Tabi’in Terbaik “Uwais Al-Qorni”(2)


Berkata Syaikh Abdulmalik, "Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah"[17]

Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.


Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan : “Ini Ayyub”[18]

Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”[19]

Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”[20]

Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya’”[21]

Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”[22]

Berkata Hammad: “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya: “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab:”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka Ayyub berkata :”Ya Allah sesungguhnnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.”[23]

Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr: “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak :”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa :” Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata :”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.”[24]

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar..inilah akhlak salaf[25]. Namun banyak orang yang terbalik…mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macam cara.

Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata :”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata :

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ

”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”[26]

Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata :”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya :”Apa ini”, lalu dijawab :”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”

Berkata Ibnu ‘Aisyah :”Ayahku berkata kepadaku :”Saya mendengar penduduk Madinah berkata :”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain””[27]

Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.

Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari :”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata :

وَاللهِ لَرَكْعَةٌ أُصَلِّيهَا فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فِي السِّرِّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي اللَّيْلَ كُلَّهَا ثُمَّ أَقُصُّهُ عَلَى النَّاسِ

“Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku solat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia”[28]

Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah)?? …., Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata :”Dakwah saya disana…, disini…”, ada juga yang berkata:”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian..” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan. Atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang berkata: “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari manusia. Lihatlah….Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau….

6. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan akan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”[29]

Uwais di sisi Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan hal yang menyebabkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya tersebut. Sikapnya yang berbakti kepada ibunya menjadikannya seorang yang dikabulkan doanya. Nabi tidak menyebutkan amalan lain yang dilakukan oleh Uwais kecuali bahwasanya ia berbakti kepada ibunya. Hal ini menunjukan sikapnya yang berbakti kepada ibunya merupakan salah satu sebab utama yang menjadikannya menjadi tabi’in yang terbaik. Wallahu A’lam.

7. Tidak berarti seorang yang berilmu pasti lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang kurang berilmu. Terkadang manusia tertipu, tatkala ia telah memiliki ilmu syar’i maka dia memandang bahwa dirinya lebih mulia di sisi Allah daripada orang lain yang tidak memiliki ilmu setinggi ilmunya. Dia lupa bahwasanya jalan-jalan untuk memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah bukan hanya ilmu. Bisa jadi seseorang memang kurang memiliki ilmu akan tetapi ia meraih kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan amalan-amalan ibadah yang lain. Bisa jadi orang tersebut lebih baik daripada dia dalam ibadah-ibadah hati. Sebagaimana Uwais Al-Qoroni beliau bukanlah seorang tabi’in yang masyhur dengan ilmu sebagaimana Ibnul Musayyib, akan tetapi lihatlah… baktinya kepada ibunya serta keikhlasannya yang luar biasa dengan menyembunyikan amalan-amalan shalehnya serta benci akan popularitas menjadikan beliau adalah tabi’in yang paling afdhol di sisi Allah. Wallahu A’lam.

Oleh karena itu seseorang yang telah berilmu atau bisa beribadah dengan baik janganlah sampai tertipu dan kagum terhadap dirinya lalu memandang bahwa dirinya lebih afdol dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dari pada orang lain yang kurang berilmu. Ini merupakan salah satu bentuk zuhud yang diperintahkan oleh Nabi untuk diamalkan.

Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata, “Dikatakan kepada Al-Hasan (Al-Bashri) atau yang lainnya, “Siapakah orang yang zuhud?”. Maka beliau berkata, هُوَ الَّذِي إِذَا رَأَى غَيْرَهُ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْهُ “Dia adalah orang yang melihat orang lain dan menyangka orang tersebut lebih baik daripada dirinya”. Ini merupakan makna yang agung yang dikembangkan oleh Al-Hasan dimana dia berkata, “Orang yang zuhud adalah yang menyatakan orang lain lebih mulia daripada dirinya”. Yaitu jika ia melihat seseorang dari kaum muslimin maka ia memandang orang tersebut lebih mulia daripada dirinya –yaitu di sisi Allah-. Dan hal ini berarti (hatinya) tidak terikat dengan dunia, ia memandang rendah dirinya di sisi Allah, ia tidak merasa tinggi dihadapan orang-orang. Hal ini hanya bisa timbul pada orang yang diberikan karunia oleh Allah lalu memenuhi hatinya dengan harapan terhadap akhirat serta jauh dari keterikatan dengan dunia…”[30]

8. Hendaknya seseorang selalu berusaha mengingat-ngingat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Lihatlah Uwais tatkala berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan penyakitnya ia berkata, “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”. Betapa banyak orang yang hanya bisa merasakan kenikmatan yang Allah berikan kepadanya tatkala ia kehilangan kenikmatan tersebut. Terkadang kita lupa akan kenikmatan kesehatan yang Allah berikan kepada kita dan kita hanya bisa benar-benar merasakannya tatkala kita sakit. Tidaklah benar-benar merasakan besar nikmat mata dan telinga kecuali orang yang tadinya melihat dan mendengar kemudian menjadi buta dan tuli.

Sebagian orang tatkala dalam keadaan miskin berdoa kepada Allah agar diberi rizqi dengan berjanji seandainya Allah melapangkan rizkinya maka ia akan banyak bersedekah. Namun tatkala Allah melampangkan rizkinya maka iapun lupa dengan nikmat Allah. Allah berfirman:

(وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ اللّهَ لَئِنْ آتَانَا مِن فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ) (التوبة : 75 )

Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:"Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh". (QS. 9:75)

(فَلَمَّا آتَاهُم مِّن فَضْلِهِ بَخِلُواْ بِهِ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ) (التوبة : 76 )

Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. 9:76)

Sebagian orang berkata, “Saya ingin sibuk mengumpulkan uang dahulu, jika uang saya telah banyak maka saya akan tinggal dekat pondok pesantren atau akan rajin ikut pengajian”. Namun tatkala ia telah mengumpulkan banyak uang maka iapun tenggelam dengan dunia. Wallahul Must’aan.

9. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan mustahabnya meminta doa dan istigfar kepada orang yang sholeh meskipun yang meminta lebih tinggi kedudukannya disbanding dengan yang dimintai doanya”[31], karena Umar yang jelas lebih mulia kedudukannya di sisi Allah meminta doa kepada Uwais Al-Qoroni.

Akan tetapi perkataan Imam An-Nawawi bahwa “disunnahkannya meminta do’a dan istighfar kepada orang yang sholeh” secara mutlak perlu diteliti kembali sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berikut ini.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Meminta doa kepada orang yang diharapkan doanya dikabulkan karena kesholehannya, atau karena ia akan pergi ke tempat-tempat yang berdoa di tempat-tempat tersebut mustajab seterti tatkala pergi bersafar atau pergi haji, umroh dan yang semisalnya, maka hukum asalnya adalah tidak mengapa. Akan tetapi jika dikhawatirkan akan timbul perkara-perkara yang dilarang seperti dikawatirkan orang yang meminta akan bersandar kepada do’a orang yang dimintanya, dan dia selalu bersandar kepada orang lain tatkala hendak meminta kepada Robnya, atau dikhawatirkan orang yang dimintai do’a akan terkena penyakit ujub (kagum) terhadap dirinya sehingga ia menyangka bahwa ia telah sampai pada derajat untuk dimintai do’a kemudian iapun tertimpa penyakit ghurur (tertipu/ujub dengan dirinya), maka yang seperti ini meminta do’a itu dilarang karena mencakup perkara-perkara yang dilarang.

Adapun jika tidak mengandung perkara-perkara yang dilarang maka hukum asalnya adalah boleh. Namun meskipun demikian kita katakan bahwasanya tidaklah semestinya meminta do’a, karena hal ini bukanlah kebiasaan para sahabat yaitu saling meminta do’a diantara mereka. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau berkata kepada Umar, “Janganlah lupa wahai saudaraku untuk mendoakan kami dengan do’a yang sholeh”, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dan tidak sah dari Nabi. Adapun permintaan sebagian sahabat kepada Nabi (untuk mendoakan mereka) maka telah diketahui bersama bahwasanya tidak seorangpun yang mencapai derajat Nabi, yaitu Tsabit bin Qois bin Asy-Syammasy telah meminta kepada Nabi, demikian juga Ukkasyah bin Mihshon telah meminta kepada Nabi agar berdoa kepada Allah agar Allah menjadikannya termasuk dari orang-orang yang masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Engkau termasuk mereka”. Demikian juga datang seseorang menemui Nabi untuk meminta Nabi berdoa kepada Allah untuk menurunkan hujan. Adapun wasiat Nabi kepada para sahabat untuk meminta kepada Uwais Al-Qoroni untuk berdoa bagi mereka maka hal ini jelas hanyalah khusus bagi Uwais Al-Qoroni, karena telah diketahui bersama bahwasanya Uwais tidak sama derajatnya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan tidak juga sahabat-sahabat yang lain, namun meskipun demikian Nabi sama sekali tidak mewasiatkan para sahabat untuk meminta do’a kepada salah seorangpun (dari mereka).

Kesimpulannya kita katakan bahwasanya tidak mengapa meminta do’a kepada orang yang diharapkan do’anya terkabul dengan syarat hal itu tidak mengandung suatu perkara yang dilarang. Meskipun demikian meninggalkan hal ini (meminta do’a kepada orang lain) adalah lebih afdhol dan utama”[32]


Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Syaikh yang mulia, apakah meminta do’a kepada orang lain yang nampaknya merupakan orang yang sholeh menunjukan lemahnya tawakkal pada orang yang meminta?. Jika perkaranya demikian, maka bagaimanakah penjelasan Anda tentang Umar bin Al-Khotthob yang meminta do’a kepada Uwais Al-Qoroni padahal Umar lebih afdhol daripada Uwais?”

Syaikh Utsaimin berkata, “Meminta kepada orang lain untuk mendoakannya kalau bukan hanya hal ini (mengandung perkara yang tercela) kecuali adanya permintaan kepada manusia…, padahal Rasulullah diantara perkara-perkara yang Rasulullah membai’at para sahabatnya adalah أَنْ لاَ يَسْأَلُوْا النَّاسَ شَيْئاً (hendaknya mereka tidak meminta kepada manusia apapun juga). Dan lafal شَيْئاً (apapun juga) dalam konteks kalimat negatif memberi faedah keumuman maka mencakup segala sesuatu. Ini adalah kaidah ilmu ushul fiqh. Bahkan sampai-sampai ada tongkat salah seorang dari mereka terjatuh dan dia sedang berada di atas hewan tunggangannya maka iapun turun dan mengambil tongkat itu sendiri serta tidak berkata kepada seorangpun, “Ambilkanlah tongkatku?”. Karena mereka telah membai’at kepada Nabi untuk tidak meminta sesuatu apapun juga kepada manusia. Kalau tidak terdapat celaan dalam meminta do’a kepada orang lain kecuali hal ini (termasuk meminta sesuatu kepada manusia) maka cukuplah (untuk menunjukan tidak terpujinya hal ini-pen). Akan tetapi terkadang muncul di hati seseorang perasaan merendahkan dirinya dan prasangka buruk maka iapun meminta orang lain (untuk mendo’akannya). Kita katakan, “Wahai saudaraku, berprasangka baiklah kepada Allah!, berprasangka baiklah kepada Allah!. Jika engkau memang bukan termasuk orang yang dikabulkan do’anya maka do’a orang lain (untukmu) tidak akan bermanfaat bagimu. Hendaknya engkau berprasangka baik kepada Allah dan janganlah engkau mengambil perantara antara engkau dengan Allah untuk berdo’a bagimu. Hendaknya engkau sendirilah yang berdo’a kepada Allah. Allah telah berfirman

(ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً) (الأعراف : 55 )

Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. (QS. 7:55)

Kemudian do’amu kepada Allah, do’amu itu sendiri merupakan ibadah, lantas mengapa engkau menyia-nyiakan kebaikan ini. Karena sebagian orang jika meminta orang yang nampaknya merupakan orang sholeh untuk mendo’akannya bisa jadi ia akan bersandar kepada do’a orang tersebut kemudian dia sendiri tidak berdo’a.

Kemudian juga ada permasalahan yang ketiga yaitu bisa jadi orang yang dimintai do’a akan terkena penyakit ghurur (ujub/kagum) dengan dirinya sendiri, dia akan menyangka bahwasanya dia memang orang yang berhak untuk dimintai do’a.

Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika engkau meminta saudaramu untuk mendo’akanmu dengan maksud agar memberi manfaat dan berbuat baik kepada saudaramu itu atau memberi manfaat kepadanya karena jika ia mendo’akanmu di dzohril ghoib (tidak dihadapanmu) maka malaikat akan mendo’akannya pula dan berkata, “Bagimu juga semisalnya”, maka hal ini tidaklah mengapa[33], ini merupakan niat yang baik. Adapun jika engkau hanya mengharapkan engkau saja yang mendapatkan manfaat maka hal ini termasuk bentuk permintaan (kepada manusia) yang dicela.

Adapun yang engkau sebutkan tentang Umar yang meminta kepada Uwais untuk berdo’a baginya maka hal ini atas perintah Nabi dan hal ini juga merupakan hal khusus bagi Uwais. Oleh karena itu Nabi tidak meminta Umar untuk meminta do’a kepada Abu Bakar atau yang lainnya, padahal Abu Bakar lebih afdhol daripada Umar, lebih afdhol daripada Uwais, dan lebih afdhol dari sahabat-sahabat yang lainnya. Akan tetapi hal ini khsusus bagi Uwais dimana Nabi meminta kepada orang-orang yang bertemu dengan Uwais untuk berkata kepadanya, “Berdo’alah untukku”. Dan permasalahan-permasalahan yang khusus tidak bisa diumumkan melewati tempat khususnya.”[34]


Syaikh Sholeh Alu Syaikh pernah ditanya, “Apakah jika seseorang meminta orang lain mendoakannya dengan niat karena orang yang dimintai doa adalah orang yang dikabulkan doanya berbeda dengan orang yang meminta untuk didoakan, apakah ini merupakan kesyirikan?”

Beliau menjawab, ((Meminta doa dari makhluk pada asalnya hukumnya adalah boleh jika makhluk yang dimintai doa tersebut dalam keadaan hidup dan mampu untuk berdoa. Ada sebuah hadits dalam kitab sunan yang dijadijadikan pegangan oleh para ulama meskipun sanadnya lemah bahwasanya Nabi r berkata kepada Umar لاَ تَنْسَنَا يَا أَخِي مِنْ دُعَائِكَ ((Janganlah lupa mendoakan kami wahai saudaraku))[35]. Dan ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang Uwais Al-Qoroni ((Barangsiapa yang mampu didoakan oleh Uwais maka lakukanlah)), hal ini menunjukan bahwa meminta didoakan dari orang yang hidup hukumnya adalah boleh, dan para sahabat meminta doa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun di sana ada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa meninggalkan meminta doa dari orang yang hidup adalah lebih utama kecuali jika dalam keadaan dimana orang yang meminta untuk didoakan berharap untuk mendapatkan manfaat dan juga agar yang diminta untuk berdoa juga mendapatkan manfaat. Ia berkata, “Jika orang yang meminta untuk didoakan mrngharapkan manfaat bagi yang berdoa dan bagi yang didoakan berbarengan maka hukumnya adalah boleh. Adapun jika yang meminta doa berharap kemanfaatan untuk dirinya sendiri maka meninggalkan meminta doa kepada orang lain adalah lebih utama”

Adapun perkataan penanya “Si fulan termasuk orang yang terkabul doanya”, maksudnya adalah seringnya (dikabulkan doanya) bukan berarti bahwasanya setiap ia berdoa pasti dikabulkan, namun maksudnya di sini adalah orang yang sering doanya terkabul, artinya jika ia berdoa maka kebanyakan doanya dikabulkan. Namun hakekatnya sebagaimana yang telah aku jelaskan pada kalian bahwasanya para nabi mereka termasuk orang-orang yang terkabul doanya bahkan mereka lebih afdhol dari orang-orang yang dikabulkan doanya dari kaum mereka, merekapun (yaitu para nabi) sebagian doa mereka tertolak, maka pengabulan doa tergantung dengan sebab-sebab syar’i dan qodari dan Allah memiliki hikmah yang tinggi.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam kitabnya tahdzibul Atsar dan yang lainnya bahwasanya Hudzaifah tatkala sebagian orang memintanya untuk berdoa kepada mereka maka iapun berdoa, kemudian ia diminta pada kali lainnya lagi maka iapun menolak dengan menggerakkan kedua tangannya seraya berkata, “Apakah kami adalah para nabi?”. Ini merupakan pengingkaran dari orang yang lebih rendah dari para nabi. Ini adalah meminta doa kepada orang yang dibawah para nabi, dan ini jelas.

Memiliki keyakinan terhadap seseorang bahwa ia terkabul doanya lalu dimintai doa “Wahai fulan doakanlah kami”, yang seperti ni bisa jadi merupakan sebab timbulnya keyakinan-keyakinan (yang syirik) pada dirinya setelah kematiannya. Jika ia diminta (untuk mendoakan) sekali atau dua kali (maka tidak mengapa), adapun selalu dimintai “Doakanlah kami wahai fulan”, maka ini bukanlah jalan para salaf)) (dari syarah kasyfus syubhat)



Penulis: Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com



------------------------------------

[17] Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas

[18] Berkata Syaikh Abdul Malik Romadloni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)

[19] As-Siyar (11/210)

[20] As-Siyar (11/211)

[21] As-Siyar (11/211)

[22] As-Siyar (11/211)

[23] Berkata Syaikh Abdul Malik :”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya shahih” (Sittu Duror hal 47)

[24] Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal 47.

[25] Berkata Guru kami Syaikh Abdulqoyyum, "Adapun orang-orang yang memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal"

[26] Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani :”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no 1908)

[27] Lihat ketiga atsar tersebut dalam Sifatus Sofwah (2/96) (Aina Nahnu hal 9)

[28] Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam Ahmad

[29] Al-Minhaj 16/96

[30] Dari syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hadits yang ke 31

[31] Al-Minhaj XVI/95

[32] Silsilah Liqo’ al-Baab al-Maftuuh, kaset no 59 side A

[33] Lihat Majmuu’ Fataawa (XXVII/69-70) dan

[34] Silsilah Liqo’ al-Baab al-Maftuuh, kaset no 46 side B

[35] HR Abu Dawud II/80 no1498 dan didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani

Post a Comment for "Tabi’in Terbaik “Uwais Al-Qorni”(2)"