HREF="#tex2html107">4.21

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari III/29
dan Muslim I/521.



HREF="#tex2html108">4.22

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari III/29
dan Muslim I/521.



HREF="#tex2html109">4.23

Syarh Hadits An-Nuzul, Ibnu Taimiyah, hal. 33 dan Ar-Raudhah
An-Nadiyah
, hal. 175. Lafazh hadits ini milik Muslim.



HREF="#tex2html111">4.24

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari XI/102;
dan Muslim IV/204. Lihat pula Al-Kawasyif Al-Jaliyah,
hal. 457 dan Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 175. Lafazh ini
ada pada Muslim.



HREF="#tex2html113">4.25

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari VI/39
dan Muslim III/1504.



HREF="#tex2html114">4.26

Lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 175 dan Al-Kawasyif
Al-Jaliyah, hal. 457.



HREF="#tex2html116">4.27

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari VIII/631.
Sedangkan ayat dalam hadits ini adalah yang ke-9 dari surat Al-Hasyr.



HREF="#tex2html118">4.28

Diriwayatkan Al-Bukhari, Fathul Bari XIII/368; dan
Muslim IV/2187.



HREF="#tex2html119">4.29

Lihat Mukhtashar Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 103.



HREF="#tex2html121">4.30

ibid., hal. 30.



HREF="#tex2html124">4.31

Ad-Dahr: 30. Lihat Al-Qawa’id Al-Mutsla fi Shifatillah wa
Asma’ihi al-Husna,
hal. 24.






Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (1/2)

Pembahasan selanjutnya dari Syarh Aqidah Al-Wasithiyah adalah menjelaskan sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selalu berada di tengah di antara aliran-aliran sesat selain mereka dalam masalah apa pun. Mereka berada ditengah antara Jabriyah dan Qadariyah, antara Murji’ah Dan Kaum Wa’idiyah dll. Bahasan ini juga sekaligus mengenalkan kepada para pembaca akan golongan-golongan sesat dan bahaya pemahaman mereka.

5.1 Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Diantara Firqah Sesat Dalam Masalah
Sifat Allah


Umat Islam adalah umat yang wasath, berada di tengah-tengah
dibandingkan dengan berbagai agama lain. Sebagaimana firman Allah,



Demikianlah, Kami telah menjadikan kamu sekalian umat yang wasath.
(Al-Baqarah: 143)


Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok pertengahan dibandingkan
dengan kelompok-kelompok yang menisbahkan dirinya kepada Islam. Mereka
adalah orang-orang yang pertengahan antara orang-orang Jahmiyah yang
menafikan sifat-sifat dan nama-nama Allah, yang melucuti Allah dari
sifat-sifat-Nya, yang karena itu mereka disebut sebagai Ahli Ta’thil
dengan Ahli Tamtsil, yaitu kelompok yang berseberangan dengan Jahmiyah,
yang meyakini sifat-sifat Allah, akan tetapi mereka menjadikan sifat-sifat
tersebut sebagaimana sifat-sifat makhluk.


Maka mereka mengatakan, "Tangan Allah sebagaimana tangan
makhluk dan pendengaran Allah sebagaimana pendengaran makhluk."
Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang zhalim itu.


Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menetapkan sifat-sifat Allah tanpa
menyerupakanya. Mereka me-Mahasucikan Allah dari keserupaan dengan
para makhluk, tanpa meniadakannya. Mereka memadukan antara Tanzih
(pemahasucian) dengan Itsbat (penetapan).


Allah telah membantah kedua kelompok yang menyimpang di atas dengan
firman-Nya,



Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.


Firman-Nya, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia…" adalah bantahan terhadap kaum musyabbihah
(yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya -pent), sedangkan
firman Allah, "dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat" adalah bantahan terhadap kaum mu’athilah
(yang menafikan / meniadakan sifat-sifat Allah -pent).


5.2 Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Antara Jabriyah dan Qadariyah Dalam
Masalah Perbuatan Hamba



Ahlus Sunnah memiliki sikap yang pertengahan antara penganut paham
Jabriyah dan Qadariyah, serta yang lainnya. Kaum Jabriyah
yang juga merupakan penganut paham Jahmiyah dan pengikut Jahm bin
Shafwan, mengatakan,



Sesungguhnya, para hamba itu dipaksa atas perbuatan dan gerakan-gerakannya,
serta dalam seluruh perilakunya, sebagaimana urat-urat yang berdenyut,
kesemuanya merupakan perbuatan Allah.


Adapun kaum Qadariyah yaitu orang-orang mu’tazilah
pengikut Ma’bad Al-Juhainiy beserta orang-orang yang sepaham dengan
mereka, mengatakan,



Sesungguhnya, hambalah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, tanpa
campur tangan kehendak dan kekuasaan Allah.


Jadi, mereka mengingkari bahwa Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan
para hamba. Mereka mengatakan, "Allah tidak menghendakinya
dan tidak menginginkannya."


Allah telah memberikan petunjuk kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk
menjadi kaum yang pertengahan di antara kedua kelompok ini. Mereka
mengatakan,



Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang menciptakan para hamba berikut
perbuatan-perbuatan mereka, akan tetapi mereka para hamba tersebut
benar-benar melakukannya dan memiliki kemampuan untuk melakukannya,
sedangkan Allah adalah yang menciptakan mereka dan segala kemampuan
mereka. Allah berfirman,

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
(Ash-Shafat: 96).



Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa seorang hamba memiliki kehendak dan
ikhtiar yang mengikuti kehendak Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,



Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki oleh Rabb semesta alam. (At-Takwir: 28 – 29).


5.3 Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Antara Kaum Murji’ah Dan Kaum Wa’idiyah
Dari Golongan Qadariyah Dalam Masalah Ancaman Allah



Murji’ah:

berasal dari kata irja’, yang artinya
menangguhkan.


Mereka dinamakan demikian karena mereka menunda amal dari iman. Mereka
mengatakan,



Suatu dosa tidak memberikan mudharat dengan adanya iman, sebagaimana
suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran.


Jadi, menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam sebutan iman. Iman
itu tidak bertambah dan tidak berkurang, dan seorang pelaku dosa besar
itu memiliki keimanan yang sempurna dan tidak terkena ancaman siksa.
Pendapat mereka ini batil berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.


Adapun Wa’idiyah adalah golongan yang mengatakan,



Bedasarkan rasio, Allah haruslah menyiksa orang yang bermaksiat sebagaimana
harus memberi pahala orang yang berbuat ketaatan. Maka barangsiapa
yang meninggal dalam berbuat dosa besar dan belum bertaubat, maka
ia kekal di neraka selama-lamanya.


Ini merupakan salah satu prinsip Mu’tazilah yang juga diyakini oleh
kaum Khawarij. Mereka berkata, "Karena Allah tidak menyelisihi
janji." Pendapat mereka ini batil dan bertentangan dengan
Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,



Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
(An-Nisa’: 48).


Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, memiliki sikap yang pertengahan dalam
masalah ancaman Allah ini, di antara kedua kelompok ini. Mereka mengatakan,



Sesungguhnya seorang pelaku do sa besar itu beriman dengan keimanannya
tetapi juga fasik karena perbuatan dosa besarnya, atau seorang mukmin
yang kurang sempurna imannya. Apabila ia mati sebelum bertaubat, maka
ia berada di bawah kehendak Allah. Bila Dia menghendaki, Dia mengampuninya
dengan kasih sayang dan karunia-Nya serta memasukkannya ke Jannah
sejak awal.



Dan bila Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya dengan keadilan-Nya,
sesuai dengan kadar dosa-dosanya di dalam Neraka, akan tetapi ia tidak
kekal di dalamnya, melainkan akan keluar setelah disucikan dan dibersihkan
dari dosa-dosa dan kemaksiatan, dan akhirnya ia akan masuk ke Jannah
berkat syafa’at atau karunia dan rahmat Allah. Dan kesemua itu merupakan
karunia dari Allah Ta’ala.


Ahlus Sunnah mengatakan,



Menyelisihi ancaman merupakan kemurahan, berbeda dengan menyelisihi
janji kebaikan. Menyelisihi ancaman merupakan perbuatan terpuji, tidak
sebagaimana menyelisihi janji kebaikan. Seorang penyair berkata,

Sungguh, bila aku mengancamnya atau menjanjikan kebaikan untuknya,



Kuselisihi ancamanku, dan kupenuhi janji baikku.
HREF="#foot765">1




Catatan Kaki



HREF="#tex2html133">1

Lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 252 dan Al-Kawasyif,
hal. 501.

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (2/2)

Simak terus bagaimana sikap pertengahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di antara kelompok-kelompok sempalan. Pertengahan antara Haruriyah dan Mu’tazilah dengan Murji’ah dan Jahmiyah dan antara Rafidhah dengan Khawarij dan Nawashib. Mari kita kenali dan waspadai pemikiran-pemikiran berbahaya dari kelompok-kelompok ini dan yang lainnya.


5.4 Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Dalam Masalah Nama-nama Iman Dan Din,
Antara Kaum Haruriyah Dan Mu’tazilah Dengan Kaum Murji’ah dan Jahmiyah



Yang dimaksud dengan asma’ (nama-nama) di sini adalah asma’ud dien
(sebutan-sebutan dalam agama), seperti mukmin, muslim, kafir, fasik.


Adapun yang dimaksud dengan hukum-hukum adalah hukum-hukum bagi orang-orang
yang menyandang sebutan tersebut, baik di dunia maupun akhirat.


1. Haruriyah adalah sekelompok dari golongan
khawarij, yang dikaitkan dengan nama Harura’, yaitu nama suatu tempat
dekat Kufah. Mereka berkumpul di tempat ini ketika membelot dan memberontak
terhadap Ali. Mereka berpendapat bahwa seseorang itu tidak disebut
mukmin kecuali apabila ia telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
menjauhi dosa-dosa besar. Mereka mengatakan,



Din dan Iman adalah perkataan, perbuatan dan keyakinan. Akan tetapi
ia tidak bertambah dan tidak berkurang. Maka barangsiapa yang melakukan
dosa besar, ia kafir di dunia, sedangkan di akhirat kekal di Neraka
selama-lamanya, bila ia belum bertaubat sebelum mati.



2. Mu’tazilah adalah pengikut Washil bin
‘Atho’ dan Amru bin ‘Ubaid. Mereka disebut Mu’tazilah, karena mereka
i’tizal (menyendiri); memisahkan diri dari majlis
Hasan Al-Bashri, dan ada pula yag menyebutkan sebab lain. Menurut
mereka, seseorang tidak disebut mukmin kecuali apabila ia telah melaksanakan
kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka mengatakan,



Din dan Iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan. Akan tetapi tidak
bertambah dan tidak berkurang. Maka barangsiapa yang melaksanakan
dosa besar, ia berada di suatu tempat antara dua tempat -ia telah
keluar dari iman, akan tetapi belum masuk ke dalam kekafiran-.


Inilah hukumnya di dunia menurut mereka. Adapun hukumnya di akhirat,
ia kekal dalam neraka selama-lamanya. Jadi, ada dua tempat perbedaan
antara Khawarij dan Mu’tazilah dan dua tempat pula yang mereka sepakati.
Terjadi persamaan di antara mereka pada:


1. Menolak keimanan bagi orang yang melaksanakan dosa besar

2. Kekekalan orang tersebut di Neraka bersama orang-orang kafir


Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah:


1. Orang-orang Khawarij menyebutnya sebagai orang kafir, sedangkan orang-orang
Mu’tazilah mengatakan bahwa orang tersebut berada di suatu tempat
di antara dua tempat.

2. Khawarij menghalalkan darah dan hartanya, sedangkan Mu’tazilah tidak
melakukan hal itu.



3. Murji’ah mengatakan,



Suatu dosa tidak mendatangkan mudharat terhadap keimanan sebagaimana
suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran.


Mereka mengatakan bahwa iman hanyalah pembenaran di dalam hati. Seorang
yang melakukan dosa besar menurut mereka memiliki keimanan yang sempurna
dan tidak berhak dimasukkan ke Neraka.


Dengan demikian, keimanan orang yang paling fasik dengan keimanan
orang yang paling sempurna imannya.



4. Demikian halnya dengan pendapat orang-orang Jahmiyah.
Jadi, orang Jahmiyah telah melakukan bid’ah at-ta’thil, al-jabar
dan al-irja’, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Orang yang melaksanakan dosa besar, menurut mereka, memiliki keimanan
yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke dalam Neraka.

5. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah mendapatkan petunjuk dari Allah
untuk memahami kebenaran. Mereka mengatakan,



Sesungguhnya, iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan
dengan anggota badan, dan keyakinan dengan hati. Iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.


Seorang pelaku dosa besar menurut mereka adalah seorang mukmin yang
kurang imannya. Berkurangnya iman dia itu sebanding dengan kadar maksiat
yang dilakukanya.


Maka, mereka tidak sama sekali menafikan keimanan pelaku dosa besar
tersebut seperti pemahaman kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka juga
tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu seorang yang memiliki
iman sempurna seperti kaum Murji’ah dan Jahmiyah.


Adapun hukum orang tersebut di akhirat, di bawah kehendak Allah. Jika
Dia berkehendak, Dia akan memasukkannya ke Jannah sejak pertama kali
sebagai kasih sayang dan karunia dari Allah. Dan jika Dia menghendaki,
Dia akan menyiksanya sesuai dengan kadar kemaksiatannya. Ini apabila
ia tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, tidak
menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan tidak mengharamkan
apa yang dihalalkan oleh Allah.


Hukum yang diyakini oleh Ahlus Sunnah bahwa seorang mukmin tidak kekal
di Neraka, juga merupakan hukum yang pertengahan antara yang diyakini
oleh kaum Khawarij dan kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia
kekal di Neraka. Begitu juga dengan Murji’ah dan Jahmiyah yang mengatakan
bahwa manusia tidak berhak untuk mendapatkan hukuman sekalipun melakukan
kemaksiatan.




5.5 Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Dalam Masalah Shahabat Rasulullah,
Antara Rafidhah Dengan Khawarij dan Nawashib



Rafidhah

adalah segolongan dari Syi’ah
yang mengkultuskan Ali Radhiallahu ‘anhu dan Ahlul Bait secara berlebihan,
bersikap memusuhi dan mengkafirkan mayoritas sahabat, termasuk tiga
sahabat utama (Abu Bakar, Umar dan Utsman -pent), serta orang-orang
yang mengikuti mereka. Kaum Rafidhah juga mengkafirkan siapa saja
yang memerangi Ali.


Mereka mengatakan, "Ali adalah seorang Imam yang ma’shum."
Sebab mereka disebut Rafidhah adalah, karena mereka meninggalkan Zaid
bin Ali bin Husain, ketika mereka bertanya, "Apakah engkau
berlepas diri dari Syaikhain, yaitu: Abu Bakar dan Umar?"
Maka Zaid menjawab, "Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah),
keduanya adalah wazir (pembantu) kakekku." Maka mereka menolak
Zaid, sehingga dinamakan Rafidhah.
HREF="#foot624">1


Adapun golongan Zaidiyah mengatakan,



Kami berwala’ kepada keduanya dan berlepas diri dari siapa saja yang
berlepas diri dari keduanya.


Mereka mengikuti pendapat Ziad, sehingga mereka disebut sebagai Zaidiyah.


Sedangkan Khawarij adalah kebalikan dari
Rafidhah. Mereka mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan sahabat-sahabat
yang bersama keduanya, sekaligus memerangi mereka serta menghalalkan
darah dan harta mereka. Sedangkan Nawashib
adalah golongan yang menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait.


Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah mendapatkan petunjuk
kebenaran dari Allah. Mereka tidak mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait,
tidak menampakkan permusuhan terhedap para sahabat Radhiyallahu ‘anhum,
tidak mengkafirkan mereka, serta tidak berbuat sebagaimana golongan
Nawashib yang memusuhi Ahlul Bait.


Sebaliknya, mereka mengakui hak dan keutamaan keduanya, berwala’ kepada
mereka, meyakini peringkat keutamaan mereka sebagai berikut: Abu Bakar,
Umar, Utsman, kemudian Ali. Menahan diri dari pembicaraan yang bertele-tele
mengenai mereka, dan mendo’akan seluruh sahabat agar mendapatkan limpahan
rahmat Allah.


Jadi, mereka bersikap pertengahan antara pengkultusan yang dilakukan
oleh orang-orang Rafidhah dan kebencian orang-orang Khawarij.
HREF="#foot772">2



Catatan Kaki



HREF="#tex2html141">1

Rafidhah berakar dari kata kerja rafadha, yang salah satu artinya
adalah meninggalkan (menolak) -pent.



HREF="#tex2html145">2

Lihat Al-Kawasyif Al-Jaliyah, hal. 505.


Hari Akhir (1/2)

Memasuki pembahasan selanjutnya dari Syarh Aqidah Al-Wasithiyah adalah membahas secara singkat mengenai Hari Akhir. Penulis mulai mengenalkan dari fitnah kubur, kiamat, timbangan, buku catatan amal dan seterusnya yang wajib diketahui dan diimani oleh seorang Muslim.


Iman kepada Hari Akhir merupakan salah satu dari enam rukun iman.
Iman kepada Hari Akhir ini telah dibahas secara global, dan sekarang
penulis Aqidah Wasithiyah Rahimahullah hendak menyebutkan sebagian
dari detail-detail hari yang agung itu.


Ringkasan dari apa yang disebutkan oleh penulis Rahimahullah adalah
sebagai berikut:


6.1 Iman Kepada Fitnah Kubur


Wajib beriman bahwa manusia akan diuji di dalam kubur mereka, setelah
mati. Ujian ini disebut dengan fitnah kubur.
Telah ditegaskan oleh Nabi bahwa manusia akan diuji di dalam kubur
mereka. Mereka akan ditanya,



"Siapakah Rabbmu? Apa agamamu? Siapakah nabimu?"
Adapun orang mukmin akan menjawab, "Rabb-ku Allah, agamaku
Islam dan nabiku Muhammad." Sedangkan orang yang fajir akan
menjawab, "Ah, ah, aku tidak tahu. Aku pernah mendengar orang-orang
mengatakan sesuatu maka aku ikut mengatakannya." Lalu dikatakan
kepadanya, "Engkau tidak tahu dan tidak mengikuti orang yang
tahu!" Ia dipukul dengan palu besi sehingga menjerit dengan
jeritan yang terdengar oleh segala sesuatu, kecuali manusia.
HREF="#foot642">1 Seandainya manusia mendengarnya, niscaya tersungkur pingsan.
HREF="#foot846">2


Allah Ta’ala berfirman,



Allah meneguhkan (iman) orang-orang mukmin dengan ucapan yang teguh
itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim:
27)


6.2 Nikmat Dan Adzab Kubur

Hal ini tersebut di dalam Al-Kitab dan As-Sunah dan ia merupakan kebenaran
yang harus diimani. Karena, setelah usai fitnah kubur -kita berlindung
kepada Allah dari fitnah dan adzab kubur- ada dua kemungkinan: memperoleh
adzab atau nikmat.


Barangsiapa yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian di alam
kubut, maka ia selamat dan berbahagia di kuburnya dan pada Hari Mahsyar.
Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini, maka ia benar-benar merugi dengan kerugian yang nyata.


Kita memohon kesentausaan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Adzab tersebut berlaku bagi ruh, sedangkan jasad mengikutinya.


Adapun pada Hari Kiamat, adzab tersebut berlaku untuk ruh dan jasad
sekaligus. Ringkasnya, adzab dan nikmat kubur adalah benar, berdasarkan
petunjuk Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, serta ijma’ umat Islam.


6.3 Kiamat Kubra


Wajib beriman bahwa setelah berakhirnya masa kehidupan di dunia, akan
terjadi Kiamat Kubra, yaitu ketika Israfil meniupkan
sangkakala pertama kali. Setelah itu, Israfil akan meniupkannya lagi
yang merupakan tiupan hari kebangkitan, maka seluruh ruh kembali kepada
jasad masing-masing sehingga manusia bangkit dari kubur mereka untuk
berjumpa dengan Rabbul ‘Alamin, dalam keadaan tanpa alas kaki dan
tanpa busana, dan tidak terkhitan.


Yang pertama kali muncul dari kuburnya adalah Nabi Muhammad. Pada
hari ini, matahari berada dekat sekali dengan para hamba. Mereka tenggelam
dalam keringat sesuai dengan kadar amal perbuatan mereka.




6.4 Al-Mizan (Timbangan)


Pada Hari Kiamat, banyak timbangan yang dipasang untuk menimbang amal
para hamba.



Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihatnya pula. (Az-Zalzalah:
7 – 8).



Barangsiapa yang berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang
yang mendapatkan keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya,
maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka
kekal di dalam Neraka Jahannam. (Al-Mukminun: 102 – 103).


Timbangan ini benar-benar ada seara hakiki, mempunyai neraca dan dua
daun timbangan.


6.5 Buku-buku Dan Lembaran-lembaran Catatan Amal Yang Dibagi-bagikan


Pada Hari Kiamat ini buku-buku catatan amal dibagikan dan dibuka.
Ada yang mengambil buku-buku dan lembaran-lembaran amalnya itu dengan
tangan kanannya, maka orang ini berhak mendapatkan kebahagian abadi.
Ia tidak merasakan kesengsaraan lagi sesudahnya. Allah Ta’ala berfirman,



Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah
kanannya, maka ia berkata, "Ambilah, bacalah kitabku ini!
Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap
diriku." Maka, ia berada dalam kehidupan yang diridhai. Dalam
jannah-jannah yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Al-Haaqqah:
19 – 23).


Kita memohon kepada Allah karunia-Nya, agar Dia menjadikan kita salah
seorang dari mereka yang mengambil buku catatan amalnya dengan tangan
kanannya ini.


Ada lagi orang yang mengambil kitab catatannya dari belakang punggungnya
dengan tangan kirinya, maka orang ini berhak memperoleh kesengsaraan.
Kita memohon kepada Allah kesentausaan di dunia dan di akhirat. Allah
Ta’ala berfirman,



Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah
kirinya, maka dia berkata, "Wahai alangkah baiknya kiranya
tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa
hisab terhadap diriku. Wahai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan
segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.
Telah hilang dariku kekuasaanku." (Allah berfirman,) "Tangkaplah
ia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah ia
ke dalam api Neraka yang menyala-nyala…!" (Al-Haaqqah:
25 – 31).


Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan dan siksa-Nya.




6.6 Al-Hisab (Perhitungan)


Wajib beriman kepadanya, karena Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkannya.
Sesungguhnya Allah akan memperlihatkan amal-amal para hamba-Nya kepada
amal mereka sebelum meninggalkan Mahsyar, sehingga setiap orang bisa
melihat amalnya, yang baik maupun yang buruk. Allah Ta’ala berfirman,



Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati kebajikan dihadapkan (ke
hadapannya), begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin
kalau kiranya antara dia dengan amal-amalnya ada masa yang jauh …
(Ali Imran: 30)



Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis),
Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun. (Al-Kahfi: 49)


Pada hari yang agung ini, manusia ditanya mengenai empat hal:



Tentang umurnya, dalam hal apa dihabiskan; masa mudanya, dalam hal
apa digunakan; hartanya, dari mana ia mencari dan untuk apakah ia
menafkahkannya; serta ilmunya, dalam hal apa diamalkannya.
HREF="#foot849">3


Nabi juga bersabda,



Tidak satu orang pun di antara kalian kecuali Allah akan berbicara
kepadanya, tanpa perantara seorang penerjemah. Ia melihat ke sebelah
kanannya, maka ia tidak melihat selain apa yang telah diperbuatnya,
lalu melihat ke sebelah kirinya, maka tidak melihat kecuali apa yang
telah diperbuatnya. Ia juga melihat ke arah depannya, maka ia tidak
melihat selain Neraka yang berada tepat di hadapannya. Maka, lindungilah
diri kalian dari Neraka, walaupun hanya dengan secuil kurma.
HREF="#foot850">4


Allah Ta’ala berfirman,



Maka, demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang
apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr: 92 – 93)


Orang-orang kafir tidak dihisab sebagaimana hisab terhadap orang-orang
yang amal kebaikan mereka ditimbang. Hanyalah diperlihatkan amal-amal
mereka lalu mereka mengakuinya, karena mereka sama sekali tidak mempunyai
kebaikan. Kita memohon kepada Allah kesentausaan di dunia dan di akhirat.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.



Catatan Kaki



HREF="#tex2html145">1

Dalam riwayat lain, kecuali manusia dan jin.



HREF="#tex2html146">2

Lihat Fathul Bari III/232 dan Sunan Abu Dawud, IV/238.



HREF="#tex2html151">3

At-Tirmidzi IV / 612 dan lihat Shahih Al-Jami’,
Al-Albani, VI / 148.



HREF="#tex2html152">4

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari XI / 40 dan Muslim
II / 703.

Hari Akhir (2/2)

Meneruskan pembahasan sebelumnya dari Syarh Aqidah Al-Wasithiyah mengenai Hari Akhir, penulis Rahimahullah melanjutkan penjelasannya mengenai hal-hal yang wajib diketahui dan diimani oleh seorang Muslim. Di antaranya adalah mengenai Telaga yang dimiliki oleh Rasulullah, bagaimana sifatnya dan manfaatnya bagi yang meminumnya. Kemudian diikuti dengan shirath dan syafa’at. Apa saja jenis-jenis syafa’at? Siapa saja yang akan mendapatkannya?


6.7 Al-Haudh


Salah satu madzhab yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah,
mempercayai sepenuhnya bahwa telaga Nabi terdapat di tegah-tengah
padang pada Hari Kiamat.


Dah bahwa airnya lebih putih daripada air susu, lebih manis daripada
madu, bejana-bejananya sejumlah bintang-bintang di langit, lebar dan
panjangnya satu bulan, dan barang siapa minum darinya, niscaya tidak
akan haus selamanya.
HREF="#foot852">5


Telaga tersebut khusus untuk Nabi Muhammad. Masing-masing nabi juga
memiliki telaga, akan tetapi telaga yang paling besar adalah milik
Nabi Muhammad. Telaga ini ada di bumi, yang kepadanya mengalir dia
saluran dari jannah yang berasal dari Al-Kautsar, sedangkan mimbar
Rasulullah berada di atas telaganya.


6.8 Shirath Dan Setelah Itu Jembatan Antara Jannah dan
Naar


Wajib beriman kepadanya dan beriman bahwa ia benar-benar ada. Ia adalah
jembatan yang dipasang di atas permukaan Jahanam, di antara Jannah
dan Naar. Semua orang yang dahulu maupun yang belakangan akan melaluinya.


Shirath ini lebih tajam daripada pedang dan lebih tipis daripada sehelai
rambut. Kita memohon keteguhan kepada Allah. Manusia melewatinya dengan
keadaan yang berbeda-beda sesuai dengan amal mereka. Di antara mereka
ada yang berhasil melaluinya dalam tempo sekejap mata, ada yang melaluinya
seperti kilat, ada yang melewatinya seperti angin, ada yang melaluinya
secepat kuda, ada yang seperti unta, ada yang berlari, ada yang berjalan,
ada yang merangkak, dan ada yang jatuh ke dalam Jahannam.


Di tepi jembatan itu terdapat banyak kait yang diperintah menangkap
orang-orang yang diperintahkan untuk ditangkap. Bila orang-orang mukmin
berhasil melewatinya, mereka berhenti di atas sebuah jembatan antara
Jannah dan Naar, yang mana sebagian mereka diberi kesempatan untuk
melakukan pembalasan terhadap sebagian yang lain. Apabila mereka telah
dibersihkan secara keseluruhan, mereka diizinkan untuk memasuki Jannah.

HREF="#foot854">6


6.9 Syafa’at

Syafa’at yaitu permintaan kebaikan untuk orang lain.
Penulis Rahimahullah telah menyebutkan tiga macam syafa’at. Dua macam
di antaranya khusus untuk Nabi Muhammad, sedangkan satu macam lagi
adalah syafa’at yang dilakukan oleh beliau dan para nabi yang lain.


1. Syafa’at ‘Uzhma, yaitu syafa’at beliau untuk
Ahlul Maufiq (manusia di Mahsyar) sehingga diputuskan pengadilan di
antara mereka, ketika seluruh nabi tidak bersedia memberikan syafa’at
ini.

2. Syafa’at beliau untuk Ahlul Janah agar mereka memasukinya. Syafa’at
ini pertama dan kedua ini khusus milik Nabi.

3. Syafa’at beliau, para Nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih,
dll. bagi orang yang wajib masuk Naar dari kalangan orang-orang mukmin,
agar tidak memasukinya dan bagi orang yang telah memasukinya agar
dikeluarkan darinya.


Allah juga mengeluarkan banyak manusia dari Naar, tanpa syafa’at dari
siapapun, tetapi karena karunia dan kasih sayang-Nya. Dan masih terdapat
sisa tempat / kekosongan di Jannah dari penduduk dunia yang telah
memasukinya, lalu Allah menciptakan kelompok-kelompok manusia dan
memasukkan mereka ke Jannah.




Dalam Syarh Kitab Ath-Thahawiyah disebutkan ada delapan macam syafa’at,
yaitu:


1. Syafa’at ‘Uzhma untuk memutuskan hukum

2. Syafa’at untuk beberapa kaum yang memiliki kebaikan dan keburukan
yang seimbang

3. Syafa’at untuk beberapa kaum yang telah diperintahkan masuk Naar,
agar mereka tidak memasukinya

4. Syafa’at untuk menaikkan derajat seseorang yang telah masuk Jannah

5. Syafa’at untuk beberapa kaum agar mereka masuk Jannah tanpa hisab

6. Syafa’at beliau untuk meringkankan adzab dari orang yang berhak mendapatkannya,
seperti syafa’at beliau untuk pamannya, Abu Thalib, agar diperingan
dari adzabnya

7. Syafa’at beliau agar menyuruh kaum mukminin diizinkan masuk Jannah,
dan ini khusus bagi beliau, sebagaimana telah dijelaskan di muka

8. Syafa’at beliau bagi para pelaku dosa besar di antara umatnya yang
telah masuk Naar, sehingga mereka dikeluarkan darinya. Syafa’at ini
dimiliki pula oleh selain beliau dan beliau lakukan empat kali

9. Beliau memberikan syafa’at bagi siapa yang dihatinya terdapat keimanan
seberat biji gandum

10. Kemudian bagi siapa yang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat
biji sawi

11. Kemudian bagi siapa yang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat
biji sawi yang paling kecil

12. Kemudian bagi siapa saja yang telah mengucapkan "Laa
Ilaaha Illallah"
HREF="#foot856">7


Dan dalam hadits shahih disebutkan:



Lalu Allah Ta’ala berfirman,

Para malaikat telah memberikan syafa’at. Para nabi telah memberikan
syafa’at. Orang-orang Mukmin telah memberikan syafa’at. Tinggallah
(yang belum memberikan syafa’at) Dzat yang Maha Pengasih di antara
mereka yang memiliki kasih sayang!


Maka Dia menggenggam sekali genggam, mengambil dan mengeluarkan dari
Naar suatu kaum yang tidak melakukan kebaikan sama sekali.
HREF="#foot857">8


Sebagian lagi menyebutkan syafa’at hingga enam macam aja:


1. Syafa’at ‘Uzhma

2. Syafa’at untuk memasukkan ke Jannah

3. Syafa’at bagi siapa yang berhak masuk Naar agar tidak memasukinya

4. Syafa’at bagi siapa yang telah masuk ke Naar agar dikeluarkan darinya

5. Syafa’at yang mengangkat derajat beberapa kaum yang telah masuk Jannah

6. Syafa’at untuk meringankan adzab dai Abu Thalib
HREF="#foot858">9


Nabi pernah bersabda,



Syafa’atku untuk Ahlul Kabair (para pelaku dosa besar) dari umatku.

HREF="#foot859">10


Syafa’at ini memiliki dua syarat, izin pada Allah bagi yang memberi
syafa’at dan Ridha Allah bagi yang mendapatkan syafa’at.


6.10 Jannah Dan Naar


Madzhab Ahlus Sunnah mengenai Jannah (Surga) dan Naar (Neraka) adalah
mempercayai dengan seyakin-yakinnya bahwa Jannah dan Naar adalah dua
makhluk yang tidak akan binasa.


Jannah adalah tempat tinggal bagi para wali Allah, sedangkan Naar
adalah tempat tinggal bagi para musuh-Nya. Penduduk Jannah tinggal
di dalamnya selama-lamanya sedangkan orang-orang kafir yang tinggal
di Naar, berada di dalamnya kekal selama-lamanya.


Naar dan Jannah telah ada dan Rasulullah pernah melihat keduanya dalam
Shalat Kusuf. Dalam hadits-hadits shahih juga disebutkan bahwa maut
(kematian) itu didatangkan dalam bentuk seekor domba yang berbulu
putih campur hitam. Ia diberhentikan di antara Jannah dan Naar, dan
disembelih. Kemudian dikatakan,


"Wahai penduduk Jannah, kekal dan tiada kematian! Wahai penduduk
Naar, kekal dan tiada kematian!"
HREF="#foot861">11

<<pref

next>>

Catatan Kaki



HREF="#tex2html154">5

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari IX / 463 dan Muslim
IV / 1792 – 1798.



HREF="#tex2html156">6

Lihat Fathul Bari XI / 444, V / 96 no. 2440, XI / 395 no.
6535 dan Muslim I / 187.



HREF="#tex2html157">7

Dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Fathul Bari XIII / 396 dan Muslim
I / 180.



HREF="#tex2html158">8

Muslim I / 170.



HREF="#tex2html159">9

Lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 530; Syarh Ath-Thahawiyah
hal. 199, tahqiq Al-Arnauth, dan lihat Al-Kawasyif Al-Jaliyah,
hal. 589.



HREF="#tex2html160">10

Abu Dawud no. 4739 dan At-Tirmidzi no. 2437. Lihat
pula Takhrij Al-Misykat, 5595.



HREF="#tex2html165">11

Shahih Muslim IX / 2188.

diambil dari artikel
http://blog.vbaitullah.or.id/

Post a Comment for "Syarh Aqidah Wasithiyah(4)"