Syarh Aqidah Wasithiyah(2)

Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Secara Ijmal Mengenai Sifat-Sifat Allah (1/2)

Memasuki bahasan selanjutnya dari pembahasan buku Syarh Aqidah Wasithiyah yaitu bagaimana menetapkan sifat-sifat Allah, memahaminya dan rambu-rambu apa saja yang tidak boleh kita lakukan terhadap sifat-sifat Allah. Dalam bahasan ini juga akan diterangkan contoh-contoh yang jelas dalam memahami sifat-sifat Allah.


Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, tanpa
ta’thil tamtsil, tahrif dan takyif
HREF="#foot94">3.1. Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al Qur’an
dan Al Hadits.


3.1 Tahrif


Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti.
Menurut pengertian syar’i berarti: mengubah lafazh Al Asma’ul Hisna
dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi atau makna-maknanya. Tahrif ini
dibagi menjadi dua:


1. Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh.


Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti
pemahaman mereka, bahwa istawa ( ÅÓÊèé ) adalah istaula ( ÅÓÊèäé
). Disini ada penambahan huruf lam ( ä ).


Demikian pula perkataan orang-orang Yahudi, hinthah ( Íæ×É ) ketika
mereka diperintah untuk mengatakan hiththah ( Í×É ).


Contoh lain adalah memanshubkan lafazh Allah dalam ayat,



Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung (An Nisa’:
164)



2. Tahrif dengan cara merubah makna


Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan
perubahan terhadap maknanya.


Contohnya adalah perkataan ahli bid’ah yang menafsirkan ghadhab
(marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas
dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in’am
(keinginan untuk memberi nikmat); dan Al Yadu (tangan), dengan
an ni’mah (nikmat).




3.2 Ta’thil


Secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i
adalah: meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari
keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian
darinya.


Jadi, perbedaan antara tahrif dengan ta’thil yaitu:



Ta’thil

adalah penafikan suatu makna yang benar, yang ditunjukkan
oleh Al Qur’an dan As Sunnah.

Tahfir

adalah penafsiran nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dengan
interpretasi yang bathil.


Macam-macam Ta’thil

Ta’thil ada bermacam-macam:


1. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan
cara meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian darinya,
sebagaimana yang dilakukan oleh Jahmiyah dan Mu’tazilah


2. Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah
kepada-Nya, baik secara total, maupun sebagian, atau dengan cara beribadah
kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya
.

3. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang
yang mengatakan


Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur
dengan sendirinya.




Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil.
Akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta’thil melakukan tahrif.


Barangsiapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu
makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil.
Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu’athil
(pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).


3.3 Takyif


Takyif artinya bertanya dengan kaifa (bagaimana). Adapun yang dimaksud
takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat,
dengan menetapkan bentuk / keadaan tertentu untuknya.


Meniadakan bentuk/keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna
yang terkandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui
dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana
dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang
bentuk/keadaan istiwa’ (bersemayam). Beliau Rahimahullah Ta’ala menjawab,


Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/keadaannya tidak diketahui,
mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.
HREF="#foot191">3.2


Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani
dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, tetapi kita tidak mengetahui
bentuk, keadaan dan bentuk dari sifat tersebut.


Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun
maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan (bagaimana -red vbaitullah.)
bentuk/keadaannya (kepada Allah -red vbaitullah). Tidak sebagaimana
orang-orang yang tidak mau tahu terhadap maknanya.
HREF="#foot192">3.3


3.4 Tamtsil


Tamtsil artinya tasybih (menyerupakan),
yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat
Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
HREF="#foot137">3.4


Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Menyerupakan makhluk dengan Pencipta.

Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putra Maryam
dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair
dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.



2. Menyerupakan Pencipta dengan makhluk.


Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai
wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran
sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan
sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan
lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
HREF="#foot193">3.5





Catatan Kaki



HREF="#tex2html12">3.1

serta tanpa tafwidh.



HREF="#tex2html17">3.2

Fatawa Ibnu Taimiyah, V/144.



HREF="#tex2html18">3.3

Jika anda kurang mengerti / paham dengan pernyataan ini,  ilustrasinya seperti berikut. Misalnya,


Allah berfirman,

Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
(QS: Ar-Rahman: 27)


Pengertian (secara bebas) dari perkataan Imam Malik di atas adalah,

Ahlus sunnah menetapkan bahwa Allah memiliki Wajah (tanpa tahrif dan
ta’thil -yakni merubah makna dan teks- terhadap ayat ini) dan mengimaninya
adalah sesuatu hal yang wajib. Namun menanyakan "bagaimana
Wajah-Nya?" atau membuat permisalan (tamtsil -akan dijelaskan
berikutnya) bahwa "Wajah Allah sama dengan wajah makhluk
(misalnya manusia)" adalah haram. Dan kita mengerti makna
wajah.


Agar lebih jelas lagi, akan kami jelaskan dengan contoh yang nyata.


Kita ketahui serta kita dapat menetapkan bahwa semua hewan (termasuk
monyet) dan manusia mempunyai wajah. Kita juga memahami maknanya (walaupun
tidak tertulis definisi wajah). Namun, apakah sama wajah kita dengan
wajah monyet (atau hewan yang lain)? Tentu tidak! Karakteristik serta
sifat wajah manusia dengan wajah monyet (atau hewan yang lain) sangat
berbeda. Apakah kita mau, wajah kita disamakan dengan binatang (monyet)?


Allah mempunyai misal yang jauh lebih tinggi dari contoh ini. Dia
memiliki Wajah dengan karakteristik serta sifat-sifat Wajah-Nya yang
sangat agung, mulia dan tinggi. Dia berfirman,

Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya Dan dia Maha Mendengar lagi
Melihat. (QS: Asy-Syura: 11).


Mudah-mudahan anda dapat memahaminya.



HREF="#tex2html19">3.4

Sifat dzatiyah maksudnya sifat yang dimiliki oleh dzat. Sedangkan
sifat fi’liyah maksudnya sifat perbuatan dari dzat itu. -red. vbaitullah.



HREF="#tex2html20">3.5

Al Kawasyif Al Jaliyah ‘an Ma’ani al Wasithiyah, hal. 86.


Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah berkata,

Ada tasybih jenis ketiga, yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan
ma’dumat (sesuatu yang tidak ada), yang mustahil,
tidak sempurna, dan benda-benda mati.


Inilah tasybih yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham
Jahmiyah dan Mu’tazilah.

Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Secara Ijmal Mengenai Sifat-Sifat Allah (2/2)

Setelah kita memahami arti tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil berikut pembagian serta contoh-contohnya, maka berikut ini akan dijelaskan kaidah pokok secara umum mengenai penetapan dan peniadaan sifat-sifat Allah sebagai rangkuman dari madzhab Ahlus sunnah tentang sifat-sifat Allah secara ijmal / umum.


3.5 Ilhad Terhadap Asma’ Dan Sifat-Sifat Allah


Pengertian ilhad terhadap Asma’ dan Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan
nama-nama dan sifat-sifat Allah, hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya,
dari kebenarannya yang pasti.


Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadap asma’ dan sifat-sifat
Allah secara total atau pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau
pembelokannya dari kebenaran dengan menggunakan interpretasi yang
tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut untuk menyeut hal-hal
yang bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham "Ittihad".


Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah tahrif, ta’thil, takyif,
tamtsil dan tasybih.
HREF="#foot194">3.6


3.6 Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Meniadakan dan Menetapkan Asma’
Dan Sifat Bagi Allah



Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah diciptakan
oleh Allah untuk diri-Nya secara tafshil, dengan landasan firman Allah,


Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat (QS. Asy-Syura: 11)


Karena itu, semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah
bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah mereka tetapkan untuk Allah, sesuai
dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menafikan
apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya,
dengan penafikan secara ijmal (umum), berdasarkan kepada
firman Allah,


Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya… (QS. Asy-Syura: 11)


Penafikan sesuatu menuntut penetapan terhadap kebalikannya, yaitu
kesempurnaan. Semua yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, berupa
kekurangan atau persekutuan makhluk dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya,
menunjukkan ditetapkannya kesempurnaan-kesempurnaan yang merupakan
kebalikannya. Allah telah memadukan penafikan dan penetapan dalam
satu ayat.


Maksud saya penafikan secara ijmal dan penetapan secara tafshil yaitu
dalam firman Allah


Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya Dan dia Maha Mendengar lagi
Melihat. (QS. Asy-Syura: 11)


Ayat ini mengandung tanzih (penyucian) Allah dari penyerupaan
dengan makhluk-Nya, baik dalam dzat, sifat maupun perbuatan-Nya. Bagian
awal ayat di atas merupakan bantahan bagi kaum Mutasyabbihah
(kaum yang menyerupakan Allah), yaitu dalam firman Allah Ta’ala "Tidak
ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya …"


Adapun bagian akhir dari firman Allah tersebut merupakan bantahan
bagi kaum Mu’athilah (yang melakukan ta’thil), yaitu firman Allah,
"Dan Dia Maha Mendengar lagi Melihat."


Pada bagian pertama terkandung penafikan secara ijmal sedangkan pada
bagian akhir terkandung penetapan secara tafshil. Ayat di atas juga
mengandung bantahan bagi kaum Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah
mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa penglihatan.
HREF="#foot195">3.7


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala mencantumkan ayat
di atas, berikut surat Al Ikhlas dan ayat Al Kursi, karena surah Al
Ikhlas -dan ayat-ayat tersebut- mengandung penafikan dan penetapan.

HREF="#foot196">3.8


Surat Al Ikhlas memiliki bobot yang sebanding dengan sepertiga Al
Qur’an, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah.
HREF="#foot197">3.9 Para ulama menyebutkan penafsiran sabda beliau itu,



Bahwa Al Qur’an diturunkan dengan tiga macam kandungan, yaitu Tauhid,
kisah-kisah dan hukum-hukum. Sedangkan surat Al Ikhlas ini mengandung
tauhid dengan ketiga macamnya, yaitu Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah
dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Karena itulah ia dikatakan sebanding dengan
sepertiga Al Qur’an.
HREF="#foot198">3.10


Ayat Al Kursi adalah ayat yang agung, bahkan merupakan ayat yang paling
agung dalam Al Qur’an.
HREF="#foot199">3.11 Itu disebabkan, ia mengandung nama-nama Allah Yang Maha Indah dan
sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Nama-nama dan sifat-sifa tersebut
terkumpul di dalamnya, yang tidak terkumpul seperti itu dalam ayat
lainnya. Karena itu, ayat yang mengandung makna-makna agung ini layak
untuk menjadi ayat yang paling agung dalam Kitabullah.
HREF="#foot200">3.12


4. Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Asma’ Dan Sifat-Sifat Allah
Secara Tafshil


Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah madzhab kaum salaf
HREF="#foot169">4.1 Rahimahumullah Ta’ala. Mereka beriman kepada apa saja yang disampaikan
oleh Allah mengenai diri-Nya di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah
dengan keimanan yang bersih dari tahrif dan ta’thil serta dari takyif
dan tamtsil.


Mereka menyatukan pembicaraan mengenai sifat-sifat Allah dengan pembicaraan
mengenai Dzat-Nya, dalam satu bab. Pendapat mereka mengenai sifat-sifat
Allah sama dengan pendapat mereka mengenai Dzat-Nya. Bila penetapan
Dzat adalah penetapan tentang keberadaannya, bukan penetapan tentang
‘bagaimana’nya, maka seperti itu pulalah penetapan sifat.


Menurut mereka, wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang
telah ditegaskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, atau oleh salah satu
dari keduanya. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut wajib diimani sebagaimana
yang disebutkan dalam nash, tanpa takyif, wajib diimani berikut makna-makna
yang agung yang terkandung di dalamnya yang merupakan sifat-sifat
Allah Azza wa Jalla. Wajib mensifati Allah dengan makna sifat-sifat
tersebut, dengan penyifatan yang layak bagi-Nya, tanpa tahrif, ta’thil,
takyif atau tamtsil.
HREF="#foot201">4.2

<<pref

next>>


Catatan Kaki



HREF="#tex2html24">3.6

Lihat Al Ajwibah Al Ushuliyah, hal. 32 dan Syarh
Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Al Haras
, hal. 24.



HREF="#tex2html26">3.7

Al Ajwibah Al Ushuliyah ‘ala Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal.
26.


….
HREF="#tex2html27">3.8

Ar Raudah An Najiyah, hal. 120 dan Syarh Al ‘Aqidah
Ath Thahawiyah, Al Haras
, hal.31.



HREF="#tex2html28">3.9

Al Bukhari, lihat Fathul Bari XIII/347 dan Muslim I/556 no.
811.



HREF="#tex2html29">3.10

Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Al Haras, hal. 21.



HREF="#tex2html30">3.11

Muslim I/556 no. 810, Ahmad V/142, dan lain-lain.



HREF="#tex2html31">3.12

Al Ajwibah Al Ushuliyah ‘ala Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal.
40.

diambil dari artikel
http://blog.vbaitullah.or.id

Post a Comment for "Syarh Aqidah Wasithiyah(2)"